117 : Pengatur Tempo
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rasanya kita hanyalah dua orang asing yang tidak saling mengenal. Mungkin kita saling mengetahui nama dan wajah, tapi hanya sekadar itu, tidak lebih.
Melodi menghela napas sambil sejenak menatap keluar jendela. Subuh ini gerimis romantis mengawali kamis dengan perasaan miris. Beruntungnya, teh tubruk di atas meja masih mengeluarkan kepulan asap yang menyelimuti gadis itu dari kejamnya dingin. Matanya kembali menatap pada lembaran kertas sambil tangannya menguncir rambut ke belakang. Setelah itu, ia angkat kembali pena hitamnya dan mulai mengukir isi pikirannya di atas kertas.
Singkat. Itulah deskripsi paling detail untuk menggambarkan pertemuan kita. Kita hanyalah dua insan fakir kenangan yang tak punya banyak tabungan untuk saling mengingat satu sama lain.
Berengseknya, Erzullie membuat karaktermu kental akan nostalgila. Nostalgia yang membuatku gila. Bagaimana tidak?! Kita tak punya kenangan bersama, tapi kehilanganmu lebih menyakitkan dari kehilangan sosok dia yang mengukir ribuan kisah indah di hari-hari lalu. Aku bisa mengingat banyak kenangan manis bersama pria yang pernah singgah di hatiku, tapi kamu? Kita tidak punya kenangan untuk dinikmati, tapi justru hal itulah yang membuat semua ini terasa perih.
Meskipun menjijikan, aku pernah membayangkan kita tertawa bersama. Namun, kini tawamu sirna. Tidak. Lebih baik jika tawamu sirna. Masalahnya tawamu yang menyebalkan itu masih terus berputar bak sebuah sinema di dalam benakku, entah tayang sampai kapan.
"Kamu tahu? Aku mengumpulkan sisa kewarasan ku untuk tetap berpesta tanpamu. Berusaha tersenyum sambil bersulang merayakan yang tak pernah kembali."
Melodi refleks menutup bukunya dengan wajah memerah malu. Suara bocah menyebalkan itu membuyarkan isi pikirannya. Harits berdiri di belakang Melodi sambil mengintip ba'it terakhir dari tulisan gadis itu dan membacakannya dengan suara lantang.
"BOCHIIIIL!"
"Nyahahahaha." Harits yang tertawa tiba-tiba merubah raut wajahnya menjadi ultra serius dan menoleh ke arah jendela yang basah. "Langit pagi ini adalah ilustrasi dari segala getirku. Kamu tahu kenapa? Sebab aku mengumpulkan sisa kewarasan untuk tetap berpesta tanpamu, berusaha tersenyum, bersulang merayakan yang tak pernah kembali."
Melodi bangkit dari dari duduknya dan menampar-nampar Harits dengan bindernya. "Kesel! Kesel! Kesel!"
"Enggak sakit, enggak sakit, wleeee. Nyahahaha." Padahal pipinya merah dan hidungnya berdarah, tetapi bocah itu masih sok kuat dan terus meledek.
Kevin berdiri di tangga dengan dengan handuk di bahunya, masih dengan rambut berantakan. Sepertinya ia baru bangun tidur dan hendak mandi. Namun, Kevin terdiam melihat tingkah laku dua orang itu.
"Enggak usah heran, pemandangan yang bakal sering lu liat," ucap Cakra yang sedang duduk ditemani secangkir english breaksfast panas buatan Nada.
"Mereka pacaran?" tanya Kevin.
"Menurut mata lu begitu?" tanya Cakra balik.
Kevin membalasnya dengan anggukan kepala.
"Sekilas sih begitu, tapi mereka tuh kayak air sama minyak," jawab Cakra. Sejenak ia seruput teh panasnya. "Enggak tahu besok."
Nada keluar dari kamar mandi dengan kaus lengan pendek berwarna hitam dan celana pendek hitam. Rambutnya basah dan tertutup handuk. "Ngobrolin apa?"
Cakra tersenyum. "Cuma ngomentarin Harits sama Melodi."
"Ngobrolin apaan lu bawa-bawa nama gua?" celetuk Harits yang sudah bonyok-bonyok.
"Kepo!" balas Nada.
Cakra menatap Kevin. "Oh iya, Deva mana?" tanya Cakra.
"Deva enggak pulang. Dia lagi sibuk ngurusin apa gitu buat acara kampus," jawab Kevin. "Dia anak BEM, dan aktif di HIMA juga."
"Iya, kalo itu udah tau, tapi tumben enggak bilang-bilang. Biasanya kalo enggak pulang dia bilang-bilang," balas Cakra.
"Mungkin karena sekarang Deba sekamar sama Kebin, dia bilang ke Kebin doang, Cokroooo," ucap Nada.
Melodi berjalan melewati mereka semua dan naik ke kamarnya. Tak ada kata yang terucap. Semua mata mengarah padanya hingga sosok gadis itu menghilang dari pandangan. Kini tatapan mereka beralih ke Harits. "Hayolo."
Harits memicingkan matanya. "Ngapa jadi gua?"
Semua menggeleng sambil berdecak, lalu membubarkan diri. Kevin masuk ke kamar mandi, sementara Nada naik ke atas, dan Cakra ke westafel untuk mencuci gelas.
"Bukan gara-gara gua, Njing!" Harits nampak kesal.
Di sisi lain Melodi menempelkan ponsel di telinganya. Terdengar suara panggilan yang diangkat.
"Jangan lupa makan," ucap Melodi.
"Makasih udah khawatir, tapi enggak perlu diingetin. Aku udah dewasa."
Deva adalah orang yang selalu sibuk. Sejak SMA pun ia sibuk di Osis dan juga banyak terlibat di Tantra. Tak jarang pria itu lupa untuk makan dan kerap kurang tidur.
Alasan mengapa Melodi tak menginginkan kehadiran Ippo dulu adalah untuk menjaga hati. Ia masih punya rasa untuk Deva dan berharap pria itu kembali dan berubah. Namun, kini harapnya pupus. Melodi tak lagi mengerti akan perasaannya sendiri. Di satu sisi ia merasa hancur karena kehilangan sesuatu yang bukan miliknya, tapi di sisi lain ia masih peduli pada Deva, meskipun tak lagi menginginkannya.
Panggilan itu sudah terputus. Kini Melodi merebahkan dirinya dan menutup mata, hingga tak sengaja tertidur. Mungkin karena di luar sedang hujan, suasanya mendukung untuk kembali terlelap.
***
Masih di bawah langit yang sama, masih berpijak di bumi yang sama, dan masih menatap hujan yang sama. Deva menggenggam ponselnya sambil menatap langit.
"Dev, dekorasi udah beres?"
Deva menoleh, menatap seorang pria gemuk yang berjalan ke arahnya.
"Beres sih beres, tapi ujan. Jadi sebagian dekorasi outdoor ditarik lagi," balas Deva.
"Semoga aja ujannya berhenti biar beres semua."
"Aamiin." Deva berjalan ke arah tangga dan naik ke atas. "Gua tidur dulu ya bentar. Belum tidur gua."
"Tidur dulu lu, jaga kondisi. Jangan mati di sini. Makin angker aja nanti ini tempat," balas temannya sambil terkekeh. "Udah makan belom?"
Deva berjalan tanpa menoleh. "Belum. Dirapel sarapan aja nanti."
Semua panitia HIMA, khususnya divisi dekorasi yang menyiapkan visual untuk acara festival budaya berada di bawah, Deva hanya sendirian di atas. Tak ada yang berani ke atas karena gelap dan konon menyimpan cerita horor. Matahari belum terbit mengingat baru beberapa waktu lalu Deva mendirikan shalat subuh berjamaah bersama rekan-rekannya.
Deva berbaring di kursi panjang yang hampir menempel pada balkon. Ia memejamkan matanya yang terasa perih.
"Enggak takut di sini sendirian?"
"Astagfirullah!" Deva terbangun karena suara itu mengagetkannya dan sontak terduduk. "Devi, kirain siapa."
Devi merupakan gadis yang menyukai Deva semenjak masih menjalin hubungan dengan Melodi. Gadis itu juga bagian dari tim dekorasi HIMA yang semalaman merias fakultas.
"Maaf kalo ngagetin." Devi meletakkan kotak di dekat Deva. "Kamu belum makan, Dev. Abis istirahat makan dulu."
"Iya, nanti aku makan. Makasih, ya." Deva kembali merebahkan diri dan memejamkan mata.
Di kampus sebenarnya Deva sangat populer, tetapi hatinya enggan terbuka untuk gadis mana pun.
***
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Melodi terbangun dari tidurnya. Ia berjalan ke bawah untuk mengambil segelas air. Rupanya Harits berada di sana, sedang duduk menatap jendela dengan pandangan sendu.
"Pada ke mana?" tanya Melodi.
"Hari kamis semua orang masuk pagi kecuali kita. Setiap kamis lu jam kosong, kan?"
Melodi mengangguk menimpali pertanyaan Harits.
"Berarti setiap hari kamis kita bakal sering ketemu, soalnya gua juga jam kosong."
"Kenapa waktunya harus pas banget sama jam kosong lu? Berasa sial," umpat Melodi.
"Ah, ya, rasain kesialan lu," balas Harits tak bersemangat. "Itu ada nasi goreng sisa. Sebenernya bukan sisa sih, tapi kelebihan. Gua masak kebanyakan nasi."
Melodi paham, Harits sengaja membuatkannya. Sudah satu tahun mereka tinggal dan bekerja bersama, tak ada yang tidak mengenal sifat dan watak Harits. Namun, Melodi berpura-pura tak mengetahui itu dan mengikuti alur yang sudah disediakan agar pria kecil itu tak terluka harga dirinya karena gengsi.
"Sering-sering deh kelebihan, biar gua tinggal makan doang," timpal Melodi.
"Cuciin piring gua nanti."
"Cuci sendirilah!" balas Melo.
Harits menghela napas.
"Oke gua cuciin, tapi anterin gua."
Kini pria itu menoleh ke arah Melodi. "Ke mana? Ujannya awet ini. Bisa sampe besok kali."
"Makanya itu, anterin pake mobil."
"Ke mana?"
Melodi tersenyum lebar. "Berusaha melupakan yang tak pernah kembali."
"Ya, terserah deh. Mumpung hari ini kosong dan nganggur," balas Harits.
"Abis makan, gua cuci piring, terus mandi. Setengah jam lagi udah siap, ya! Kita berangkat."
Harits beranjak dari duduknya dan berjalan ke atas. "Oke, gua mandi dulu."
"Enggak usah mandi, enggak ada bedanya juga!"
"Biar lu nyaman. Nanti kalo gua bau, nanti lu protes di mobil. Bau tai siape nih, bau tai siape nih. Mulut lu kan jahat," balas Harits.
"Harits! Gua lagi makan, jangan ngomong jorok begitu!"
"Nyahahaha sukurin. Tadi gua masak sambil garuk-garuk pantat."
Melodi melotot menatap Harits. Melihat itu Harits lari ke atas untuk mengambil baju dan handuk. "Nyahahaha kaboooor."
***
Setengah jam berlalu. Melodi turun dari tangga. Gadis itu mengenakan jaket jeans biru dan bawahan rok hitam panjang. Harits menatap gadis itu hingga Melodi berdiri tepat di depan Harits.
"Terpana? Cantik, ya?"
"Cuih!" Harits berpose seakan sedang meludahi gadis itu. Sontak tas kecil milik Melodi melayang menghantam kepala Harits.
"Lu bar-bar banget, Doy," ucap Harits sambil memegangi kepalanya yang sakit.
"Biarin! Lu jorok si."
"Melodoy, contoh noh Nada. Kalem," balas Harits.
"Udah yuk ah. Udah mandi, kan? Dibilang percuma, tetep dekil!"
Harits beranjak dari duduknya dan berjalan ke pintu. Ia mengambil payung dan membukanya. Melodi berdiri di samping Harits.
"Ojek payungnya, ya, Mang."
"Semena-mena banget orang," timpal Harits.
Melodi mengenakan kacamata hitam dan berjalan maju. Harits mau tidak mau mengikuti derap langkah gadis itu agar Melodi tidak terkana hujan.
"Jangan dempet-dempet, gatel nanti!" ucap Melodi.
Harits hanya diam dan membawa gadis itu ke sisi kiri mobil. Ia tak mau Melo duduk di tengah, sementara dirinya terlihat seperti seorang sopir di depan. Ketika Melodi membuka pintu, ia menatap sisi kanan Harits yang basah. Rupanya Harits menanggapi serius kata-kata Melodi untuk tidak menempel ketika sepayung. Hasilnya separuh tubuh pria itu basah.
Harits kini sudah duduk di kursi depan, sebelah Melodi. Ia sedang memposisikan mobil untuk masuk ke jalan ringroad.
"Sorry ...."
"Buat?" tanya Harits.
"Itu." Melodi menunjuk Harits dengan maksud menunjuk sisi kanan pria itu. "Jadi basah."
"Oh ini, biarin aja. Nanti juga kering."
"Tapi di mobil dingin, nanti kalo sopir aku masuk angin gimana? Enggak bisa pulang aku."
"Manggil taxi lah!" celetuk Harits. "Manja amat ini pelanggan. Sesuai aplikasi, ya?"
Harits terkekeh, sementara Melodi tersenyum. Melodi mengirim sebuah lokasi pada kolom chat Harits. Harits langsung mengemudikan mobil menuju tempat yang di arahkan oleh Melodi.
Jalanan hari ini lancar jaya. Mungkin karena hujan yang masih mengguyur bumi Jogja, motor-motor enggan keluar dari sarangnya. Mobil yang dikendarai Harits berhenti di Hartono Mall rupanya. Melodi turun diikuti oleh Harits. Harits tak banyak omong, ia hanya berjalan mengikuti Melodi, berharap gadis itu cepat sembuh dari lukanya.
"Main bowling yuk, kita adu skor." Melodi membawa langkah mereka ke sebuah toko olahraga yang memiliki arena bowling.
"Enggak ah, males. Lu aja, gua cuma nemenin," balas Harits.
"Ternyata pengecut, toh?"
Urat-urat di pinggir kening Harits mencuat keluar. "Taruhan. Ayo taruhan, yang kalah wajib kabulin keinginan pemenang."
Melodi menatap sombong. "Siapa takut."
Mereka berdua akhirnya memesan satu line dan bermain secara bergiliran. Harits diberikan kesempatan untuk melempar duluan.
"Lu liat nih pake mata hati lu." Harits melempar bola. Bola bergulir maju. Baik Harits maupun Melodi menatap bola itu dengan serius, hingga akhirnya bola itu menyamping dan bergulir di pinggir line, tak mengenai satu pun pin.
"Oooops!" Melodi menutup mulutnya sambil menahan tawa.
Harits memicingkan matanya menatap ke depan. "Pemanasan."
Jika tidak terjadi strike, maka pemain itu akan mendapat dua giliran dalam putaran tersebut. Lemparan kedua Harits hanya berhasil menjatuhkan beberapa pin bowling saja.
"Minggir-minggir." Melodi maju menggeser Harits.
Hartis mundur, ia tak banyak bicara. Pria itu hanya mengumpulkan tawanya untuk bersiap-siap menertawai Melodi di depan mukanya ketika ia gagal nanti. Harits yakin, putaran pertamanya cukup untuk mengalahkan Melodi di ronde pertama. Ia yakin dua lemparan Melodi tak akan menjatuhkan satu pun pin bowling.
BRAAAK!!!
Seluruh pin bowling terjatuh. Melodi berhasil mendapatkan strike. Gadis itu menoleh dan menempelkan jari telunjuknya di bawah mata, lalu menariknya sedikit ke bawah sambil memeletkan lidah untuk mengejek Harits. Harits meneguk ludah. "Nyahaha keberuntungan si pemula."
Pertandingan berlanjut. Melodi mampu menarik orang-orang di sekitarnya dan semakin mempermalukan Harits. Ia mengenakan kacamata hitam untuk menyembunyikan identitasnya. Melodi sedang tidak ingin diganggu oleh orang-orang yang meminta berfoto ketika mengenali siapa dirinya.
"Chil, tolong videoin gua pas lagi ngelempar bola pake hape lu," ucap Melodi. "Bikin instagram story kalo lu baru aja kalah telak."
Harits memasang wajah datar. Ia melakukan yang diperintahkan Melodi. Kini Melodi melempar bola, tetapi lemparan terakhirnya tidak membuahkan strike, melainkan spare. Menyisakan satu pin yang tersisa.
"Satu pin itu buat lu. Kalo lu bisa jatuhin, gua cabut taruhan kita," ucap Melodi.
"Serius? Jangan nyesel." Harits mengantongi hapenya dan mengambil bola. Ia menghela napas sambil membidik satu pin itu. Napasnya kini memiliki ritme yang teratur. Fokusnya sangat tinggi, hingga membuat Melodi agak menyesal telah memberikan satu kesempatan itu. Harits melempar bola terakhir milik Melodi.
Semua penonton menatap tajam ke arah bola yang menggelinding ke arah pin yang masih berdiri tegak. Harits tak butuh untuk melihat hasil, ia menoleh dan tersenyum pada Melodi sambil melebarkan tangannya. "See?"
Melodi terbelalak menatap bola hitam yang dilempar Harits. "Harits ...."
"Itu karena lu angkuh dan memberikan satu bola terakhir itu sambil mencabut taruhan kita nyahahaha."
Senyum lebar terukir di wajah Melodi. Penonton lain pun mulai tertawa. Harits memicingkan matanya dan menoleh. Pin itu masih tegak berdiri. Ketika hendak mengenai pin, bola berbelok arah dan lolos begitu saja. Melodi mengacungkan jempolnya. "Sip."
***
Setelah puas bermain, kini mereka berdua duduk di sebuah kafe, masih di dalam mall.
"Permintaan lu itu yang tadi, kan? Minta story. Udah, ya."
Melodi mengerutkan keningnya. "Mana ada. Itu belum menang, jadi belum dapet satu permintaan."
"Terus mau minta apa?"
"Santai aja dulu, belum tau mau minta apa," jawab Melodi.
Secangkir espresso dan milkshake vanilla tiba di meja mereka. Ada cemilan berupa onion ring juga.
"Kalo lu minta bayarin ...."
"Enggak. Gua tahu lu kritis soal duit, jadi gua enggak akan minta dibayarin," celetuk Melodi.
Melodi menatap gadis yang sedang duduk di panggung mini. Gadis itu merupakan vokalis pada live musik di kesempatan ini. Terbesit sesuatu di benaknya yang membuat bibirnya tersenyum asimetris.
Ketika lagu selesai, sang vokalis bertanya apakah ada yang ingin bernyanyi, atau sekadar meminta request. Melodi mengangkat tangan. Vokalis itu beranjak dari panggung kecil dan berjalan ke arah Melodi.
"Mau nyanyi apa request, kak?"
"Mau nanyi!" jawab Melodi bersemangat. "Tapi dia yang nyanyi!" Melodi menunjuk Harits.
Harits sontak mengerutkan dahinya sambil mengangkat maju tubuhnya yang sedang bersandar di kursi. "Doy!"
"Itu taruhannya. Lu nyanyi."
Harits menggeleng. "Enggak ada. Apa-apaan lu."
"Kalah."
"Terserah apa aja, tapi enggak kalo nyanyi depan umum."
Mereka berdebat dan membuat vokalis itu menunggu. "Kalian pasangan yang unik. Gimana kalo maju berdua?"
"Kita bukan pasangan, Mbak," ucap Harits.
Melodi terkekeh. Ia senang membuat Harits merasa malu. "Ayo sayang, jangan gengsi gitu." melodi bangun dan menarik tangan Harits. Ia menuntun Harits ke panggung.
"Ah, jangan ah. Lu kelewatan, Doy!" Harits berusaha melawan. Tentu saja Melodi kalah tenaga dengan pria itu. Namun, bukan Melodi namanya jika tak bisa memanipulasi keadaan. Ia melepas tangan Harits dan memasang wajah sedih bercampur marah.
"Terserah deh! Curang banget. Pengecut!" Melodi berjalan menjauh, ia kembali ke meja dan hendak mengambil tasnya. Namun, Harits menarik tangan itu. "Jangan marah, iya ini nyanyi."
Melodi enggan menatap wajah pria itu. Ia juga tak berkata-kata dan menatap sembarang arah dengan mata berkaca-kaca.
"Udah, duduk. Gua nyanyi," ucap Harits. Wajahnya merah menahan malu. Mereka menjadi sorotan para pengunjung yang haus drama.
Harits berjalan manju ke panggung membawa mic. Sementara Melodi merubah raut wajahnya. Kini senyum iblisnya terpampang lebar.
Pria bertopi biru itu tak bisa mundur. Ia terlanjur sudi menjadi badut hari ini. Harits paham jika Melodi hanya berpura-pura, tetapi ia malu karena menjadi sorotan orang-orang.
"Mau bawa lagu, Kak?" tanya seorang gitaris.
"Lagu lama. Last Child, Duka," jawab Harits.
Harits memejamkan mata ketika crew sudah memainkan intro. Pada satu titik saat lagu sudah masuk pada peran vokalis, Harits membuka matanya perlahan dan mulai memainkan perannya di atas panggung.
https://youtu.be/FqmdtHknJ_U
Kau membunuhku dengan kepedihan ini,
Kau hempaskanku ke dalam retaknya hati,
Hingga air mata tak mampu tuk melukiskan perih,
Yang kau ukir dalam hati ini.
Melodi tak menduga, suara cempreng yang selama ini menghiasi Mantra Coffee di kala tutup, bersamaan dengan permainan gitar Deva, rupanya hanyalah sebuah kamuflase belaka. Suara Harits tak seburuk itu. Malahan, suara yang ia dengar kali ini bagus dan selalu tepat pada nada, tanpa satu pun miss.
Kau hancurkan diriku saat engkau pergi,
Setelah kau patahkan sayap ini,
Hingga ku takkan bisa,
Tuk terbang tinggi lagi.
Harits membalas Melodi dengan membawakan lagu bernada sendu. Kini gadis itu terdiam meresapi setiap lirik yang ia dengarkan. Niat mempermalukan Harits, justru malah membuatnya makin tenggelam dalam lautan duka.
***
Hari kini menghitam. Melodi duduk di samping Harits tanpa kata, menatap setiap jalan yang ia lalui. Hingga pada akhirnya Harits turun, Melodi pun ikut turun.
"Loh, ini di mana?" Karena banyak melamun, Melodi tak sadar jalan yang mereka lalui.
"Kita makam malem dulu, mumpung udah enggak ujan. Abis makan baru pulang," jawab Harits.
Mereka berjalan masuk ke sebuah kafe dan terus berjalan hingga ke bagian belakang.
Melodi terdiam dengan takjub menatap apa yang ada di depannya. Angin menerpa rambutnya hingga berkibar. Di hadapannya terpampang lautan bintang. Aroma segar pepohonan bercampur bekas hujan menjadi menu udara pada malam ini.
"Ini di Bukit Bintang," ucap Harits.
"Lu pernah ke sini bareng Sekar?" tanya Melodi.
"Belum," jawab Harits.
Melodi menatap Harits. "Enggak nyesel lu? Malah ngajak gua? For first time. Tempat ini romantis banget loh, Chil."
Harits menunjuk kota Jogja yang terang benderang. "Anggap kita ini adalah orang yang udah mati, sementara di bawah sana adalah dunia. Bagus, kan?"
Melodi terlihat getir. "Ya, bagus."
"Jangan rusak keindahan ini dengan sebuah kesedihan. Sampai kapan mau tenggelam di kubangan masa lalu? Ippo udah enggak ada. Boleh sedih, tapi jangan berlarut-larut. Lu pikir Ippo seneng liat lu sedih? Dia pasti pengen hidup lagi buat ngapus air mata lu, tapi sayangnya enggak bisa. Di atas sana dia pasti tersiksa karena ketidakberdayaannya."
Melodi tersenyum sembari menatap padang bintang di langit. "Boleh gua minta satu permintaan lagi?"
"Enggak. Udah cukup buat mempermalukan gua hari ini," balas Harits.
"Ya udah, kalo enggak boleh." Melodi tertunduk menatap sepatunya ia seperti kecewa, tetapi sadar porsi.
Harits berjalan mencari meja kosong diikuti Melodi. Ia sadar jika Melodi mengharapkan sesuatu yang lain dan sudah menjadi sifat Harits yang tak mampu melihat orang di sekitarnya murung. "Mau minta apa? Jangan murung. Murung itu peran gua. Tugas lu semua cuma bahagia. Stay on role."
"Jangan bosen jadi sahabat gua, ya, Chil. Mungkin gua orang yang egois dan nyebelin, tapi ...."
"Gua pernah nguping pembicaraan Cakra sama Nada," celetuk Harits. "Manusia itu kayak kopi. Punya karakter yang berbeda-beda. Kita itu ibarat biji kopi yang berbeda dengan cara pengolahan yang berbeda juga. Pada akhirnya enggak peduli apakah itu Kintamani, Sidikalang, Aceh Gayo, kopi hitam tetaplah kopi hitam."
Melodi tersenyum menahan tawa, terkadang ia tak mengerti ucapan Harits yang penuh filosofi. "Apa sih?!"
"Intinya, setiap kita itu punya watak berbeda-beda. Enggak peduli, siapa kita dan bagaimana sifat kita. Pada akhirnya kita hanyalah manusia yang sama-sama punya kekurangan dan kelebihan. Enggak masalah nerima kekurangan orang lain, toh orang lain pun enggak selalu menolak kekurangan kita, kan?"
"Makasih, ya, Chil. Menurut gua, meskipun lu itu nyebelin, tapi lu orang terbaik di Mantra."
"Makasih satirnya. Oh iya, gua juga mau minta sesuatu ...."
"Apa?"
"Jangan bilang-bilang yang tadi," ucap Harits malu-malu.
"Yang tadi mana?"
"Yang--gua nyanyi. Jangan kasih tau siapa-siapa."
Melodi tersenyum jahat. "Oke."
"Serius, Doy. Gua enggak mau orang lain tau."
"Menurut gua suara lu manis tau. Cocok sama lu."
Wajah Harits memerah. "Jadi--gua manis gitu?"
"Eh--maksudnya ...." Melodi pun memerah. "Tinggi badan lu yang kayak anak TK itu yang manis, cocok sama suara lu yang bocah."
Harits memasang wajah datar. "Sial."
Perlahan Melodi malah tertawa. Entah, sudah lama Harits tak melihat tawa itu lagi semenjak Melodi terluka. Melihat itu, perlahan Harits pun ikut terkekeh. Entah apa yang ia tertawakan. Jika Andis adalah pewarna di era Mantra Classic, maka Harits adalah pengatur tempo di era ini. Jika ada yang terlalu cepat, atau terlalu lambat, Harits akan menyelaraskan kembali agar sesuai pada ritme dengan caranya sendiri.
Melodi tersenyum sambil menatap lautan bintang di bawahnya. Ia mengambil binder di dalam tas dan mengikat rambutnya ke belakang. Menurut Melodi, mengikat rambut bisa melancarkan ide-ide untuk menulis. Ia sadar bahwa Harits sedang memperhatikannya, pria itu teridam mematung. Melodi menatap Harits. "Terpana?" tanya Melodi.
"Mungkin karena lu mirip Nada. Ya, gua akuin lu cantik, tapi masih di bawah Nada. Dikuncir begitu, kecantikan lu nambah."
Melodi tersenyum angkuh. Harits langsung memasang wajah datar. "Nambah dikit. Sayangnya, lu dan Nada masih jauh di bawah Sekar."
"Ya udah kalo gitu jangan diliatin terus," balas Melodi. "Nanti kalo lu suka, Sekar jadi marah ke gua."
Harits membuang muka, tetapi tak lama berselang ia menatap Melodi lagi. Kali ini Melodi masih menatapnya. Gadis itu tersenyum. "Terpana?"
"Gua pindah deh." Harits hendak bangkit, tetapi Melodi menahannya.
"Bercanda! Idih, ngambekan. Ya udah, hari ini lu bebas mandangin gua, gua enggak bilang siapa-siapa."
"Jangan malu, ya. Nanti lu gua liatin malah malu-malu nyahahaha."
Melodi tak menanggapi. Matanya kini fokus pada kertas di atas meja. "Liatin gua aja, jangan liatin tulisan gua. Gua malu kalo ada yang baca tulisan gua. Gua bukan penulis, dan enggak punya kata-kata yang bagus. Jadi tolong kerjasamanya. Jangan pernah lagi baca tulisan gua, apa lagi keras-keras."
Kali ini Harits yang tak menanggapi. Matanya secara tak sadar selalu terfokus pada wajah Melodi. Ia baru sadar jika Melodi memanglah secantik itu. Tentu saja cantik, gadis itu kembaran Nada. Wanita yang pernah singgah di hatinya, dan mungkin belum berlayar pergi seutuhnya dari hati Harits. Pada satu titik, Harits memalingkan pandangan dan menatap ke sembarang arah. Ia sadar, matanya harus dijaga. Ada seorang gadis yang mungkin akan terluka gara-gara tatapnya.
Ada banyak ruang kosong yang perlahan terisi. Tentang sebuah perjalanan baru yang akan segera dimulai. Nikmat rasanya mengenang masa lalu, tapi masa lalu ada bukan untuk dinikmati, melainkan untuk pelajari. Sebab guru terbaik adalah luka yang menancap dalam sanubari.
Seperti itulah kisah ku yang hening terisi oleh jiwa yang merindu. Hingga telah ku lewatkan banyak hal indah di dalamnya. Mungkin sudah saatnya, aku berpisah dengan angan yang mengharap sebongkah hadir. Sebab aku tak sanggup lagi bercumbu hanya dengan bayangmu saja.
Riffo Gardamewa, terimaksih telah singgah walau terus diusir. Sampai berjumpa di lain kesempatan. Ketika esok hadir dan kau kembali, jangan lupa untuk berkunjung, sebab pintu yang selalu tertutup dan menendangmu keluar, kini selalu terbuka untukmu.
Melodi tersenyum dan merobek lembar terakhir binder miliknya. Ia membuat pesawat kertas dan berjalan ke tepi balkon, lalu melemparnya. Pesawat itu terbang entah ke mana, tanpa tujuan, tanpa pilot. Hanya ada penumpang, yaitu segelintir kenangan yang mencoba merelakan.
"Chil, ada panggung, tapi enggak ada pemain. Di sini jauh dari mana-mana. Enggak ada yang kenal kita di sini. Mau main?"
Harits menghela napas panjang. "Sekali ini aja, ya."
"Oke."
Mereka meminta izin pada pihak kafe, lalu berjalan ke panggung setelah mendapatkan izin. Melodi mengambil gitar dan mengatur senar, sementara Harits menyalakkan sound system dan mengetes mik.
"Perkenalkan, aku--Regita, dan ini ...."
"Sagara," sambung Harits.
Melodi tersenyum. "Kita bukan siapa-siapa, cuma orang asing yang mau numpang bermusik, meluapkan perasaan. Selamat malam, selamat menikmati hidangan dan selamat mendengarkan." Melodi memainkan sebuah intro. Tereza Pahlevy, Lagu Cinta.
Malam ini mereka berdua seperti orang yang berbeda. Sejenak semua problema hidup luntur dan fokus menikmati musik yang mereka bawakan dengan sepenuh hati.
https://youtu.be/SEdE8JChTVo
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top