125 : Kabar Duka Dari Keadilan yang Mati
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Malam ini Mantra agak sepi. Harits duduk di kursi depan menatap ke arah jalan yang ramai. Di atas mejanya, ada papan catur yang sudah dibuka. Tampaknya tengah terjadi sebuah pertandingan, tetapi masalahnya Harits duduk sendiri. Begitu pikir orang yang melihatnya dengan mata biasa.
Benteng hitam tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Harits tampak berpikir melihat pergerakan lawannya.
"Rupanya bocah ini sudah semakin pintar, heh," ucap Harits.
Hara tersenyum. "Tentu saja. Papan ini seperti medan tempur."
"Masalahnya, dalam permainan ini kau bukan petarung, tapi pemimpin yang mengatur strategi." Harits menutup pergerakan Hara dengan sebuah pion.
"Tak masalah. Aku pintar membaca situasi." Dari sisi lain perdana mentri Hara melesat maju. "Skak!"
Harits menatap datar ke arah papan catur. Ia memakan perdana mentri dengan Raja miliknya. "Seharusnya kau memback up pergerakan perdana mentrimu." Harits mengeluarkan bidak Hara dari arena permainan. "Rencana bunuh diri?"
Hara tampak kesal. "Bodoh! Jika itu aku, akan ku habisi Raja bodoh itu dan pasukannya seorang diri!"
"Kan?" timpal Harits. "Dalam permainan ini tidak bisa digunakan logika bertarungmu yang kuno itu. Semua sudah dirancang agar adil untuk kedua belah kubu."
"Gila?" ucap Melodi yang tiba-tiba datang dan duduk tepat di kursi Hara duduk. Gadis itu menatap papan catur Harits. "Main sendirian? Sini lawan gua."
Hara menyeringai menatap Harits yang sedang menggaruk kepala. "Ini dia. Si Ratu iblis," tutur Hara.
Melodi merupakan momok yang mengerikan dalam berbagai bidang permainan yang berbau pertandingan. Wajar, darah Tama mengalir dalam dirinya. DNA pemenang.
"Males maen sama lu, curang," ucap Harits.
"Hah? Curang apa?" tanya Melodi yang tak terima.
"Pasti kalo gua menang, lu pake retrokognision buat balik ke masa lalu dan ngulang-ngulang permainan ini sampe lu menang kan? Gua enggak akan sadar."
Gadis itu mengerutkan kening dan memasang senyum asimetris. "Apa itu pikiran lu selama ini kalo kalah? Dasar otak udang."
"Jujur aja udah. Melodi si curang. Pantes apa-apa selalu menang. Jangan-jangan semua prestasi lu selama ini ...."
Melodi mulai tak senang dengan arah pembicaraan ini. "Setelah kejadian Walpurgis, gua enggak bisa gunain kemampuan itu lagi."
Harits memasang wajah konyolnya dan terus meledek Melodi. "Bo-bohong."
Melodi memukul meja. "Kalo gua bisa gunain kemampuan gua ... IPPO ENGGAK AKAN MATI!" Melodi berkaca-kaca. "Gua enggak akan biarin Ippo pergi malam itu ...."
"Mel ... gua bercanda ...." Harits sontak merasa bersalah. Bukan maksudnya melukai hati gadis itu.
Melodi meninggalkan Harits seorang diri di luar. Harits hendak mengejar, tetapi suara tepuk tangan membuatnya menoleh dan berhenti. Ditatapnya seorang pria dengan perban di kepalanya dan seorang pria lagi yang mengenakan penutup mata pada mata kirinya.
"Spesialisasi peremuk hati wanita," ucap Jaya sambil terkekeh. "Tidak lain dan tidak bukan ... Harits al-mukarrom."
"Sial, si bocah india dan bajak laut." Harits menatap Jaya dan Agha dengan seringai. "Tenang aja, barusan gua balesin patah hati lu berdua nyahaha para pecundang cinta."
Ya, Jaya pernah menyukai Melodi. Bagaimana dengan Agha? Diam-diam pria itu masih memendam rasa.
Singkat cerita. Jaya yang baru tiba langsung masuk dan memesan kopi. Malam ini ia hadir sebagai planggan. Jaya dan Agha berada di sana hingga para pengunjung pergi menyisakan para bartender Mantra.
"Jadi, ada berita apa?" tanya Deva.
Semua berkumpul di bawah termasuk Melodi yang sedari tadi memasang wajah bad mood.
"Dharma dibubarkan," jawab Jaya. Semua terkejut mendengar kabar itu.
"Selain itu, keluarga Martawangsa diungsikan. Mengingat orang-orang itu bersumbu pendek. Takut-takut ketika mereka bergerak, keluarga di rumahnya yang jadi incaran," lanjut Jaya.
"Dinda ... Ibu." Deva sontak memikirkan orang keluarganya.
"Untuk saat ini mereka aman di Hutan Larangan. Ada Petrus dan Isabel di sana yang paham medan. Jika ada orang asing yang masuk, mereka berdua akan berburu. Ya, selama orang yang menyusup bukan Nagara. Semua akan baik-baik saja."
"Chandra gimana?" tanya Nada.
"Chandra sudah berangkat ke Amerika bersama dengan Dewi Martawangsa."
"Rava?" Gadis rambut pendek itu khawatir dengan rekan-rekan Tantra. Terutama Chandra. Pemuda itu baru saja kehilangan ayahnya beberapa waktu lalu.
"Rava juga ada di Hutan Larangan bersama keluarganya," jawab Jaya.
"Sebenarnya apa yang Dharma hadapi?" tanya Harits.
Sorot mata Jaya berubah. "Orang-orang dengan kekuasaan."
"Apa yang mereka incar?" tanya Deva.
Jaya menggeleng. "Entah. Justru karena hal itu saya ada di sini."
"Gimana caranya lu mencari tahu apa yang mereka incar?" tanya Harits.
"Bukan saya, tapi pacar saya yang cantik yang akan mencari tahunya. Biarpun dia cantik dan manis, dia itu hidup di dunia yang berbeda. Dia paham seluk beluk dunia gelap."
***
Seorang pria duduk terikat dengan luka disekujur tubuhnya. Wajahnya penuh lebam yang masih segar. Ia menatap seorang wanita dengan kaus putih dan celana pendek yang sedang berdiri membelakanginya.
"Tolong lepaskan saya ...," gumam pria itu dengan suara lemah.
Wanita itu memutar tubuhnya, tampak ia sedang membersihkan tangannya yang berdarah. Bukan darahnya, tapi darah pria di hadapannya. Wanita itu mendekat ke arah si pria dan meletakan bunga wijaya kusuma merah di paha pria itu sambil menyematkan senyum. "Kesempatan terakhir atau bunga ini akan ada di pekarangan rumah anda, tuan pejabat."
"Jangan, keluarga saya tidak ada hubungannya dengan ini semua," balas pria itu. "Siapa orang yang membayarmu? Saya akan berikan sepuluh kali lipatnya."
"Masalahnya, saya melakukan ini bukan karena uang, Tuan. Anda dan teman-teman anda menyakiti pacar saya."
"Si-siapa pacar anda?"
Iris tersenyum. "Bercanda. Bukan karena pacar saya, tapi karena ini." Ia menunjukkan tato kecil bertuliskan 48 di tangannya.
Pria itu tampak terkejut. Melihat ekspresinya, Iris tahu bahwa orang ini memang mengetahui sesuatu. Sebilah belati menancap di paha pria itu menembus bunga wijaya kusuma merah hingga membuatnya berteriak.
"Apa yang pemerintah lakukan dengan percobaan numbers ini?" tanya Iris.
"Dogma ...," ucap pria itu lirih. Ia menahan perih yang baru saja ditancapkan oleh Iris. "Pemerintah memiliki pasukan militer rahasia bernama Dogma. Dogma berisi orang-orang dengan kemampuan supranatural. Kami memiliki fasilitas penelitian untuk menciptakan pasukan-pasukan itu. Kalian para numbers adalah karya bangsa. Pionir yang akan mengambil kontrol utama dunia."
"Menculik anak-anak dari orang tuanya, banyak di antara anak-anak itu yang mati karena percobaan gagal." Iris menyingkap sedikit bajunya menampilkan pinggangnya yang memiliki bekas luka. "Menanam pelacak di tubuh anak-anak itu seperti tikus percobaan yang tidak boleh kabur."
"Semua itu demi kepentingan bangsa ini! Sampai kapan mau diinjak-injak bangsa asing?"
"Suruh saja anakmu dan anak para petinggi negara ini yang maju sebagai percobaan. Apa kalian sudi?"
Pria itu terdiam tak memiliki jawaban. Bogem keras Iris menghantam rahangnya. "Jawab!"
"Dogma memiliki standarisasi tersendiri dalam mencari kandidat. Sekarang sudah tak ada lagi hambatan, mereka pasti sedang melakukan perburuan besar-besaran terhadap anak-anak yang diduga memiliki kemampuan, alias indigo. Apa pun yang kau lakukan, kini sudah terlambat."
Iris memutar belati di tangannya. Ia mengangkat tangannya di atas pria itu bermaksud melubangi kepalanya, tetapi ketika tangan itu hendak melesat. Jaya tiba-tiba muncul dan menahannya. Jaya tersenyum pada Iris. "Cukup. Kamu terlalu cantik untuk melakukan hal sekeji itu. Jangan membunuh lagi."
Gadis itu menurunkan pandangan dan melemaskan tangannya. "Oke."
Jaya menepuk pundak Iris. "Kamu bersih-bersih dulu gih. Biar saya yang urus sisanya."
Iris tersenyum pada Jaya. "Kamu mau apain dia? Dia udah lihat wajah-wajah kita, bisa bahaya kalau dilepas."
"Saya paham. Saya tidak akan membunuh dia. Saya hanya membawanya ke suatu tempat." Jaya menatap Agha. Agha mengangguk, ia melepaskan ikatan pada pria itu. "Kamu tenang aja, ya."
Iris mengangguk. "Terimakasih, Jaya."
"Sama-sama." Iris pergi keluar untuk membersihkan diri dari bercak darah.
Seperginya Iris, Agha membuka penutup mata kirinya. Menggunakan Suratma total, ia membawa pejabat itu ke Alam Suratma. Memang, Jaya dan Agha tak membunuhnya. Hanya saja membiarkannya mati di dalam sana.
Jaya melepaskan penutup keningnya, menampilkan lambang Peti Hitam. Matanya hitam pekat diiringi aura membunuh yang kental. "Mereka ingin berburu. Kita tunjukan siapa pemangsanya. Tidak ada lagi keadilan. Keadilan sudah mati. Kita urus dengan cara kita."
"Ya, aku setuju," balas Agha singkat. Mata kirinya berwarna hitam dengan iris merah dan mata kanannya putih dengan iris biru.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top