130 : Villain Saga

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

Suara instrumen kotak musik menghiasi kamar minimalis bernuansa biru langit. Rama menatap dirinya di cermin. Ia membetulkan posisi dasi kupu-kupu hitamnya. Terbesit senyum tipis ketika dirinya sudah terkesan rapi. Pria manis itu berjalan menuju pintu dan mengambil jas cokelat yang tergantung di dinding ruangan, lalu mengenakannya. Rama berjalan keluar sambil mengenakan jasnya.

"Mau ke mana?" tanya Noris yang sedang duduk di kursi sambil membaca buku tentang sihir.

Rama tersenyum ramah. "Cuma mau ngucapin salam perpisahan."

Noris menatap tangan Rama yang penuh dengan plester. "Tanganmu?"

Rama menyembunyikan tangannya ke balik kantong celana. "Cuma luka kecil." Ia berjalan keluar.

Noris menatap Arai yang sedang duduk bermain ponsel. "Tak apa membiarkan dia berkeliaran sendirian? Aku pernah mendengar istilah, seorang yang patah hati lebih berbahaya daripada seekor singa kelaparan."

"Biarkan saja. Setiap orang punya caranya sendiri untuk pulih," balas Arai. "Sekarang, aku sedikit berharap Rama bisa meluluhkan gadis itu. Mungkin ia akan berguna untuk kita."

Noris menutup bukunya, ia fokus pada percakapan dengan Arai. "Apa? Kau ingin gadis culun seperti itu menjadi bagian Satu Darah? Tak apa jika tak bisa bertarung, atau menggunakan sihir, tapi dari gelagatnya ia tak bisa apa-apa, Arai."

"Si gadis tak bisa apa-apa ini yang menghabisi Naga, Noris," balas Arai. "Di sana ada Yudistira, mantan Yudistira, para petinggi Dharma, Katarsis, Peti Hitam, sisa Kencana Selatan, dan gadis culun itu yang menghabisi calon bencana kelima."

"Ngomong-ngomong, pasukan Bandung kapan sampai?" tanya Rio memotong percakapan mereka.

"Entah," jawab Arai.

"Menurut infonya, nanti malam mereka sampai," timpal Noris.

Benar saja, tak lama berselang dari pertanyaan Rio, ketukan pintu membuat Noris dan Rio menatap waspada ke arah pintu. "Siapa?" tanya Noris mendekat, tetapi tak ada jawaban.

"Rama?"

Masih tak ada jawaban. Hal itu membuat Rio dan Noris semakin waspada. Rio mengambil pisau di meja makan dan berjalan hingga posisinya lurus dengan pintu. Ia sudah bersiap untuk melemparnya. Noris berjalan ke pintu dan berhenti ketika memegang gagang pintu. Ia menatap Rio.

"Siapa, ya?" tanya Noris lagi sambil mengintip dari balik gorden, tetapi tak ada siapa pun di luar. Ia menoleh ke arah Rio dan memberikan tanda.

Rio mengangguk. Noris langsung membuka pintu. Ketika pintu terbuka, pisau Rio melesat cepat ke arah pria yang bediri di depan pintu. Namun, pria itu menangkap pisau Rio sambil tersenyum.

"Begini caranya memperlakukan tamu?" ucapnya.

Arai menyeringai menatap pria di balik pintu. "Dan apakah begitu caranya bertamu yang baik?"

Pria dengan rambut pirang kemerahan di depan pintu tertawa kecil. Di belakangnya ada tiga orang lagi. Mereka adalah anggota Satu Darah yang sempat menolong keluarga Martawangsa. Delapan orang Satu Darah berkumpul dalam satu rumah. Sesuatu yang besar akan terjadi.

Satu Darah yang baru saja datang langsung masuk untuk beristirahat. Arai, Noris, dan juga Rio menatap seorang pria berpakaian dalang.

"Siapa orang ini?" tanya Arai.

"Panggil dia Khataka," jawab pria rambut pirang.

"Khataka?" tanya Noris.

"Khataka bermakna pencerita. Dia cukup unik, dan aku sudah memberikan tes kecil untuknya. Dia layak berada di kelompok," balas pria pirang.

"Bukan kau yang menentukan, Rakha," tutur Arai.

Rakha menyeringai. "Bukan kau juga, Arai." Aura mereka saling berbenturan dan membuat keadaan terasa tak nyaman.

"Mana Il Sognotore?" tanya pria bersarung tangan putih dengan luka codet di matanya.

"Dia sedang bersenang-senang," jawab Noris. "Sepertinya Dogma menunjukan pergerakan di Jogja."

Keempat Satu Darah yang baru saja tiba, langsung saling beradu tatap. "Dari mana info tersebut?" tanya pria buta yang matanya ditutup oleh kain hitam dengan ukiran huruf Hanacaraka.

"Rama bisa melakukan proyeksi astral. Dia sedang jatuh cinta dan selalu menempel pada seorang gadis. Gadis ini agak spesial, dan sepertinya gadis ini mendapat masalah," ucap Arai.

"Masalah apa?" tanya Rakha.

"Ia diculik," jawab Arai. "Dogma sedang mencari pasukan. Mereka takut dengan kita."

"Bagaimana dengan Jogja? Apa ada kandidat menyenangkan?" tanya Rakha.

Arai membuka buku catatannya. "Ada, beberapa bocah ingusan, tapi berpotensi. Namun, sepertinya mereka tak senang dengan kita."

"Jadi sama saja dengan tidak ada, idiot!"

Arai menatap Rakha sinis. "Hey, Bung!"

Tiba-tiba pintu rumah terbuka secara paksa. Suara dobrakan itu membuat semua anggota Satu Darah menoleh ke arah pintu. Rama tergeletak berlumuran darah.

"Rama!" Noris berlari ke arah Rama. Ia mendengar suara gagak-gagak yang bernyanyi. Di tubuh Rama juga ada beberapa helai bulu gagak. Dengan cepat ia menutup pintu rumah.

"Noris ... yang satu ini berbahaya. Maaf, aku menempatkan kalian ke dalam masalah ...," gumam Rama lirih. "Bajingan yang satu ini ... mengepung Mantra, dari kemampuannya ... sepertinya dia ada di level Komandan."

"Rio, bantu!" teriak Noris. "Jangan banyak bicara Rama."

"Aku ini pembunuh, bukan pengobat," protes Rio acuh.

Alih-alih Rio, pria dengan sarung tangan putih yang akhirnya turun tangan. Ia menggendong Rama ke sofa. Sementara Noris membuat ramuan sihir penyembuh untuk Rama.

Arai menyeringai. Ia meremuk ponselnya hingga hancur, dan berjalan menuju pintu. Namun, pria buta menghentikan langkahnya. "Biar aku saja," tuturnya.

"Ini jatahku, Gerhana," ucap Arai.

"Dogma membunuh salah satu rekan bicaraku, seorang client yang gelisah terhadap masa depan bangsa ini. Ia gugur dalam perang, aku sedang marah, Arai."

Rakha mendekat ke arah mereka, ia menepuk pundak Arai sambil menggeleng. Arai membuang napas bersama dengan egonya, ia mengalah. Gerhana, Arai, Rakha, Rio, dan Khataka keluar rumah. Mereka berdiri di bawah gagak-gagak yang membentuk lingkaran di langit mengitari rumah mereka. Selain gagak, berdiri puluhan orang di depan rumah dengan senjata lengkap.

Arai menyeringai menatap jumlah lawan di hadapannya. "Nah, begini dong! Aku juga bisa ikut berpesta!"

Rakha melakukan pemanasan. Ia melepas dasi yang menggantung di kemejanya. "Peraturannya sederhana! Gerhana yang akan menghabisi Komandan musuh, kita berlomba untuk membunuh para cecunguk. Siapa yang membunuh paling banyak, maka dia yang menang."

"Bagaimana jika Gerhana kalah?" tanya Rio.

"Kita berlomba memenggal kepala Komandannya," balas Rakha.

Rio menyeringai. "Kau dengar itu? Ingin bertukar tempat? Apa kau ingin bangkit, Mertolulut? Kita harus menang, tapi jangan bunuh Komandan mereka sebelum Gerhana kalah." Setelah ucapan itu, Rio yang selalu riang seperti anjing gila, tiba-tiba terdiam tanpa ekspresi. "Baiklah Singonegoro, aku yang ambil alih mulai dari sini," ucapnya lagi dengan nada datar tanpa ekspresi.

Gerhana menatap pria dengan anting hitam dan jaket tebal berbulu. Ia yang paling terlihat mencolok.

"Itu baru panglima burung, Arai!" ledek Rakha. "Berbeda denganmu, panglima preman berburung!"

"Hah?! Kurang ajar! Jangan hina Panglima Burung dasar, bajingan!" Arai yang marah sontak mencabut mandaunya.

"Mandau yang tercabut dari sarungnya harus menelan korban. Tunjukan padaku, jika kau memang layak menyandang gelar Panglima Burung, Arai," ucap Rakha dengan raut tegas.

Di tengah percakapan dua Disaster Bringer itu, Gerhana berjalan maju tanpa alas kaki. Ia memang tak suka mengenakan alas kaki. Katanya dengan bertelanjang kaki, ia dapat merasakan getaran dan memprediksi pergerakan di sekitarnya. Ia memang buta, tetapi bukan berarti tak berdaya. Gerhana menyeringai sambil merendahkan gestur tubuhnya..

"Aku mulai!" Aura di sekitar pria buta itu berubah. Ia menghentakan kaki kirinya ke depan dan membuat tanah pijakannya hancur. Gerhana melebarkan kedua kaki dengan kedua tangan terkepal di samping dada "Sing duwe bengi." (Pemilik malam) Angin seolah sirna ditelan pekat malam. Rasanya seperti saat mati lampu, di mana hanya ada satu lilin yang menyala, dan lilin itu padam. "Nglebur Srengenge."  (Pelebur cahaya mentari) Pria buta itu melesat ke arah Komandan lawannya.

Serempak, pasukan lawan di hadapan Gerhana mendadak panik. Mereka kehilangan cahaya pengelihatan. Semua gelap seolah pekat malam menelan indera pengelihatan mereka.

Sebuah pukulan ia lesatkan pada pria beranting hitam. Namun, serangan Gerhana ditepisnya dengan gerakan yang minimalis, tetapi efektif. Arai bersiul melihat adegan itu. Jarang-jarang ada orang yang bisa menangkis serangan Gerhana dengan mudahnya.

Arai terbahak-bahak. "Aku ingin darah!" Pria Dayak itu menjepit mandaunya di bibir, lalu menekannya ke dalam sehingga kedua sisi bibirnya berdarah tersayat mandau. Muncul sebuah cawan di bawahnya, darah dari bibirnya tumpah ke cawan itu. Arai mulai menari-nari. Mandaunya tiba-tiba melayang dengan sendirinya dan lenyap di tengah kehampaan malam. Ia menatap pasukan di depannya.

"Hey, jaga kepala kalian baik-baik, mandauku sangat kelaparan," tuturnya tanpa logat candaan.

Dalam waktu singkat, kepala-kepala mereka beterbangan dan bergelinding ke tanah. Darah membanjiri halaman rumah para Satu Darah.

Di sisi lain, Khataka berdiri menatap musuh-musuh Satu Darah.

"Aum awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira ing kang kekiter kang semara bumi bujang babo kabuyutan ...."

Khataka tiba-tiba duduk dan melepaskan mantra berikutnya sambil membenarkan blencong  dan memukul sebuah kotak yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Mumangungkung awakku kadya gunung, kul kul dhingkul, rep rep sirep, wong sabuwana teka kedhep, teka lerep, teka welas asih ...."

Pria itu tiba-tiba memegang wayang ghaib dan memainkan wayangnya dengan tawa penuh kegilaan. Musuh-musuhnya tiba-tiba saling bunuh tanpa ampun seolah dikendalikan oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Di tengah kegaduhan itu, Rio berjalan ke arah lawan-lawannya. Setiap ada orang yang hendak menyerangnya, orang itu tiba-tiba mematung. Bukan karena kemampuan Rio, melainkan aura yang terpancar dari jiwa Mertolulut. Kulit-kulit mereka mengkerut seolah nyawanya tertarik keluar. Rio berjalan sambil merapalkan lagu kematian. Serentak orang-orang di sekitar Rio memegangi dada mereka. Rio mengangkat tangannya ke atas secara perlahan dengan kondisi terbuka, kemudian ia kepal tangannya sekeras mungkin hingga tangannya sendiri terluka. Sontak orang-orang itu mengeluarkan darah dari mulut dan terkapar tanpa nyawa.

"Heart stopper aura," gumam Rakha. "Algojo Keraton itu memang menakutkan."

Alih-alih bertarung, pria pirang kemerahan itu malah mundur dan berjalan kembali ke pintu. Baru saja memegang gagang pintu, tiba-tiba seorang pria berlari ke arahnya membawa arit dan hendak menghabisi Rakha.

"Mati kalian, Satu Darah!" teriaknya ketika menyabet leher Rakha dengan celuritnya.

Rakha memandangnya remeh sambil mengusap leher. "Sakit tahu! Bajingan!" umpatnya pada pria yang ambruk di tanah dengan kondisi leher tergorok. Rakha melanjutkan langkahnya menuju rumah dengan wajah kesal.

Rupanya di dalam rumah, Rama sudah pulih. Ia sedang duduk sambil menatap Rakha. Sihir memang sesuatu yang menguntungkan Satu Darah. Tak apa kehilangan sosok Siriz, kini sudah ada penyihir yang hampir sepadan dengannya.

"Kalian tak ingin bersenang-senang?" Rakha menunjuk ke arah pintu. "Raksaka?"

Pria dengan sarung tangan putih tersenyum tanpa kata. Ia berjalan melewati Rakha ke arah pintu.

Pandangan Rakha berpindah pada dua orang sisanya. "Noris? Rama?"

Rama memasang raut wajah marah. Ia berjalan dengan cepat ke arah pintu. "BRUJERIA!" teriaknya. Auranya meluas membentuk zona yang menyelimuti area pertempuran.

Kini Rakha menatap Noris. "Bagaimana denganmu?"

Noris memasang senyum. "Aku kurang minat bertarung bersama. Aku bukan tipikal petarung langsung. Perlu banyak ritual untuk menggunakan spell, tidak seperti kalian yang bar-bar."

Di sisi lain, Raksaka yang baru saja keluar pintu, langsung ikut bergabung dalam pertempuran. Ia berlari tanpa sarung tangan putih di kedua tangannya. Raksaka menghindari setiap serangan lawan, dan menyentuh mereka tanpa serangan berarti. Hanya berlarian sambil menyentuh lawannya dengan tangan telanjang.

Satu per satu lawan yang ia sentuh tiba-tiba ambruk. Berbeda dengan kemampuan Rama, orang-orang yang ambruk ini telah kehilangan nyawanya.

Tangan terkutuk. Begitulah ia menyebut kemampuannya sendiri. Daripada anugerah, Saka merasa bahwa kemampuan yang ia miliki adalah kutukan. Makhluk hidup apa pun yang ia sentuh akan mati seolah sentuhan itu mampu memanggil pencabut nyawa. Makanya Saka selalu menghindari sebuah hubungan, terutama asmara. Ia pernah tak sengaja membunuh mantan kekasihnya.

Dalam waktu singkat, Satu Darah berhasil membersihkan musuh-musuhnya dari halaman rumah. Arai menatap semua rekannya. "Aku menang!"

Rio menggeleng dengan datar. "Tidak, kau tidak menang. Aku yang menang."

"Aku datang terlambat, tak masalah siapa pun yang menang. Jika aku tidak terlambat, aku pasti yang akan menang," tutur Saka.

Khataka hanya terkekeh melihat tingkah mereka semua. Sementara Rama menatap sinis pada pria beranting hitam.

"Cepatlah kalah! Aku ingin membunuhnya!" teriak Rama pada Gerhana.

Kini para anggota Satu Darah duduk di tanah menyaksikan hidangan penutup. "Cepat kalah, aku ingin menghabisinya juga!" timpal Arai.

"Diam bodoh ... yang satu ini berbeda. Dia sedikit lebih kuat," gumam Gerhana.

"Sedikit? Perkataan seorang pria buta melukai perasaanku." Pria beranting tak senang dengan ucapan Gerhana.

Gerhana bukanlah pria yang senang disebut buta oleh orang asing. "Tidak sopan sekali ucapanmu ...."

"Wayasa," celetuk pria beranting. "Namaku Wayasa."

"Aku tidak butuh nama seorang pria yang waktu kematiannya hampir tiba."

"Gerhana Effendi," ucap Wayasa. "Aku tak menyangka akan dapat tangkapan besar malam ini. Salah seorang dari kalian memiliki koneksi dengan salah satu target kami rupanya. Apa gadis itu spesial?"

Rama bangkit dari duduknya, ia hendak melanggar aturan permainan. Namun, sebilah mandau mengacung di depan lehernya. "Aturan nomor nol, jangan pernah melanggar aturan." Mendengar ucapan Arai yang mengintimidasi, Rama terduduk kembali. Pria Dayak itu tak akan segan memenggal kepala rekannya demi menjunjung tinggi nilai kedisiplinan internal.

Kembali pada pertarungan dua orang ini. Wayasa mengarahkan tangannya pada Gerhana. Gagak-gagak di langit melesat mengincar Gerhana. Ketika seekor gagak menancap pada sosok pria buta tersebut, tiba-tiba sosok itu menghilang menjadi kepulan asap hitam.

Wayasa memicingkan matanya. Tak banyak info tentang kemampuan Satu Darah. Kemampuan Gerhana adalah salah satu yang masih menjadi misteri semesta. Salah satunya adalah Pelebur Cahaya Mentari yang ia gunakan untuk membutakan lawannya. Namun, Wayasa tak terpengaruh dengan aura milik Gerhana. Entah ia memang kuat, atau Gerhana yang mengkehendakinya.

Gagak-gagaknya mengenai target, tetapi setiap tersentuh, sosok Gerhana berubah menjadi kepulan asap hitam dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

"Blink? Apa kemampuannya seperti Anjana?" tetapi ia tak berpusat pada bayangan.

Gerhana muncul di belakang Wayasa. "Apa pun yang kau pikirkan, ini jelas berbeda."

Sekujur tubuhnya merinding. Wayasa berbalik arah dan melesatkan pisau ke arah belakang, tetapi sosok Gerhana berubah menjadi kepulan asap kembali, melebur bersama angin malam. Pria ini seperti Nightcrawler dari serial X-men.

Gerhana melesatkan pukulan pada wajah dingin Wayasa, membuat pria berjaket hitam itu terpental dan mengeluarkan sedikit darah dari bibirnya.

"Aku tahu, pasukanmu adalah produk gagal, sementara kalian yang sukses akan diangkat menjadi Komandan," tutur Gerhana. "Jangan salah paham, kami para Satu Darah tak memiliki posisi seperti itu, kecuali para Empat Pembawa Bencana. Itu pun karena kemampuan mereka yang juga diakui oleh anggota lain. Untuk memburu Satu Darah yang paling lemah ...." Gerhana menoleh ke arah Rama. "Dogma perlu seratus Komandan untuk bertarung seimbang. Jangan bermimpi untuk menang, apa lagi menangkap kami semua seorang diri."

 "Omong kosong." Wayasa bangkit. Gagak-gagaknya melesat ke arahnya dan hinggap di tubuhnya, melebur menjadi kumpulan atma hitam. "Gagak-gagak ini adalah makhluk tak kasat mata. Yang bisa melihat mereka hanyalah orang-orang yang kematiannya sudah ku kehendaki. Aku adalah kematian itu sendiri."

"Hey, Bung!" Singonegoro mengambil alih. Rio terlihat tak sepakat dengan ucapan Wayasa. "Kematian itu adalah aku!"

"Maksudmu--aku?" celetuk Raksaka menunjuk dirinya sendiri.

"Kematian adalah takdir, bukan salah satu di antara kalian," celetuk Gerhana. "Kau kehabisan waktu." Ia merapatkan kuku-kukunya. Perlahan pergelangan tangannya menghitam dan kuku-kukunya memanjang tajam. Pria buta itu melesat ke arah Wayasa. 

Gerhana bertujuan untuk langsung mengakhiri nyawa Wayasa. Namun, ketika hendak menusuk Wayasa dengan tangannya, sosok itu tiba-tiba menghilang. Gerhana merinding, ia tak merasakan hawa keberadaan Wayasa di mana pun.

"Di langit!" seru Khataka.

"Curang! Jangan dikasih tau!" celetuk Arai. Ia berharap pria buta itu kalah dan dirinya yang menggantikan Gerhana bertarung dengan Wayasa.

Wayasa melayang di langit dengan sayap hitap yang membentang lebar. Gagak-gagak di langit saling bersatu membentuk seratus pedang berwarna hitam. Ia mengambil sebilah pedang dalam genggamannya sambil menatap kumpulan Satu Darah dengan tatapan angkuh.

"Begitulah seharusnya kalian menatapku, rendahan," tutur Wayasa. "Aku mungkin akan dihukum karena tak menangkap kalian hidup-hidup, tapi tak apa. Mayat kalian akan kami gunakan semaksimal mungkin untuk tujuan Negeri ini."

Seluruh anggota Satu Darah bangkit dan berhamburan masuk ke dalam rumah, kecuali Gerhana dan Arai. Arai masih menunggu kekalahan Gerhana dan bersiap untuk menggantikannya.

"Kau tidak pergi, Arai?" tanya Gerhana.

"Aku menunggu giliran," jawab Arai dengan suara tegas.

"Kau bisa mati loh?"

"Jika aku mati karena ini, aku memang tidak layak menyandang gelar Empat Pembawa Bencana."

Gerhana tersenyum. "Bagus, kalian Empat Pembawa Bencana memang harus seperti itu."

Wayasa mengangkat tangannya tinggi ke atas sambil menatap Gerhana. "Rasakanlah buah dari keangkuhan mu, Satu Darah." Wayasa melesatkan tangannya ke arah bawah. "Hujan pedang hitam."

Sembilan puluh sembilan pedang hitam melesat ke arah markas Satu Darah. Arai menangkis hujan pedang itu dengan kedua mandau terbangnya. Ia juga melindungi bangunan rumah. Sementara Gerhana ....

"Purnomo." Ia mengangkat penutup matanya hingga menampilkan mata kanannya. Matanya memiliki bola mata merah dengan tulisan aksara jawa bermakna purnama.

Pedang-pedang hitam milik Wayasa melambat, hampir terlihat tak bergerak. Gerhana berjalan melewati pedang-pedang itu dengan santai. 

Dalam pengelihatan normal, Wayasa menatap Gerhana yang berubah menjadi kepulan asap hitam dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Gerhana menarik ke atas kain hitam yang menutupi matanya hingga kedua matanya kini terlihat. Mata kirinya pun memiliki sebuah ukiran aksara jawa bermakna sabit.

Berbeda dengan mata kanannya yang mampu memperlambat waktu. Mata kirinya membuat visualisasi masa depan seperti Deva. Ya, prekognision.

Dari pandangan masa depannya, Gerhana menentukan langkah berikutnya. Ia menapaki setiap gagang pedang dan terus menjadikannya pijakan untuk menuju Wayasa.

Wayasa menatap kepulan asap itu semakin mendekat. "Apa yang terjadi?"

Kemampuan blink, prekognision, dipadu dengan memperlambat waktu. Gerhana bagaikan Dirga dan Gemma dalam satu tubuh.

Wayasa terbelalak ketika Gerhana menusuknya dengan tangannya sendiri. "Sebenarnya aku tidak buta, aku hanya membatasi delapan puluh persen kemampuanku untuk menikmati pertarungan dan juga kehidupan ini. Menarik bukan?" Ia menyeringai lebar.

Wayasa menendang Gerhana hingga terjatuh. Ia terbang meninggalkan kawasan Satu Darah. Arai ingin mengejarnya dengan mandau terbang, tetapi melihat Gerhana yang melesat jatuh, membuatnya mengurungkan niat. Dari ketinggian itu, mungkin Gerhana bisa saja mati. Arai melesat dan menangkap Gerhana.

"Bodoh, apa yang kau pikirkan? Kau bisa mati konyol, bodoh."

Gerhana tersenyum. "Aku tidak akan bertindak untuk membunuh diriku sendiri. Aku tahu masa depanku. Kau akan menyelamatkan ku dari kematian, Arai."

"Harusnya kau tebas saluran napasnya. Ketika itu terputus, maka lawanmu pasti mati," ucap Arai.

"Jika aku melakukan itu, Wayasa akan menebasku duluan dengan satu pedang hitamnya. Aku menyaksikan berbagai macam alur masa depan, Arai. Apa yang aku lakukan, adalah pilihan terbaik untuk menjaga nyawaku."

Arai menurunkan Gerhana. Pria itu memasang kembali kain hitam untuk menutupi matanya. "Ayo, kita masuk. Seharusnya kita berpesta."

"Bagaimana dengan mayat-mayat ini?" tanya Gerhana.

"Mayat-mayat apa?" tanya Arai.

Gerhana tak merasakan keberadaan mayat-mayat prajurit Dogma di halaman, seolah mayat-mayat itu hilang ditelan Bumi. Namun, ia merasakan langkah kaki seseorang. Tentu saja Gerhana mengenal orang yang satu ini.

"Noris?"

Noris tersenyum. "Terimakasih makanannya." Wanita itu mengurus mayat-mayat di halaman mereka. Entah apa yang ia lakukan, wanita itu penuh misteri.

Ia menyeringai memegang sebuah boneka jerami. "Kau ingin tahu bagian paling menyenangkannya?" Noris meletakan boneka jerami itu di tanah dan menghantam bagian dada boneka itu dengan paku dan palu. Ia menyeringai ketika boneka itu mengeluarkan darah.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Gerhana ketika mencium aroma anyir dari boneka itu.

"Rahasia," gumam Noris sambil tertawa gila.

Di tempat berbeda,Wayasa terkapar memegangi dadanya. Ia jatuh di atas kereta api yang sedang melaju ke arah Jawa Timur. Rupanya Noris telah memasang santet padanya. Wanita itu mengambil darah Wayasa yang menetes akibat serangan Gerhana.

Noris kembali menusuk santetnya, tetapi kali ini raut wajahnya berubah.

"Kenapa?" tanya Arai.

"Dia lolos. Orang ini menukar dirinya dengan gagaknya. Satu gagaknya mati terkena santet barusan. Koneksi terputus. Bahkan disaat sekarat, orang ini mampu bertindak."

"Lacak keberadaannya, dia tahu banyak informasi tentang kita," ucap Arai. "Jangan biarkan dia hidup."

"Baik," balas Noris. Setelah itu mereka masuk ke dalam rumah.

Noris menghampiri Rama yang sedang duduk bersama anggota lainnya. Ia melempar sarung tangan berwarna merah jambu yang belum selesai.

"Belajar merajut, kawan?"

Rama tampak kesal. "Berengsek kau, Noris!" Pemuda itu menyembunyikan luka-luka di tangannya.

Noris duduk di sebelah Rama, ia merangkul pemuda itu bagaikan seorang kakak. "Tak apa, kau bisa meminta tolong jika kau butuh bantuan. Jangan pernah malu untuk meminta tolong, itu tidak akan menjatuhkan harga dirimu."

Rama tiba-tiba luluh, ia terdiam sambil terlihat cemas. "Besok kita akan pergi dari sini, dan aku belum sempat menyelesaikan yang kiri. Entah Nada akan menerimanya atau tidak, tapi aku ingin memberikannya sebuah kenang-kenangan."

Noris tersenyum. "Selesaikan itu dan berikan padanya lain waktu. Itu jadi alasanmu untuk kembali padanya. Itu pun jika rasa di hatimu masih tersisa untuknya. Siapa tahu, diperjalanan nanti, rasa itu habis dimakan jarak dan waktu."

"Kau sepertinya ahli dalam hal ini?" tanya Rama.

"Aku mantan ibu rumah tangga," jawab Noris. "Ingatkan aku setelah perang berakhir. Akan aku ceritakan banyak hal."

Pemuda galau itu tersenyum. "Aku nantikan itu."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top