13 : Aroma Kelam
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Kosong. Itulah definisi kelas Harits pagi ini. "Lah, pada kemana ini orang-orang bodoh? Bukannya menuntut ilmu, malah menghilang." Ia mengambil ponsel yang berada di sakunya. Rupanya semalam ada kabar bahwa dosen mata kuliah pagi ini berhalangan masuk, sehingga hari ini menajdi hari libur untuk Harits. Memang setiap rabu, hanya satu mata kuliah yang menjadi gangguannya rebahan. "Asem tenan!" Dengan wajah datar, Harits berjalan menuju parkiran.
Rasa-rasanya matanya lelah sekali. Wajar saja, semalaman suntuk ia menangis karena patah hati. Benar-benar pria yang aneh. Segala jenis rasa sakit tak membuatnya menangis, tetapi perkara seorang Nada Regina Mahatama ingin menjaga jarak, Harits menangis sepanjang malam.
Kini pria itu duduk di sebuah kursi panjang dekat parkiran, ada sebuah pohon besar di belakangnya. Tempat itu rimbun, sehingga membuat Harits memejamkan mata dan tertidur.
***
Di sisi lain, Nada masih saja duduk sendirian di pojok ruangan. Matanya menatap awan yang perlahan berjalan mengitari bumi. Sebuah bola kertas mengenai kepalanya dan jatuh di atas meja Nada, membuat gadis itu mengambil dan membukanya. "Suram." begitu tulisannya.
Tak seperti ketika berada di Mantra Coffee. Saat berada di luar, Nada adalah seorang pendiam akut. Ia hanya berbicara ketika dosen yang menyuruhnya.
"Nada, makan siang bareng yuk?" Seorang pria mengajaknya makan bersama siang ini, tetapi Nada menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat seisi kelas tertawa.
"Mampus, bayar lu sini. Kalah taruhan."
Ya, mereka semua bertaruh. Jika ada orang yang berhasil membuat Nada berbicara, dia akan menang dan mendapatkan uang sejumlah yang dipertaruhkan.
Ini bukan hal baru bagi Nada. Selama perjalanan sekolahnya, ia memang kerap mendapat perlakuan serupa. Berbeda dengan Melodi yang ceria dan disukai banyak orang, Nada adalah kebalikannya. Tidak bisa apa-apa dan dicemooh banyak orang.
Faris, pria itu menjadi penyelamat Nada. Ia masih berdiri tegak, ketika semua orang melempari Nada dengan cemoohnya. Wajar jika Nada merasa suka padanya. Banyak hal terjadi, mereka berkomitmen untuk saling menjaga hati tanpa ada hubungan apa pun.
Nada selalu berbohong pada Melodi. Nada berkata bahwa ia memiliki banyak teman di kampus. Faktanya, tak ada seorang pun yang bahkan mengajaknya bicara. Dan lagi, selalu saja menggunakan sarung tangan hitam?
"Paling juga buat nutupin borok."
"Korengan?"
"Enggak, itu mah sok bersih aja. Takut kotor kali, jadi pake sarung tangan terus."
Begitulah komentar netizen yang tak tahu apa-apa. Namun, Nada sudah terlatih untuk tak mendengarkan ucapan-ucapan seperti itu. Ia hanya fokus pada kuliahnya ketika di kampus, dan segera pulang ketika waktu belajar selesai.
***
Terik mentari membangunkan Harits dari tidurnya, ia menoleh ke sebelah kirinya. "Astogeh!" Dilihatnya seorang wanita bergaun putih yang sedang duduk di kursi itu. Wajahnya terlihat pucat dan ada sedikit bercak darah.
Melihat Harits yang kaget dan hampir terjatuh dari kursi, wanita itu memicingkan matanya, menatap Harits dengan heran.
"Kamu beruntung, aku udah berubah," ucap Harits. "Kamu selamat."
Wanita itu semakin heran dan menatap Harits tanpa kata.
"Kar! Istirahatnya udah selesai, langsung take lagi, ya," teriak salah satu anak produksi. Sepertinya sedang ada shooting pembuatan film. Wajar saja, kampus Harits memang terkenal dengan bau bau perfilman.
Gua pikir setan, ternyata orang. Jadi enggak enak gua ngomong kayak tadi. Harits memutuskan untuk menunggu wanita itu selesai shooting. Ia beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam gedung C untuk melihat produksi. Ternyata wanita itu sedang take video horror, ia berperan menjadi kuntil anak.
Oh, lagi shooting horror, pantesan.
Kurang lebih dua jam berlalu, wanita itu keluar dari studio dengan make up yang sudah dibersihkan dan juga pakaian yang casual berwarna abu-abu. Ia berjalan keluar gedung. Matanya langsung menangkap keberadaan Harits yang masih duduk di kursi yang sama. Ia menghampiri Harits.
"Betah banget duduk di sini? Emang sih, adem, tapi kamu enggak ada kelas gitu?" tanya wanita itu pada Harits.
"Kena prank dosen," jawab Harits singkat. "Ngomong-ngomong maaf ya, tadi baru bangun tidur, jadi masih ngelantur."
"Santai aja kali. Aku cuma agak bingung aja tadi. Oh, ya--kita pernah kenal enggak sih?" tanya wanita itu.
"Enggak kayaknya."
"Tapi aku ngerasa kenal kamu. Kayak pernah lihat di mana gitu. Rasanya familiar aja, de javu."
"Kenalin, aku Harits Sagara, mahasiswa baru dari manajemen produksi siaran."
Wanita itu tersenyum dan menjabat tangan Harits. "Sekar Pramu Diana, dari manajemen teknik studio." Sekar lagi-lagi memicingkan matanya sambil tersenyum. "Kamu beneran mahasiswa baru?"
"Iya, mbak. Makanya itu, enggak mungkin kita pernah ketemu deh." Harits paham, Sekar lebih tua darinya berdasarkan apa yang ia lihat di gedung C. Untuk semester awal, seluruh jurusan masih mendapatkan mata kuliah umum, jadi tidak mungkin melakukan kegiatan praktik seperti shooting.
"Serius, aku pernah lihat kamu kayaknya."
"Pernah main ke Mantra Coffee?" tanya Harits.
"Apa itu?"
"Kafeku dan temen-temen, mbak. Mungkin kalo pernah ke sana, yaa--pernah lihat aku di sana. Kebetulan aku barista."
"Oh, ya?" Sekar menaikan alisnya. "Kebetulan aku lagi mau nyari kafe buat nugas. Rasanya tuh hambar aja gitu kalo nugas enggak sambil ngopi."
"Skripsi?"
"Enggak setua itu. Aku masih semester tiga kok. Kita beda satu tahun. Oh iya, kafe kamu kapan buka? Lokasinya di mana?"
"Jam lima sih biasanya kalo weekday, kalo weekend jam empat. Lokasi Maguwo."
"Maguwo, duh jauh, ya." Sekar terkekeh.
"Kalo minat ke sana, mungkin bisa aku anterin, nanti aku anter pulang lagi. Emang, mbak tinggalnya di mana?"
"Di belakang kampus."
"Serius, kalo mau aku anterin. Kalo kopinya enak, nanti ajak temen-temennya ke Mantra, biar jadi tempat nongkrong rekomendasi. Tenang aja, jauh bukan masalah kok. Aku kasih diskon."
"Hahahaha bisa aja promosinya."
"Gimana, mbak?"
"Ngerepotin kamu enggak?"
"Serius enggak! Ayo, nanti sore kita main ke kafe." Untuk memancing traffic, Harits memang kerap melakukan apa pun. Tak masalah jika ia lelah, yang penting semakin banyak orang yang tahu perihal Mantra Coffee. Tak jarang ia membantu pelanggan yang ketempelan setan dan memberikan diskon dengan memotong gajinya sendiri kepada orang-orang itu agar kembali lagi ke Mantra Coffee.
***
Harits mengantar Sekar ke kosannya terlebih dahulu untuk mengambil helm dan laptop, kemudian mereka berdua segera berangkat menuju Mantra.
"Serius enggak ngerepotin?"
"Serius, sumpah," jawab Harits yang sedang membawa motornya. "Nanti aku kasih satu menu gratis deh buat, mbak Sekar."
"Ih, enggak usah. Makin ngerepotin aja."
"Asli, enggak ngerepotin, tapi ya--besok-besok jangan lupa mampir bawa temen yang banyak, mbak," lanjut Harits diiringi tawa renyah.
Sesampainya di Mantra, Harits menatap Deva yang rupanya juga baru pulang dari kampusnya. Pria gondrong itu menatap Hartis dan seorang wanita yang berada di jok belakang. Sementara Harits menatap topeng Tumenggung yang Deva pegang. Wajah pria gondrong itu tampak lesu dan agak berkeringat, ada luka di bangian lengannya. Harits turun dari motornya dan berjalan melewati Deva, ia meletakkan plester luka ke dalam kantong kemeja milik Deva.
Gemerincing lonceng membuat Jay dan Nada menatap ke arah pintu, dilihatnya Harits yang baru saja membuka pintu, tetapi belum masuk seutuhnya. Harits menatap Sekar yang berdiri di depan kandang kosong.
Sekar menoleh ke arah Harits. "Burung hantunya lucu," ucap wanita itu polos.
Deva dan Harits saling bertatapan, kemudian Harits keluar lagi dan berjalan menuju Sekar. Sejujurnya, bahkan Deva tak pernah melihat sosok di dalam sangkar, kecuali di malam jum'at, karena kemampuan spiritualnya meningkat sehingga mampu melihat beberapa makhluk halus, termasuk Lajaluka.
"Namanya Lajaluka," ucap Harits.
"Jarang-jarang loh, orang melihara burung hantu, keren."
"Mbak ...."
"Sekar. Panggil aja Sekar. Aku enggak terlalu suka dipanggil mbak-mbak," potong Sekar.
"Oh, maaf. Jadi--Sekar, kamu--indigo?"
Sekar menoleh ke arah Harits, ia memicingkan matanya. "Enggak tuh, emang kenapa?"
Entah Sekar berbohong, atau ia tak menyadari bahwa dirinya indigo. Yang jelas Harits paham, ketika ada seseorang yang mampu melihat Lajaluka di depan kafe, artinya mereka peka terhadap hal-hal ghaib.
"Serius? Feel nya indigo banget," lanjut Harits.
"Kok bisa?"
"Enggak tau, duh,maaf, ya--random banget aku nanya-nanya indigo." Suasana menjadi canggung. "Mau duduk di mana? Biar aku ambilin menu." Namun, Harits tampak tenang dan masih mampu menghandel suasana.
"Di luar aja, adem kayaknya," jawab Sekar sambil tersenyum.
Ketika Harits berjalan masuk ke kafe, Nada memandangnya. Tak ada sedikit pun lirikan dari pria bertopi aneh yang biasanya sesekali mengarah pada Nada. Harits berjalan lurus dengan wajah datar mengambil daftar menu. Ketika ia berbalik arah untuk mengantar menu, terlihat matanya melirik ke arah Sekar sambil tersenyum tipis."
"Ih!" Nada menghentakkan kakinya.
Jay menatap Nada yang sedang menatap Harits dengan wajah geram.
Lah, dia cemburu ....
Jaya hanya tersenyum.
Rumit, ya?
"Jadi ...." Belum juga menyelesaikan kalimatnya. Nada mengisyaratkan jaya untuk diam dengan cara menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Ia tak ingin mendengar apa pun sore ini.
"Gimana nih?" tanya Deva pada Melodi. Mereka berdua sadar akan gelagat Nada dan Harits.
"Nada itu dari dulu selalu jadi korban bullying. Dia enggak pernah bener-bener suka sama cowok karena cowok-cowok yang datang ke dia itu adalah cowok yang aku tolak. Mereka ngincer Nada karena mirip aku."
"Sampe sekarang?" Deva mengerutkan dahinya.
"Waktu kita pindah ke Bandung, perlahan dia mulai disukai teman-temannya dan perlahan berubah. Nada itu aslinya pendiam, dia mirip ayahku yang hampir enggak pernah bersuara."
"Apa alasan dia berubah?"
"Faris," jawab Melodi. "Sejak dia kenal Faris, dia jadi mulai sering bicara, tapi ...." Melodi menghentikan ucapannya.
"Tapi?"
"Sejak kenal Harits, dia jadi makin aktif sampe aku lupa sama sifat asli dia. Jujur, aku seneng lihat dia yang aktif, tapi belakangan ini, dia jadi pendiem lagi. Aku khawatir sama Nada. Aku boleh minta tolong sama kamu?"
"Apa? Selama aku bisa bantu, aku akan bantu."
"Ikutin dia ke kampusnya kalo kamu lagi libur atau senggang. Aku takut dia dinakalin sama temen-temennya di kampus."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top