121 : Menampakkan Diri
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Di tengah tidurnya, Sura membuka mata. Kepala sipir sekaligus satu-satunya orang yang menjaga rumah tahanan para Satu Darah itu menyeringai. Ia mengambil dua bilah kujangnya dan berjalan di lorong ke arah pintu masuk. Dari ujung lorong, pria bertato muncul dan langsung menatap ke arahnya. Mereka berpapasan di dalam lorong sempit.
"Untuk sekelas penjara elit, cukup keterlaluan jika tak ada penjagaan. Ya, tapi kekosongan ini hampir membuatku berpikir bahwa ini hanyalah bangunan tua yang ditinggalkan. Hampir saja aku berniat kembali membunuh si topi biru itu."
"Topi biru? Ahh--rupanya kau mengancam Harits, ya? Bukan tindakan orang dewasa," balas Sura.
"Berkat bocah itu kau aman. Aku berjanji tidak akan membunuh siapa pun di sini. Berterimakasihlah padanya nanti."
"Kau terlalu meremehkanku, Arai Purok. Satu dari empat pembawa bencana." Sura memasang kuda-kuda menyerang.
Arai tertawa. "Majulah, bocah keadilan. Tunjukan taringmu."
Sura merubah raut wajahnya. Tatapannya penuh kebencian. Hawa membunuh di sekitarnya meluap keluar. Hingga membuat Rio dan Rizwana yang berada di balik jeruji besi ikut merinding. Kepala sipir itu berlari ke arah Arai yang masih terlihat santai. Arai menyeringai. Ia mengepal tinjunya dan berlari menerjang Sura. Bentrok antara Arai dan Sura tak dapat terhindarkan.
***
Vespa tua berwarna biru terparkir di depan Mantra. Radhi datang dan langsung menandai satu meja. Ia letakkan tasnya di kursi sebelah, lalu membuka laptop di atas meja.
Sore ini Melodi sedang asik berbincang dengan Nada dan Harits. Satu-satunya orang dengan apron kuning itu sedang belajar meracik minuman. Minimal, jika tak ada barista seperti Harits, Kevin, Jaya, dan Nada yang berjaga. Deva, Cakra, dan Melodi bisa ikut membantu barisan belakang.
Sesekali lirikan mata Radhi berlabuh pada sosok Melodi. Ada daya tarik yang cukup berat hingga membuat matanya sedikit-sedikit melirik ke arah gadis itu.
Gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Seorang pemuda masuk ke dalam kafe dan duduk salah satu kursi dekat dengan pintu. Ia tersenyum dan memanggil seseorang untuk membawakan daftar menu. Cakra berjalan ke arahnya dan memberikan daftar menu.
"Wah, wah, kita ketemu lagi ya, Mas," ucapnya ramah.
Cakra membalas senyumnya. "Suatu kebetulan."
Pemuda itu adalah Rama Sanjaya. Entah, sejak kedatangan Rama. Radhi lebih sering menatapnya. Seakan ada yang ganjil dengan pelanggan pertama Mantra hari ini.
Pada satu titik, Rama menatapnya balik sambil memberikan senyum ramahnya. Radhi tersenyum tipis, lalu menatap layar laptop kembali. Ketika ia kembali melirik Rama, pemuda itu sedang menatapnya. Seketika itu Radhi merinding. Entah apa penyebabnya.
Satu per satu pelanggan berdatangan. Hingga kehadiran seorang wanita membuat Harits bergidik ngeri. Wanita itu duduk semeja dengan Rama. Rama menatapnya seakan tak senang dengan kehadirannya di meja yang sama.
"Sedang apa di sini?" tanya Rama.
"Menanti pacar jawabku," jawab wanita itu. "Sungguh aneh, tapi nyata. Takkan terlupa. Kisah-kasih di sekolah, dengan si dia ...." Rama tampak diam mendengar ucapan wanita di depannya. "Lagu almarhum Chisye ...," lanjut wanita itu.
"Kenapa kau ada di sini, Noris?" tanya Rama.
Noristera. Wanita itu menghela napas. "Selera humormu buruk, Rama." Noris bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah bar. Ia menatap menu yang tertulis dengan kapur di bagian atas bar.
"Tubruk spesial, ya," tuturnya pada Harits.
Harits tak menjawab. Tatapannya berbeda hari ini. Tak ada lagi raut ramah di wajahnya. Menyadari itu Nada menepuk pundak Harits. "Harits kenapa?"
"Enggak apa-apa," jawab Harits sambil membuat pesanan untuk Noris.
Setelah pesanan itu selesai, Cakra memberikan menu itu. Kini Noris dan Rama saling bertatapan. "Jadi yang mana pujaan hatimu itu?" tanya Noris. Ia menatap Nada dan Melodi secara bergantian.
"Bukan urusanmu," jawab Rama ketus.
"Aku suka yang bertopi itu. Dia lebih tangguh daripada mu, Rama."
Rama terkekeh. Ia tak habis pikir bahwa Noris baru saja membandingkannya dengan orang lain yang tak ia kenali.
"Aku bisa membuatnya terjebak dalam Memoria," tutur Rama.
Memoria adalah kemampuan Rama untuk memberikan mimpi indah. House of memories, sebuah mimpi yang diciptakan berdasarkan pengalaman indah targetnya. Rama mengorek itu berdasarkan kotak ingatan.
"Tidak, tidak, tidak. Bahkan ia bisa lepas dari jerat Incubo milikmu itu!" ledek Noris.
Sementara itu, Incubo merupakan kemampuan Rama untuk memberikan mimpi buruk dengan memanipulasi situasi. House of darkness merupakan kemampuan terkuat Rama, karena ia memiliki akses penuh untuk mengontrol alam bawah sadar seseorang dalam lautan mimpi buruk.
Rama tak senang dengan pernyataan Noris. Raut wajahnya berubah. "Ayo bertaruh, Noris."
"Silakan," balas Noris.
"Aku akan membuatnya tenggelam dalam mimpi buruk. Seandainya ia bisa terbebas dari Incubo. Kau menang. Kau berhak meminta apa pun dariku. Tapi, seumpama dia tak bisa keluar. Aku yang menang. Kau berhak melakukan apa yang aku perintahkan, termasuk bunuh diri."
"Sepakat." Noris tersenyum menatap Harits. "Jagoanku harus bisa keluar dari mimpi burukmu. Jika dia tak bisa keluar, berarti dia bukan pria yang pantas."
"Aku akan mulai nanti malam. Berdoalah, Nona Noristera," ucap Rama menyeringai.
Noris tiba-tiba tertawa hingga menjadi pusat sorotan. Ia mendekat ke telinga Rama dan berbisik. "Penyihir tidak berdoa pada Tuhan ...."
Sementara itu Radhi masih mengawasi mereka. Setelah perbincangan Noris dan Rama selesai, Radhi kembali fokus pada layar laptopnya.
***
Malam makin larut. Kini sudah saatnya Mantra untuk tutup.
"Mas, Mbak, aku pulang dulu," ucap Radhi yang baru saja memasukkan kembali laptopnya ke dalam tas.
"Hati-hati, Radhi. Terimakasih," balas Nada sambil melambaikan tangan.
"Ati-ati," timpal Harits.
Radhi berjalan menuju pintu. Ketika hendak keluar, ia menghentikan langkah. Radhi menoleh menatap Hartis. "Malam ini badai. Hati-hati."
Mereka semua memicingkan mata. Langit malam ini cerah. Lantas apa badai yang dimaksud oleh Radhi?
Harits menatap pemuda yang duduk di atas vespanya sambil mengenakan helm. Radhi pergi meninggalkan Mantra. Seperginya Radhi, semua kembali ke kamar masing-masing.
Malam ini Cakra duduk di samping Nada yang terlelap. Ia memang selalu menjaga Nada dari mimpi buruk.
Rama berdiri tak jauh dari Mantra sambil memegang apel merah. Ia mengenakan setelan jas cokelat tua. Wajahnya tersenyum menatap bangunan kafe itu. "Brujeria." Setelah melepaskan auranya, Rama berjalan masuk ke area Mantra.
Sudah hampir tengah malam. Harits terbangun dari tidurnya. Baru beberapa saat lalu ia terlelap, kini ia terbangun lagi ketika merasakan sebuah energi negatif yang menerobos tabir ghaibnya.
Harits sotnak bangun dan berjalan menuju kamar Cakra. Ia membuka kamar Cakra yang memang tak pernah dikunci. Malam ini Cakra tertidur. Tak ada Proyeksi astral. Tentu saja, melihat Cakra yang tertidur, Harits merasa janggal. Tak biasanya Cakra tidur pada jam ini.
"Penjara Jiwa." Harits mengeluarkan buku hitamnya dan berjalan menuruni tangga dengan waspada.
Tak ada siapa pun di bawah. Harits lanjut berjalan ke arah jendela dan menatap keluar. Matanya terbelalak menatap seorang pria berdiri di sebrang jalan. Pria itu berdiri menatap ke arah Mantra dengan ratusan pocong merah di belakangnya.
"Holly wigs!" Harits membuka pintu dengan kuncinya, lalu berjalan keluar. Satu matanya berwarna hitam dengan bola mata biru. Sengaja ia lukai tangannya dan memberikan minum pada buku yang haus darah itu. Ratusan anjing hitam penghuni Alam Suratma muncul di belakang Harits. Kini dua komandan itu saling bertatapan dengan masing-masing pasukannya.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Harits.
Rama menyeringai. Ia menunjuk Harits. Kini Harits paham siapa pria itu. Pemuda yang duduk semeja dengan dukun wanita bernama Noristera. Rupanya mereka satu komplotan.
"Jiwamu," jawab Rama. Ratusan pocongnya terbang ke arah Mantra.
"Lahap mereka semua. Kalian kelaparan, kan?" tanya Harits pada anjing-anjing hitamnya. Tak lupa ia keluarkan juga dua jendral perangnya, yaitu Hara Wijayakusuma dan juga Jaran Peteng.
Sebuah benang membuat leher Harits terluka. Sontak ia melirik ke arah Hara yang menyeringai menatapnya.
"Hara, apa-apaan ini?!"
Anjing-anjing hitamnya pun menggigiti tubuh Harits.
"Sial! Apa-apaan ini!"
Rama tertawa melihat Harits yang sudah terjebak dalam kendali incubo nya. Kini seluruh penghuni Mantra sedang terlelap. Begitu pun Harits yang masih berbaring di kamarnya.
Di sisi lain, Rama juga sedang berada di sebelah Nada. Mereka berada di samudera awan. "Kamu suka tempat ini?" tanya Rama.
Nada tersenyum, ia mengangguk.
"Syukur deh kalo suka. Aku juga suka. Tempat ini indah. Biasanya aku sering menyendiri di sini untuk menenangkan pikiran." Rama mampir sejenak ke dalam mimpi Nada.
"Udah lama aku enggak mimpiin orang lain selain Cakra," tutur Nada.
"Mulai sekarang, kita akan sering ketemu," balas Rama. "Dan juga di luar mimpi."
Nada tak menyadari bahwa mimpi itu adalah ciptaan Rama. Ia pikir, itu hanyalah sebuah mimpi random di mana ia bertemu dengan adik tingkat yang beberapa kali menolongnya.
"Lain kali kita makan malem bareng, ya. Sekarang aku agak sibuk. Aku pamit."
Nada terbangun dari tidurnya. Rama sudah keluar dari alam mimpinya. Nada adalah satu-satunya orang yang terbangun di dalam area brujeria dan lullaby. Tentunya dengan izin Rama.
Sementara itu seseorang berjalan santai membawa tas pancing berwarna hitam sambil bersiul. Ia berjalan menerobos masuk ke dalam brujeria.
Rama merasakan hawa kehadiran seseorang. Ia menoleh ke arah pusat getaran pada dinding brujeria. Seorang pria berhoodie dengan celana pendek berwarna biru berjalan ke arahnya. Masker hitam dengan gambar seringai menutupi bagian bawah wajahnya, tapi sorot matanya familiar. Pria dengan laptop yang sedari tadi mengawasi Rama. Ya, sosok itu adalah Radhi Tribuana Utomo.
Radhi mengeluarkan sebilah pedang dari dalam tas pancingnya. Ia menyeret pedang itu di aspal jalan hingga mengeluarkan suara decitan. "Jangan ganggu Mantra," tuturnya.
Rama tersenyum. "Baiklah," balas Rama.
Radhi mengacungkan ujung pedangnya ke arah Rama. "Pergi."
Tiba-tiba bayangan Rama melesat ke arah Radhi dan keluar dari tanah, membentuk sebuah cambuk hitam. Mirip milik Nagara dengan darah hitamnya. Rama menatap Radhi dengan wajah datar dan sorot mata dingin. "Kau salah memasuki area."
Radhi menangkis bayangan-bayangan itu dengan pedangnya. Tak banyak yang mampu melawan dalam kontrol brujeria milik Rama. Radhi memiliki kesadaran yang kuat.
Pada satu titik, Radhi menghempaskan bayangan-bayangan itu dan langsung berlari menerjang Rama. Namun, saat pedangnya menembus dada Rama. Pria itu berubah menjadi ratusan kupu-kupu dan berpencar.
"Aku akui kau kuat karena bisa melawan di dalam area brujeria, tapi tetap saja. Kau harus sadar diri."
Radhi menatap jam tangan miliknya. Ia menyembunyikan seringai aslinya di balik masker. Radhi merendahkan posisinya. Pedangnya kini ia letakkan di samping pinggang, seperti samurai yang hendak menebas lawan dengan satu sabetan.
Rama terkekeh. "Berjuanglah. Berusaha keraslah keluar dari brujeria!"
"Braja total ...." gumam Radhi lirih. Meskipun nama belakangnya menggunakan nama Utomo yang merupakan nama almarhun Zahran, kakak dari Taruna. Darah Lohia mengalir dalam tubuh Radhi. Ia adalah putra dari Zulham Si Petir Kuning.
Rambut Radhi trangkat menjadi agak jabrik dengan warna putih kebiruan. Matanya tertutup, napasnya memiliki ritme tertentu. Ia meningkatkan fokusnya hingga setajam mata pedangnya.
'Orang ini berbahaya'. Batin Rama.
Jarum detik hampir berlabuh di angka dua belas. Kurang dari satu detik lagi waktu berada pada tengah malam.
"Lonceng Sarwari," gumam Radhi.
Teng ... teng ... teng ....
Suara lonceng raksasa membuat Rama mengerutkan dahinya. Dalam kontrol brujeria, normalnya semua dalam kendali Rama. Termasuk suara yang masuk ke dalam areanya.
"Langkah petir." Dalam waktu sesingkat itu Radhi menghilang dari pandangan Rama.
"Ke mana dia?!"
Rama terbelalak ketika pedang Radhi berada di depan lehernya. Radhi membuka mata. "Red hour."
Muncul retakkan di langit dan membuat brujeria pecah. Kini langit berwarna merah dengan matahari hitam. Aroma anyir memberontak masuk ke dalam lubang hidung. Darah mengucur dari tubuh yang kehilangan kepalanya. Radhi menatap pedangnya yang bersimbah darah.
"Ahh ... sudah selesai, ya?"
Lonceng Sarwari merupakan salah satu gerbang menuju Alam Suratma. Radhi mampu mendengar suara lonceng itu tepat pada tengah malam. Ia mewarisi kemampuan Zulham sebagai peziarah. Radhi merupakan titisan Dewa Kematian Sarwari.
***
Kembali pada penjara tempat Satu Darah ditahan ...
Sura bersandar di dinding lorong. Darah dan lebam akibat serangan tangan kosong Arai menghiasi penampilannya. Ia menatap Arai dan Rio yang muncul dari ujung lorong tempat dua anggota Satu Darah di tahan.
"Boleh aku bunuh dia?" tanya Rio sambil terkekeh gila.
"Terserah. Aku berjanji tidak akan membunuh siapa pun, tapi itu hanya aku. Berbeda cerita denganmu." Arai menyeringai menatap Sura. "Aku tidak berjanji untuk melindungi orang lain."
Rio menginjak perut Sura dengan keras. Anggota Dharma itu memuntahkan darah dari mulutnya. Ia meringis kesakitan. Sang algojo mengambil satu kujang Sura yang tergeletak di lantai dan menjilatnya hingga lidahnya berdarah. "Senjata yang bagus."
Sura hanya bisa berpasrah diri. Rio menyeringai. Ia melesatkan tusukan ke arah Sura. Darah mengalir membasahi lantai.
"Rizwana ...." Rio menatap Rizwana yang tersenyum menatapnya. Tangannya menjadi tameng untuk Sura.
Dengan cepat, Rizwana mencipratkan darahnya ke arah mulut Sura, lalu ia menempelkan kedua telapak tangannya. Rio mendadak mati rasa. Ia lumpuh sesaat akibat teknik darah Angkhara milik Rizwana.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Arai.
"Aku tidak akan membiarkan orang ini mati," tutur Rizwana dengan senyum khasnya. Rizwana menoleh ke arah Sura. "Hey, bagaimana kesepakatan kita?" tanya Rizwana pada Sura.
"Ada kemungkinan kau berkhianat, tapi itu lebih baik daripada mati di sini." Sura mengeluarkan sebuah kotak berkain putih dari balik jaketnya. Ia lemparkan itu pada Rizwana.
Rizwana menyeringai. Aura di sekitarnya berubah. "Good choice, Dharma." Rizwana dengan cepat mengeluarkan isi di dalam kotak dan membuang kotak itu. Sebilah mata tombak kini berada di tangannya. Tanpa gagang, Rizwana memainkan mata tombak itu dengan tangannya yang perlahan mengeluarkan darah. Ia menari-nari, hingga terdengar suara lonceng.
Arai dan Rio masih berdiri di posisinya. Mereka mulai waspada. "Kau berkhianat?"
"Tidak. Hanya saja aku punya jalan sendiri," jawab Rizwana. "Dan lagi, yang membuatku menjadi bagian dari kalian adalah ayahku yang berengsek. Anggap saja aku hanya orang asing."
Arai menarik Rio mundur. Dinding lorong hancur tertabrak sesuatu. Kabut tebal langsung menghiasi area penjara.
"Arai," tutur Rio.
"Ya, dia ancaman," balas Arai menatap Rizwana yang sedang membopong Sura. Ia berdiri di atas kereta kencana yang ditarik tiga kuda tanpa kepala. Mata tombak Cakra Langit kini menjadi miliknya.
Rizwana tersenyum menatap mereka. "Bye-bye." Kencana itu pergi menjauh dari Arai dan Rio.
Rio hendak mengejar, tapi Arai menahannya. "Tak perlu dikejar. Entah kenapa, instingku mengatakan untuk membiarkan mereka pergi."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top