127 : The Shadow
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Deva mengayuh sepeda menuju Mantra, ia memiliki jalur khusus untuk pulang. Memang, jalan ini lebih jauh dan agak memutar, tetapi jalan ini sepi dari kendaraan dan asik untuk jalur bersepeda.
Samar-samar segelintir ingatan tentang kehangatan Dirga terpampang dalam memori, ketika di earphone yang terpasang pada sebelah telinganya terputar lagu Yesterday dari The Beatles. Terbesit senyum di tengah raut khawatirnya. Ayahnya sangat suka dengan band asal Inggris itu dan kerap menyanyikannya sewaktu Deva kecil.
https://youtu.be/NrgmdOz227I
Ada sebuah tiang listrik tak jauh di depan Dirga, letaknya di sebelah kanan. Tiang itu membentuk sebuah bayangan yang melintang ke arah sungai di sisi kiri jalur. Deva melewati bayangan itu dengan santai sambil menyanyikan sepotong lirik lagu yang ia dengarkan.
Keseimbangannya tiba-tiba oleng. "Eeeeeee." Ia nyaris tergelincir ke sungai. Sorot matanya menatap ban belakang sepedanya yang baru saja pecah. Deva turun dan meminggirkan sepeda. Ia menatap sebuah robekan tak wajar pada bagian ban dalam dan luar. Seperti—roda sepedanya tersayat oleh sesuatu.
"Perlu bantuan?"
Deva menoleh, ditatapnya seorang wanita dengan wajah yang ramah. Deva memberi senyum. "Terimakasih tawarannya, enggak perlu repot-repot. Bisa diakalin sendiri kok." Ia kembali berfokus pada roda sepeda.
'Tunggu ... cewek itu dateng dari mana?' Deva sontak terdiam beberapa detik.
Jalan itu hanyalah jalan sempit yang berada di pinggir sungai, kira-kira hanya muat dua motor. Deva merasa tak melewati siapa pun tadi selama perjalanan, dan beberapa meter di depannya juga tak terlihat seorang pun. Ia merasa benar-benar sendirian di sepanjang jalan sepi itu. Lalu, dari mana wanita ini muncul? Tak ada persimpangan atau apa pun yang bisa dijadikan jalur pejalan kaki selain jalan lurus di pinggir sungai. Pada bagian kanan, ada tembok yang cukup tinggi sepanjang jalan, tak mungkin jika wanita itu melompat dari atas, kan?
Deva sudah memegang Tumenggung, perasaannya sungguh tak bagus. Pertama ban yang tiba-tiba pecah tak wajar seperti tersayat sesuatu, kedua wanita yang muncul secara misterius tanpa disadari hawa keberadaannya.
Ketika hendak mengenakan Tumenggung, wanita itu memegang lengan Deva, menahannya agar tidak terpasang di wajah pemuda itu. Senyumnya perlahan pudar menjelma wajah tanpa ekspresi. "Tidak. Kamu pasti perlu bantuan saya." Ia memukul tengkuk Deva. Sontak Deva terkapar di jalan. Wanita itu menatap topeng Tumenggung yang berhasil ia rebut, lalu ia buang ke sungai.
Anjana, wanita itu hendak membawa pemuda di depannya, tetapi tiba-tiba Deva menepis tangan wanita itu, lalu berguling ke arah dinding dan menjaga jarak. Ia hanya berpura-pura pingsan agar lawannya sedikit lengah. Kini posisinya sudah siap siaga.
Ini dilema, entah siapa wanita di depannya, tapi Deva enggan menyakiti seorang wanita. Namun, di satu sisi Deva yakin bahwa wanita ini berbahaya.
"Ayolah, kita bisa obrolin baik-baik," ucap Deva. Dari bayangan tiang listrik tadi, sebuah pedang katana bersarung hitam muncul. Deva menggeleng melihat itu. "Apa lagi ini?" Anjana berjalan ke arahnya. Langkahnya semakin cepat.
Sorot mata wanita itu seakan kosong dan pekat dengan aura kelam. Deva agak familiar dengan sensasi ini. Terlebih, wajahnya agak mirip dengan seseorang. Entah siapa, bukan waktunya memikirkan itu.
Percikan api keluar ketika sarung pedang yang ia ajak berlari bergesekan dengan aspal jalan. Deva memasang kuda-kuda bertahan. Anjana mengayunkan pedangnya yang masih terbungkus sarung. Namun, menahan benda itu membuat Deva kesakitan. Rasanya seperti tangannya remuk.
Deva terpental beberapa meter akibat menahan serangan itu. Ketimbang Dewi atau Iris, wanita yang satu ini lebih berbahaya. Deva melakukan tari malangan untuk memanggil kembali Tumenggung. Melihat itu Anjana langsung melesat lagi ke arah Deva, tak memberikan sedikit pun celah padanya untuk memanggil topeng pusakanya.
Deva mundur untuk tetap menjaga jarak. Bayangannya melebar ketika terkena mentari senja. Anjana menginjak bayangan kepala Deva, tiba-tiba sosoknya menghilang dari pandangan Deva.
"Hah? Ke mana dia?" gumam Deva lirih.
Sebuah gagang pedang tiba-tiba menghantam perutnya, membuat Deva tersentak sambil memuntahkan air dari mulut. Tubuhnya agak terangkat karena daya hantam yang keras dari Anjana.
Anjana tiba-tiba saja muncul dari bayangan badan Deva dan langsung melancarkan serangan kejut. Wanita itu berjalan ke arah Deva. Deva bangkit dan mengepal tangannya. Tak ada jalan lain selain bertarung.
'Wanita ini mampu bersembunyi dalam bayangan seperti Harits dengan Lajalukanya, kekuatan fisiknya mungkin hampir setara dengan Jaya, kecepatannya lebih cepat daripada gua, dia juga berpikir lebih matang dari Cakra.'
Aura di sekitar Deva berubah. Sorot matanya tajam menatap Anjana. "Apa tujuanmu?" tanya Deva penuh tekanan pada tiap katanya.
Anjana menunjuk Deva dengan pedangnya. "Membawamu hidup-hidup."
Deva menyeringai. "Sayang sekali." Angin di sekitarnya mendadak riuh. "Ajna." Mata ketiganya bangkit. Tanpa basa-basi, Deva berlari ke arah Anjana.
Anjana melebarkan kaki sambil memasang kuda-kuda menyerang. Atma kelam yang menyelimutinya perlahan meluas seperti perluasan atma milik Reki. Ia menunggu Deva masuk ke dalam jangkauan serangnya.
Deva melompat ke samping, satu dua langkah dan mencengkeram dinding berbatu di sampingnya. Ia tahan langkahnya sejenak sambil berpijak di dinding batu. "Braja ...." arus listrik berkumpul di kakinya. "Langkah petir!" Ia melesat ke arah Anjana dengan kecepatan penuh dari sisi kanan.
Anjana mengayunkan pedangnya ketika ujung rambut Deva memasuki ruang atmanya. Namun, matanya terbelalak ketika Deva menghindari pedang hitam itu dan berdiri tepat di depan Anjana sambil melebarkan kedua kakinya dengan tangan kanan yang diayunkan lurus dari belakang ke depan untuk memukul. Ia melesatkan tinjunya mengincar perut Anjana.
Darah segar membasahi jalan. Sarung pedang hitam terlempar tak jauh dari sepeda milik Deva. Tangan Deva berdarah ketika memukul sisi tajam pedang Anjana yang terbuka melindungi majikannya. Pedang itu sangat tajam dan haus darah. Aura membunuhnya sangat pekat, membuat Deva lebih dominan merinding ketimbang merasa sakit.
Anjana menarik pedang itu ke atas, membuat Deva meringis kesakitan karena besi itu menggesek dagingnya. Ia angkat pedang itu sambil menatap Deva dengan tatapan kosong. Sejenak mereka bertatapan. Anjana menarik pedang itu ke bawah dengan cepat. Ia bertujuan menebas Deva secara vertikal dan lupa pada tugasnya. Sementara Deva hanya memegangi tangannya yang terluka sambil memejamkan mata.
Sebuah motor melesat cepat dari belakang Anjana. Pengendaranya menarik Deva sehingga tebasan Anjana meleset. Suara motor itu khas, Deva kenal siapa pemilik knalpot rombeng tersebut.
"Phew ... nyaris saja," tutur Jaya.
"Jaya, lu ngapin di sini?"
"Saya selalu lewat sini kalo masuk kerja, karena motor saya berisik dan bikin malu. Daripada saya dikata-katain warga, saya memilih jalanan yang sepi," jawab Jaya. Kini ia menatap ke arah Anjana. "Siapa orang ini?"
Deva ikut menatap Anjana. Sekilas ia baru ingat. Wajah wanita itu agak mirip dengan Jaya. Sorot matanya yang hitam pekat juga persis seperti Jaya ketika ia hilang kendali.
"Entah, gua juga enggak tau. Tiba-tiba doi dateng dan nyerang gua. Tujuannya mau bawa gua hidup-hidup, tapi barusan gua mau dibunuh. Aneh," ucap Deva.
"Dia kuat?" tanya Jaya. Pemuda itu turun dari motornya.
"Ya, dia kuat. Hati-hati."
Anjana menatap Jaya. Ia berjalan ke arah pemuda itu sambil menyeret pedangnya di aspal. Pada satu titik, tiba-tiba ia berlari.
"Hati-hati, Jay! Dia bisa masuk ke bayangan!"
"Oke," balas Jaya. Ia pun berlari ke arah Anjana dengan topeng Bapang.
Anjana menebasnya, tetapi tangan merah Jaya menangkap pedang itu tanpa luka. Jaya melesatkan pukulan ke arah Anjana, tetapi tiba-tiba wanita itu menghilang, dan muncul dari bayangan lain yang ada di sekitar sana. Pedangnya masih dalam genggaman Jaya. Wanita itu menendang Jaya hingga tercebur ke sungai.
Deva mengamati pertarungan di hadapannya. Anjana lihai berpindah dari satu bayangan ke bayangan lain. Sore hari menjadi waktu yang paling kuat untuk wanita itu. Selain itu, pergerakannya cermat seperti seorang profesional.
Jaya langsung keluar dari air dan menerjang wanita itu. Kini Anjana sudah memegang pedangnya kembali. Adu serangan mereka begitu sengit dan brutal, tetapi tak mengabaikan pertahanan. Nampaknya Anjana paham cara melawan Martawangsa, ia mencengkeram Bapang dan mencabutnya dari wajah Jaya, lalu membuangnya ke sungai.
Deva menahan perih dan melakukan tari malangan kembali, ia harus membantu Jaya yang mulai terpojok. Melihat itu Anjana merubah targetnya. Ia melesat ke arah Deva. Melihat Anjana melesat ke arahnya, Deva panik. Wanita itu sangat cepat dan mengerikan. Deva berhasil memanggil Tumenggung, tetapi ia kehabisan waktu untuk mengenakan topeng itu, sebab Anjana sudah berada tepat di hadapannya dengan gestur hendak menebas. Dengan cepat ia tebas leher Deva.
Darah menggenangi tanah. Jaya berdiri di depan Deva menangkap pedang itu lagi, tetapi kali ini tanpa Bapang. Matanya kehilangan cahaya, menatap kosong ke arah Anjana dengan pandangan pekat. "Pergi."
Anjana agak merinding dan terbelalak menatap ekspresi Jaya, terlebih sorot matanya. Wanita itu mundur menjaga jarak.
Pada satu titik Anjana mengumpulkan atma hitam pada katananya. "Badama." Ia ingin menghabisi kedua pria itu sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Firasatnya sungguh tak bagus.
"Sebelum kalian mati, ada satu hal yang ingin aku tanyakan." Anjana menatap ke arah Jaya. "Siapa namamu?"
Jaya dan Deva meneguk ludah. Bertanya nama seolah menentukan jawaban hidup dan mati seseorang.
"Emil Jayasentika," jawab Jaya.
"Oh, begitu." Melihat gelagatnya, sepertinya bukan itu jawaban yang ingin didengar oleh wanita itu. Anjana tiba-tiba menghilang masuk ke dalam bayangan. Hal itu membuat Deva dan Jaya waspada. Deva mengenakan Tumenggung dan menarik baju Jaya, ia ingin kabur dari tempat itu.
Namun, begitu Deva hendak bergerak. Anjana muncul di hadapan mereka dengan posisi siap membunuh.
Keadaan seperti melambat untuk Jaya. Ia pikir dirinya akan mati, tetapi sebelum itu terjadi. Jaya menatap kalung yang dipakai oleh Anjana. Kalung itu terlihat familiar, sebuah kalung berbentuk bulan sabit dengan ukiran tulisan di pinggirnya. Jaya sontak memicing. Wanita itu menyabet Jaya dan Deva secara menyamping satu garis lurus ke arah leher, ia hendak memenggal kepala mereka dalam satu tebasan.
"Anjana," ucap Jaya.
Anjana mendadak menghentikan serangannya tepat di sebelah leher Jaya. Lapisan tipis badama membuat leher Jaya terluka, tetapi tidak sampai berdarah.
"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Anjana. Wanita itu menatap Jaya yang sedang memandang kalungnya. Tak ada nama Anjana di sana. Berbeda dengan yang ia miliki di Hutan Larangan, kalung yang satu ini bertuliskan Akara.
Tiba-tiba Jaya dan Deva menghilang dari pandangan Anjana. Deva dengan Tumenggung berhasil membawa Jaya pergi dari tempat itu. Mereka bersembunyi dari kejauhan mengintip ke arah wanita itu.
Anjana terdiam mematung di sana. Ia tak bergerak sedikit pun. Wanita itu gemetar sambil menggenggam kalung peninggalan orang tuanya yang tergantung di depan leher.
Sementara Jaya dan Deva duduk saling berebut oksigen. "Lu kenal si Anjana ini?" tanya Deva.
Jaya menggeleng. "Saya enggak tahu siapa dia, tapi saya punya kalung yang sama persis kayak yang dia pake. Ada ukiran bertuliskan Anjana di sana. Saya kira itu brand atau apa, jadi saya ucapin aja. Saya enggak nyangka kalo brand itu sebegitu berdampaknya sampe bisa bikin dia berhenti. Kapan-kapan saya jual, kayaknya berharga mahal dari ekspresi dia terakhir."
"Sekarang gimana?"
Jaya menggeleng. "Motor saya masih di sana, sepeda Mas Dev juga masih di sana."
"Nyawa kita masih di sini," celetuk Deva. "Harta benda bisa dicari, tapi nyawa kita cuma satu."
"Ya, mas Dev bener, tapi kita berbeda. Saya orang miskin. Harta saya adalah nyawa saya. Kehilangan motor, berarti kehilangan banyak hal," timpal Jaya.
Deva mengalah, ia mengurungkan niat untuk meninggalkan sepedanya. Mereka mengintip kembali. Sosok Anjana sudah menghilang dari tempat pertarungan tadi. Deva dan Jaya beristirahat beberapa menit untuk memberikan jeda jika memang wanita itu sudah pergi. Begitu matahari tenggelam utuh, melumat segala bayangan senja. Mereka kembali menuju kendaraan mereka masing-masing dan bergotong royong sampai ke Mantra.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top