123 : Gugur Bunga

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Chandra baru saja selesai mengemas barang-barangnya untuk pergi ke Amerika. Selain study, ada sesuatu yang harus ia lakukan di sana.

Chandra Yudistira, pria itu tak banyak bicara. Ia berjalan keluar kamar dan hendak pergi ke ruang tengah. Langkahnya terhenti ketika mendapati ayahnya yang tergeletak di depan pintu. Kei sedang berbaring di lantai. Chandra menghela napas, lalu berjalan ke arahnya.

"Oi, bangun, Oi." Chandra menggoyangkan tubuh Kei.

Bukannya bangun, dengkurannya malah semakin menjadi-jadi. Chandra sudah biasa melihat Kei yang tiba-tiba tertidur. Pemuda itu menggendong ayahnya di pundak dan membawanya ke kamar.

"Chandra ...," ucap kei lirih.

"Ya?"

"Dulu ayah yang gendong kamu kalo kamu ketiduran di ruang tv. Inget? Sekarang kamu yang gendong ayah. Ayah baru sadar ternyata kamu udah sebesar ini." Kei terkekeh sambil memeluk Chandra dari belakang.

"Terus selama ini belum sadar?" tanya Chandra datar.

"Mau sebesar apa pun kamu. Di mata ayah kamu tetaplah seorang pria kecil."

"Aku udah dewasa," balas Chandra. "Yahhh ... mungkin kalo Surya baru bisa dikategoriin pria kecil, tapi aku enggak."

"Ya, kalian berdua udah dewasa. Terimakasih udah bawa Surya kembali, ya, Nak."

Langkah pemuda itu kini berada di depan kamar Kei. Ia membuka pintu dan berjalan ke tempat tidur. Chandra membaringkan Kei di kasur, lalu hendak pergi. Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti lagi lantaran Kei menarik tangannya.

"Nak, malam ini ayah mau tidur dipangkuan kamu ... boleh?"

Chandra kembali. Ia duduk di kasur Kei dan agak mengangkat Kei hingga kepala pria itu berada di pahanya. Kei terseyum tipis. "Terimakasih ...."

Pemuda itu memijat pelan kening Kei sambil membelai lembut rambutnya. "Sama-sama."

Keadaan hening seketika. Hingga Kei lagi-lagi bergumam. Wajah pria itu terlihat getir seperti orang yang sedang bermimpi buruk. "Chandra ... kamu marah sama ayah?"

Chandra mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti, tiba-tiba Kei berkata seperti itu. "Marah kenapa?"

Kei tersenyum, tapi dari sudut matanya ada air yang luruh ke kasur. "Gara-gara ayah ... kamu enggak pernah ngerasain gimana rasanya punya sosok ibu."

Chandra menutup mulut Kei. "Yah, apa pun itu. Aku bersyukur jadi anak ayah. Seandainya aku bisa memilih orang tua ketika lahir, aku adalah anak yang berdiri paling depan untuk jadi anak ayah meskipun tau resikonya. Semua ini takdir. Wanita yang melahirkan anak seorang Yudistira pasti adalah wanita yanga sangat kuat. Meskipun ibu tau ibu akan mati ketika melahirkan seorang keturunan, tapi dia tetep memilih buat melahirkan aku. Aku dan Surya bangga punya orang tua sehebat kalian. Kami enggak akan menyia-nyiakan hidup yang kalian berikan dan kekuatan yang kalian wariskan. Jadi jangan sedih." Chandra menghapus air mata Kei, lalu mencium keningnya. "Buang pikiran itu jauh-jauh, Yah."

"Terimakasih. Ayah juga bangga sama kamu dan Surya." Kei membuka mata. Ia mengusap pipi Chandra. "Nak ... malam ini sebaiknya kamu berangkat. Besok takutnya banyak kendala. Kalo kamu berangkat sekarang, kamu bisa istirahat di rumah temen ayah yang ada di deket bandara, atau sewa hotel. Kabarin Dewi, kalian berangkat malam ini. Nanti pak Warso antar. Kalo ayahnya Dewi bilang besok aja, bilangin lagi. Ini perintah ayah."

"Besok aja, Yah," balas Chandra.

"Sekarang aja, Nak. Dengerin ayah sekali ini aja. Perjalanan kamu masih panjang."

Chandra menghela napas. "Ya udah. Aku kabarin Dewi dulu."

"Sekarang," ucap Kei.

"Emang kenapa sih?"

Kei bangkit. "Namanya ayah. Enggak mau anaknya capek. Kalo kamu bermalam di deket bandara, kamu enggak perlu takut macet dan bisa lebih nyantai."

Kei memeluk Chandra. "Terus bikin orang lain bangga, ya. Selamat tinggal."

Chandra memasang wajah datar. "Ya elah, cuma ke Amerika aja kayak mau di tinggal ke mana sih."

Kei terkekeh. Ia mencium kening Chandra, lalu mengusap rambutnya. "Hati-hati, ya. Ayah mau tidur duluan."

Chandra mencium tangan ayahnya. "Ya udah, Chandra sama Surya pamit dulu. Jaga diri ayah baik-baik. Selamat tidur." Ia mematikan lampu, lalu menutup pintu kamar Kei. Selepas itu, Kei berbaring di kasurnya sambil memejamkan mata.

Berkisar dua puluh menit. Suara mobil terdengar. Kei bangun dan mengintip keluar. Chandra dengan kopernya masuk ke dalam mobil. Setelah itu mobil berangkat.

Raut wajah Kei berubah. Ia menyalakan lampu kembali dan mengeluarkan gulungan kanvas dari saku celananya. Kei menatap gambar itu dan mengambil spidol. Ia menyilang gambar kuburan.

"Dharma adalah harapan," gumam Kei. "Bajingan ini adalah Sutresna ...." Ucapan Kei berhenti ketika menatap gagak-gagak yang mengitari gambar pria dengan kepala di tangan kirinya. "Tidak ... Sutresna hanya salah satu dari apa pun itu. Mereka berkelompok."

Kei menatap gambar kepala yang tak memiliki badan. Kepala yang ia yakini sebagai kepalanya. Matanya bolong dengan darah yang mengalir. Tiba-tiba Kei mengingat sesuatu. Sebuah insiden lama. Perlahan ia tertawa. "Sial ...." Kei mengambil kertas kosong dan mulai menulis di atas lembaran kertas itu.

"Ronggo!"

Seorang pria berpakaian kuno muncul di belakang Kei. Ia adalah roh yang selama ini melindungi Kei. Warisan dari keluarga Sagara.

"Ronggo, kau ingat wanita itu?" tanya Kei.

Ronggo mengerutkan keingnya. "Wanita itu?"

Kei melepaskan seragamnya hingga ia bertelanjang dada. Ada sebuah luka di punggungnya. Sebuah luka tusukan yang membusuk seperti terkena kutukan. Ia menunjuk luka itu dengan jempolnya. "Wanita yang memberikan hadiah ini. Entah sudah berapa belas tahun."

"Ah--wanita itu ... ya, aku ingat."

"Bagus." Kei berjalan ke sebuah lemari. Ia mengobrak abrik lemari itu hingga menemukan sebuah tabung berisi darah. Kei membuka tabung itu dan menuangkan darah di bagian kertas yang masih kosong. "Berikan surat ini padanya."

"Ada perlu apa dengan wanita itu? Dia terlalu berbahaya. Dari semua musuh yang pernah kita hadapi, dia yang terburuk. Bahkan lebih buruk dari Nagara."

"Jangan banyak bicara, Ronggo. Waktu kita tidak banyak." Kei menatap Ronggo. Roh itu cukup bingung dengan tindakan Kei malam ini. "Ini adalah tugas terakhirmu. Setelah ini, kau bebas. Aku tidak menurunkanmu pada anak-anakku, karena aku ingin kau bebas."

"Saya tidak membutuhkan kebebasan, Tuan. Saya senang bisa melayani seorang Yudistira," ucap Ronggo.

"Sayangnya aku bukan lagi Yudistira. Kau pasti sudah tahu, kan? Malam ini adalah malam apa? Apa ada malaikat maut di sini?"

Ronggo sekilas melirik ke arah jendela. Ia tersenyum pada Kei. "Tidak ada." Dengan air mata yang perlahan luruh.

Kei terkekeh. Pria itu mengusap kepala Ronggo. "Beritahu aku jika tugas terakhirmu sudah selesai. Aku akan menghancurkan wadahmu." Kei mengusap matanya sambil tersenyum. Tangannya agak gemetar. "AAARGGHHH!" Ia mencabut kedua matanya dan memberikannya pada Ronggo. "Bawa benda ini juga, Ronggo."

"Tuan ...."

Kei tiba-tiba merinding. Ia merasakan hawa membunuh dari luar rumah.

"Tuan, mereka di sini."

"Ya, aku tau. Bergegaslah, Ronggo. Ingat tugasmu."

Dalam ruangan kamar, Kei hanya seorang diri. Ronggo sudah pergi. Ia mengepal tangannya menahan rasa sakit akibat perbuatannya sendiri.

Kei masih menyimpan robekan selimut birunya yang sudah ia berikan pada Chandra. Ia menutup matanya dengan benda itu. Sambil gemetar Kei berusaha bangkit.

"Miris sekali akhir hidupmu kekeke."

Kei menatap ke arah jendela yang merupakan asal sumber suara itu. Ia sudah tak bisa melihat, tapi Kei tahu siapa pemilik suara itu. "Ah, Uchul. Apa aku sudah masuk neraka?"

Uchul terkekeh. "Sayangnya belum kekeke. Aku adalah maut yang bertugas mencabut nyawamu."

"Nah, itu baru miris," balas Kei.

"Kekeke dasar sampah." Uchul menatap keluar jendela. "Bagaimana caramu menghadapi mereka semua." Ia melihat banyak sekali orang yang sudah memasuki halaman rumah Kei. Malam ini Kei hanya sendirian di rumah.

"Sebagai seorang mantan Yudisitra, aku sudah banyak mempelajari dunia dan berbagai teknik atma, khususnya milik sepuluh keluarga agung. Dari semua teknik yang aku pelajari, ada satu teknik yang tidak boleh sembarang digunakan jika nyawa bukan taruhannya. Belakangan ini, seorang bocah, teman sebaya Chandra menggunakan teknik tersebut. Ini merupakan teknik pisau bermata dua. Tidak banyak yang bisa dilakukan tubuh ini, tapi aku harap aku masih bisa menggunakan yang satu ini. Sudah lama aku menantikannya" Kei menutup matanya. Ia menempelkan kedua telapak tangan. Atma di sekitarnya seakan terhisap masuk dan membentuk tangan-tangan tak kasat mata. "Dasa Hasta Antargata."

"Uchul, bantu aku berjalan. Tunjukan arah musuh-musuhku. Apa kau puas hanya dengan membawa satu nyawa pak tua ini saja?"

"Kekeke menarik. Kau mencoba membuat kesepakatan denganku?"

"Ya, akan ku buat kau sibuk mencabut nyawa," balas Kei. "Sepakat?"

"Baiklah. Hanya ini yang bisa aku lakukan."

Kei tersenyum. "Itu sudah lebih dari cukup, kawan."

Di sisi lain, orang-orang yang mengepung rumah Kei sontak menghentikan langkahnya ketika melihat mantan Yudisitra itu keluar dengan aura yang mengerikan.

"Kabarnya ia hanyalah seorang pria sekarat, tapi meskipun sekarat monster tetaplah monster," gumam salah seorang di antara mereka.

"Minggir!" Dari arah belakang, seorang pria berjaket tentara yang berlumuran darah menerobos ke depan. Semua orang memberikannya jalan. Kini ia berdiri menjadi ujung tombak. Pria itu menatap Kei. "Kei Yudistira. Waktunya menerima kematianmu!" teriaknya geram.

Jika masih punya mata, Kei pasti sudah terbelalak. Ia mendengar teriakan Sutresna. "Bagaimana caranya kau masih hidup, Jendral?"

Jendral Sutresna memijat tengkuk sambil menggerakkan kepalanya membuat suara-suara tulang yang berbunyi. "Tiga orangku belum cukup untuk membunuhmu rupanya. Ya, mereka hanyalah eksperimen gagal, tapi kali ini akan sedikit berbeda."

"Bagaimana caranya kau masih hidup?!" teriak Kei.

Beberapa waktu lalu Kei dikepung. Terjadi pertarungan empat melawan satu. Kei menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk menghabisi mereka berempat. Ia yakin, bahwa Sutresna sudah mati.

"Jika aku manusia biasa, mungkin aku sudah mati," ucap Jendral Sutresna.

"Apa kau seorang Magots?" tanya Kei.

"Tentu saja bukan. Aku manusia hidup yang bisa mati sepertimu. Hanya saja, kematianku bukanlah malam ini, mantan Yudistira." Sutresna membuka sarung tangan kirinya dan merobek bagian kiri jaketnya. Tangannya berwarna hitam dan memiliki bulu yang lebat seperti binatang. Semua anak buahnya bergidik ngeri melihat tangan pria itu. Untungnya Kei, tidak bisa melihat. Mungkin ia juga akan terkejut. Tangan kiri Sutresna bukanlah tangan manusia.

"Sayangnya aku sudah tidak bisa melihat, tapi dari pancaran auramu. Aku akui cukup membuatku sedikit merinding. Mari kita mulai permainan saling bunuh ini. Ini permainan terkahir! Jangan mengecewakanku." Kei menyeringai. Ia melesat ke arah musuh-musuh di depannya.

***

Di sisi lain, seorang wanita terbangun dari tidurnya. Ia menatap ke arah pintu dengan tatapan tajam. Wanita itu tidak sendirian di dalam kamar, ia ditemani seorang pria tampan yang duduk berjaga tak jauh dari posisinya. Pria itu berjalan ke arah pintu dengan tatapan tak senang.

Pintu terbuka dengan sendirinya. Seekor singa masuk dengan wajah garang. Perlahan kuku-kuku pria itu menajam, ia berjalan ke arah singa yang baru saja masuk.

"Tahan, dia memang terlihat garang karena membenciku, tapi dia tidak punya niat membunuh," ucap wanita di dalam kamar.

Pria itu menatap sebuah kotak di mulut singa tersebut. Ia mengambil kotak itu dan memberikannya pada si wanita.

Wanita tersebut membuka kotak di tangannya. Ia menatap datar ke arah sepucuk surat dan dua bola mata yang berlumuran darah. Ia ambil surat itu dan membacanya. Senyum tipis terukir di wajahnya. "Aku sudah tidak tertarik dengan mata ini. Mata ini telah kehilangan kekuatannya. Kembalikan saja pada tuanmu," tutur wanita itu.

Singa itu terlihat bersedih. Ia tak bergerak dari posisinya. Malahan ia menunduk seolah memohon.

"Jangan memasang ekspresi begitu," ucap wanita itu. "Hmm ... tapi karena dia rela mencungkil kedua bola matanya, aku akan memberikannya penghormatan terakhir." Wanita itu menatap pria yang bersamanya. "Siapa anggota kita yang ada di Bandung?"

"Aruna, Death, dan Gerhana, Nona. Mereka sudah menemukan anggota baru dan bergegas pulang ke sini."

"Tahan, perubahan rencana," balas wanita itu. "Sampaikan pada mereka. Aku punya tugas baru."

"Baik, Nona." Pria itu duduk bertapa. Ia memejamkan matanya dan terlihat merapalkan sebuah Mantra.

***

Seorang pria buta sedang melukis. Di tengah aktivitasnya, tiba-tiba terdengar dengungan samar di telinganya. Ia berdiri dan menghentikan aktivitasnya.

"Kalian dengar aku? Ada perubahan rencana. Nona Adistri memberikan perintah baru."

Di sisi lain, seorang pria dengan setelan serba hitam, tetapi ada bulu putih di pinggiran tudung hoodienya sedang duduk di atas jenazah. Ia sedang memasang sarung tangan berwarna putih yang agak kemerahan terkena noda darah.

"Gemma Martawangsa, Dirga Martawangsa, Tirta Martawangsa. Tiga keluarga utama Martawangsa itu ... mereka target baru kalian."

Lalu dua orang pria sedang berjalan. Satu orang mengenakan kacamata hitam dengan rambut kemerahan. Ia sedang menikmati rokoknya yang sudah pendek. Seorang lagi mengenakan pakaian dalang dengan belangkon batik dan kain jarik. Ia tersenyum lebar sambil mengikuti si rambut merah.

Si rambut merah berhenti melangkah, sontak hal itu membuat pria dengan kearifan lokal di belakangnya ikut berhenti. Ia menoleh ke belakang, menatap pria kuno itu. "Ada perintah dari atas. Ini tugas pertamamu, anggap saja ujian kelayakan. Jika memang layak, kau lolos."

Pria itu masih tersenyum lebar. Ia mengangguk tanpa kata.

"Lindungi ketiga nama itu sebagai penghormatan terakhir untuk mantan Yudistira. Pastikan mereka masih bernapas hingga besok pagi."

Orang-orang yang mendapatkan pesan telepati jarak jauh itu segera berpencar. Mereka menuju pada tiga nama yang telah disebutkan namanya.

Di sisi lain, pria yang memberikan telepati kini membuka matanya. Singa di depannya sudah menghilang. Ia menoleh menatap wanita bernama Adistri.

"Kerja bagus. Sekarang kita serahkan sisanya pada mereka," ucap Adistri.

***

Kei memuntahkan darah dari mulutnya. Halaman rumahnya kini menjadi ladang jenazah. Belasan mayat tergeletak begitu saja.

"Tuan, pesan sudah tersampaikan. Wanita itu bersedia memenuhi permintaanmu," ucap Ronggo yang baru saja kembali.

"Terimakasih, Ronggo." Kei melepaskan cincin yang ia kenakan, lalu menghancurkannya dengan memadatkan atma di sekitarnya. "Sekarang kau bebas."

"Karena aku sudah bebas, kau tidak pantas memberikanku perintah lagi. Keinginanku adalah bertarung di sisimu sampai akhir," ucap Ronggo. Ia merubah dirinya menjadi manusia singa.

Kei tersenyum. "Aku hargai itu, terimakasih, Ronggo." Kei tiba-tiba saja duduk bersila. "Bisa tahan mereka sebentar, Ronggo?"

"Tentu." Ronggo melesat menerjang lawan di hadapannya. Ia mengaum dan membuat manusia yang berdiri di hadapannya mendadak ciut.

Sutresna berjalan ke arah Ronggo. "Kalian berpencar. Cari anak Yudistira di dalam rumah dan bunuh pria yang sedang bermeditasi itu."

Kei memasang pelindung seperti teknik bertahan milik Baskara. Ia seperti Gardamewa bersaudara itu dalam versi satu orang. Kei bukannya beristirahat. Ia sedang menggunakan rogo sukmo seperti Ajay.

***

Malam kian larut. Dirga bermimpi dalam tidurnya. Kala itu Mantra kecil sedang berkumpul di istana mereka, sebuah bus kuning tua terbengkalai. Ia sedang duduk menatap langit, sementara yang lainnya sedang asik bermain. Tiba-tiba Kei duduk di sampingnya.

"Mulai sekarang kau jadi ketuanya. Aku berhenti," ucap Kei.

Dirga kecil menatap Kei yang sedang duduk dan menutup diri dengan selimut biru favoritnya.

"Kenapa berhenti?" tanya Dirga yang kala itu heran.

"Aku akan pergi jauh ...." Keadaan mendadak hening. "Aku titip mereka semua. Mulai sekarang, rintangan akan semakin berat. Maaf membebankan semua ini padamu," lanjut Kei.

"Tak apa pergi jauh, tapi pastikan kau kembali," balas Dirga.

"Sayangnya tempatku pergi ini sangat jauh. Kelak ... kita akan bertemu kembali, tapi bukan aku yang pulang. Kau yang akan menyusul suatu saat nanti."

Dirga merebahkan dirinya menatap padang bintang. "Merepotkan."

"Jangan membenci negeri ini meskipun negeri ini membencimu. Jangan percaya siapa pun selain dirimu sendiri. Terkadang, yang kita anggap musuh bukanlah musuh, dan terkadang, yang kita anggap sekutu adalah lawan."

Dirga menoleh ke sampingnya. Kei sudah tak berada di posisinya.

***

Kei terbelalak. Ia memegangi tangan hitam yang menebus perutnya. Mantan Yudisitra itu memuntahkan darah dari mulutnya.

"Ronggo ...."

"Singamu sudah mati. Sekarang giliranmu yang menyusulnya. Jangan khawatir, kami akan rawat anakmu dengan baik," ucap Sutresna.

Kei terkekeh. "Sayangnya malam ini hanya ada aku seorang di rumah ini."

"Jendral! Kami tidak menemukan siapa pun di dalam rumah," ucap salah satu anggotanya.

Sutresna merubah raut wajahnya. Ia benci melihat mantan Yudistira di depannya itu malah tersenyum seolah ia tidak menderita.

"Unit kepolisian khusus anti sihir dan guna-guna, Dharma ... dibubarkan." Sutresna merobek tubuh Kei dengan tangan hitamnya.

"Kei, Kei ...." Suara lirih itu memanggil namanya.

"Kei, buka matamu." Suara itu semakin jelas.

Kei membuka matanya. Ia melihat seorang wanita sedang berdiri di hadapannya. Wanita itu tersenyum, tetapi meneteskan air mata.

"Kia ...." Kei pun meneteskan air matanya. Kini satu-satunya wanita yang ada dalam hidupnya berdiri menyambutnya.

Wanita bernama Kia itu berlari dan memeluk Kei. Kei tersenyum getir sambil membalas pelukan itu. "Aku ... mati, ya?"

Kia hanya tersenyum tanpa menjawab. Wanita itu menyelimuti Kei dengan selimut berwarna biru dan menggandeng tangannya. "Ayo kita pulang," ucap Kia.

Kei mengangguk. Kini sepasang manusia itu berubah sosok menjadi dua anak kecil yang sedang bergandengan tangan. Selimut birunya terlalu besar untuk digunakan seorang diri. Kei menyelimuti tubuh Kia dengan separuh selimutnya dan berjalan bersama dengan selimut yang menyelimuti tubuh mereka berdua. Kedua orang itu menghilang ditelan kabut Suratma.

***

Di sisi lain, satu regu Sutresna mengepung rumah Dirga. Malam ini ia berniat untuk menghabisi para perwira Dharma.

Namun, langkah mereka semua terhenti ketika melihat seorang pria berjubah hitam sedang berdiri di depan gerbang rumah Dirga. Pria itu menggunakan kain hitam dengan tulisan-tulisan aksara yang menutupi kedua matanya.

Satu regu itu mengarahkan senjatanya pada pria tersebut. "Siapa kau?"

Perintah mereka adalah menyergap Dirga selagi ia tidur. Keberadaan orang ini membuat mereka waspada. Takut-takut, jika mereka menembak, Dirga malah bangun. Hal itu tentu saja merepotkan.

Pria buta berpakaian hitam itu menyeringai. Ia menyingkap jubahnya dan memperlihatkan tato Satu Darah.

"Sa-satu darah ...."

"Tembak!"

Suara bising peluru membuat Dirga dan Mila terbangun. Dirga menatap Mila. "Dinda!" Mila sontak berlari keluar menuju kamar putri kecilnya. Sementara Dirga menunduk dan berlari ke arah jendela. Ia menatap keluar.

Seorang pria berjubah hitam berdiri membelakanginya. Pria berjubah hitam tiba-tiba menoleh ke arah Dirga mengintip. Dirga sontak bersembunyi. Topeng Sabrang sudah berada di tangannya.

"Tiru Tumenggung, Sabrang ...."

Dalam waktu singkat. Dirga berdiri di atas gerbang rumahnya. Ia terbelalak menatap sekitar lima belas jenazah di sana. Pria berjubah hitam sudah tak berada di tempat itu. Tak terendus jejaknya.

"Sial!" Dirga kemudian berteleportasi ke dalam.

Mila dan Dinda menatapnya ketakutan. Dirga mengawasi sekitar. "Perluasan atma." Kini ia lebarkan jangkauan atmanya untuk mendeteksi segala pergerakan di dalam rumah, tetapi tak ada apa pun.

"Papa ...."

"Jangan takut. Semua baik-baik aja," ucap Mila memeluk Dinda.

Dirga tiba-tiba mengingat mimpinya barusan. "Kei ...." Pria itu menatap Mila. "Di sini sudah aman. Aku pergi dulu." Kini hanya ada Mila dan Dinda di dalam kamar. Dirga pergi.

'Apa maksudnya mimpi barusan? Kei pergi ketempat yang jauh? Tidak, tidak, tidak ... tidak mungkin, kan?'

***

Di sisi lain, Tirta berlari dengan pedang miliknya. "Apa-apaan ini!" Sama seperti Dirga, ia melihat satu regu yang habis dibantai. Sepintas, ia melihat pria berhoodie hitam dengan bulu putih di pinggiran tudungnya. "Siapa kau?!"

Pria itu terlihat dingin. Ia tak membalas ucapan Tirta dan berlari pergi begitu saja. Tirta tak mengejar. Ia lebih khawatir pada keadaan keluarganya di dalam rumah dan memilih mundur.

"Alya!" Tirta kemblai ke kamar.

Ada Rava yang berdiri di depan ibunya. Pemuda itu mengenakan topeng Amiluhur. Ia gemetar.

"Ayah, apa yang terjadi dengan mereka semua?"

"Semua orang di depan tewas," jawab Tirta.

"Pria barusan tidak melakukan serangan apa pun ...," ucap Rava.

Tirta memicingkan matanya. "Apa maksudmu?"

"Aku melihat orang itu membuka sarung tangan putih di kedua tangannya. Dia hanya menghindar sambil menyentuh orang-orang itu. Pria itu tidak melakukan serangan apa pun. Bagaimana dia bisa membunuh semua orang-orang di bawah tanpa menyerang?"

"Hanya menyentuhnya?" tanya Tirta.

Rava mengangguk.

***

Sorang pria berdiri sambil tersenyum lebar menatap para regu pembunuh yang ditugaskan untuk membunuh Gemma. Pria itu mengenakan pakaian dalang lengkap dengan jarik dan blangkon.

"Aum awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira ing kang kekiter kang semara bumi bujang babo kabuyutan ...."

"Hey, apa yang kau lakukan?" Seorang pria mendekat sambil menodongkan senjatanya.

Tiba-tiba pria dalang itu duduk dan melepaskan mantra kedua. Mantra ketiga dan keempat ia rapalkan sambil membenarkan blencong (Alat penerangan wayang) dan memukul sebuah kotak.

Para pasukan merinding, mereka semua mendadak mengarahkan moncong senapannya pada pria itu. Samar-samar suara gending gamelan mulai terdengar dan semakin jelas. Mereka gemetar dan tak mampu membidik dengan benar.

"Si-siap menembak, Komandan!"

"Mumangungkung awakku kadya gunung, kul kul dhingkul, rep rep sirep, wong sabuwana teka kedhep, teka lerep, teka welas asih ...."

Pria itu tiba-tiba memegang wayang dan memainkan wayangnya dengan seringai.

"Aaaaaaaaa!" Para anggota regu menembak membabi-buta.

Gemma terbangun. Di rumahnya hanya ada ia dan istrinya. Dewi sudah berangkat bersama Chandra menuju rumah rekan Kei beberapa jam lalu.

Gemma menatap istrinya. "Kamu tunggu di sini." Wanita itu hanya mengangguk dengan tubuh gemetar. Gemma membuka sedikit gorden untuk mengintip keluar. Ia terbelalak mendapati sosok yang ia kenali. Sosok itu menatap Gemma sambil tersenyum.

"Apa pun yang terjadi jangan keluar dari kamar," tutur Gemma pada istrinya. Ia berlari keluar membawa topeng Panji. Namun, ketika berada di luar. Orang yang sempat ia lihat sudah tak berada di sana. Yang tersisa hanyalah para jenazah yang habis saling menembak satu sama lain hingga tewas tak tersisa.

"Apa-apaan ini? Siapa orang-orang ini?" ucap Gemma.

Langit malam semakin gelap. Bulan tertutup awan hitam yang menjelma hujan. Dirga terduduk lemas di samping Kei yang terbujur kaku di halaman rumahnya. Ia sendirian, tak ada jenazah lain di sana. Di halaman rumahnya masih terendus aroma perang. Gelagat pertempuran besar habis terjadi di tempat ini.

Tangisan pria itu berbaur dengan air Tuhan yang turun dari langit. Ia dekap jasad itu dengan erat, tak peduli darah yang membasahi pakaiannya. Kei adalah orang kedua di antara mereka bertujuh yang pergi meninggalkan dunia. Mantra semakin pudar menyisakan lima dari tujuh baitnya.

***

Acara baris berbaris pagi hari ini bukanlah dipersembahkan untuk bendera negara, tetapi sebagai penghormatan terakhir seorang Inspektur Jendral Polisi Kei Yudistira. Ia dikenang sebagai pahlawan bangsa atas kontribusinya memerangi ilmu hitam.

Betapa hatiku takkan pilu ...

Tak banyak yang tahu siapa Kei Yudistira, mengingat Dharma merupakan unit rahasia. Hanya kepolisian dan beberapa pihak terkait yang menghadiri acara pemakaman.

Telah gugur pahlawanku ...

Hari ini merupakan hari yang paling sendu. Seorang Yudistira menangis di atas makam ayahnya. Surya menunda penerbangan ketika mendapat kabar bahwa Kei telah berpulang. Dewi merangkul dan mengusap bahunya dengan mata berkaca-kaca.

Betapa hatiku takkan sedih ...

"Seandainya aku ada di sana semalam ...," gumam Chandra lirih. "Dia bilang selamat tinggal semalem ... dia bilang dia mau tidur duluan ... tapi tidurnya kali ini enggak akan bangun lagi ...."

Hamba ditinggal sendiri ....

"Surya, Chandra ...." Dewi tak mampu berbuat banyak.

Siapakah kini pelipur lara ...

Kini Yudistira itu resmi menjadi yatim piatu. Seorang perwira menghampiri Surya dan menepuk pundaknya. "Turut berduka cita," tuturnya sambil memejamkan mata menahan tangis.

Nan setia dan perwira ...

Surya menatap nama di seragamnya. "Terimakasih, Jendral Sutresna ...."

Siapakah kini pahlawan hati ...

Sutresna kemudian pergi dikawal beberapa orang, meninggalkan Sang Yudistira yang berduka bersama anggota Dharma dan juga para Mantra.

Pembela bangsa sejati ...

Tirta, Dirga, Gemma, Abimanyu, Agha, Jaya, Wisesa, dan Ageng tak mampu berkata-kata. Begitu juga dengan Andis dan Tama. Para divisi nol juga ada di sana memeriahkan peristirahatan terakhir mantan Yudistira itu.

Telah gugur pahlawanku ...

Di sisi lain ... Rizwana dan Sura berdiri dari kejauhan menatap makam Kei. Mereka berduka atas kematian seorang mantan Yudistira itu. Rizwana dan Sura menyembunyikan diri dengan setelan kemeja hitam dan topi fedora hitam.

"Kau tidak ingin kembali? Ada Wisesa dan Ageng di sana," tanya Rizwana.

Tunai sudah janji bakti ...

"Aku ditugaskan langsung oleh Inspektur Kei untuk menjaga lapas Satu Darah. Ia memberikan mata tombak Cakra Langit dan berpesan untuk percaya padamu ketika keadaan memburuk. Percuma menjaga lapas Satu Darah dengan banyak orang. Mereka semua pasti mati. Inspektur percaya padaku dan memberikan tugas mematikan hanya pada seorang Sura Nataprawira. Untuk Inspektur, aku akan terus mengawasimu, Rizwana," jawab Sura.

Gugur satu tumbuh seribu ...

"Biar bagaimana pun juga, Simfoni Hitam merupakan turunan Dharma. Aku turut berduka ...," ucap Rizwana. "Namun, lebih berduka dengan nasib Dharma kedepannya."

Sura memicingkan matanya menatap Rizwana. "Apa maksudmu?"

Tanah air jaya sakti ...

"Mereka sudah mulai bergerak. Kematian Inspektur Kei merupakan langkah awalnya. Dalam waktu dekat Dharma akan dibubarkan."

"Hey, Rizwana. Apa maksudnya itu?!"

"Pembunuhan Inspektur Dendi beberapa tahun lalu meninggalkan tanda tanya besar. Perlahan beberapa hak istimewa Dharma pun dicabut. Ada yang melemahkan pergerakan Dharma dari dalam." Rizwana menyeringai. "Proyek Suratma. Tragedi mengerikan di Bandung dua tahun lalu itu kau pikir ulah siapa? Laboratorium itu milik pemerintah. Artinya sekarang negara ini mengkhianati para pahlawannya. Dharma jadi lebih aktif dalam menyelidiki kasus-kasus yang di mana para petinggi negara terlibat di dalamnya. Apa kau pikir mereka akan diam? Terlebih ketika mengetahui kalian menyembunyikan si mata suratma itu. Dharma memiliki keadilan yang tinggi dan tidak pandang bulu. Itu sebabnya, sebelum Dharma menyerang, mereka harus dimusnahkan."

"Dari mana kau tau semua hal itu?"

Rizwana menyeringai. Perlahan ia terkekeh. "Rahasia."

.

.

.

Satu minggu setelah kematian Irjen Kei. SK (Surat Keputusan) pembubaran Dharma turun. Tidak ada perpindahan atau penurunan pangkat pada seluruh anggota Dharma. Mereka semua diberhentikan dari kepolisian negara.

Skandal Martawangsa Corporation belasan tahun silam menjadi alasan para petinggi untuk membubarkan Dharma. Unit Dharma dinilai melakukan banyak korupsi. Dengan adanya Gemma dan Dirga yang merupakan mantan narapidana menjadikan alasan mereka semakin kuat.

Dharma runtuh ikut terkubur bersama dengan sosok Kei Yudistira.

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top