116 : The Sleep Bringer
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Tak ada yang berubah dari seorang Nada Regita Mahatama. Gadis itu mendapatkan nilai yang kurang bagus pada dua semester ini. Lagi-lagi jurang di hadapannya semakin melebar. Menghempaskan Nada dari bayang-bayang kembarannya yang mendapatkan IPK sempurna.
Nada paham, teman-teman di kampus kerap meledeknya. Mereka sering membicarakan di belakang, tetapi tak jarang mengekspresikannya menjadi sebuah perundungan terang-terangan. Terutama gadis-gadis. Banyak gadis yang kurang suka dengan Nada, karena wajahnya yang cantik, tapi kurang berprestasi secara akademik.
Hari ini Nada sedang duduk di ruang kelas, tepatnya pada kursi pojok bagian belakang dekat jendela. Seorang gadis berambut agak ikal menghampirinya. Ia mengajak Nada untuk mengikuti acara malam keakraban di fakultas dalam rangka menyambut adik tingkat yang baru saja bergabung di jurusan mereka.
"Ayo dong ikut, Nad. Kamu enggak pernah ikut kita-kita deh."
Seorang gadis menghampiri mereka dan merangkul Nada. "Kamu kan bagian dari kelas kita juga, masa enggak pernah ikutan. Ayo dong, seru deh pasti."
"Itu ngapain aja, ya?" tanya Nada. "Aku belum pernah ikut gitu-gituan ...."
"Biasa. Ada konser, games, makan malem, seru-seruan bareng jurusan deh. Cuma ada tiga angkatan doang kok yang masih jadi pengurus Hima dan calon anggota Hima."
Teman-temannya mengajak Nada hingga gadis itu tak enak jika menolak. Pada akhirnya Nada memutuskan untuk ikut.
***
Nada menceritakan tentang apa yang terjadi hari ini pada Melodi.
"Ya udah, bagus," ucap Melodi.
"Tapi aku tuh takut, Melo."
Melo menatap Nada. "Sekali-kali kamu perlu bersosialisasi, Nada. Enggak ada salahnya sesekali ikut bareng temen-temen kampus."
"Aku masih takut."
"Sampe kapan mau takut sama orang? Kita udah dewasa, Nad. Kalo kamu dibully, bilang. Enggak semua orang itu jahat kok. Aku tau, trauma kamu yang bikin kamu jadi takut bersosialisasi, tapi kelak kita akan sibuk dengan masa depan kita. Enggak akan ada lagi aku, Harits, Deva, Cakra, ayah, bunda ... kita cuma bisa mengandalkan diri kita sendiri. Ayo belajar, Nad. Enggak ada waktu terbaik untuk memulai, selain sekarang."
"Iya, aku coba, tapi aku takut. Gimana dong?"
"Ilangin rasa takut kamu, coba berpikir positif. Mungkin aja apa yang kamu anggap perundungan itu enggak terjadi, itu cuma sugesti kamu aja yang anti sosial dan beranggapan bahwa kamu masih menjadi korban buli. Coba berpikir positif. Kamu cantik, kamu baik, kenapa orang harus jahat sama kamu?"
Nada tersenyum, "Iya, kamu bener, Melo. Bisa jadi semua itu cuma sugesti aja, ya ... aku coba deh."
"Semangat Nada! Kalo ada apa-apa bilang. Kalo kamu dijahatin bilang aku! Aku kunyah orangnya hidup-hidup!"
Nada terkekeh mendengar guyonan Melodi. "Oke deh. Makasih ya, Melo ... udah selalu ada buat aku."
Melo memeluk Nada. "Sama-sama, Nada. Jangan takut lagi, ya."
***
Hari yang dijanjikan tiba. Nada datang di antar oleh Cakra. Malam ini Nada mengenakan kemeja biru dongker lengan panjang yang tidak di kancing. Nada mengenakan kaus hitam sebagai dalamannya dengan bawahan rok hitam dan sepatu putih.
"Yakin aku tinggal?"
Nada mengangguk. "Sesekali aku mau coba buat menghadapi rasa takut aku sendirian. Bisa kamu tinggal? Jangan pantau aku pake wujud astral kamu juga. Semua baik-baik aja."
Cakra mengela napas. "Oke, tapi kalo ada apa-apa langsung telpon, ya. Kalau kamu belum pulang sampai jam sepuluh dan enggak ada kabar, aku bakalan langsung ke sini dan nyari kamu."
Nada mengangguk.
"Janji?" Cakra menyodorkan jari kelingkingnya.
Nada meraih kelingking Cakra dengan kelingkingnya. "Janji."
Kini gadis cantik itu berjalan masuk ke kampus dan meninggalkan Cakra seorang diri di tepi jalan.
"Nadaaaaa." Seorang teman sekelasnya menyambut kedatangan Nada. Nada tersenyum dan ikut membaur bersama mereka. Ia berusaha menikmati keadaan.
Melihat Nada sudah bersama temannya, Cakra pun pergi meninggalkan gadisnya. Tak ada raut wajah dan gelagat mencurigakan dari gadis itu. Cakra agak tenang, setidaknya Cakra yakin bahwa gadis itu adalah gadis yang baik.
Alunan gitar menemani telinga mereka semua. Nada sesekali tertawa akibat guyonan receh teman-temannya. Suasana mencair. Nada yang biasanya diam, kini tetap diam nyahahaha. Bedanya, diamnya kali ini ditemani raut wajah ceria. Rupanya tidak buruk juga bergaul bersama mereka. Apa selama ini hanya perasaan Nada saja?
Ya. Bisa saja begitu.
Acara dimulai dengan pembukaan dari MC. Seperti halnya agenda makrab, selalu ada permainan untuk memeriahkan acara. Pada satu kesempatan Nada maju ke depan dan ikut memainkan permainan.
Ia hanya disuruh untuk mejawab semua pertanyaan dengan jujur. "Udah punya pacar, ya?"
"Udah," jawab Nada.
Sorak-sorak anak jurusan menghujani panggung kecil itu dengan siulan dan ledekan mesra. Terlihat raut wajah kecewa dari beberapa anak laki-laki.
"Yang kecil itu, ya? Yang pake topi? Yang biasa makan di warung depan?" tanya MC.
"Bu-bukan. Itu mah Harits ...."
"Oh kirain dia."
"Pacarku namanya Cakra ...." Nada bercerita tentang Cakra. Malam ini dimeriahkan dengan sorakan 'cieeeee' dari teman-temannya. Sesekali Nada tertawa karena malu.
Sehabis permainan, tibalah saat makan malam. "Nad, kamu enggak haus? Malem ini kamu banyak ngomong, ya ... beda sama biasanya yang diem doang dan jutek," tanya seorang pria. "Nih buat kamu." Ia membawa dua gelas minuman di tangannya dan memberikan segelas pada Nada.
"Aku emang gini. Di satu sisi pendiem, tapi terkadang bisa cerewet," balas Nada sambil mengambil minuman yang diberikan pria itu. "Makasih minumannya." Nada meminumnya. Dalam tayangan lambat, Nada memperhatikan orang-orang seakan sedang menatapnya. Tatapan itu seolah menunggu Nada untuk meminum minuman tersebut.
Praaang!
Semua menatap gelas yang jatuh dari tangan Nada dan berakhir pecah di tanah.
"Nad? Kamu kenapa?" tanya pria itu.
Keadaan menjadi riuh. Semua menatap Nada yang merasa pusing dan sempoyongan. Perlahan ia tak sadarkan diri. Semua menjadi gelap untuk Nada.
"Gue angkut ke ruang kesehatan deh." Pria itu menggendong Nada dibantu dua orang lainnya. Seorang pria dan seorang lagi wanita berambut agak ikal. Mereka bertiga membawa Nada ke ruang kesehatan untuk merebahkannya.
Nada direbahkan di kasur medis. Gadis itu celingak-celinguk melihat keadaan di luar, lalu menatap dua pria yang berada di dalam ruangan.
"Aman," tutur gadis itu. "Gua tunggu depan. Jangan berisik mainnya. Nanti bajunya diatur lagi kayak keadaan waktu lu bawa ke sini. Nanti kalo gua batuk, itu artinya ada yang dateng."
"Oke," jawab mereka berdua.
Kini Nada yang berbaring tak sadarkan diri berada dalam satu ruangan bersama para srigala mesum. Mereka menatap seluruh lekuk tubuh Nada dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Gua duluan."
Ketika pria yang memberikan Nada minum hendak menyentuh lekuk tubuhnya, tiba-tiba pintu terbuka. Sontak ia menghentikan gerakan dan menoleh. "Kenapa lagi?"
Dua orang itu terkejut. Bukan wanita berambut ikal yang masuk, melainkan seorang pria dengan setelan fromal, kemeja putih dibalut tuksedo cokelat tua. Ia menggenggam apel merah di tangan kanannya, dan kini memakan apel itu di hadapan dua pria hidung belang yang berdiri di samping Nada.
"Siapa lu?" tanya salah satu pria yang hendak mengerjai Nada.
"Mahasiswa baru," jawabnya santai.
Gadis berambut ikal terlihat berbaring di depan pintu. Melihat itu, kedua rekannya saling bertatapan dan mulai mengabaikan Nada untuk mengurus pria yang satu ini.
"Lu apain temen gua yang di depan?"
"Enggak diapa-apain. Dia cuma ngantuk dan mau tidur."
Salah seorang senior itu maju untuk membungkam si anak baru, tetapi baru maju beberapa langkah tiba-tiba saja ia terjatuh. Tentu saja melihat rekannya yang tiba-tiba terjatuh, satu orang yang tersisa merasa bingung.
Si anak baru maju selangkah demi selangkah. Tiap langkahnya membuat mata pria di hadapannya mengantuk dan semakin mengantuk hingga akhirnya ia ikut terlelap di lantai.
***
Nada terbangun dengan kepala yang terasa sakit. Ia menatap sekeliling dan mendapati dirinya sedang berada di ruang kesehatan.
Seorang pemuda menghampirinya dan memberikan Nada segelas air, tetapi Nada enggan mengambil gelas itu.
"Jangan takut, ini air putih biasa," ucap pria itu sambil tersenyum.
Nada menatap tiga orang yang sedang berbaring di lantai. Melihat Nada menyadari kehadiran tiga orang itu, pemuda itu duduk di samping Nada.
"Mereka punya niat jahat. Si cewek ngejual Kakak sama dua cowok ini buat ditiduri. Kalo enggak ada aku, mungkin Kakak udah di ...." Ia menghentikan ucapannya. "Kalau Kakak takut sama aku, aku pamit pergi dulu." Ia meninggalkan segelas air putih di atas meja.
"Tunggu!"
Langkahnya terhenti. Ia menoleh kembali ke arah Nada. "Ya?"
"Makasih," ucap Nada.
Pria itu tak menjawab, ia hanya tersenyum, lalu membungkukkan badan sebagai tanda hormat pada yang lebih tua.
"Makrab udah selesai dari jam sembilan. Sekarang udah hampir jam sepuluh dan gedung udah mulai sepi. Sebaiknya Kakak pulang sebelum tiga orang ini bangun."
"Bisa tolong bantu aku jalan ke depan?" tanya Nada.
"Bisa."
Nada bimbang, tapi pada akhirnya ia mengambil gelas berisi air putih di atas meja, lalu meminumnya. Pria itu menghampiri Nada dan merangkulnya, membantu Nada untuk berjalan ke depan.
Nada menghubungi Cakra. "Cakra, aku udah selesai. Jemput, ya." Tak lama berselang Nada menutup panggilan itu.
Sesampainya di lapangan acara, beberapa panita yang belum pulang berdiri menatap mereka berdua. "Tiga orang panitia lagi ke mana?"
"Tidur," ucap pria itu. "Mereka ketiduran di ruang kesehatan."
Pria itu lanjut membopong Nada ke depan kampus. Tak lama berselang Cakra datang dengan motor milik Harits. Cakra membantu Nada untuk naik ke atas motor, lalu menyuruh Nada untuk memeluknya erat. Cakra sadar, bahwa Nada sedang agak mabuk. Dari mulutnya juga tercium aroma alkohol yang sangat pekat.
"Bukan dia, Cakra ...," bisik Nada lirih yang menyadari ekspresi wajah Cakra yang hampir marah melihat gadisnya dicekoki minuman keras hingga sempoyongan.
"Pegangan, aku takut kamu jatoh," ucap Cakra.
"Iya, aku pegangan kok, Cakra."
Cakra menatap pria itu dengan senyum. "Makasih ya, udah bantuin Nada."
"Sama-sama, Kak."
"Aku pulang duluan," ucap Nada.
"Monggo, hati-hati di jalan," balas pria itu sopan.
Cakra dan Nada pergi menuju Mantra Coffee, meninggalkan pria itu sendirian di depan gerbang kampus. Seperginya Cakra dan Nada, pria itu kembali ke dalam.
Rupanya panitia yang tersisa merupakan rekan-rekan dari tiga orang yang tertidur di ruang kesehatan. Tiga orang itu sudah siuman dan menceritakan apa yang terjadi. Kini para panitia sekitar enam orang itu mengelilingi pria baik yang telah menolong Nada.
"Tiga orang itu mau berbuat tidak senonoh sama Kakak yang tadi. Kebetulan saya lewat dan menghentikan tindakan mereka," ucap pria itu.
"Bohong!" teriak gadis berambut ikal. "Enggak ada bukti!"
"Lu itu cuma anak baru, jangan bertingkah! Mau kehidupan kampus lu sengsara, hah?!" bentak pria yang mencekoki Nada dengan obat tidur.
Rupanya tak ada lagi yang bisa dibicarakan. Para senior itu hendak memberikan pelajaran, tetapi pria itu masih terlihat santai.
"Kalian tahu ...." Pemuda itu merubah raut wajahnya. Tak ada lagi si anak polos yang patuh dan sopan terhadap senior. "Ini di mana?"
"Lu yang harusnya sadar ini di mana?! Lu itu ...." Senior sok galak itu menghentikan ucapannya. Bukan hanya dirinya, tetapi rekan-rekan panitia menatap ke arah bulan yang berdarah hingga berwarna merah pekat.
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kalian semua ...." Pemuda itu menatap para sampah di hadapannya dengan tatapan merendahkan. Di belakang pria itu berjajar ratusan pocong penuh darah dengan mata merah menyala dan wajah mengerikan. Pocong-pocong itu tercipta dari darah bulan. Kini pemuda itu berbalik arah membelakangi mereka semya. "Kalian semua tidak lulus menjadi manusia."
"Tu-tunggu!"
Pocong-pocong itu melayang dan menyerbu para panitia yang sempat tengil mengepung sang pemuda misterius.
"Mereka yang mengharap belas kasih kini bermandikan penyesalan," tutur pemuda itu lirih sambil terus berjalan.
"Pintu pengampunan kini tertutup tanpa seorang pun yang melewatinya."
"Bulan merah menjadi saksi keangkuhan para manusia berkedok iblis."
Pemuda itu menoleh ke arah para seniornya yang tengah dikoyak oleh pocong-pocong berkafan merah. Ia menyeringai. Bulan merah membuka matanya. Rupanya itu adalah sebuah bola mata raksasa yang mengeluarkan darah.
Matanya kini terbuka. Ditatapnya enam orang senior yang tengah berbaring di tanah lapangan. Pemuda itu menjadi satu-satunya orang yang berdiri. Ia memasukkan dua tangan ke dalam kantong celana dan berjalan pergi.
"Tidurlah dan jangan pernah terbangun dari mimpi buruk. Tenggelamlah dalam neraka penyesalan."
"SIAPA KAU?!" teriak salah satu gadis yang rupanya masih berada di kawasan kampus. Ia gemetar ketakutan menatap pemuda yang menumbangkan enam orang tanpa menyentuhnya.
"Kau melihat semuanya, ya?" Pemuda itu merubah haluan, ia berjalan menuju gadis yang tak dapat melangkahkan kaki karena rasa takutnya.
"SIAP KAU?! JANGAN MENDEKAT!"
Pemuda itu menyeringai, ia mengarahkan tangan kanannya pada gadis itu. "Ingat baik-baik namaku di dalam mimpimu. Aku adalah Il Sognatore." Pemuda itu menjentikkan jarinya. Gadis di depannya terjatuh ambruk. Ia terlelap dan takkan pernah terbangun.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top