122 : Lukisan dan Misteri

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Bandung

Beberapa petinggi negara sedang berkumpul di sebuah ruangan. Ada orang berpakaian tentara, ada juga yang mengenakan seragam kepolisian. Seorang pria dengan jaket dokter. Selebihnya hanya berkemeja.

"Satu Darah sudah menunjukkan pergerakan," tutur seorang berjaket loreng khas tentara.

"Beberapa waktu lalu mereka melakukan sesuatu di Jogja. Sekarang mereka melakukan aktivitas secara terang-terangan di berbagai daerah seperti Bandung dan Jakarta," timpal pria berseragam polisi. "Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?"

"Kesampingkan Satu Darah. Aku dengar bahwa Dharma menyembunyikan nomor 66?" tanya pria berjaket dokter. "Kita butuh kekuatan lebih, untuk menyingkirkan Satu Darah. Nomor 66 itu mahakarya terbaik. Dia gerbang menuju Alam Suratma."

"Itu rumor, kami masih menyelidiki mereka," jawab si seragam polisi.

"Mereka itu kerikil yang harus disingkirkan. Dharma juga terlibat dalam beberapa rencana kita. Mereka hambatan," ucap pria berkemeja batik merah.

"Selama Kei ada di sana, kita tidak bisa menyingkirkan mereka," timpal seragam polisi.

Pria dengan jaket loreng tertawa. "Pria sekarat itu sudah kehilangan kekuatannya. Biar aku urus dia dalam waktu dekat." Kemudian ia menatap si seragam polisi. "Kau urus pembubaran divisi itu."

***

Yogyakarta

Harits terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Ia berlari keluar kamar dan langsung turun untuk melihat situasi. Mimpinya terasa sangat nyata barusan. Ketika berlari di tangga, dari balik tembok sebelah dapur muncul seseorang hingga mereka bertabrakan dan sama-sama terjatuh di lantai.

Harits langsung bangkit dan hendak menyerang, tetapi kepalan tangannya berhenti ketika ternyata orang itu adalah Nada yang sedang ketakutan karena ingin dipukul.

"Nada ... kamu ngapain?" tanya Harits sambil tergopoh-gopoh.

"Mi-minum ...," jawab Nada. "Kamu ... kenapa, Harits?"

Harits berjalan ke arah depan dan menatap keluar jendela. Tak ada siapa pun di sana. Nada mengikutinya dan ikut mengintai. "Ada paket?" tanya Nada.

Harits memasang wajah datar. Ia sudah tak heran dengan isi pikiran Nada. "Nad, kamu tidur gih. Jangan di sini," tutur Harits. Ia menatap kandang kosong di depan. Kali ini bahkan Harits tak bisa melihat burung hantunya seperti manusia lain. "Yang barusan bukan mimpi."

"Mimpi apa?" Sayangnya Nada adalah gadis yang sangat kepo.

Harits merasa jengkel. "Mimpi buruk."

"Loh, kita bertolak belakang, Harits. Aku abis mimpi indah. Ada di tengah lautan awan. Terus ketemu sama adik kelas di kampus," timpal Nada.

"Adik kelas? Cowok pake setelan jas cokelat dan buah apel di tangannya?" tanya Harits. Ia hanya iseng bertanya.

"Ya, dia. Rama namanya."

Namun, jawaban Nada membuatnya terdiam. Harits mencerna apa yang gadis itu ucapkan. "Tinggal di mana dia?" tanya Harits.

Nada menggeleng tak tahu.

Lajaluka merupakan sensor ghaib bagi Harits. Seperti halnya ketika ia mendadak bangun di tengah malam. Sebenarnya itu akibat Harits merasakan aura negatif di sekitar Mantra. Lajaluka yang mengirim sensor itu padanya. Jika burung hantu itu hilang, berarti ada yang mengambilnya, atau membunuhnya.

"Rits, kamu enggak apa-apa?" Nada menatap Harits yang sedang diam dengan tatapan kosong. Pria itu sedang berpikir. "Harits ... Harits."

Harits menoleh ke arah Nada. "Ha?"

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Nada lagi sambil menyentuh keningnya. "Keringet kamu banyak banget, badan kamu juga panas."

Harits menghindar. "Enggak apa-apa." Ia berjalan ke dapur mengambil segelas air putih, lalu naik kembali ke kamar. Nada pun pergi ke kamarnya.

Malam kembali normal. Sementara itu ....

Radhi baru saja kembali ke kamar kosnya. Ia langsung merebahkan diri sambil menatap katana miliknya yang masih mengkilap. Pemuda berparas kejepangan itu menghela napas. Siapa yang menduga bahwa pria yang ia tebas tiba-tiba menjadi komplotan kupu-kupu yang menyebar. Radhi memang meruntuhkan dunia mimpi milik Rama dan merubahnya menjadi Alam Suratma, tetapi tepat sebelum Radhi berhasil membawa Rama. Lawannya itu berhasil lolos. Radhi sempat terjebak di dalam kemampuan Rama. Tak ambil pusing, kini ia memejamkan matanya dan mencoba terlelap. Setidaknya malam ini ia berhasil melindungi Harits.

***

Pagi menjemput asa. Memudarkan pilu dengan cahaya mentari. Nada menatap Harits yang sedang melamun sehabis menyajikan bihun goreng untuk sarapan pagi.

"Harits, kamu enggak makan?"

Ucapan Nada membuyarkan Harits dari lamunan. "Nanti aja belakangan, biar banyak." Ya, padahal Harits sengaja memilih sisa demi mementingkan perut teman-temannya terlebih dahulu.

"Mau disuapin, Cel?" teletuk Melodi.

Harits menatap Melodi tanpa kata. Semua pandangan mendarat pada gadis berkemeja putih dengan cardigan kuning itu. Melodi mengerutkan kening. "Itu sarkas. Cuma candaan," ucapnya.

"Disuapin beneran juga enggak apa-apa kok, Melo," ucap Nada.

"Ih, kamu aja yang nyuapin. Dia kan kecil doang kayak bayi, tapi mukanya tua."

Harits beranjak. Ia tak menghiraukan kembar Mahatama. Pria kecil itu berjalan naik ke atas dengan raut wajah yang bingung. Entah, hari ini ia terlihat linglung.

Cakra tersenyum menatap Nada. "Aku ke atas dulu, ya."

"Iya, Cakra. Hibur Harits, ya. Semalem dia kayak orang kesetanan," balas Nada.

Cakra memicingkan matanya. "Kesetanan gimana?"

"Iya, dia lari ditangga dan nabrak aku, terus hampir mukul aku. Keringetnya banyak banget habis mimpi buruk. Dia juga langsung ngecek ke arah depan negeliatin jalan."

"Ya udah, kamu tunggu sebentar, ya. Aku ngobrol dulu sama Harits." Cakra meninggalkan Nada dan berjalan naik menyusul Harits.

Sementara itu Deva dan Kevin saling bertukar tatapan heran. "Kayaknya ada yang janggal deh kalo Harits begitu," ucap Deva.

"Paling juga galau," celetuk Melo.

"Harits kalo galau enggak gitu. Dulu waktu yang Nada ...." Deva menoleh ke arah Nada yang sedang menatapnya. "Kan ... nangis."

Kevin mengerutkan keningnya. Kevin memang diam, tetapi rasa pada Nada masih ada dalam hatinya. Ia tak tahu apa pun tentang hubungan rumit di antara Nada dan Harits sebelum ia hadir di Mantra.

"Harits bilang apa aja?"

Nada masih menatap Deva. "Enggak tau. Semalem aku disuruh naik dan jangan ganggu dia. Harits sempet keluar ngecek kandang kosong."

Deva pun beranjak. Ia pergi ke atas. Sesampainya di atas, Deva berdiri di belakang pintu. Harits dan Cakra sedang berbincang.

"Semalem lu tidur?" tanya Harits.

"Enggak," jawab Cakra. "Gua duduk nemenin Nada."

"Hampir tengah malem. Yakin lu belum tidur?" tanya Harits lagi.

"Emang kenapa?"

Harits menggeleng. "Gua mimpi ...."

"Mimpi apa?" tanya Cakra.

"Mimpi buruk. Gua bangun gara-gara sepintas ngerasa Lajaluka ngeliat sesuatu. Cuma sepintas, tapi gua coba buat mastiin keadaan. Gua tau lu pasang tabir ghaib juga di sekitar Mantra, gua coba pastiin itu, tapi lu tidur semalem. Enggak ada proyeksi astral. Enggak ada keamanan ganda."

"Gua tidur sekitar jam satuan. Di bawah tengah malem gua belum tidur," jelas Cakra.

"Ya enggak tau. Pokoknya semalem yang gua tau lu tidur. Gua coba turun dan ngintip keluar. Ada cowok berdiri di sebrang jalan."

"Siapa?"

"Entah. Di belakangnya ada ratusan pocong merah."

"Ratusan pocong merah?" Cakra mengerutkan keningnya.

"Cowok ini mungkin setinggi lu. Rambutnya lemes berponi. Dia pake setelan jas cokelat dan bawa apel merah. Gua langsung keluar dan coba tanya siapa dia, tapi dia malah ngibarin bendera perang. Gua coba lawan, tapi mendadak arwah-awah dari Penjara Jiwa memberontak dan malah nyerang gua. Gua enggak tau apa yang terjadi." Harits mencoba mengatur napas.

"Terus?"

"Tiba-tiba gua denger suara lonceng dan selang beberapa detik gua langsung bangun. Ternyata itu mimpi. Mimpi yang gila dan terasa nyata! Gua coba mastiin keadaan lagi ke bawah. Eh malah ketemu Nada. Gua hampir nyerang Nada karena masih terbayang mimpi buruk itu. Anehnya ...."

Cakra sedang mencerna semua ucapan Harits. "Anehnya?"

"Nada bilang dia mimpi indah. Nada ada di tengah lautan awan katanya. Dia mimpi ketemu sama adik kelasnya."

"Anehnya di mana?" tanya Cakra.

"Sosok adik kelasnya," jawab Harits.

Cakra mencoba mengingat orang-orang di kampus Nada. Gadisnya tak begitu banyak memiliki teman. Hanya ada beberapa orang yang terkadang berbincang dengannya. Ada satu orang yang tiba-tiba terbesit dalam benak Cakra. Seorang pria yang perawakannya mirip dengan detail ucapan Harits barusan perihal pria setinggi Cakra dengan rambut lemas berponi.

"Gua iseng. Gua tanya, apakah adik kelasnya pake setelan jas cokelat dan bawa apel. Nada bilang iya." Harits menatap Cakra. Mereka bertukar pandang seolah satu kepingan puzzle telah kembali pada papannya.

"Ada kejadian aneh beberapa waktu lalu," ucap Cakra. "Itu terjadi di kampus Nada belum lama ini. Waktu itu hujan dan kita berteduh. Tiba-tiba gua ngerasain hawa ngebunuh yang kuat dari arah Mantra."

Harits mengerutkan keningnya. "Arai Purok. Itu pasti waktu Arai datang ke sini."

"Arai Purok?!" Cakra terkejut dengan ucapan Harits. Ia tak pernah tahu ada kejadian seperti itu. "Ngapain dia ke sini? Lu kok masih idup?"

"Kesampingkan Arai Purok. Terus, kejadian aneh apa tadi?" ucap Harits.

"Waktu hawa membunuh itu meledak. Gua sontak natap ke arah Manta. Waktu itu ada cowok yang kayaknya ngerasain juga. Dia pun sontak ngeliat ke arah Mantra, terus ngeliat gua dan tiba-tiba pergi. Gua coba buat ngecek keadaan dan nerobos ujan."

"Letak anehnya?"

"Sabar." balas Cakra. "Padahal gua udah hampir sampe di motor, tapi tiba-tiba waktu berhenti. Ini kedengeran gila, tapi semua pergerakan di dunia ini mendadak berhenti termasuk rintik hujan. Begitu gua sadar, gua ada di posisi awal ketika gua menyadari hawa membunuh Arai. Entah waktu yang berjalan mundur, atau gua yang membeku. Cowok itu udah enggak di tempatnya."

Pintu tiba-tiba terbuka. Harits dan Cakra menatap Deva yang masuk. Deva pun menatap mereka berdua. "Mau coba cek CCTV?"

Mantra Coffee dilengkapi CCTV. Selain untuk keamanan. Tentunya orang tua mereka mengawasi bangunan kafe itu. Wajar saja, takut-takut timbul sebuah insiden yang tak pernah diharapkan terjadi.

***

Nada sudah diantar Cakra ke kampus. Melodi juga sudah diantar Harits. Kini tak ada lagi pengganggu. Hanya saja, Kevin tak berada di antara mereka bertiga mengingat ia ada jadwal kelas.

"Lu enggak ada kelas, Rits? Seinget gua lu sama Melodi sejadwal kosongnya?" tanya Deva. Diam-diam ia menghafal kegiatan Melodi.

"Bolos. Gua enggak tenang," jawab Harits.

Mereka bertiga duduk di depan layar smart tv. Video CCTV bisa diakses secara online. Tinggal menghubungkan internet ke tv dan mereka bertiga bisa langsung mengaksesnya.

Kembali di mana Arai Purok muncul. Mereka mempercepat waktu hingga tiba di mana Harits, Jaya, Kevin, dan Deva tiba-tiba ambruk. Deva dan Harits saling bertatapan.

"Lu inget ada adegan gitu?" tanya Harits. "Gua enggak inget kita jatoh bareng-bareng kayak gitu."

"Gua enggak inget pastinya, tapi yang gua inget kita semua emang roboh. Gua bangun pertama dan ngeliat lu, Jaya, sama Kevin tergeletak, tapi setelah gua periksa ternyata cuma tidur."

"Tidur? Orang gila mana yang tidur di depan Arai Purok?!" tanya Harits.

"Deva enggak salah. Kalian semua tidur," tutur Cakra. Pria berambut abu-abu itu menunjuk layar tv. "Orang ini." Ia menunjuk seorang pria dengan payung di depan kafe. Ketika Arai merebut payungnya, Harits seketika itu terbelalak.

"Nah! Itu dia." Sosok yang ia lihat di rekaman CCTV adalah Rama.

"Sebelum keanehan di sini. Gua pun kebingungan di kampus Nada. Cowok ini dateng dari Instiper ke Mantra hari itu. Gua belum paham gimana cara kerjanya, tapi dia bisa maksa orang lain bermimpi. Dari video ini, gua dapet kesimpulan dia punya sihir yang bisa hipnotis masal."

"Mimpi?" tanya Deva.

"Ya, kita enggak pernah sadar kapan mimpi itu dimulai. Kita merasa seolah-olah enggak ada apa, padahal kita tidur dan ambruk. Entah sihir macam apa itu," jawab Cakra. "Ini perlu dikaji."

Harits tiba-tiba teringat sesuatu. "Kemarin cowok ini datang ke Mantra. Dia duduk semeja sama cewek yang enggak kalah gila. Cewek itu berhasil melet gua meskipun enggak lama, dan gua enggak sadar kalo lagi kena guna-guna. Ditambah interaksi cowok ini sama Arai Purok. Kalo dugaan gua bener ...." Harits menjeda ucapannya sambil menatap Cakra dan Deva bergantian.

Semua memikirkan jawaban yang sama dan sontak berkata. "Mereka semua anggota Satu Darah."

"Tiga orang yang kemampuannya setingkat sekuat Rizwana. Atau bahkan lebih. Kita belum tau motif mereka ada di sini. Kita harus cari tau sebelum sesuatu yang buruk terjadi lagi," ucap Harits. "Bisa jadi ini lebih kacau dari Walpurgis."

***

Bandung

Darah mewarnai wastafel. Air kran memudarkan merah pada bagian yang ternoda. Pandangannya agak pudar menatap kaca di depan.

Pintu terbuka, seorang pria masuk dan menatap pria yang baru saja memuntahkan darah dari mulutnya.

"Sore, Irjen Kei," tutur pria yang baru masuk ke kamar mandi.

Irjen Pol merupakan singkatan dari Inspektur Jendral Polisi. Berada di atas Brigadir dan di bawah Komisaris Jendral Polisi.

Kei sedang memberishkan tangannya di westafel. "Sore." Ia memberikan sedikit senyum pada bawahannya dan berlalu.

Semenjak kejadian Walpurgis, Kei sering mengalami sakit. Wajar, sejak lahir tubuhnya terlalu lemah untuk menjadi wadah Sang Yudistira. Itulah salah satu alasan mengapa ia selalu tertidur untuk menghemat tenaga. Suatu keajaiban ia masih terlihat bugar di usianya saat ini. Setelah pensiun dari singgasana Raja, Kei seharusnya tak terlalu banyak mengerahkan kekuatan spiritualnya.

Dalam pandangan yang kabur, Kei berjalan menuju mobilnya. Ia memiliki sopir pribadi.

"Langsung pulang, Pak?" tanya sopirnya ketika Kei masuk di bagian tengah mobil.

"Kita mampir dulu. Habis itu kamu duluan aja. Saya masih ada urusan."

Mereka menuju sebuah galeri yang dari bentuk bangunannya saja terlihat abstrak. Setelah berhenti, Kei turun dan berjalan masuk ke dalam.

Gemerincing lonceng pertanda kehadiran pengunjung. Seorang pelukis, dan kebetulan menjadi satu-satunya orang yang berada di galeri itu tersenyum mengetahui ada seseorang yang masuk.

"Silakan," tuturnya halus.

Kei berjalan ke arahnya dan menatap apa yang ia lukis. Sebuah gambar kota yang penuh dengan api.

"Gambar apa itu?" tanya Kei.

Pria itu tersenyum. Ia mengenakan kaos putih lengan panjang dan celana jeans panjang berwarna biru. "Bandung lautan api," jawabnya. Uniknya, pria itu menggambar dengan mata tertutup kain hitam. Ia merupakan seorang pria buta.

"Gambar aku lagi seperti waktu itu," tutur Kei.

Pria itu menghentikan aktivitasnya. "Ah, kau kah itu? Ya, ya, ya ... aku ingat pemilik suara ini. Kei Yudistira."

Kei tersenyum. "Ya, ini aku, Kei. Apa kabar?"

"Baik. Pak polisi apa kabar? Bagaimana kabar dunia ini?" Pria itu terkekeh menghadap ke arah Kei. Ia mempersiapkan kanvas baru untuk menggambar. Kei duduk tepat di depannya.

Kei terlihat getir. "Semuanya tidak baik-baik saja. Makanya aku minta digambar." Kei mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya pada pria itu.

Namun, pria itu menolaknya dan menggeleng. "Kali ini gratis. Hadiah terakhir dariku untuk seorang sahabat."

"Terimakasih. Kau ingin pergi?"

Pria itu mulai menggambar. "Entah, kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan."

"Tapi kau tau," tutur Kei. "Kau buta. Yang kau gambar bukanlah yang terlihat oleh mata, tapi gambaran masa depan yang muncul dalam benakmu."

"Bukan sesuatu yang spesial. Kau bilang temanmu juga ada yang memiliki kemampuan  seperti ini, kan?"

"Ya, tapi miliknya bersifat prediksi. Sementara kau mutlak," balas Kei.

"Tidak. Aku tidak benar-benar mengetahu masa depan. Hanya sebuah ilustrasi berbentuk misteri yang harus dipecahkan sendiri."

Kei dan pria itu mengobrol panjang lebar. Beberapa kali Kei datang ke tempat ini untuk sekadar mengobrol. Kei juga pernah digambar sebelumnya. Itulah mengapa ia menyimpan tombak dan topeng miliknya bahkan ketika Surya sudah siap untuk menerima seluruh warisannya. Seandainya kala itu Surya memiliki kedua pusaka tersebut. Bisa jadi kedua pusaka itu juga ikut direbut bersamaan dengan jiwa putranya.

Kurang lebih satu jam setengah. Pria itu meletakkan kuasnya dan merobek kanvasnya. Ia tersenyum dan memberikan gambar itu pada Kei. "Semoga harimu menyenangkan."

Kei mengambil kanvas itu dan menatap setiap goresan tinta yang dibuat oleh si pria buta. Di kanvas itu ada lukisan seorang pria yang sedang duduk di atas makam dengan batu nisan bertuliskan 'hope'. Pria itu menenteng kepala manusia dengan tangan kirinya sambil tangan kanannya melambangkan angka tiga. Ada banyak burung gagak di sekitar pria itu.

Kei menyentuh gambar kepala di tangan pria dalam lukisan. Agak abstrak, tapi dari rambutnya mirip dengan rambut Kei yang agak bergelombang. Ia menatap si pelukis buta. "Jadi bukan kau yang pergi, ya? Tapi aku?"

Pelukis itu hanya tersenyum. Ia bangkit dan menepuk pundak Kei. "Semoga beruntung." Ia mengambil tongkat dan berjalan ke dalam sebuah ruangan.

Kei terlihat getir. "Ya, terimakasih." Ia pun beranjak pergi dari galeri itu.

Tak jauh jarak antara galeri dan rumahnya. Makanya Kei menyuruh sopirnya untuk pulang duluan. Rasa-rasanya ia ingin sedikit berjalan kaki. Besok pagi sopirnya akan mengantar Surya ke bandara, ia harus beristirahat dengan nyenyak malam ini. Surya akan melanjutkan study di Amerika bersama dengan Dewi, putri dari Gemma Martawangsa.

Malam ini agak berbeda. Suasana sepi. Padahal belum larut. Kei tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Kalian sebaiknya keluar. Sebentar lagi jam tidurku. Aku tidak suka jam tidurku diganggu. Jadi seandainya ada urusan, sebaiknya diselesaikan sekarang."

Tiga orang pria muncul dari arah belakang, ditambah satu orang dari arah depan. Satu orang yang datang dari depan ini bukanlah orang yang asing. Kei mengenalnya. Ia adalah seorang berpangkat tinggi dari Angkatan Darat. Pria dengan jaket loreng khas tentara dengan sarung tangan hitam di tangan kirinya.

"Jadi ada urusan apa, Jendral Sutresna?" tanya Kei.

"Aku ingin berbincang tentang unit Dharma yang berada di bawah komandomu, Irjen Kei," jawab Sutresna.

"Harusnya kau datang dan mengajakku duduk di kantor jika itu menyangkut hal formal, atau duduk di kafe jika topik obrolannya santai, Jendral." Kei menunjuk ke arah belakang. "Mereka ini siapa?"

Jendral tersenyum. "Tidak seformal itu, tapi tidak sesantai itu juga. Mengenai mereka, mereka adalah rekan-rekanku."

"Jadi mengenai hal apa?" tanya Kei.

Raut wajah Jendral berubah. Kini sorot matanya menusuk tajam. "Pembubaran Dharma."

Kei terkekeh. "Hope ... ya, satu misteri terpecahkan. Kuburan itu adalah kuburan Dharma, kan?"

"Tergantung jawabanmu, Irjen Kei. Aku takut jika kuburan yang kau maksud itu adalah kuburanmu sendiri," balas Jendral.

"Atas dasar apa pembubaran unit Dharma ini, Jendral?"

"Dharma terlalu jauh melewati batas yang seharusnya tak boleh dilewati," jawab Jendral.

Kei merubah raut wajahnya. Ia menatap dingin ke arah Sutresna. "Dharma merupakan hadiah terakhir dari Irjen Dendi. Dengan alasan tidak jelas seperti itu aku tidak bisa menerimanya. Aku takut topik obrolan mu ini membuatku tersinggung, Jendral. Sebaiknya kau dan teman-teman lucumu ini pergi sekarang juga sebelum aku benar-benar tersinggung."

Jendral menghela napas sambil tersenyum hambar. Ia menggeleng menatap Kei. "Hal yang paling aku takutkan terjadi, Irjen Kei. Kuburan yang kau maksud itu rupanya memanglah kuburanmu."

.

.

.

Tbc




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top