128 : The Crows

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Jaya baru saja keluar dari kamar mandi. Karena sempat kejebur di kali, ia numpang mandi di Mantra. Karena posturnya hampir mirip dengan Deva, ia meminjam baju dam celana Deva.

"Enggak pake sempak pasti nyahahaha," ledek Harits. "Apa pinjem sempew si Depoy juga?"

Jaya hanya tersenyum menimpali bocil mabar.

Gemerincing lonceng membuat Jaya dan Harits menoleh. Iris datang membawa tas tenteng berisi pakaian Jaya.

"Ini," ucap Iris singkat sambil memberikan tas tersebut.

"Terimakasih," jawab Jaya. Kini ia menatap Harits. "Tenang, mas. Semua ada waktunya."

Harits tiba-tiba menatap Iris. "Enggak penasaran, Jaya udah sunat apa belum?"

Iris tampak berpikir, sesaat ia menatap Jaya dengan senyum asimentris sambil mengeluarkan pisau dari dalam kaus kakinya. Iris memutar-mutar pisau itu di tangannya. "Udah?"

Jaya meneguk ludah. "Kayaknya udah."

"Kayaknya?" tanya Iris.

"Sunat pake apaan di dalem hutan?" timpal Harits. "Golok? Kuku Bapang?"

Jaya menghela napas. Ia menatap Iris dalam-dalam sambil memegang bahunya. "Suatu saat kamu akan tau, tapi enggak sekarang." Ia pergi ke dapur dengan gelagat yang cool abis.

"Maklumin aja, namanya juga Harits," ucap Nada.

"Dari dulu juga udah maklum."

Deva muncul dari arah tangga. Rambut tebalnya agak basah. Ia juga sehabis mandi rupanya. Deva mengambil apron dan mengenakannya, sesaat ia menatap Jaya. "Cewek yang namanya Anjana siapa, Jay?"

Sebuah pisau melesat di antara wajah Jaya dan Nada, membuat kedua orang itu berwajah pucat sambil melirik ke arah Iris.

"Anjana?" tanya Iris.

Semua mata menatap ke arah Jaya. Ada pacarnya di sana, dan terbesit nama wanita lain.

"Enggak tahu, saya enggak tahu," balas Jaya.

Iris menguncir rambutnya ke belakang. "Jawaban klasik dari seorang bajingan."

"Kami hampir mati. Cewek yang satu ini terlalu di luar nalar," ucap Deva.

Iris mengerutkan keningnya. "Hampir mati?"

"Anjana ini bukan selingkuhan si Jaya, tadi sempet ada insiden, tapi tiba-tiba itu cewek mendadak diem waktu Jaya nyebut nama Anjana, yang ternyata itu nama dia."

"Saya punya kalung bulan sabit ...."

"Ada ukiran nama di pinggirnya?" celetuk Kevin. Pria tampan itu kini menjadi sorotan. Pertama karena memang ia jarang berbicara, dan pada kesempatan kali ini malah memotong pembicaraan, kedua ia mengetahui tentang benda itu nampaknya.

"Nama? Entah nama atau brand, atau apa, tapi iya. Ada ukiran di pinggirnya," balas Jaya.

Kevin tampak sedang berpikir.

"Kenapa, Vin? Tahu sesuatu?" tanya Deva.

"Ada kalungnya? Buat mastiin sesuatu," balas Kevin.

Jaya dan Deva menggeleng.

"Celurit Jatayu ...," gumam Kevin lirih.

"Celurit Jatayu?" Deva penasaran dengan ucapan Kevin.

"Salah satu pusaka dari empat Ashura. Benda ini milik Ashura penyandang gelar Chandratama. Chandratama memiliki tradisi di luar Wijayakusuma. Mereka membuat sebuah kalung yang berbentuk pusaka mereka, yaitu celurit berbentuk bulan sabit. Chandratama berharap bahwa keturunan mereka akan menjadi penerus gelar tersebut," jelas Kevin.

"Jadi Anjana ini adalah keturunan Chandratama?" tanya Deva.

"Kemungkinan kecil iya," jawab Kevin.

Deva mengerutkan keningnya. "Kemungkinan kecil?"

"Aku sempat dengar dari ayahku, bahwa Chandratama pernah diserang. Ia kehilangan keluarganya dan kemudian menyendiri di dalam hutan. Ia akan membunuh siapa pun yang berusaha mendekat. Tidak ada yang tahu apakah ia masih hidup, atau tidak. Gelar Chandratama adalah yang tidak pernah terganti selama belasan, atau bahkan puluhan tahun belakangan ini."

"Kemungkinan besar anak-anaknya sudah tewas?" tanya Deva.

"Iya, tapi tidak menutup kemungkinan ada yang masih tersisa. Ada kemungkinan juga ia memiliki anak lain setelah insiden itu, tapi bisa juga ada orang lain yang mengambil benda itu dan sembarangan mengenakannya."

"Aku punya satu di rumah," ucap Jaya.

Semua mata kini menatapnya.

"Kata ayah, itu adalah satu-satunya peninggalanku ketika menemukanku di hutan. Kalung bulan sabit bertuliskan nama Anjana."

"Dan cewek gila tadi namanya Anjana," timpal Deva. "Terus tulisan apa yang ada di kalung si Anjana ini?"

Jaya menatap Deva dengan ekspresi yang entah, tak bisa dijelaskan. "Akara."

***

Gelap telah merajai dunia. Seorang pria jabrik menatap Anjana yang pulang dengan tangan kosong. Ini bukan pertama kalinya ia gagal dengan tugasnya.

"Kau bunuh targetnya lagi?" tanya pria jabrik.

"Dia melawan dan kebetulan cukup kuat," ucap Anjana. "Maaf."

Pria dengan anting hitam menatap Anjana dengan ekspresi datar. Setelah laporan gagal tersebut, ia mengikuti Anjana yang pergi ke atap. Wanita itu sedang duduk menatap bulan. Menyadari kehadirannya, Anjana melirik ke arah pria itu, lalu menatap bulan kembali.

"Kenapa kau tidak melaporkan kebenarannya? Kau menonton dari jauh, kan? Aku melihat beberapa ekor gagak bertengger di tiang dan pepohonan," ucap Anjana.

"Kenapa kau berhenti? Kau hampir menebas kepala mereka berdua. Yah, sebenarnya aku lebih penasaran kenapa kau berbohong pada atasan?"

Anjana melepas kalung miliknya dan menatapnya getir. "Benda ini adalah satu-satunya peninggalan orang tuaku. Bulan sabit adalah simbolis keluarga. Tidak ada siapa pun yang memiliki benda ini kecuali dia adalah keluargaku."

"Bukankah bunga merah itu simbol keluargamu? Wijayakusuma."

"Wijaya kusuma merah merupakan simbol marga. Bulan sabit adalah simbol seorang Chandratama. Aku memiliki seorang adik. Namun, tak berselang lama setelah kelahirannya, ada orang-orang menyerang rumah kami yang berada di sisi selatan Hutan Larangan. Saat itu aku masih kecil, tetapi aku sudah lihai membunuh. Ayah menahan orang-orang itu, sementara aku menjaga ibu dan adikku lari. Sayangnya, beberapa orang berhasil mengejar. Aku mengulur waktu untuk ibu hingga akhirnya aku ditangkap dan berakhir di laboratorium."

"Apa yang terjadi setelah itu?"

Anjana menggeleng. Ia tak tahu lagi kabar dari keluarganya. Hanya saja, menurut penuturan para atasan, seluruh keluarga Anjana sudah mati.

"Kau berpikir bahwa pemuda tadi adalah adikmu?"

"Seperti yang aku bilang. Dia memanggil namaku. Katanya dia punya kalung yang sama denganku. Itu artinya pemuda tadi kemungkinan besar adalah adikku yang berhasil bertahan hidup. Sewaktu kami kabur, kalung kami tertukar. Apa yang aku kenakan saat ini, adalah miliknya."

"Siapa nama adikmu itu?" tanya pria beranting hitam.

Anjana menatap kembali kalung bulan sabitnya. "Kaesang Akara Wijayakusuma."

Pria dengan anting hitam berbalik arah. "Jika orang itu benar-benar adikmu, apa yang akan kau lakukan?" Burung-burung gagak berkumpul di atap, mengerubungi mereka berdua.

"Menangkapnya seperti yang lain. Aku pastikan jika kami bertemu lagi, aku tidak akan melakukan kesalahan," ucap Anjana.

"Bagus, jangan ragu, Anjana." Pria dengan anting hitam pergi meninggalkan  Anjana. Ia kembali pada pria jabrik. Pria jabrik itu melemparkan beberapa lembar kertas yang baru saja selesai diprint.

"Tugas baru," tutur pria jabrik.

Pria anting hitam menatap beberapa profil target mereka. Anak muda yang diduga memiliki kemampuan 'indigo' atau supranatural. Terbesit senyum di wajahnya.

"Biar aku urus semua. Anjana perlu beristirahat," balas pria anting hitam.

"Ya, kerahkan pasukan. Satu Darah sedang mengumpulkan pasukan untuk berperang, kita tidak boleh tertinggal."

"Baik." Tiba-tiba gagak-gagak yang mengerubungi markas mereka terbang menyebar. Pria dengan anting hitam tersenyum tipis sambil berjalan pergi. "Perburuan dimulai."

.***

Hari berganti. Nada kini sedang duduk di kursi lorong depan kelasnya. Tiba-tiba ia menoleh ke arah kiri, sebuah ruang kelas yang pintunya baru saja terbuka. Dari ruang kelas itu keluar banyak orang. Sepertinya kelas di sana telah berakhir. Pada satu titik, ia menatap Rama yang juga keluar dari sana. Rama berhenti sejenak sambil menatapnya balik.

Sekujur tubuh Nada merinding. Ia membuang tatap. Bukan karena malu, tapi karena takut. Tak ada yang terjadi setelahnya, ketika Nada menoleh lagi, Rama sudah pergi.

Tak lama berselang dari kejadian kos-kosan Satu Darah, seluruh mahasiswa yang tertidur satu per satu mulai terbangun kembali. Mereka semua hampir kehilangan waras. Sepertinya Rama mengembalikan jiwa mereka, tetapi kondisi pikiran dan mental mereka rusak akibat trauma yang terlalu brutal menghantui.

Karena rasa takutnya, Nada pun tak berlama-lama di kampus. Ia segera pergi meskipun langit sudah menyuguhkan aroma hujan. Ketika sedang berjalan sembari bercengkrama dengan gerimis, Nada tiba-tiba mengingat Kerdil. Kucing lucu itu hampir kehabisan makanan karena pemiliknya yang kerap lupa. Nada memutuskan untuk  mampir ke Indokaret, tapi bukan Indokaret tempat Jashinta bekerja. Masih tempat yang dekat dengan Instiper.

Sesampainya di Indokaret, sayangnya hanya tinggal satu kaleng tersisa. Ketika Nada hendak mengambilnya, sebuah tangan juga ikut meraihnya. Nada sontak menoleh masih berusaha mempertahankan kaleng itu. Ia bersitatap dengan seorang gadis yang ia kenali.

"Kirana ...."

"Nada ...."

Orang itu adalah Kirana Bhayangkari. Entah, Nada tak takut pada gadis pemeriah malam Walpurgis itu. Wajar, gadis itu tak menunjukkan gelagat berbahaya. Justru wajahnya terlihat getir seolah menyiratkan penyesalan. Kirana tersenyum tipis, ia mengalah dan pergi meninggalkan Nada tanpa kata.

"Kirana, tunggu!"

Kirana mengentikan langkahnya dan menoleh.

"Kita bagi dua," ucap Nada tersenyum hangat padanya.

Melihat senyum Nada, tubuh Kirana tiba-tiba bergetar diiringi mata berkaca-kaca. Suara nada bagaikan instrumen kesedihan bagi Kirana. Tangisnya tumpah bagaikan gerimis hari ini.

"Maaf ... maaf ... maaf ...," Hanya itu yang Kirana gumamkan dalam lirih.

Nada menghampirinya dan mendekap tubuh Kirana dengan penuh kehangatan. "Enggak apa-apa, yang lalu biar berlalu, Kirana."

Mereka menjadi sorotan orang-orang di dalam Indokaret, tetapi Nada tak peduli. Bagaimana pun, Kirana adalah sahabatnya di Tantra dulu. Mungkin ia pernah kehilangan jalur, tapi Kirana masih punya pilihan untuk kembali. Tidak ada kata terlambat.

***

Kini Nada berada di kos-kosan minimalis. Lebih tepatnya bangunan bekas kos-kosan yang sudah ditinggalkan. Katanya tempat itu angker, makanya tak ada yang menghuninya, dan pemilik kosnya hilang entah ke mana.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Nada.

Kirana hanya mengangguk. Ia mengambil piring kecil dan mengisinya dengan makanan kucing milik Nada. Kucing-kucing liar berdatangan dan memakan makanan itu dengan lahap.

"Banyak hal terjadi, Nad," ucap Kirana sambil menatap kucing-kucing liar itu.

"Aku bisa bicarain sama temen-temen buat bawa kamu ke Mantra. Kamar di bagunan cewek masih kosong satu."

"Enggak usah,  Nad. Aku harap, kamu juga enggak ngasih tau siapa-siapa tentang pertemuan ini," balas Kirana.

"Loh, kenapa?" tanya Nada heran.

"Di antara orang-orang itu, pasti ada yang benci sama aku. Enggak usah persulit diri kamu, i'm fine."

"Tempat ini serem banget Kirana. Kamu enggak takut?"

"Enggak kok, tempat ini nyaman buat aku."

Nada menunjuk ke arah jendela. "Tuh ada burung gagak."

Raut wajah Kirana berubah menatap gagak di jendela. Ia terlihat ketakutan. Sontak ia berdiri dan mengarahkan tangannya ke arah jendela.

"Kirana? Kamu ngapain?" tanya Nada yang bingung dengan gelagat Kirana.

"Nad, pergi dari sini," gumam Kirana.

"Kenapa?"

"Pergi lewat pintu belakang, SEKARANG!" teriak Kirana.

Nada mendadak panik. Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu belakang. Suara kaca yang pecah membuatnya menoleh kembali. Kirana memecahkan kaca jendela dengan kemampuan telekinesisnya dan menusuk gagak itu dengan pecahan kaca.

"Kirana?! Kamu ngapain?! Ini kenapa sih?"

"Nad, lari!" teriak Kirana.

BRAAAAK!!!

Nada dan Kirana sontak menatap ke arah pintu depan yang ditendang hingga rusak. Seorang pria berjubah hitam dengan anting hitam berjalan pelan masuk ke ruangan Kirana.

Kirana menoleh ke arah Nada. Ia mengarahkan tangannya ke arah Nada dan melemparnya keluar dari ruangan. Nada sontak terpental keluar sambil menatap ke arah langit. Ia terbelalak menatap gagak-gagak yang bernyanyi membentuk lingkaran di langit mengitari bangunan kosan.

Di tengah rasa bingungnya, Kirana tiba-tiba berlari keluar. Ia menarik Nada dan memacu kedua kaki lemah itu untuk berlari.

"Kirana, itu siapa?" tanya Nada yang kini berlari bergandengan tangan dengan Kirana.

"Sisa-sisa pasukan Kencana Selatan ditangkap. Merekalah orangnya. Kami tidak bisa melawan, mereka kuat." Kirana sesekali menatap ke belakang. Pria anting hitam itu masih santai berjalan. Ia mengarahkan tangannya ke arah Kirana dan Nada. Sontak gagak-gagak di langit melesat ke  arah mereka berdua.

"Nad, boleh aku minta tolong?"

"Apa?"

"Lari terus. Jangan menoleh apa pun yang terjadi." Kirana berhenti melangkah dan memutar tubuhnya. Ia mengerahkan kekuatannya dan memecah gagak-gagak itu menjadi gumpalan darah.

"Kirana, ayo lari sama-sama!" ucap Nada yang ikut berhenti.

Kirana menoleh, ia memasang wajah marah. "Nad, lari. Jangan nyusahin aku! Pergi sana, berengsek! Nyusahin orang terus bisanya!"

Nada berkaca-kaca menatap lagi ke arah depan, ia berlari meninggalkan Kirana. Selepas kepergian Nada, Kirana tersenyum dan berbalik arah lagi. Ia menarik sebuah bambu dari tanah dengan telekinesis ke dalam genggamannya. Ia patahkan ujungnya hingga berbentuk runcing sambil matanya menyorot tajam ke arah pria gagak di depannya. Pria itu masih berjalan santai ke arah Kirana.

Kirana mengarahkan tangannya ke arah orang itu. Bambu runcing melayang di depannya. Dalam waktu singkat, ia lesatkan bambu runcing itu ke arah lawannya, lalu memutar tubuh, berlari menyusul Nada.

Seekor gagak melesat mematuk kakinya hingga berdarah. Kirana masih terus berlari sambil menahan perih. Gagak-gagak lain melesat mematuk kakinya hingga ia terjatuh karena rasa sakitnya. Gadis itu menoleh kembali. Pria penguasa gagak itu semakin dekat. Ia membawa bambu runcing yang Kirana sempat lesatkan.

Setidaknya, Nada berhasil lolos. Begitu pikir Kirana.

"Kau berpikir aku akan membiarkan temanmu lolos? Justru aku bisa menemukanmu karena mengikutinya. Gadis itu juga incaran Dogma," ucap pria itu tersenyum. Ia menatap ke arah belakang Kirana. Membuat Kirana sontak menoleh. Ia terbelalak. Nada juga tertangkap. Ada tiga orang lain yang membawanya.

"Nada!" teriak Kirana. Namun, Nada hanya terdiam. Ia tak sadarkan diri.

Pria beranting hitam berjongkok di depan Kirana. "Aku tidak sendirian. Ini perburuan besar-besaran"

Kirana hendak menggunakan telekinesis, tetapi salah satu bawahan si anting hitam membuatnya tak sadarkan diri seperti Nada. Ia memiliki obat bius yang ia lesatkan dari pistol kecil miliknya.

"Langsung dibawa ke markas utama?" tanya salah satu bawahannya.

"Nanti aja. Kita kumpulin dulu anak-anak ini di markas sementara," ucap pria beranting hitam sambil menatap profil Kirana dan Nada di ponselnya.

***

Fakultas Ilmu dan Budaya tak seramai biasanya. Cakra berjalan dan menemui Deva yang duduk di kursi sambil mengemut lolipop. Deva menatap kedatangan Cakra dengan sorot mata yang tajam. Seketika itu ia bangkit dan berjalan di sebelah Cakra.

"Lu juga?" tanya Deva.

"Ya, dari semalem ada orang-orang yang ngawasin Mantra. Dari pagi gua udah diikutin."

"Jalan biasa aja, jangan ada gegalat mencurigakan. Kita pura-pura enggak sadar kalo lagi diikutin," ucap Deva, dibalas anggukan kepala Cakra.

Tak jauh di depan mereka, berdiri Kevin yang terlihat sudah menunggu. Deva dan Cakra mendekat pada Kevin.

Kevin menatap tajam kedua rekannya. "Kita diburu."

"Ya, kita harus berkumpul. Aku khawatir sama yang lain. Terutama Nada, dia pasti sendirian," ucap Cakra.

"Ya, kalo Melodi mungkin aja sama Jaya. Mereka satu kampus," timpal Deva. "Ayo, kita bergerak ke Mantra."

***

Sementara itu Melodi berjalan agak cepat, ia merasa diawasi seseorang. Di tengah resahnya, Melodi menabrak seseorang di depannya.

"Melo, aku cariin dari tadi," ucap Jaya.

"Kamu ngapain sih ngalingin jalan? Sakit tahu nabrak!" balas Melodi ketus. Padalah ia yang berjalan tergesa-gesa hingga tak melihat ke arah depan.

"Sepulang dari Mantra semalem, ada yang ngikutin aku. Buat mastiin aja, kamu merasa diikutin juga enggak?" tanya Jaya, dibalas anggukan kepala Melodi.

"Ya udah, sekarang kita ke tempat Iris, aku khawatir. Abis jemput Iris, kita kumpul di Mantra. Perasaanku enggak enak. Jangan jauh dari aku, Mel."

Melodi mengangguk. Ia dan Jaya segera menuju tempat Iris.

***

Di sisi lain, Harits memasuki sebuah gang kecil di belakang kampusnya. Ia menemui seorang pria berpayung hitam.

"Kali ini datang tak sendirian?" tanya Radika.

Harits menoleh ke belakang. Tiga orang pria berdiri mematung menatap tajam ke arah Harits. Harits menyeringai menatap mereka semua.

"Ya, gitu deh. Mantra diburu," jawab Harits.

Radika berjalan hingga sejajar dengan Harits. "Siapa mereka?" Radika menutup payungnya.

"Entah, kita cari tahu itu sekarang." Sebuah buku hitam muncul di dalam pelukan Harits. Mata kirinya berwarna hitam dengan bola mata biru.

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top