113 : The Will Of The Author
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Sekumpulan mahasiswa sedang duduk lesehan di sebuah warung makan. Harits agak memisahkan diri, tetapi masih tergabung dalam gerombolan itu. Harits tak ikut makan, ia hanya berbaring sambil memejamkan mata. Maklum, semalam ia habis melakukan pekerjaan sampingan sebagai pemburu hantu, dan kini ia lelah.
Sebuah benda jatuh mengenai wajahnya hingga membuat Harits memekik. Sontak teman-temannya menatap Harits dengan tatapan heran.
"Ngopo toh, Rits?"
"Jancuk! Sopo ki sing lempar pulpen neng rai ku?"
Jancuk! Siapa ini yang lempar pulpen ke muka ku?
"Pulpen opo toh?"
"Iki lho?" Harits menunjukkan pulpen putih di tanganya.
Semua makin heran, tak ada seorang pun yang melempar pulpen itu. Jangankan melemparnya, tidak ada satu pun yang bisa melihat pulpen di tangan Harits.
"Neng ndi?"
Mana?
"Iki!" Harits masih menunjukkan pulpen itu.
Melihat ekspresi teman-temannya, Harits mengerutkan dahi. 'Jangan-jangan pulpen ini sejenis buku penjara jiwa.' Harits mengurungkan niatnya bertanya dan merebahkan dirinya kembali.
"Edan!"
Gila!
"Makanya, Rits ... bangun tidur cuci muka dulu," timpal salah satu temannya yang kurang bisa berbahasa Jawa.
Harits tak peduli, ia menatap pulpen bertuliskan 'The Will Of The Author'. Harits penasaran, ia mencoba menulis dengan pulpen itu di tangannya.
'Mungkinkah ini pulpen pengabul keinginan?' Pikir Harits.
'Harits punya uang buat makan'.
Setelah menulis itu, ia malah terkekeh dan merasa bodoh. "Nyahahaha bego. Ngapain sih ... Mana mungkin jadi kenyataan, kan?" Harits mengambil dompet dan iseng membukanya. "Asu!" Ia terkejut hingga posisinya berubah menjadi duduk.
Lagi-lagi tingkahnya membuat teman-temannya menggeleng. "Edan kowe, Rits! Cangkeman ndewe."
Gila kamu, Rits! Ngomong sendiri.
Dompet yang kosong itu tiba-tiba saja berisi. Harits bangkit dari tidurnya dan berjalan untuk membeli makanan. Sebenarnya bukannya Harits tak kelaparan. Ia lapar, hanya saja sadar diri. Kini ada uang misterius di dompetnya dan setelah memastikan dengan teliti, itu memanglah uang asli.
***
Harits masih terngiang-ngiang dengan kejadian tadi siang. Namun, ia selalu berpikir positif dan beranggapan bahwa ia lupa jika masih ada sisa uang di dalam dompet. Tak ambil pusing, Harits berjalan ke parkiran untuk mengambil motor.
Ketika sampai pada kursi langganannya dan Sekar, Harits iseng menulis dengan pena itu lagi. Kini ia tuliskan pada selembar kertas yang ia sobek dari bindernya.
'Sekar muncul tiba-tiba memeluk Harits dari belakang.'
"Hey." Sebuah dekapan membuat Harits terbelalak dengan senyum aneh. Ini semakin menarik untuknya. Puplen itu ternyata pulpen ajaib
"Tumben kamu meluk-meluk?" tanya Harits.
Sekar tersenyum. "Entah, kepingin aja. Enggak boleh?"
"Boleh kok. Emang enggak malu?"
Sekar menggeleng. "Kenapa harus malu?"
Mereka memutuskan untuk sejenak mengobrol di kursi parkiran. Hingga waktu sore tiba, dan Harits pamit undur diri.
Harits masih belum begitu yakin dengan kehebatan pulpen itu. Kini sebelum mengendarai motornya, Harits menulis sesuatu yang lebih gila.
'Cakra dan Nada bertengkar, dan putus. Setelah itu Harits datang. Nada yang masih memendam rasa langsung menghamipir Harits. Meminta pria itu untuk menemaninya. Tak lama berselang, Nada mengutarakan perasaannya dan menembak Harits di keramaian Mantra Coffee.'
"Nyahahaha dasar bego." Bocah itu segera tancap gas menuju Mantra.
***
Sesampainya di Mantra, sebuah keributan besar terjadi. Benar saja. Cakra dan Nada bertengkar hebat dan Nada memutuskan Cakra sepihak.
"Ada apa ini? Kenapa semua orang-orang bodoh berkumpul?" ucap Harits yang baru saja tiba.
Nada menoleh, matanya berkaca-kaca. Ia menghampiri Harits. "Udah cukup ... aku enggak bisa pura-pura lagi. Aku masih suka kamu dan ...."
"Dan?"
"Aku cuma mau saka kamu, Rits," ucap Nada.
Hidung Harits kembang kempis dibuatnya. Ia ingin sekali tersenyum, lalu tertawa, tetapi keadaan ini membuatnya harus tetap pada karakter. Harits menahan itu semua dan berusaha stay cool.
"Faris?" tanya Harits.
"Aku cuma mau kamu," jelas Nada. "Harits, aku suka sama kamu ...."
"Tapi aku udah punya pacar, Nad," balas Harits.
Harits menoleh ke arah Cakra dengan wajah sompralnya. Cakra terlihat kesal. Pria yang belum lama masuk kuliah itu langsung membuang muka dan berjalan pergi, menuju kamarnya.
"Aku tau ... seenggaknya, bisa temenin aku sekarang? Aku butuh temen cerita, Harits ...."
Dengan wajah sok datar, Harits mengusap kepala gadis itu. "Aku naro tas dulu, ya." Ia berjalan menaiki tangga hingga masuk ke dalam kamar. Sesampainya di kamar, ia tersenyum. Perlahan senyum itu berubah menjadi tawa. "Nyahahaha." Harits menatap pulpen itu. "Ini dia yang aku cari-cari nyahahaha."
'Harits dipersilakan libur untuk menemani Nada yang sedang gundah.'
Harits menatap cermin di kamar, lalu memasang wajah datar kembali. Setelah itu, Harits kembali ke bawah untuk menemui Nada yang sedang duduk di luar.
Melodi menghampiri Harits yang baru saja turun tangga. "Rits, temenin Nada dulu, ya ...." Pinta Melodi.
Harits menghela napas. "Oke." Ia berjalan keluar dan berbincang dengan Nada. Tanpa basa-basi, merkea tancap gas berkeliling kota. Malam masih panjang untuk mendengarkan segala lara Nada.
***
Waktu kini menunjukkan pukul sepuluh malam. Harits dan Nada kembali ke Mantra. Rupanya ada Sekar yang tengah duduk menunggunya. Sekar menatap mereka berdua dan berdiri. "Harits ...."
"Nad, kamu duluan gih," ucap Harits. Nada berjalan sambil tersenyum ramah pada Sekar. Sekar membalas senyum gadis itu.
Harits menulis sesuatu di robekan kertas yang tersimpan di kantong kemejanya. 'Sekar tak masalah melihat Harits dan Nada bersama. Ia justru senang dan memperbolehkan Harits dekat dengan Nada.'
"Dari mana kamu?" tanya Sekar.
"Nada abis putus sama Cakra. Kasian dia. Jadi aku temenin dia ngobrol."
Sekar tersenyum. "Kamu baik, yaaa ... aku suka."
Harits menunduk, ada rasa bersalah dalam dirinya. "Kamu naik apa ke sini? Udah nunggu lama?"
"Naik ojek, tadi ke sini buat ngasih ini." Sekar mengeluarkan tas makanan kecil.
"Apa itu?"
"Aku iseng bikin nasi tutug oncom kesukaan kamu."
"Dari mana kamu tau aku suka nasi tutug oncom?" tanya Harits heran.
"Aku tau segalanya tentang kamu, Harits."
Harits tersenyum penuh getir. "Sini, aku coba nasi tutug oncomnya."
Namun, Sekar menggeleng. "Udah enggak anget lagi. Pasti enggak enak."
Harits menuntun Sekar untuk duduk. Pria itu meraih tas makanan Sekar dan membukanya, lalu memakan makanan yang dibuat oleh Sekar sampai habis. "Enak banget. Aku berharap bisa makan yang masih anget. Kapan-kapan bikinin aku lagi, ya?"
Sekar hanya tersenyum sambil mengangguk. Setelah itu Harits mengantarnya pulang.
***
Hari silih berganti. Harits memang sudah tak menggunakan pena itu lagi. Namun, hasratnya menolak. Ia mulai menuliskan hal-hal yang lebih gila, setelah hiatus beberapa hari. Seperti memenangkan give away, hingga membentuk sebuah perusahaan start up yang cepat berkembang.
Semua kesuksesan itu membuatnya merasa Mantra tak lagi menyenangkan. Harits perlahan menjauh dari teman-temannya yang kini kurang suka padanya gara-gara dianggap merebut Nada dari Cakra. Pada satu titik, ia memutuskan keluar dari Mantra. Harits pun juga berhenti dari pekerjaannya sebagai pemburu hantu dan menelantarkan Simfoni Hitam barunya.
Segala yang ia inginkan pasti terwujud dengan bantuan pena itu, kecuali beberapa kondisi. Mereka yang mati tak dapat dihidupkan kembali.
***
Jam berlalu, hari silih berganti, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Dari bangunan pencakar langit itu Harits menatap ke jalanan yang penuh dengan hiruk pikuk kota Jakarta. Kini perusahaannya menjadi perusahaan besar. Harits meninggalkan Jogja, dan kembali ke Jakarta sejak memutuskan tidak berkuliah lagi.
Ia juga sudah menikah dengan Nada. Pada satu kesempatan, ia memutuskan Sekar karena perasaannya ke Nada lebih dominan.
Hari-hari yang seharusnya bahagia kini ia lewati dengan datar dan biasa. Mungkin, Harits merasa bosan. Sambil menatap lalu lalang jalanan dari ruangannya, Harits menatap pena putih yang masih ia simpan.
Terbesit rasa ingin bertemu tatap dengan teman-temannya dulu. Deva, Jaya, Cakra, Melodi, dan yang lainnya, tetapi selama ini Harits sendiri yang menjauhi lingkaran itu hingga mereka semua pun merasa tak nyaman. Sesekali ia juga merindukan Sekar. Harits menyimpan sesal dan rasa bersalah pada gadis yang amat sangat mencintainya itu.
Harits tersenyum menatap pena di tangannya. "Kenapa kau memberikan kutukan ini padaku?" gumamnya lirih.
"Setelah semuanya ... aku memahami, bahwa pena ini adalah sebuah kutukan. Bukan anugrah. Apa pun yang tertulis dengan pena ini akan menjadi kenyataan. Semua keinginan akan terpenuhi. Sekilas itu terlihat seperti sebuah anugrah, tapi aku salah ...."
Harits menatap langit di luar jendela. "Yang memaknai sebuah kemenangan adalah perjuangan ... yang membuat manusia menghargai perjuangan adalah jatuh bangun ... yang membuat dunia ini menyenangkan adalah proses. Aku mulai paham, bahwasanya bakat terhebat yang dimiliki manusia adalah berusaha."
"Dan sialnya ... itu benar. Semua kesuksesan instan ini terasa hambar. Semua ini nyata, tapi terasa fana. Semakin ada, semakin semu ...."
Sejenak Harits menghela napas, lalu mengambil sebuah buku dan hendak menulis dengan pena putih itu. Namun, matanya kini menyorot ke arah pintu ruangan yang terbuka. Nada dewasa masuk membawa bekal makan siang untuk suaminya. Harits tersenyum.
"Makan dulu, sayang. Kamu enggak capek kerja seharian?"
"Makasih," balas Harits sambil menggores mata pena itu pada lembaran kertas.
"Nada ...."
"Ya?"
"Aku sayang kamu."
Nada tersenyum. "Aku juga."
"Tapi aku harus pergi."
Nada mengerutkan dahinya. "Pergi? Ke mana?"
"Ternyata ada sesuatu yang aku mau."
"Sesuatu yang kamu mau?" tanya Nada.
"Sesuatu yang sebenarnya aku inginkan ...." Tatapan Harits terlihat sangat sendu kali ini. "Kamu tau apa itu?" tanya Harits sambil menatap Nada.
Nada tampak berpikir. "Anak?"
Harits terkekeh mendengar jawaban Nada. Pria itu menutup mata penanya, dan bersandar di kursi sambil memejamkan matanya.
"Aku cuma mau terbangun dari mimpi buruk ini ...."
Nada melirik pada bagian kertas yang ditulis oleh Harits.
'Sebuah keajaiban terjadi. Harits tertidur, lalu kembali pada masa lalu di mana ia belum menemukan pena putih itu. Semua kejadian ini hanyalah mimpi dan cepat terlupakan. Pena putih yang dapat mewujudkan segala tulisan penulisnya itu tak pernah ada ....'
Sebuah benda jatuh mengenai wajah Harits hingga membuatnya terbangun. Sontak membuat Harits membuka mata.
Teman-temannya menatap Harits dengan kekehan meledek.
"Bangun! Jam piro iki? Mlebu kelas, ra?"
Bangun! Jam berapa ini? Masuk kelas, enggak?
Harits terduduk menguap sambil mengusap matanya yang terasa berat. Ia mengambil pulpen hitam di lantai dan melempar pupen itu pada temannya. Membalas perbuatan kekerasan tersebut, tetapi lemparannya meleset.
"Ra, keno, wleeeee!"
"Gas." Harits bangkit dari tidurnya dan mengambil tas miliknya. Ia dan teman-temannya berjalan meninggalkan warung makan tempatnya singgah di sela-sela jam kosong.
Di perjalanan menuju kampus, Harits tersenyum. "Duluan, gua agak terlambat." Ia memisahkan diri dari kawanan.
Teman-temannya berhenti melangkah dan menoleh ke arah Harits yang sedang berjalan menghampiri seorang gadis. Gadis itu baru saja keluar dari salah satu rumah kos-kosan.
"Si bodat! Malah pacaran!" Teman-temannya menyoraki Harits. "Bangun tidur, terus ketemu pacar. Mimpi indah kali kau, Lae!" timpal si Batak.
Harits hanya terkekeh hingga langkah kakinyanya membawa pria itu ke hadapan Sekar.
"Ada kelas?" tanya Harits.
"Ada," jawab Sekar sambil menyisir poninya yang mengganggu ke belakang telinga.
"Mau gandengan sampe kampus? Biar kayak orang pacaran."
Sekar menggandeng tangan Harits. "Kan emang pacaran." Mereka saling melempar senyum dan berjalan menuju kampus.
"Barusan aku tidur, dan aku mimpi. Mimpi itu adalah mimpi terlama yang kayaknya aku alami," ucap Harits.
"Mimpi apa?" Sekar penasaran dengan mimpi pria kecilnya.
"Banyak. Sebuah pelajaran berharga. Di mana sebuah penyesalan menjadi menu utamanya." Tangan Harits semakin erat menggenggam Sekar. "Ternyata, aku belum mau kehilangan kamu ...." Lirih suara Harits membuat Sekar mengerutkan dahinya.
"Kamu bilang apa? Kecil banget suaranya."
"Nyahahahaha." Harits menggaruk kepala. "Enggak. Bukan apa-apa."
"Aneh!"
Harits memencet hidup Sekar. "Tapi suka, kan?"
Sekar terkekeh, ia memalingkan wajah. "Enggak tahu deh!"
"Hih! Masa gitu?!"
Mereka terus begitu hingga berpisah di kampus, meingingat mereka berbeda kelas, jurusan, dan angkatan.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top