111 : Pulang

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Semester ini telah habis. Tak seperti liburan semester satu yang dihiasi Walpurgis, semester ini Mantra Coffee libur. Harits pulang ke Jakarta, Deva, Melodi, dan Nada pulang ke Bandung. Semester ini juga Fenri sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan tetap, jadi gadis itu terpaksa harus menyudahi pekerjaannya di Mantra Coffee. Cakra ikut ke Bandung, ia menginap di rumah Tama, terakhir Jaya. Ia pulang ke Hutan Larangan.

Bandung 2040.

Pagi memang menyajikan udara yang nikmat. Setelah duduk berjam-jam dalam perjalanan kereta malam, akhirnya Cakra berdiri di halaman yang hijau dipenuhi tanaman hias. Ada kolam ikan di pinggir halaman, dekat dengan pintu samping yang berupa kaca geser.

"Welcome," ucap Nada menyambut kedatangan Cakra.

"Makasih ya udah ngajak aku ke rumah kamu."

Nada mengangguk. "Daripada kamu sendirian di Jogja."

Dari pintu depan, seorang wanita paruh baya datang, Ia tersenyum menatap Nada dan Melodi yang baru juga tiba beberapa detik lalu.

"Eh perawan udah pada pulang."

"Bu Darmiiii." Nada berjalan ke arah Bu Darmi, ibu dari Faris Nugroho. Memang, Bu Darmi bekerja di rumah mereka sebagai asisten rumah tangga, tetapi usia Nada yang masih jauh lebih muda tak lupa dengan rasa hormat pada orang yang lebih tua. Nada juga sudah menganggap Bu Darmi sebagai ibu kedua, karena ia selalu ada untuk keluarga Mahatama.

"Istirahat dulu, pasti capek kan dari perjalanan?" tanya Bu Darmi.

"Iya, Bu. Ini mau ke dalam," balas Nada. "Oh iya, kenalin, Bu. Ini Cakra."

Bu Darmi menatap pria manis dengan rambut yang didominasi warna abu-abu itu. Cakra tersenyum padanya. "Salam kenal, Mas Cakra," sapa Bu Darmi.

"Iya, Bu. Salam kenal juga."

"Semoga betah di Bandung," lanjut Bu Darmi.

"Insyaallah betah, Bu," jawab Cakra.

"Betah dong, kan ada aku!" celetuk Nada.

Setelah itu Nada dan Cakra berjalan masuk ke dalam rumah. Melodi sudah masuk sedari tadi, rasanya ia lelah dan ingin berbaring di kasurnya.

***

Hari menjelma senja. Perlahan warna keemasan di langit pudar menjadi hitam. Melodi tak kunjung keluar dari kamarnya.

"Melodi lagi ada masalah, ya?" tanya Bunda pada Nada yang sedang duduk di sofa bersama Cakra, mereka sedang menonton movie. "Mukanya kayak kurang semangat gitu."

Nada menggeleng sebagai jawabannya.

"Terus kenapa?" lanjut Aqilla.

"Dia enggak punya masalah, cuma lagi sedih aja, Bunda," balas Nada.

"Iya sedih kenapa?"

"Bunda kalo ayah meninggal sedih enggak?" tanya Nada.

"Ya sedihlah, gimana sih kamu," jawab Aqilla.

"Kenapa bunda sedih?"

"Ya, karena bunda udah enggak bisa ketemu sama ayah lagi. Kalo kangen cuma bisa doain aja."

"Melo gitu. Dia suka sama orang, eh orangnya mati," jelas Nada.

Aqilla mengerutkan dahinya. "Ippo, Ippo itu? Meninggal? Innalillahi."

Nada mengangguk sebagai jawaban. Aqilla menghela napas, ia melirik ke arah Tama yang baru saja pulang kerja. Pria itu tak sengaja menguping pembicaraan mereka. Tama mengisyaratkan Aqilla untuk duduk dan tenang.

Pria yang ketampanannya tak kunjung pudar itu membawa seblak untuk makan malam mereka. Ia menyajikannya semangkuk dan membawanya ke lantai atas.

Tok ... tok ... tok

"Masuk aja, enggak dikunci," ucap Melodi.

Tama masuk ke dalam sambil membawa semangkuk seblak kesukaan Melodi. "Makan dulu. Bunda bilang, kamu belum makan dari siang?"

"Iya, belum laper. Ini baru laper," jawab Melodi.

Melodi menutup binder yang ia pegang dan meletakkannya di atas meja belajar. Ia berjalan ke arah Tama dan duduk di lantai. Tama meletakkan mangkuk di lantai dan ikut duduk lesehan di kamar putrinya.

Tama menatap tangannya yang masih diselimuti sarung tangan hitam. "Ayah udah enggak bisa ngebohongin kamu, ya?"

Melodi tersenyum sambil menggeleng. Ia menempel pada Tama dan bersandar di pundaknya sembari memberikan tangannya untuk Tama. Tama membuka sarung tangan hitamnya dan mengusap tangan Melodi secara lembut sambil memejamkan matanya.

Gadis yang sudah tumbuh dewasa itu sudah paham kemampuan ayahnya. Tak ada privasi di antara ayah dan anak. Melodi ingin bercerita, tetapi ia enggan mengutarakan. Biarkan psikometri menjelaskan semua pada sosok superhero yang selama ini mampu membuatnya tenang.

Perlahan memori demi memori yang berantakan bak potongan puzzle itu mulai tersusun rapi. Tama menikmati film yang ia tonton dalam sinema di benak putrinya. Semua kesedihan gadis itu tumpah lewat air mata ayahnya. Perlahan Tama membuka matanya dan memeluk Melodi. "Sabar ya, sayang ...," gumamnya lirih.

Melodi memeluk Tama dengan erat sambil sesekali air matanya luruh. "Ayah ... Melodi capek ... Melodi kangen sama orang, tapi udah enggak bisa ketemu ...."

Kemeja kerja Tama kini dibanjiri air mata putrinya. Tama tak mampu berkata-kata. Tak ada kata yang mampu membasuh luka putrinya. Yang Tama tahu hanya--gadis kecilnya butuh dekapan.

"Ayah pernah enggak sih lewat di suatu tempat, di mana biasanya selalu ada orang aneh yang nyapa? 'Selamat pagi Alunan, selamat siang Aulan, selamat sore Alunan', tiba-tiba orangnya pergi ... dan ketika lagi berharap orang itu muncul buat sekadar menyapa kita, tapi dia enggak pernah muncul dan enggak akan pernah muncul lagi di hidup kita?"

"Kamu lebih sedih mana antara kehilangan dia atau Nada?" tanya Tama.

"Ya, Nada lah! Ini orang aneh aja udah bikin sedih. Enggak kebayang kalo Nada yang pergi. Bisa sakit aku. Dari perut bunda udah barengan."

Tama tersenyum. "Ayah enggak pernah ngalamin hal yang kamu alamin, jadi ayah enggak bisa kasih solusi," ucap Tama. "Ayah cuma punya sepenggal kisah lalu. Dulu ayah punya temen, dari kecil kita main bareng."

"Mantra?" tanya Melodi.

Tama mengangguk. "Ada ayah, Andis, Dirga, Fajar, Tirta, Kei, dan ... Tomo."

"Kita dari kecil selalu bareng. Suka dan duka sama-sama. Dirga kabur dari rumah dan tinggal di mobil bus rongsok, ayah dan temen-temen kadang kabur dari rumah dan ikut nemenin mereka. Bus itu jadi basecamp kita dulu. Kita selalu satu sekolah, sampai kuliah pun sama-sama merantau ke Jogja, ya ... meskipun cuma berempat."

Melodi diam sambil mendengarkan cerita Tama.

"Pada suatu hari ada kabar yang cukup menghebohkan. Tomo meninggal. Kabar itu hadir enggak jauh dari jarak kita semua lulus kuliah."

Tak seperti Dirga, Andis, dan Ajay. Tama jarang menceritakan kisah tentang Mantra pada Melodi dan Nada.

"Tomo bukan anak yang terlalu dekat sama ayah, tapi sosoknya ternyata mampu bikin kita semua menangisi kepergiannya ... termasuk ayah. Tomo punya dua kepribadian. Ada kepribadiannya yang jahat, kita manggil dia Uchul. Tomo dan Uchul itu jauh berbeda, tapi kita semua bisa nerima dia dan memaklumi segala tingkah lakunya. Dia anak yang licik, tapi dia baik."

Melodi mulai tertarik pada cerita Tama. "Terus?"

"Tomo bukan orang yang bisa diharapkan, tapi ketika kita semua kehilangam harap, Tomo selalu bisa diandalkan. Dia melengkapi kepingan terakhir Mantra menjadi solusi ketika kita dibenturkan dengan keputusasaan. Saat dia pergi, semua enggak lagi sama. Terkadang ayah kangen sama tawanya yang cukup menyebalkan, tapi tawa itu ikut terkubur bersama jasadnya."

"Sakit, ya? Kehilangan ...," gumam Melodi. Gadis itu tersenyum, tapi wajahnya menyiratkan getir.

"Dari kematian Tomo, ayah belajar. Bahwa ada satu obat yang mampu menyembuhkan segala jenis luka hati."

"Apa?" tanya Melodi.

"Mau tahu?"

Melodi mengangguk. "Mau."

Tama mengusap kepala putrinya sambil terdiam beberapa saat. "Waktu."

Melodi memicingkan matanya. "Waktu?"

"Cuma waktu yang bisa menyembuhkan luka. Bertemu dengan orang-orang baru, sibuk dengan kegiatan baru, pekerjaan baru ...." Tama diam sejenak. "Mungkin menemukan hati baru?" ledek Tama sambil terkekeh. Hal yang hampir tak pernah ia tunjukkan di depan orang banyak.

"Ih, Ayah! Mana ada hati baru." Melodi mencubit Tama sambil tersenyum.

"Seperti halnya Ippo yang datang ketika kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka dari Deva. Kamu pikir enggak akan ada orang baru yang akan hadir buat gantiin Ippo? Tuhan itu maha kaya. Lewat waktu, dia hadirkan rahasia yang enggak akan pernah kita duga-duga."

"Seandainya itu pria lain, mungkin ini akan mudah, tapi yang kita bicarain itu Ippo. Ayah terlalu meremehkan seorang Riffo Gardamewa," ucap Melo sambil tersenyum. "Dia pria yang enggak pernah aku harapkan kehadirannya sekaligus pria yang sangat aku harapkan kehadirannya. Aneh, kan?"

"Aneh, tapi biar begitu kamu harus makan. Seblak kalo dingin kurang enak." Tama beranjak dari duduknya. "Lekas pulih ya, cantik."

Melo tersenyum. "Terimakasih ayah terhebat!"

Ketika Tama menutup pintu, Melodi menghabiskan seblaknya dengan beringas.

***

Tasikmalaya 2040.

Jaya, Petrus, Isabel, Iris dan Yuza kini berada di tengah Hutan Larangan. Jaya duduk di pelataran ditemani secangkir kopi hitam panas yang ia bawa dari Mantra Coffee. Tentu saja ia bawa dalam bentuk bubuk agar mudah diolah.

"Selama ini kamu tinggal di sini?" tanya Iris yang menyusul Jaya di pelataran kayu.

"Iya. Saya dibesarkan di hutan."

"Cerita tentang orang tua kamu ...."

Jaya terkekeh. "Itu benar. Saya dibuang ke hutan ini. Saya dipungut pemilik kabin ini dan dirawat sebagai anaknya. Saya, Petrus, Isabel, dan anak-anak lain yang dibuang." Sejenak ia diam. "Gimana rasanya punya ibu? Menyenangkan?"

Iris mengangguk. "Ini kenangan lama. Ibu saya enggak mau kalo saya jadi pembunuh, tapi saya terlanjur mengagumi ayah saya. Ayah saya keras. Dia berjanji sama ibu buat enggak menjadikan saya penerusnya. Saya protes dan pada akhirnya ayah mengajarkan teknik membunuh secara diam-diam pada saya, untuk pertahan diri."

"Ibu kamu bisa masak?" tanya Jaya lagi.

Iris kembali mengangguk. "Rasanya udah agak samar, tapi saya masih ingat. Ibu saya orang yang lembut dan penyayang."

Jaya berbaring di lantai kayu. Ia tersenyum. "Pasti menyenangkan, ya?"

"Kamu punya keinginan buat nyari ibu kamu?" tanya Iris balik.

Jaya terkekeh sambil menggeleng. "Enggak. Enggak ada sama sekali."

"Kenapa?"

"Dia membuang saya. Saya selalu bertanya pada orang yang saya anggap ayah saya sendiri. Tentang sosok bernama ibu. Apakah dia pernah datang? Setidaknya untuk mengetahui kabar saya."

"Dan dia enggak pernah datang?" lanjut Iris.

"Ya. Dia enggak pernah datang."

Iris terdiam. Entah, ia tak bisa bayangkan bagaimana lahir tanpa mengetahui siapa orang yang melahirkannya.

"Menurut saya, saya masih jauh lebih baik daripada kamu," timpal Jaya. "Kamu punya kenangan. Pasti berat, kan? Ketika kamu merindukan itu semua, kamu tidak berdaya. Saya memang terlihat menyedihkan, tapi saya tidak punya kenangan untuk ditangisi. Saya rasa, jadi kamu lebih berat."

"Kamu benar. Rindu tanpa dibayar pertemuan itu terlalu berat, tapi membayangkan sosok orang tua yang membuang anaknya ... itu lebih keji dari apa pun. Memangnya siapa yang minta untuk dilahirkan? Seorang anak tidak seharusnya menanggung beban itu di pundaknya. Kamu adalah korban nyata ketidak bertanggung jawabnya manusia atas perbuatan mereka."

"Yaaa ... apa pun itu, saya sudah tidak pernah memikirkannya. Saya hanya hidup sekali, dan saya bersyukur bisa menjalani itu ... bertemu dengan kamu, Iris."

Iris bersandar di bahu Jaya. "Kita yang tidak punya siapa-siapa ini harus terus melangkah maju. Waktu itu terus bergulir."

"Hari sudah menggelap, ayo kita siapkan makanan buat semuanya," tutur Jaya.

Iris tersenyum dan ikut Jaya bangkit. Mereka berjalan ke dapur dan memasak persediaan yang sudah mereka beli sebelumnya.

Jakarta 2040

Harits duduk di ayunan taman. Samar-samar ingatan tentang tiga anak yang selalu bersama, terpampang dari dasar memorinya. Sejenak Harits menghela napas, lalu pergi dari taman.

Langkahnya menuntun pria itu ke sebuah lapas tersembunyi milik Dharma. Ada seorang pemuda yang kebetulan sedang duduk santai di bagian depan.

"Wah, wah, wah, ada orang jauh nih," ucap seorang pria seusia Harits. Ia menghisap rokoknya kembali, lalu membuang asapnya.

"Sura ...."

Pria itu adalah Sura Nataprawira, salah satu perwira Dharma dari unit Trishula yang ikut memeriahkan Walpurgis dengan kujang kembarnya.

"Mau ketemu sahabat lama?" tanya Sura sambil menampilkan seringainya.

"Ya."

Sura membuang rokoknya yang masih setengah batang, kemudian menginjaknya. Pria itu beranjak dari duduknya dan berjalan masuk. Tatapannya berubah, ia mengisyaratkan Harits untuk masuk. "Ikutin gua."

Harits dibawa mengikuti lorong yang cukup panjang. Di tempat ini tidak ada siapa pun. Hanya ada Sura dan dirinya. Seluruh ruang tahanan yang mereka lalui di lorong pun kosong.

"Wisesa sama Ageng ke mana?" tanya Harits.

"Mereka enggak di sini," jawab Sura.

"Terus lu ngapain di sini?"

"Gua?" Sura berhenti dan menoleh ke belakang. "Gua kepala sipir di sini."

Harits mengerutkan dahinya. "Sipir? Terus staf lain gimana?"

"Di sini itu eksklusif. Cuma ada satu tahanan di sini. Tentunya ada staff, tapi saat ini karena gua di sini. Jadi enggak ada siapa-siapa lagi. Gua kurang suka ditemenin." Seringainya yang seperti orang jahat itu membuat orang lain merinding melihatnya. Mereka kembali berjalan hingga berada di ujung lorong. Ada satu ruangan di ujung lorong ini. Sura membawa Harits masuk ke sana.

"Tunggu di sini," tuturnya. Sura berjalan keluar meninggalkan Harits seorang diri. Harits duduk sambil menunggu.

Beberapa menit berlalu, pintu lain yang berada di balik jeruji besi terbuka. Rizwana muncul sambil tersenyum menatap Harits. "Yo." Ia berjalan dengan kedua tangan yang diborgol. Rizwana duduk di satu kursi yang tersedia. "Sejak kapan kalian akur?"

Harits menatap ke arah samping. Radika Kusumadewa berdiri di sampingnya dengan wujud roh. "Bukannya bahaya kalo ketauan bawa buronan ke sini?" tanya Rizwana masih dengan senyumnya yang seolah meledek.

"Sura enggak bisa ngelihat roh," jawab Harits. "Jadi gimana keadaan lu?"

"Baik-baik aja. Sehat, cuma agak kesepian. Jadi ... ada apa ke sini?"

"Simfoni Hitam aktif lagi. Karena kita bikin itu sama-sama, sekarang gua mau minta izin buat gunain nama itu dengan job yang sama."

"Silakan," balas Rizwana.

Harits beranjak dari duduknya dan berjalan pergi. Pada satu titik ia berhenti melangkah. "Kalo lu keluar dari sini, ada slot kosong satu. Dah, cuma itu." Kemudian Harits melanjutkan kembali langkahnya.

Rizwana tersenyum menatap Harits yang pergi menjauh. "Simfoni Hitam, ya? Lu terlalu baik masih mau nerima gua pulang ke tempat itu ...."

Ketika keluar ruangan, Sura sudah menunggunya. Pria itu sedang bersandar pada dinding lorong. "Udah?"

"Udah," jawab Harits. "Terimakasih."

Sura menyeringai. "Sekarang bocah ini punya sopan santun."

"Makasih," balas Harits ketus.

"Sejak kapan belajar sopan santun?"

"Makasih."

***

Bandung 2040

Kembali ke Bandung. Deva keluar kamar dan berjalan menuju pintu utama. Ia membawa tas gitar di pundaknya. Ketika melewati teras rumah, ia berhenti.

"Kenapa, Bet?"

Dirga nampaknya sedang berbincang dengan Abet di telpon.

"Oh, enggak apa-apa kok. Ya udah, makasih ya buat bantuan lu selama satu tahun ini. Lu udah banyak berkontribusi dalam bangkitnya Mantra Coffee lagi kok. Kalo ada peluang yang lebih profit ya baiknya lu aja deh. Kalo butuh apa-apa jangan sungkan, kontak aja gua."

"Ya, ya, ya. Waalaikumsalam."

Deva melanjutkan langkahnya. "Mas Abet?"

Dirga menoleh. "Iya."

"Kenapa?"

"Dia mau balik ke Jakarta karena dapet kerjaan yang upahnya lebih baik daripada di Jogja. Jadi dia enggak bisa kontrol kafe lagi," jawab Dirga.

"Terus gimana?"

"Ya enggak gimana-gimana. Emang mau gimana?" tanya Dirga balik. "Kalian udah bisa lepas landas tanpa Abet, kan?"

Deva mengangguk. "Ya, bisa aja sih ...."

"Bisa enggak? Kok enggak yakin gitu?"

"Bisa kok." Deva telah selesai mengikat tali sepatunya. Kini ia berjalan menuju motornya dan pergi.

"Kamu mau ke mana malem-malem gini?" tanya Dirga.

"Biasa, cari panggung jalanan," jawab Deva.

Hari ini Deva butuh panggung jalanan untuk menguji kemampuannya yang agak lama tak ia gunakan. Laju motornya hari ini ia tujukan ke Braga.

Ini sudah menginjak hari ketiga ia pulang ke Bandung. Tentunya banyak nostalgia jaman sekolah di kota ini. Deva meletakkan hardcase gitar dan mulai menyetel gitarnya. Blues jalanan mewarnai telinga para orang yang berlalu-lalang di Braga. Hari ini Deva membawakan Flying To The Moon.

https://youtu.be/jIzDxxR34qc

"Deva ...."

Deva menoleh pada suara yang memanggilnya. Permainannya berhenti. "Melodi ...."

Rupanya Melodi sedang berjalan-jalan di Braga untuk menjernihkan pikirannya. Tempat kegemarannya, Malioboro versi Bandung.

"Boleh aku temenin nyanyi?" tanya Melodi.

Deva mengangguk. "Silakan."

Fly me to the moon,
Let me play among the stars,
Let me see what spring is like on,
A-Jupiter and Mars,
In other words, hold my hand,
In other words, baby, kiss me,

https://youtu.be/Ev_-gOW-gMo

Kini sang pemilik nostalgia itu justru hadir dan ikut memeriahkan Braga dengan suara indahnya. Deva memejamkan matanya untuk meresapi suara itu dan juga berusaha menikmati petikan senarnya.

Banyak orang yang berhenti untuk sekadar mendengarkan live music itu. Ada juga yang hanya mengabadikan momen itu dengan foto dan video untuk diposting di akun sosial media.

Tak ada kata yang terucap di antara mereka. Melodi hanya bernyanyi mengikuti setiap lagu yang Deva mainkan. Mereka selalu serasi soal musik.

Hari ini di tutup oleh permainan cantik sepasang mantan itu. Sejenak mereka melupakan probelam yang terjadi demi lagu yang mereka persembahkan untuk Bandung dan orang-orang yang berkunjung ke Braga.

"Melo ...."

"Ya?"

"Ayo balikan. Aku janji buat berubah ...."

Melodi tersenyum menatap Deva yang menatapnya dalam-dalam. "Terus cewek yang suka nyamperin kamu ke kafe gimana? Kamu ngasih harapan ke dia loh."

"Jashinta?"

"Iya, dia."

"Aku deketin dia cuma mau buat kamu cemburu. Aku berpikir, cara untuk bikin kamu mengerti rasa sakit yang aku derita adalah dengan menggores luka yang sama, agar kamu tahu rasanya," ucap Deva. "Terlalu kekanak-kanakan ...."

"Kamu berhasil. Aku pernah ada di titik itu. Cewek itu ... setiap ke Mantra aku selalu panas dan enggak suka kalo kamu deket sama dia. Aku cemburu."

"Serius?" tanya Deva yang cukup terkejut.

"Kamu jahat kalo tiba-tiba pergi dari kehidupan dia, dan yang akan jadi antagonis utama di dalam kisah cinta dia adalah aku."

Deva terdiam, berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut Melodi.

"Aku belum pulih. Hatiku entah ada di mana sekarang, aku pun enggak tahu. Aku harap kamu bertanggung jawab atas perasaan gadis yang kamu seret ke dalam hidup kamu itu. Aku percaya, ketika kamu tidak bertanggung jawab, kelak kamu akan nerima karma dari gadis yang kamu lukai. Aku percaya, jodoh itu ada di tangan Tuhan. Untuk sekarang kita enggak bisa bersatu, aku belum bisa nerima kamu lagi. Kalo emang jodoh, kelak  aku pasti akan pulang ke pelukan kamu."

Mereka berdua terdiam cukup lama. Suasana mendadak canggung. "Maaf, Dev ... mungkin lain waktu." Melodi melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan Deva yang sedang duduk sambil memeluk gitarnya.

Deva menatap langit malam. Pria itu bangkit dari duduknya dan memainkan lagu berikutnya tanpa Melodi. Rupanya malam masih panjang untuk dihabiskan seorang diri.

***

Di malam yang sama, tapi di tempat yang berbeda. Nada dan Cakra berkeliling kota Bandung mengendarai motor.

"Ternyata Bandung cantik juga," ucap Cakra. "Persis pemiliknya."

"Siapa pemilik Bandung?"

"Kamu."

"Aku mah warga doang kali."

"Negara ini punya kita, karena kita orang Indonesia. Kota ini punya kamu, karena kamu warga Bandung," balas Cakra.

"Iya deh, terserah." Nada menikmati pemandangan Bandung yang masih sama seperti satu tahun lalu. "Setiap malam kamu masih sering jagain aku?" tanya Nada.

"Hmm ... rahasia."

"Kamu pernah ngintip aku atau Melodi ke kamar mandi?" Pertanyaan random keluar dari mulut gadis itu.

Cakra terkekeh. Mendengar gelak tawa pria itu, Nada memicingkan matanya. "Ngaku?"

"Enggak pernah."

"Serius? Cowok kan ... cabul."

"Ye, enggak semua kali. Tanya tuh Harits. Dia yang jadi satpam spiritual di Mantra tau. Dia masang pager astral gitu biar enggak ada makhluk halus yang bisa masuk ke kamar mandi. Jadi aku pun termasuk ke golongan itu dan enggak bisa masuk ke kamar mandi."

"Harits begitu? Dia baik banget," ucap Nada.

"Biasa. Alasannya sih biar kalo dia boker enggak risih diliatin banyak makhluk. Soalnya kata dia kamar mandi itu sebenernya ramai."

"Hahaha biasa deh si Harits. Gunain sejuta alasan buat nutupin niat baiknya," timpal Nada.

"Kalo aku pulang ke London, kamu mau ikut?"

"Mau kalo dibayarin!" jawab Nada.

"Sebelum keluarga ku pindah, aku mau pulang dulu buat pamitan sama temen-temen di sana. Mungkin saat itu, aku pulang ke sana ngajak kamu.

"Di sana makanannya enak?"

"Relatif. Makanan itu selera. Kalo buat aku sih ya enak-enak aja."

"Kalo aku ke London, aku mau makan semua makanan di London. Ayo ajak aku, Cakra."

"Harus difilter, Nada. Banyak yang haramnya juga soalnya," balas Cakra.

Keadaan hening sejenak. Hingga pada satu kesempatan Cakra berdehem, membuat Nada menatapnya dari belakang.

"Aku mau tanya ... kenapa kamu sama Faris enggak jadian?"

Nada tampak sedang berpikir. "Faris ilang. Dia nyuruh aku buat pacaran sama cowok lain."

"Kok gitu?" Cakra merasa heran.

"Katanya yang terbaik selalu datang diakhir. Gitu ...."

"Itu kesalahan terbesar Faris. Sayangnya akhir dari perjalanan kita adalah kematian," balas Cakra. "Dia ngasih kesempatan pada orang yang salah."

"Sejujurnya aku belum bisa lupain Faris. Maafin aku ya, Cakra ... kalo kamu emang sehebat itu, tolong buat aku lupa sama dia!"

Cakra terkekeh. "Oke."

"Oh iya, Cakra. Rambut aku udah agak panjang ...."

Cakra tersenyum. "Nanti aku potongin lagi."

"Aku suka model potongan kamu!"

"Enggak ngaruh, mau dipotong model apa, kamu tetep cantik."

"Kalo botak?!" celetuk Nada.

"Yaaa ...."

"Hayoloh! Cantik enggak kalo botak?!"

"Cantik, tapi agak aneh."

Mereka tertawa sambil mengitari kota Bandung dengan obrolan receh dan sesekali berhenti untuk membeli jajanan pasar.

.

.

.

TBC

Sedikit PLOT HOLE kalo ditarik dari serial Martawangsa. Hutan Larangan itu ada di Tasikmalaya, sementara di awal Mantra Coffee Next Generation adanya di Garut. Oke, kita kembali ke jalan yang benar. Hutan Larangan ada di Tasikmalaya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top