118 : Pelanggan Berbahaya
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Hujan lebat mengguyur Yogyakarta. Mungkin karena itu hari ini sepi pengunjung. Tak lama berselang, lonceng di pintu berbunyi. Harits, Jaya, Kevin, dan Deva sontak menoleh. Nada dan Melodi hari ini off, tetapi memiliki kesibukan yang berbeda. Melodi sedang tampil di kafe lain bersama teman seperkustikannya, dan Nada masih di kampus. Sementara Cakra juga ada di kampus Nada, mereka tak bisa pulang karena motor Harits tak menyediakan jas hujan. Niat menjemput, malah terjebak.
Ke sampingkan itu semua. Para crew Mantra Coffee terbelalak mendapati pelanggan mereka. Mata Harits tiba-tiba saja berwarna hitam dengan bola mata biru. Ia mengeluarkan buku penjara jiwa. Sementara Deva dan Jaya sudah menggenggam topeng mereka. Lalu Kevin, ia terlihat tenang, tetapi di tangannya sudah tersedia pisau dapur.
"Ini kafe, kan? Bukan medan tempur?" ucap pria berjaket tentara. Pria itu memiliki banyak sekali tato. Terlihat dari leher, wajah, dan pergelangan tangannya.
Harits menatapnya tajam. "Arai Purok!"
Arai Purok Sang Panglima Burung. Salah satu dari empat pembawa bencana dari Satu Darah. Pria itu berjalan santai dan duduk di depan Harits. Matanya menyorot menu yang berada di atas. "Hmmm ... tubruk robusta," ucapnya.
"Apa yang kau rencanakan, Arai Purok?!"
"Arai. Cukup Arai saja. Terlalu panjang jika disebut lengkap begitu," balas pria bertato itu. "Untuk jawaban dari pertanyaan barusan itu sederhana. Rencananya mau ngopi santai."
"Kenapa ada di sini?!" lanjut Harits.
Arai menghela napas. "Ini gimana sih pelayanannya? Kasih rate bintang satu nih. Masa teriak-teriak sama pelanggan." Arai menatap Harits dengan wajah kecewa.
Harits terdiam. "Oke, tubruk robusta satu," Ia berubah seratus delapan puluh derajat. Kini Harits segera membuat secangkir tuburuk robusta untuk pelanggannya.
"Mas Harits ... ini enggak apa-apa? Dia itu berbahaya," ucap Jaya yang ikut menjadi bimbang.
"Daripada dikasih rate bintang satu?" ucap Harits.
"Tapi dia berbahaya. Gimana kalo dia punya niat jahat?"
"Rits!" Deva mencoba memperingatkan Harits. Arai mengambil sesuatu dari kantongnya. Sontak mereka siap siaga kembali.
Arai mengambil sebuah ponsel dan membuka aplikasi permainan. Namun, merasa diperhatikan ia pun menatap balik. "Apa? Aneh liat aku main game?"
"Bukannya kau ke sini untuk membalas dendam atas kejadian di Walpurgis?" tanya Deva.
"Dendam?" Arai tak mengerti. "Gini-gini ... seandainya aku punya tujuan untuk membantai. Aku pasti akan membawa kedua mandauku. Saat ini aku tidak membawanya karena ingin ngopi, dan kebetulan tempat ini adalah kafe terdekat yang tersedia dari tempat tinggalku, sekaligus rekomendasi temanku. Aku pun tidak tau jika kafe ini milik kalian. Jadi begini saja ...."
Arai memberikan tekanan pada mereka semua. Sontak keempat pria ini merinding merespons tekanan tersebut.
"Jika kalian sebegitu inginnya bertarung. Akan aku ladeni. Bahkan tanpa mandau, aku bisa saja membunuh kalian dalam sekejap mata."
"O-oke. Kopi tubruk robusta satu, ya ...," gumam Harits lirih. Dengan gemetar ia membuat pesanan tersebut.
Arai tersenyum. "Iya, tubruk robusta satu." Seketika itu tekanan yang mencekam itu sirna.
Jaya memberikan kode pada Deva dan Kevin untuk tetap santai, tapi waspada. Sementara Harits yang mengurus pelanggan ini.
"Selain Ashura itu, arwah mana lagi yang kau miliki?" tanya Arai.
Harits merasa jika pria itu bertanya padanya. "Banyak, tapi dia yang paling berbahaya."
"Ahahaha iya, iya. Dia cukup berbahaya. Ngomong-ngomong siapa namamu, bocah?"
Urat di pinggiran keningnya mencuat. "Bocah?"
"Iya, bocah."
Jaya menepuk pundak Harits. "Sabar, Mas. Nyawa ini taruhannya."
Harits menghela napas, mencoba untuk sabar. Percuma marah pada orang yang tak bisa dimarahi. "Harits Sagara."
Arai mengeluarkan sebuah buku catatan. Ia membuka buku itu hingga menemukan lembaran kosong. "Coba tulis namamu di sini."
"Buat apa?" tanya Harits.
"Biar aku enggak lupa," balas Arai.
"Tulis aja. Harits Sagara."
Arai merubah raut wajahnya. Tekanan itu kembali muncul. "Tulis. Aku enggak bisa nulis."
Harits meneguk ludah. Ia mengambil pena dan menulis namanya di buku itu. Ada begitu banyak nama di sana. Bahkan ada beberapa nama yang ia kenali. Seperti Tirta Martawangsa, Bayu Martawangsa, Yudistira, entah siapa Yudistira yang dimaksud. Beberapa nama dicoret garis. Ada garis dengan tinta merah dan garis tinta hitam.
"Kau juga tulis." Arai menatap Jaya.
Buku itu berpindah dari Harits, ke tangan Jaya.
"Jadi sebenarnya buku apa ini?" tanya Jaya penasaran.
"Hanya pengingat," jawab Arai.
"Pengingat apa?" sambung Harits.
"Setiap orang kuat harus diingat. Buku ini berisi nama-nama orang yang meninggalkan kesan saat bertarung."
Harits dan Jaya memasang wajah angkuh. Dipuji seorang petinggi Satu Darah tentu saja membuat mereka berbangga diri.
"Semua yang tertulis di buku ini adalah nama-nama orang yang ingin aku bunuh. Setiap nama yang dicoret artinya sudah mati. Tinta merah berarti bukan aku yang membunuhnya, entah mati karena apa. Tinta hitam berarti dia korbanku."
Harits dan Jaya mendadak pucat pasih. "Bentar dah," ucap Harits dengan tatapan kosong. "Saya pinjem lagi bukunya."
"Saya juga," timpal Jaya.
"Ahahahaha udah, enggak apa-apa." Arai memasukkan buku itu ke dalam tasnya. "Suatu saat kita akan bertemu lagi dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan."
Jaya dan Harits saling bertatapan. "Matilah kita!" tutur Harits.
"Kalo tiba-tiba Mas Harits mati, saya harus waspada. Kalo korbannya berurutan sesuai list. Saya harusnya setelah Mas Harits," timpal Jaya.
"Enggak gitu, Jay!" balas Harits.
"Jay? Jaya?" Arai mengerutkan keningnya. "Jayasentika? Orang yang menangkap Rio?" Namanya terpampang di dalam buku, tetapi Arai juga tak cakap dalam membaca. Ia biasanya menyuruh orang untuk baca tulis.
Jaya meneguk ludah. Ia baru sadar jika Rio Dewantoro juga merupakan anggota Satu Darah. Kini rekan pria itu berkunjung ke Mantra.
"Jangan takut begitu. Bagus, aku mendukungmu. Si anjing gila itu perlu diberi pelajaran sekali-kali. Sayang, kami tidak diperkenankan bertarung satu sama lain. Padahal aku sangat ingin membunuh para anggota Satu Darah. Mereka semua orang kuat."
Mendengar itu, mereka semua agak lega. Ternyata Arai Purok pun menginginkan nyawa rekan-rekan Satu Darahnya. Namun, belum juga kering bibir Arai. Ia kembali berucap.
"Tapi masalahnya, Ratu ingin kami semua berkumpul. Ada hal besar yang akan kami lakukan bersama. Kami saling membutuhkan satu sama lain, mengingat jumlah kami yang hanya tiga belas orang. Itu pun, beberapa di antaranya sudah mati. Jadi ...."
Perasaan mereka semua tak enak. Pasalnya, perlahan-lahan hawa membunuh Arai mencuat keluar. Arai menyeringai menatap meja. "Katakan, di mana kalian menyembunyikan anggota kami yang tertangkap?"
Deg!
Semua tak bisa bernapas. Seolah sabit dewa kematian sedang menempel di leher mereka.
"Alasanku pergi ke tanah Jawa adalah untuk menambal lubang. Mencari orang yang memiliki potensi untuk bergabung dengan kami. Sekaligus menjemput para anggota, mengingat mereka semua tidak saling mengenal. Anggota Satu Darah tak diperkenankan saling mengenal satu sama lain sebelumnya, tetapi sekarang keadaan darurat. Jadi aku yang turun tangan menjemput mereka semua untuk menemui Ratu."
Arai bangkit dari duduknya. Gelas-gelas kaca pecah satu per satu akibat tekanan auranya. "Jadi, di mana? Kami sudah mencari, tetapi yang ada hanyalah sampah-sampah pengguna ilmu hitam lemah."
Memang, penjara para buruan Dharma ini dibagi menjadi dua. Satu untuk kelas ringan yang di tempatkan di Jogja, dan satu lagi khusus untuk Satu Darah di Jakarta.
"Jadi kau orangnya yang sudah membantai sipir penjara dan juga para tahanan di lapas rahasia Jogja?"
Arai menatap Jaya yang sedang menatapnya dengan tatapan kosong. Jaya masuk ke dalam mode dark nya.
"Ya, itu kami," balas Arai.
Beberapa hari lalu Jaya izin karena pekerjaannya di Dharma. Ia dipanggil untuk menyelidiki kasus pembantaian di lapas milik Dharma cabang Jogja. Rupanya itu adalah ulah Satu Darah yang mencari rekannya. Semua petugas sipir dan juga tahanan mati dengan kondisi kepala lepas dari tubuhnya.
"Jika salah satu di antara kalian memberitahu. Aku berjanji, akan membebaskan rekan kami tanpa membunuh siapa pun," ucap Arai. "Namun ... jika kalian menyembunyikan informasi itu. Kalian dan semua orang akan mati. Aku tau, salah satu di antara kalian mengetahuinya."
Jaya berlari dan melompati bar dengan bertumpu pada lengan kirinya. Pimpinan Peti Hitam itu sudah berada di hadapan Arai dengan pose memukul. "Langkahi dulu mayat saya."
"Jaya!" Harits tak tahu. Apakah ini tindakan yang benar, atau salah. Jaya kini berada dalam bahaya serius. Harits paham, bahkan di Walpurgis, para veteran tak ada yang mampu menumbangkan orang ini. Kini hanya ada para generasi baru. Kekalahan mereka adalah pasti.
Arai menyeringai. Ia mengepalkan tangan dan melesatkan tinju. Arai dan Jaya saling bertukar pukulan. Embusan angin membuat Harits dan yang lain merinding.
"Mati! Mati! Mati! Mati!" Itulah isi kepala Harits saat ini. Ia tak mampu bergerak.
Arai mengamati sekitar. Dilihatnya Deva yang hendak bergerak. Dengan cepat, ia langsung menarik tangan Jaya dan melempar bocah itu ke arah Deva.
Jaya dengan cepat terhempas hingga mengenai Deva. Mereka berdua membentur dinding. Pria Dayak itu langsung menerjang, tetapi langkahnya terhenti ketika sebilah pisau hampir saja memutus saluran pernapasannya.
"Seandainya kau tidak ragu, mungkin aku sudah mati," ucap Arai.
Kevin terlihat pucat. Tangannya gemetar. Mungkin Kevin dan Harits adalah yang paling peka terhadap kemampuan lawan di depannya. Namun, Kevin mencoba untuk melawan dengan rasa takut yang menyelimutinya, sementara Harits masih mematung.
Keluarga Wijayakusuma memiliki insting yang kuat terhadap pertarungan. Mereka hidup di dunia yang mana hanya ada dua pilihan. Dibunuh, atau membunuh. Saat ini, Kevin merasa hanya ada satu pilihan di hadapannya, yaitu dibunuh.
"Jangan gemetar ...."
Suara lirih itu membuat nyali Kevin sedikit naik. Arai menyadari ada seorang yang menghilang. Deva sudah mengenakan Tumenggung dan menghilang dari pandangan Arai melalui titik butanya, yaitu tubuh Kevin dan Jaya.
Jaya pun secara refleks bangkit. Ia berlari ke arah yang berlawanan dengan Deva. Dengan instingnya, Jaya melakukan pergerakan yang selaras dengan Deva meskipun ia tak mampu melihat pergerakan rekan bertopengnya itu.
Sementara Kevin melebarkan kakinya dan menarik tangan kanannya yang memegang pisau. Kali ini ia yakin tak akan meleset.
Serangan tiga arah itu memojokkan Arai. Namun, wajah pria Dayak itu tak terlihat seperti sedang terpojok. Arai bergerak cepat menarik angin.
Deva terbelalak. Lantaran Arai bukan menarik angin, melainkan menarik Tumenggung hingga terlepas dari wajahnya. Entah bagaimana caranya, Arai mampu menebak arah pergerakan Deva. Seringai itu kembali hadir. Arai memukul ulu hati Deva dengan keras hingga membuat Deva memuntahkan darah dari mulutnya.
"Deva!" teriak Kevin.
"Khawatirkan dirimu sendiri," ucap Arai pada kevin.
Kevin melesatkan pisaunya secara lurus, tetapi Arai menyamping kan tubuh dan menangkap tangan Kevin, lalu menghajar perut pria tampan itu dengan sikunya, membuat Kevin terhempas dan membentur dinding. Tubuhnya tak bisa bergerak akibat benturan yang keras. Tak lupa, Arai juga melucuti pisau di tangan Kevin sebelum menghempaskannya. Kini Arai terlihat memainkan pisau itu dengan lihai. "Lumayan juga senjata ini, enggak buruk."
Jaya meninju Arai dari belakang, tetapi seperti tak berdampak apa-apa. Arai memutar tubuhnya dan melesatkan pisau di tangannya ke leher Jaya. Namun, Jaya juga cepat, ia menghindari serangan itu dan menendang bagian kanan kepala Arai hingga pria Dayak itu agak sempoyongan.
Arai terkekeh. "Itulah kenapa namamu ada di daftar hitamku. Kau cukup menarik, tapi belum cukup kuat."
Jaya kembali melesat. Namun, kali ini Arai agak serius. "Babilem ...," Arai bergumam dengan bahasa Dayak Nganju. Seketika itu Jaya seakan mati rasa. Atma hitam berkumpul menyelimuti Arai. "Batajim ...." Perlahan atma hitam itu merembet menyelimuti pisau yang ia pegang. Aura mencekam Arai mendadak hilang, teapi tak menghilangkan atma hitam yang sudah berkumpul di pisaunya.
Harits melesat cepat. Ia yakin, serangan Arai kali ini akan membunuh Jaya.
"Mampatei." Aura membunuh itu tiba-tiba keluar lagi dengan kapasitas dan jangkauan yang lebih luas. Merembet sejauh beberapa kilo di sekitar Mantra.
***
Dari kampus Nada, Cakra menatap ke arah Mantra. Ia merinding dan merasakan aura membunuh yang kuat dari arah rumahnya. Bukan hanya Cakra. Pemuda yang duduk sambil menggigit apel merah tak jauh darinya juga menatap ke arah yang sama.
Cakra dan pemuda itu saling menoleh dan beradu tatap. Pemuda itu tersenyum dan bangkit dari duduknya. Ia mengeluarkan payung merah dari dalam tasnya, lalu membuka payung itu dan berjalan menerobos hujan.
"Nad, perasaan aku enggak enak," ucap Cakra.
"Kenapa, Cakra?"
"Dari arah Mantra, ada hawa haus darah yang pekat." Cakra beranjak dari duduknya. "Kamu tunggu sini dulu, ya. Aku mau ngecek Mantra, nanti aku langsung balik lagi bawa jas ujan buat kamu."
"Tapi kamu jadi basah-basahan?" Nada khawatir dengan Cakra.
"Enggak apa-apa." Cakra berjalan cepat menuju parkiran motor. Ia menerabas hujan. Ketika hampir sampai di motornya, tiba-tiba waktu seakan berhenti. Hujan yang turun pun mendadak tak bergerak dari posisinya. Rintik-rintik itu melayang. Cakra mengerutkan keningnya. "Apa lagi ini?"
***
Satu petak lantai di Mantra hancur akibat serangan ilmu hitam Arai. Jika saja Harits tak maju, mungkin tubuh Jaya sudah berlubang. Arai merubah arah serangannya di detik-detik akhir, ia menghindari Jaya. Kini, pria Dayak itu menyeringai menatap lembaran kertas yang Harits sodorkan di depan wajahnya.
"Mas Harits ... jangan ...." Jaya gemetar. Serangan Arai barusan membuatnya lemas, hingga berlutut.
"Ini alamat penjara di mana rekan-rekanmu ditahan ...," gumam Harits lirih. Wajahnya tak berani menatap Jaya. Ia merasa malu. Namun, malu masih jauh lebih baik ketimbang melihat temannya dibunuh satu per satu di depan matanya sendiri. "Tepati janjimu. Jangan membunuh siapa pun."
Arai mengambil kertas itu. "Jika kau berbohong perihal alamat ini, mandauku akan langsung mengincarmu ketika kau terlelap."
"Terserah ...."
Kini Arai terkekeh. "Bercanda. Aku percaya padamu, Harits kecil." Ia melempar sebuah peluit berwarna merah pada Harits. "Itu untukmu sebagai tanda terimakasih."
"Benda apa ini?" tanya Harits tanpa ekspresi.
"Jika kau dalam masalah, tiup saja. Itu hanya berfungsi sekali, jadi bijaklah dalam menggunakannya. Gunakan jika peluit itu berwarna merah. Ketika benda itu berwarna hitam, ia tak berfungsi."
Arai beranjak dari posisinya. Ketika ia hendak pergi, tiba-tiba raut wajanya berubah derastis. Dengan cepat Arai menusuk Harits dengan pisaunya. Harits pecah menjadi gumpalan darah, seperi balon yang diisi air, kemudian dipecahkan.
"Jangan ikut campur, bedebah," tutur Arai. Ia kembali memancarkan aura membunuh. Tiba-tiba muncul retakkan di langit dan sekelilingnya. Lingkungannya pecah menjadi serpihan kaca. Arai menoleh ke belakang, tepat ke arah pintu.
"Sedang apa kau?" tanya pemuda yang berdiri di depan pintu dengan payung merah.
Di sekitar pemuda itu, semua makhluk hidup tertidur pulas. Kecuali Arai. Pria Dayak itu menghancurkan tabir mimpi yang mengurungnya.
"Jangan gunakan leluconmu untuk hal seperti ini lagi, atau ku bunuh," ucap Arai.
Pemuda itu tersenyum. "Oke. Aku cuma penasaran apa yang kau lakukan di sini dengan aura yang berlebihan seperti tadi?"
Arai berjalan ke arahnya. Ia menunjukkan lembaran kertas yang diberikan Harits. "Ini lokasi Rio dan Rizwana. Kita harus bergerak cepat. Bebaskan mereka, tanpa membunuh siapa pun. Aku sudah bersumpah." Tanpa izin, Arai masuk ke bawah payung itu. "Ayo, kita pulang."
"Ah, sial ... payung ini terlalu kecil buat kita berdua," gerutu pemuda itu. "Keluar."
"Ya, kau benar." Arai mendorong pemuda itu keluar dari area payung. "Menjauhlah."
***
Di sisi lain waktu kembali berjalan untuk Cakra. Perlahan suara hujan yang membentur tanah terdengar laksana simfoni alam.
Cakra baru saja terbangun dari tidurnya. Pasalnya, begitu ia hendak pergi meninggalkan Nada, tiba-tiba saja Cakra terjatuh dan kehilangan sadar. Cakra merasa heran, jelas-jelas tadi ia sudah hampir sampai di motor. Rasanya, Cakra ingin tak mempercayai Nada, tetapi melihat pakaiannya yang kering dan tak ada bekas basah sama sekali, sementara tadi ia sempat menerobos hujan. Sesuatu yang tidak ia sadari pasti sudah terjadi.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top