120 : Healing
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Setiap senin Mantra libur. Nada duduk di teras sambil memangku Kerdil yang tertidur pulas. Suara lonceng di pintu membuat gadis itu menoleh.
"Yuk," ucap Cakra yang muncul dengan kaos hijau oversize dan celana cargo panjang berwarna hitam.
"Maaf, Kerdil." Nada menggendong Kerdil dan memindahkannya ke lantai. Kini matanya menatap Cakra. "Yuk."
Jika Nada memiliki masalah, Cakra selalu mengajaknya berkeliling Jogja. Tak ada tujuan, hanya menikmati pemandangan dan aroma kota istimewa ini. Berharap angin senja mengikis gundah yang mengerak di hati gadis lugunya.
Mengendarai vespa matic kuning milik Melodi, mereka akan melakukan tur kecil mengelilingi Ring Road. Tak lupa sepasang helm bogo yang melindungi kepala mereka. Nada memegangi pinggang Cakra. Tak seperti orang pacaran yang berpelukan saat berkendara, Nada terlalu malu untuk itu. Ia hanya mengapit baju Cakra di antara jempol dan telunjuknya.
"Kamu kalo mau cerita, cerita aja," ucap Cakra.
Nada terdiam. Ia tak tahu harus memulai dari mana.
"Kalo masih butuh waktu buat bisa cerita ya enggak apa-apa juga. Lain kali juga boleh. Telingaku enggak ke mana-mana," lanjut Cakra.
"Maaf ya, Cakra ...," gumam Nada lirih. Ia merasa tak enak pada Cakra. Entah, Nada hanya belum siap untuk bercerita pada orang lain.
"Setiap orang punya zona tertutup, Nad. Ketika kamu belum siap cerita ke aku, bukan berarti kamu enggak terbuka atau enggak percaya sama aku. Semakin aku kenal kamu, semakin aku mengerti. Setiap manusia butuh waktu. Kelak, ada waktunya kamu akan bercerita. Aku cuma perlu nunggu sampai kamu siap buat minjem bahu dan telinga aku buat bersandar sambil dengerin kamu."
Nada mendekap Cakra dari belakang. Ia tersenyum sembari menempelkan pipinya di punggung pria itu. "Makasih ya udah ngertiin aku."
Cakra membalas senyuman itu sambil menatap lurus ke jalan. "Sama-sama."
Perjalanan mereka terhenti di sebuah warung makan bakso di daerah Ambarukmo. Warung makan ini viral karena menjual menu bakso jumbo seberat satu kilogram.
"Aku mau yang paling gede, Cakra."
"Ya udah, kita pesen itu aja satu."
Nada memicingkan matanya. Menatap Cakra dengan sinis tanpa kata. Menyadari Nada menatapnya, Cakra menoleh. "Kenapa?"
"Aku mau makan itu sen-di-ri!" ucap Nada ketus.
"Emangnya abis?"
"Abis!"
"Mubadzir loh kalo enggak abis," ucap Cakra.
Nada memalingkan wajah tak mau menatap Cakra.
Cakra hanya bisa menghela napas. "Ya udah. Bakso itu satu, aku pesen yang lain, ya."
Nada mengangguk. Perlahan senyumnya kembali.
Pada akhirnya mereka memesan satu porsi bunuh diri dan satu porsi biasa. Cakra tak butuh waktu lama menghabiskan makanannya. Sementara Nada butuh waktu. Sudah lebih dari tiga puluh menit mereka di sana, tetapi bakso pesanan Nada tak kunjung habis. Hingga pada satu titik Nada menatap Cakra sambil tersenyum. "Cakra ... hehehe."
"Kan. Enggak abis, kan?" Cakra memasang wajah datar.
"Jangan marahin Nada ...." Kini wajah gadis itu memelas.
Cakra menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. "Sini, aku abisin. Untung aku pesen yang porsi kecil tadi."
"Kamu belum kenyang?" tanya Nada.
"Aku udah tau bakalan begini, jadi sengaja beli porsi kecil," jawab Cakra.
Nada terkejut. "Prekognision?!"
"Bukan, Nada. Emang udah pasti kamu enggak akan abis makan bakso begitu sendirian. Enggak butuh prekognision buat nebak masa depan bakso itu."
Nada terkekeh sambil menggaruk kepala. "Aku serahkan padamu, Kapten Cakra!"
Cakra mengambil alih bakso monster itu dan mulai menghabisi apa yang dimulai oleh Nada. Bahkan setengah porsi pun belum habis. Nada hanya memakan beberapa persen bagian saja.
Lima belas menit berlalu. Nada tersenyum sambil bertepuk tangan. Sementara itu Cakra duduk sambil memegangi perutnya. "Kapok aku," tutur pria itu. Bakso di mangkoknya sudah habis tak bersisa.
Nada membungkuk, menempelkan pipinya di meja sambil menatap Cakra. "Maafin Nada ya, Cakra. Nada nyebelin, ya?"
Pria itu pun ikut membungkuk sambil menempelkan pipinya di meja menatap Nada. "Banget!"
"Tapi dimaafin, kan?" tanya Nada memelas.
"Maunya dimaafin apa enggak?"
"Maafin laaaa ...."
Cakra terkekeh sambil mencubit pipi Nada. "Oke, kali ini aku maafin. Besok-besok dengerin aku kalo ngomong!"
"Oghey," balas Nada dengan tangan Cakra yang masih menarik pipinya.
Setelah istirahat sebentar, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Masih tak ada tujuan, tetapi Cakra ingin melanjutkan ekspedisinya ke arah Gunung Kidul.
***
Panasnya siang mulai dilahap semilir sepoy angin senja. Deva sedang duduk melamun di kursi bawah pohon area Fakultas Ilmu Budaya. Seorang gadis tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia menatap Dirga sambil meyampingkan poninya ke telinga.
"Ngelamunin apa sih?"
Deva sontak menoleh. Sosok itu adalah Jashinta. Deva tersenyum hambar menatap gadis mungil yang lebih tua darinya satu tahun itu. "Ngelamunin nasib bangsa," jawab Deva bercanda.
"Kamu minat jadi presiden?" Jashinta menanggapinya dengan serius.
Deva terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Enggak sama sekali."
"Kenapa enggak? Aku pikir semua orang mau jadi presiden," ucap Jashinta.
"Aku enggak tuh," balas Deva.
"Kenapa kamu enggak mau?"
"Ribet. Jadi BEM aja udah ribet sampe lupa makan, gimana ngurusin negara coba? Bisa-bisa lupa makan satu periode."
"Biar aku tebak. Kamu belum makan pasti?"
"Ya ... begitulah," jawab Deva.
"Makan yuk. Aku tahu tempat makan yang murah, enak, dan banyak."
Deva melirik jam tangannya. Hari ini Mantra libur, dan sudah tak ada lagi gadis yang selalu minta dijemput seperti hari lalu. "Boleh deh," balas Deva.
Karena Deva membawa sepeda, dan Jashinta membawa motor. Akhirnya Deva mengalah. Mereka berdua berboncengan menuju tempat makan menggunakan motor Jashinta. Deva dan Jashinta berkendara hingga motor itu berhenti di sebuah rumah makan yang memiliki hidangan utama berupa ayam geprek.
"Kamu suka pedes, Dev?" tanya Jashinta.
"Aku pemakan segalanya," jawab Deva.
"Oke, kalo gitu, tapi seumpama kamu enggak suka pedes, ada juga menu yang aman." Mereka berjalan masuk ke dalam. Deva dan Jashinta duduk bersebrangan dibatasi sebuah meja.
"Kamu pesen apa, Je?" tanya Deva sambil melihat daftar menu.
Jashinta cukup akrab dipanggil Jeje di fakultas. Tanpa melihat menu, gadis itu sudah hafal semua menu dan harganya. "Ayam geprek paha atas. Cabe sepuluh," ucap Jashinta sambil menatap layar ponsel.
Deva terdiam. Ia mencerna pesanan gadis mungil itu. "Cabe?"
Atensinya teralhikan oleh pertanyaan itu, Jashinta menatap Deva. "Sepuluh."
"Serius? Cabe sepuluh?" Deva memasang wajah terkejut.
Jashinta tersenyum. "Serius. Level max!"
Tak ambil pusing, Deva mencatat pesanan Jeje dan juga pesanannya. Ayam geprek dada, cabe tiga. Mereka memiliki perbedaan yang cukup jauh dalam kekebalan lidah. Beda tujuh level.
Tak lama berselang dari waktu memesan, akhirnya dua menu itu dihidangkan di meja mereka. Deva menatap menu milik Jashinta.
'Mampus nih orang'. Pikirnya. Ayam cabe sepuluh itu terlihat sangat menakutkan. Lebih merah dan menakutkan dari resonansi Bapang.
Jeje beranjak dari duduknya dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Setelah itu ia kembali dan mulai melahap makanannya.
Deva meneguk ludah melihat gadis itu makan. Entah, ia tak terlihat kepedasan. Tak ada keringat dan gelagat gerah. Deva berpikir, mungkin memang cabe di sini kurang pedas. Pria itu mulai melahap makanannya dengan sendok dan garpu.
Beberapa menit berlalu. Setengah porsi ayam geprek Deva sudah sirna ditelan perut. Selain piring makanan dan gelas berisi teh manis panas, terlihat tisu berserakan di atas meja Deva. Tak jarang ia mengusap keringat di keningnya sambil mengelurakan suara-suara desahan dari mulutnya.
Pada satu titik ketika Deva hendak mengambil tisu di meja, rupanya stok tisu habis. Ia celingak-celinguk mencari, tetapi di tengah pencariannya, keningnya ditabrak sesuatu. Itu adalah tangan Jashinta yang memegang tisu, gadis itu mencondongkan tubuh mungilnya ke depan dan mengusap keringat di kening Deva. Deva terdiam menatap gadis itu.
"Pedes banget po?" tanya Jashinta.
(Po, adalah singkatan dari opo, atau apa. Di beberapa daerah jawa, salah satunya Jogja, singkatan itu cukup populer digunakan.)
"Aku heran, kamu cabe sepuluh kok enggak pedes?" tanya Deva balik. "Ini cabe tiga aja udah membagongkan!"
Jashinta tiba-tiba saja menghentikan aktivitasnya di kening Deva dan menatap ke arah meja dengan tatapan sendu. Perlahan ia duduk kembali.
"Tapi makanan di sini enak, kan?" tanya Jashinta.
Deva mengangguk sambil mengusap hidung. "Enak dan gila! Ini gepreknya mantep banget sampe meler-meler."
Gadis itu tersenyum getir. "Syukurlah kalo enak."
"Kamu enggak apa-apa, Je?" tanya Deva.
"Enggak kok. Kenapa emang?"
"Kamu keliatan sedih gitu."
"Kamu pernah kehilangan cita-cita?" tanya Jashinta mendadak. Suasana seketika itu berubah. Senyap menjadi kuasa di antara mereka. Jashinta menunduk, ia menyesal sudah melempar pertanyaan barusan pada Deva.
"Pernah."
Kini gadis itu menatap pria di depannya. Pria itu tampak biasa saja, tak ada kesedihan yang terpancar setelah mengatakan 'pernah'.
"Aku dari kecil seneng main bola. Sejak kecil aku ikut sekolah sepak bola dan perlahan diakui orang-orang terdekat sebagai pemain berbakat. Selalu jadi pemain terbaik meskipun waktu itu masih SD. Di SMP pun begitu, enggak ada yang berubah. Aku punya cita-cita yang cerah dengan semua bakat itu."
Jashita tampak khusyuk menyimak cerita Deva. Pria itu menghentikan ceritanya sejenak dan meminum teh miliknya. Sesudah minum, Deva menggulung bagian kanan celana hingga menampilkan lututnya. Ada sebuah luka yang tertinggal di sana. Wajahnya yang merah dan penuh air mata menambah bumbu kesedihan dalam ceritanya.
"Luka ini tercipta tepat sebelum aku lulus SMP. Aku mengalami kecelakaan mematikan yang membuat aku enggak bisa berjalan selama satu bulan. Enggak ada yang bisa aku inget selain darah dan nanah yang keluar dari lutut ini. Entah berapa kali lututku dioperasi gara-gara kecelakaan itu. Bahkan selama satu bulan istirahat, terkadang pendarahannya masih terus mengalir seakan enggak bisa sembuh."
"Terus kamu berhenti main bola karena itu?" tanya Jashinta.
"Seandainya aku berhenti kala itu, mungkin itu lebih baik daripada yang akan terjadi selanjutnya," jawab Deva.
Deva mendongak, menutup mata sambil menghela napas. Ia buka matanya perlahan menatap Jashinta. Ingusnya yang meler semakin menambah kesan dramatisir.
"Aku percaya bahwa aku baik-baik aja. Setelah sembuh, aku masih harus rehat beberapa minggu. Perlahan aku ikut latihan-latihan kecil, sampai akhirnya pada satu hari aku kembali merumput sebagai pemain cadangan. Pelatih bilang, aku masih harus menjaga kondisi dan beradaptasi kembali setelah satu bulan lebih absen. Dia enggak mau aku jadi starting eleven karena takut aku drop lagi. Dia bilang aku ini senjata pamungkas, jadi aku turun di babak kedua, yang penting kondisiku aman. Waktu itu semua masih baik-baik aja. Aku bisa lari dan dribble bola dengan bagus. Ngelewatin dua sampai tiga pemain masih terasa gampang waktu itu. Dari pertandingan itu aku berhasil meyakinkan pelatih bahwa aku baik-baik aja. Dalam waktu dekat, aku kembali jadi starter. Posisiku pemain depan. Di pertandingan selanjutnya, aku punya banyak peluang, tapi enggak ada satu pun peluang itu yang berbuah gol. Sampai pada satu kesempatan yang krusial, di mana harusnya kami bisa lolos dari fase grup. Aku mengacaukan semuanya. Di tengah sorak-sorai penonton, aku nendang bola dan bola itu bergulir pelan banget ke kaki kiper. Satu peluang akhir di penghujung akhir babak kedua. Aku kelihatan kayak orang yang dibayar tim lawan buat enggak ngebobol gawang mereka."
"Kamu--enggak bisa nendang lagi?"
Deva terkekeh sambil menghabiskan sisa minumnya. "Semua orang memberikan cap penghkianat. Mereka berpikir bahwa aku udah nerima uang suap dari tim lawan. Dari situ aku mulai kehilangan kepercayaan pelatih juga dan mulai turun jadi pemain cadangan. Sampai pada puncaknya aku jadi pelapis ketiga. Aku cuma pemain redup yang tugasnya menjadi cadangan bagi para penghuni bangku cadangan. Dari yang awalnya starting, dan dianggap pemain terbaik. Tiba-tiba dihempaskan menjadi pemain terburuk yang bahkan enggak pernah ada di bench cadangan. Semua orang selalu ngeliatin aku dengan tatapan seolah-olah aku adalah sampah. Sejak itu aku berhenti main bola. Aku buang sepatu bolaku dan sempet depresi berat. Diem-diem bolos sekolah dan mulai bermasalah. Sampai pada akhirnya orang tuaku pindah ke Bandung. Di situ aku mulai semuanya dari awal. Jadi Deva yang baru, yang bahkan enggak aku kenal."
Melihat Jashinta yang bertambah murung, Deva menggaruk kepalanya. "Tapi itu cerita lama. Masa lalu adalah proses pendewasaan. Seandainya aku dikasih kesempatan buat mundur ke waktu itu untuk memperbaiki ini semua, aku enggan kembali. Biar bagaimana pun, aku bangga sama diriku sendiri. Aku yang sekarang enggak akan ada tanpa luka ini dan segala cerita di baliknya." Deva mengusap lutut kanannya.
"Aku juga punya cita-cita ...," ucap Jashinta tiba-tiba. "Dulu aku itu sekolah kejuruan masak. Aku punya cita-cita jadi komentator food, rievew-review makanan jadi foodstagram ...."
"Keren tuh. Nantinya bisa menghasilkan uang dan analisis cuma modal makan?" ucap Deva.
Jashinta tersenyum. "Ya, pasti menyenangkan."
"Semoga ...."
"Kamu tanya, kan? Kenapa aku enggak kepedasan makan ayam geprek cabe sepuluh?" Jashinta memeletkan lidahnya, lalu memasukkannya kembali. "Aku pernah kena benturan di area wajah. Enggak ada luka serius, tapi dua indraku rusak. Aku enggak bisa lagi nyium aroma dan rasain makanan. Semuanya hambar." Air mata gadis itu luruh.
Deva tak tahu harus melakukan apa. Jashinta terisak-isak. Kini mereka menjadi sorotan orang-orang banyak.
"Mas, diapain itu pacarnya?" tanya Ibu penjual makanan.
"Tau nih. Punya pacar manis malah dinangisin," timpal pembeli lain.
"I-ini gara-gara pedes doang kok."
Semua menggeleng tak percaya. Deva hanya bisa tersenyum. Ia membayar tagihan dan membawa Jashinta pergi. Di atas motor mereka kini pergi tak tentu arah.
"Aku enggak tahu harus berbuat apa," ucap Deva lirih. "Aku bukan orang yang pantas buat ngasih pendapat atau sekadar ngasih kalimat support, apa lagi solusi."
"Maaf, aku malah curhat dan sedih sendiri," balas Jeje.
"Enggak apa-apa, Je. Kalo mau curhat aku siap dengerin, tapi aku enggak jamin bisa bantu. Oh iya, abis ini ada kegiatan apa kosong?" tanya Deva.
"Kosong, kenapa?"
"Aku punya tempat bagus, tapi agak jauh. Kemarin temenku update story instagram gitu di daerah Gunung Kidul. Bukit Bintang."
Jashinta setuju pergi ke tempat itu untuk bersama-sama memulihkan luka. Deva merasa tak pantas untuk membantu masalah Jashinta karena ia pun lari dari kenyataan dan memilih menghindar dengan mencari kesenangan baru, yaitu bermusik. Rasa kecintaan musik antara Deva dan Melodi pun agak berbeda. Deva tak sedalam itu menyukai musik. Pria itu seperti orang yang mencari pelarian.
***
Bulan bertahta di atas padang bintang. Bukan hanya langit yang memiliki bintang, bumi pun punya. Melodi dan Harits berdiri di balkon sebuah kafe outdoor menatap cahaya gedung dan lampu kendaraan di Jogja, dari Bukit Bintang. Embusan angin memanjakan mereka yang sedari sore berada di tempat itu. Rasanya tak ingin pulang.
Regara, Regita Sagara. Begitulah mereka diam-diam membangun sebuah band akustik beranggotakan mereka berdua. Melodi sebagai lead gitaris dan vokal dua, sementara Harits sebagai vokalis utama dengan gitar rythem.
Semenjak tahu siapa sosok Melodi Regita Mahatama, pihak kafe menyodorkan kontrak padanya untuk tampil di hari weekend dan bebas datang ketika ada jam kosong di malam weekday. Kapan pun itu, pihak kafe akan membayar penampilan Regara.
Uniknya, Melodi ingin agar identitasnya disembunyikan, mengingat Harits yang rewel. Pihak kafe setuju. Melodi selalu tampil dengan kacamata hitam dan topi beanie berwarna kuning. Sementara harits menggunakan kacamata dengan hidung dan kumis palsu. Ia juga melepas atribut khas berupa topi biru Craig Tuckernya.
Harits dan Melodi saling bertatapan di balik kacamata penyamaran mereka. Kedua orang itu saling mengangguk dan berjalan menuju panggung yang sudah disediakan oleh pihak kafe. Melodi dan Harits duduk sambil mengecek sound dengan permainan tipis-tipis.
Di tengah itu semua, Melodi mendadak terdiam dan menoleh ke arah Harits dengan cepat. "Cel!" panggilnya berbisik.
Harits menoleh sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Opo?"
"Cakra sama Nada ...."
Harits menoleh ke arah dua orang yang baru saja tiba di sana. Pria itu sontak menunduk. "Walah ... jancuk! Ngapain dah itu pada maen jauh-jauh bener!" Diam-diam ia melirik ke arah mereka sambil memainkan gitarnya.
Cakra dan Nada duduk di pinggir kafe, mereka terlihat bahagia. Itu membuat Harits agak cemburu. Tiba-tiba Cakra menunjuk ke arah pintu yang menghubungkan kafe dan bagian outdoor di belakang. Harits sontak menggaruk kepala. "Jancuk! Deva."
"Hah?!" Melodi sontak menatap orang yang ditunjuk Cakra. Rupanya itu adalah Deva dan gadis kecil penjaga Indomarried. "Alah, Mak ...." Giliran Melodi yang cemburu.
Pada satu titik, Nada menatap ke arah panggung. Ia memicingkan matanya. "Cakra, musisinya mirip Harits sama Melodi enggak sih?"
Cakra, Deva, dan Jashinta sontak menatap dua musisi yang terlihat kebelet berak itu. Mereka tertawa. "Mana mungkin."
Nada ikut terkekeh. "Iya, ya. Harits enggak bisa nyanyi, dan ... mana mungkin mereka akur."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top