119 : Sang Penguasa Tidur
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Hipnos adalah dewa yang menguasai tidur dalam mitologi Yunani. Hipnos tinggal di dalam istananya. Yaitu sebuah gua yang gelap, di mana cahaya matahari tak pernah bersinar masuk ke dalamnya.
"Udah denger? Enam orang panitia makrab minggu lalu kena sindrom putri tidur? Katanya sih malem itu mereka ditemuin lagi tidur masal di lapangan dan sampe detik ini belum sadar. Oh iya, ada satu orang lagi di luar panitia."
Topik pembicaraan itu cukup viral di kalangan mahasiswa, terutama kampus Instiper. Seorang gadis dengan gaya rambut pendek seperti pria menatap tajam ke arah Nada yang duduk beberapa baris di depannya. "Pasti mereka semua kena sial. Seinget gua, beberapa panitia, khususnya dari angkatan kita. Mereka punya rencana buat ngerjain Nada. Udah gua duga, dia emang terkutuk. Pantes hawanya suram. Buktinya enam orang ini."
"Tapi satu orang yang kena bukan dari panitia. Kalo emang mereka dikutuk Nada, kenapa orang ini juga kena? Mau buktiin?" Seorang gadis berambut dikuncir belakang tertarik untuk membuktikan rumor tersebut.
"Boleh. Terus kita harus ngapain?" tanya si tomboi
Si kuncir berbisik pada si gadis tomboi. Mereka tersenyum licik menatap Nada. Ada sebuah rencana jahat di antara mereka untuk membuktikan rumor negatif yang beredar seputar Nada.
***
Kelas pun berakhir. Nada merapikan tasnya dan berjalan keluar. Dua gadis ini mengikutinya. Nada memiliki kebiasaan. Ia sering pergi ke kamar mandi sesudah kelas siang. Sebab pada jam makan siang, ia banyak minum.
Di perjalanan menuju kamar mandi. Nada berpapasan dengan pemuda yang tempo hari menolongnya. Pemuda itu tersenyum pada Nada. Nada membalas senyuman itu dan lanjut berjalan.
Sesampainya di kamar mandi, Nada langsung masuk ke bilik toilet. Masing-masing toilet tak tertutup sampai atas. Ketika Nada sedang duduk di WC, tiba-tiba siraman air membuatnya terkejut. Siraman itu terjadi dua kali. Nada mendengar suara tawa dan ember yang di buang begitu saja. Kini gadis dengan kemeja dan celana cino hitam itu basah kuyup. Tatapannya sendu sambil menghela napas pasrah. Namun, sepertinya pasrah tak semudah itu. Perlahan ia menangis.
Nada cukup lama berada di dalam toilet. Selesai Nada membersihkan diri, ia keluar dari kamar mandi dengan mata yang sembab. Nada yang basah kuyup menajdi sorotan. Rasanya ia malu bercampur sedih.
"Kak, kenapa?"
Nada tak berani menatap orang yang berbicara padanya, tetapi Nada tau siapa pemilik suara itu. Ya, itu adalah suara pemuda yang menolongnya di acara makrab. Nada tak menjawab. Ia berjalan melewati pemuda itu. Namun, tangan pemuda itu menarik tangannya pelan. "Aku anter pulang, ya." Tanpa basa-basi, ia menuntun Nada menuju parkiran motor. Nada hanya bisa pasrah mengikuti langkahnya.
Pemuda itu menaiki motor vespa tua berwarna merah gelap. Nada naik di jok belakang. mereka sama sekali tak berbicara. Keadaan hening.
"Kakak tinggal di mana?" Pemuda itu membuka obrolan ketika motornya telah keluar dari area kampus.
"Ruko Casa Grande. Matra Coffee," jawab Nada lesu.
"Sabar ya, Kak Nada," ucap pemuda itu.
"Kamu tau namaku?"
"Waktu makrab kan kakak maju ke panggung. Di sana kakak cerita banyak hal. Semua yang ikut acara itu pasti kenal kakak."
Suasana kembali hening. Hingga pemuda itu kembali berinisiatif. "Kita satu jurusan. Namaku Rama."
Nada tak berkomentar. Sampai Mantra Coffee, tak ada kata yang terucap di antara mereka. Nada turun dari motor. "Makasih, ya. Dua kali aku ngerepotin kamu."
"Santai." Rama tersenyum. "Ya udah, kakak isitirahat aja. Aku masih ada kelas." Rama kembali menuju kampus. Sementara Nada masuk ke dalam .
Raut wajah pemuda itu berubah. Tatapannya kosong penuh kebencian. "Dua orang yang tadi, ya? Bedebah." Kecepatannya pun berbeda. Kini ia seperti orang yang kesetanan di jalan.
Rama tiba di parkiran. Setelah memarkirkan motornya, ia terdiam sejenak di atas motor dengan tatapan kosong ke arah tanah. Aura di sekitarnya berubah. "Brujeria ...," gumamnya lirih. Auranya membentuk sebuah zona tak kasat mata seluas area kampus. Rama mengeluarkan kotak musik kecil. Kotak itu mirip penjara jiwa milik Harits. Benda magis yang tak mampu dilihat dengan mata biasa. Kotak itu bernama Lullaby.
Rama memutar sebuah kunci di pinggir kotak. Lullaby mengeluarkan nyanyian instrumental yang hanya bisa di dengar oleh bawah sadar manusia. Rama perlahan berjalan menuju pusat kampus. Ketika langkahnya menemui orang lain, orang itu tiba-tiba terkapar di tanah. Mereka tertidur akibat nyanyian Lullaby.
Uniknya, mereka yang tertidur tak sadar jika diri mereka tertidur. Ketika mereka sedang berjalan sambil mengobrol, maka bawah sadar mereka akan merespons dengan sebuah mimpi serupa. Mereka tetap melanjutkan apa yang seharusnya mereka lakukan, tanpa tahu bahwa diri mereka sedang terlelap.
Dalam tayangan lambat. Orang-orang di kampus tumbang satu persatu seiring langkah Rama berjalan. Pemuda itu mencari dua orang yang sudah berani-beraninya mengerjai Nada. Hingga pada satu titik, matanya menangkap keberadaan dua orang itu sedang duduk di kantin sambil tertawa. Mereka berdua tak sadar jika bahaya sedang mengintai.
Brujeria adalah sebuah sihir ruang yang merupakan pancaran aura milik Rama. Di mana seseorang yang berada di dalam zona itu akan mengkoneksikan bawah sadar mereka dengan pikiran Rama. Mereka mungkin terjaga, tetapi alam bawah sadarnya merangsang mereka bermimpi walaupun belum tertidur. Kedua orang itu tak melihat orang-orang di sekitar mereka tumbang. Di mata mereka, semuanya terlihat normal dan biasa. Itulah efek dari Brujeria. Target pemuda itu tak akan pernah sadar, kapan ia sudah masuk ke dalam Brujeria dan terjerat Lullaby.
"House of Nightmare," ucap Rama dengan sorot mata yang penuh amarah.
Di sisi lain, dua gadis yang tertawa ini sedang membicarakan topik obrolan di luar Nada. Tiba-tiba suasana mendadak gelap. Siang luntur menjelma malam. Mereka terdiam saling melempar tatap. Keadaan hening tanpa embusan angin. Mereka telah masuk dalam permainan Rama di dalam rumah mimpi buruknya.
Semua orang selain mereka mendadak diam dengan tatapan kosong. Suasana ini membuat kedua gadis itu bangkit dari duduknya dan saling bergandengan tangan. Sekujur tubuh mereka merinding.
Pada satu titik, semua orang serempak menatap mereka dengan gerakan yang cepat. Mereka semua menyeringai sambil memainkan tari jaipong.
"Ini kenapa sih?" ucap gadis berkuncir itu. Bulu kuduknya semakin merinding.
"Kok tiba-tiba malem? Terus ini orang-orang kenapa?" timpal si tomboi. "Kita pergi, yuk. Serem." Ia menarik wanita berkuncir keluar dari kantin.
Sebuah musik gamelan samar-samar terdengar. Semua orang di jalan menatap mereka dengan melakukan hal serupa dengan yang di kantin. Dua orang gadis ini benar-benar merinding setengah mati. Tak ada yang bisa mereka pintai pertolongan.
Tempo musik semakin cepat seiring dengan derap langkah kaki mereka yang setengah berlari keluar dari kampus. Rama duduk mengambang di langit menyaksikan mereka dari atas. "Hujan ...," gumamnya.
Langit tiba-tiba bergemuruh, ketika awan-awan saling berbenturan. Kilatan-kilatan abstrak berwarna putih kebiruan bertahta di atas langit. Tanpa permulaan, hujan turun dengan volume yang deras. Air langit malam ini berwarna merah dengan aroma anyir yang menyengat.
Kedua gadis ini menangis. "Ini gara-gara kita jailin Nada! Gara-gara ide kamu kita kena sial!" umpat si tomboi.
"Jangan nyalahin aku! Kamu juga ikut-ikutan, kan?!"
Mereka bertengkar dan saling menyalahkan di pinggir jalan. Hingga pada satu titik dari kejauhan, ada lampu yang mengarah dari arah berlawanan. Cahaya terang itu semakin mendekat pada mereka.
"Eh, eh, ada mobil tuh."
"Oh iya, ayo kita minta tolong."
Mereka mempercepat langkahnya. Namun, ketika jarak semakin dekat, mereka justru berhenti dan tercengang. Lantaran bukan mobil yang ada di hadapan mereka, tetapi sekumpulan tengkorak berjubah hitam yang menggotong dua keranda mayat berkain hitam. Cahaya itu adalah sebuah lentera. Nada berjalan memimpin barisan setan itu ke arah mereka berdua menenteng lentera. Nada menyeringai. "Ayo, kita pulang."
Lutut dua gadis ini mendadak lemas. Mereka berlutut dan memohon pengampunan. Mereka tak mampu bergerak akibat disetubuhi rasa takut. "Nad, jangan bawa kita. Kita nyesel," ucap si tomboi.
"Nad, maafin kita. Kita salah," timpal si kuncir.
Aroma anyir membuat dua gadis ini menahan muntah. Para tengkorak berkain hitam itu mengelilingi mereka. Sementara dua gadis ini merengek sambil memegangi kaki Nada, memohon pengampunan.
Perlahan wajah Nada berubah. Kulitnya luntur dan terjatuh hingga mengenai lengan si tomboi. Belatung keluar dari daging wajahnya.
"AAAAAAA!"
Gadis-gadis ini berteriak ketika melihat wajah Nada yang berubah menjadi sosok nenek-nenek berwajah hancur hingga menampilkan separuh tengkoraknya. Mereka pun digotong secara paksa naik ke dalam keranda mayat. Gadis-gadis itu memberontak dan berteriak sekeras yang mereka bisa. Para pengantar jenazah membawa dua gadis itu masuk ke dalam lebatnya kabut dan menghilang.
Semua kejadian ngeri itu tergambar jelas di bola mata dua gadis yang sedang tertidur dengan mata terbuka di kantin. Mereka masih terduduk seperti sedia kala. Air mata mengalir dari sela-sela mata mereka.
Perlahan orang-orang mulai terbangun dari tidurnya.Mereka tak mengerti apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja mereka terbangun dari sebuah tidur yang mereka tak sadari. Semua bangun, kecuali dua gadis yang sudah menggangu Nada. Mereka berdua duduk tak bergerak dengan tatapan kosong. Kesadaran mereka terjebak dalam mimpi buruk tak berujung.
Rama duduk di salah satu kursi kantin. Ia sedang membaca sebuah buku sambil menggigit apel merah. Pada satu titik, Rama menatap dua orang gadis yang mulai dikerubungi orang-orang. Terbesit senyum tipis, sebelum akhirnya ia membaca kembali.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top