109 : The First For Each Other
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rio melesatkan serangan terakhirnya. Topeng Bapang terjatuh dari wajah Jaya. Darah menyembur hingga mengenai rambut Iris. Tangisan wanita itu semakin dalam.
Petrus terbelalak menatap kejadian di hadapannya. "JAYA!"
Mata Jaya kehilangan cahayanya. Dengan tatapan kosong, ia lebih cepat dari Rio dan memukul ulu hati pria itu hingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Jaya menarik rambut Rio dan memukul wajah pria itu hingga terpental ke dinding bangunan.
"JAYA SADAR!" Petrus gemetar. Tidak ada yang lebih ia takutkan dari kemarahan kakaknya.
Bayu pernah berkata bahwa Jaya adalah sosok yang mengerikan. Maka dari itu Bayu memberikan Bapang untuk menggantikan kemarahan Jaya. Bayu hanya percaya pada Bapang sekalu sahabatnya. Tidak ada yang bisa menghentikan Jaya yang telah kehilangan kendali atas dirinya.
Rio adalah yang paling terkejut. Dalam waktu secepat itu keadaan berbalik. Darah yang menyembur barusan adalah buktinyata, bahwa pukulan Jaya tidak main-main. Merasa terancam, Rio mundur untuk menjaga jarak. Namun, Jaya menarik kaki pria itu dan menjatuhkannya.
Atma hitam berkerumun di sekitar Jaya. Atma-atma ini terhisap ke kepalan tangan Jaya. Secara brutal, Peti Hitam itu menghantam tinjunya ke wajah Rio secara bertubi-tubi.
"JAYA! BERHENTI!" Petrus berusaha bangkit untuk menghentikan Jaya.
Darah bersimbah di wajah Jaya. Darah itu bukanlah darah Jaya. Rio sudah tak sadarkan diri. Semakin ia lesatkan tinjunya, semakin banyak noda darah di wajahnya.
"SESEORANG! TOLONG HENTIKAN JAYA!"
Ketika tangan itu hendak memukul kembali, sebuah tangan yang penuh kelembutan menghentikannya dari belakang. "Sudah selesai. Jangan dilanjutkan. Bukannya kamu mau berhenti?"
Jaya terdiam, ia menghentikan pukulannya. Petrus terkejut. Biasanya jika Jaya mengamuk, Bayu adalah orang yang mampu menyadarkannya, itu pun dengan kekerasan dan membuat Jaya tak sadarkan diri. Namun, kali ini tak ada kekerasan. Jaya luluh.
Iris kembali terjatuh, kakinya gemetar. Ia kesulitan berdiri karena luka di kedua betisnya. Di hadapannya terduduk seorang pria yang sedang menangis. Ia menangisi apa yang ia perbuat. Pria itu sempat garang, tapi kini menangis layaknya anak kecil.
"Dia belum mati, jangan nangis," tutur Iris. Wanita itu menatap Yuza. "Yuza, bawa anak itu ke rumah sakit. Kamu enggak kenapa-napa, kan?"
Tanpa basa-basi, Yuza memapah Petrus pergi dari tempat itu.
"Ayo kita pergi juga, kamu butuh perawatan. Biar nanti saya panggil polisi buat mengamankan orang ini," ucap Jaya. Ia bangkit dan membantu Iris bangkit, lalu menggendongnya di pundak. Mereka keluar dari bangunan itu dan meninggalkan Mamat di sana. Sepanjang jalan tak ada kata yang terucap.
"Maaf ... kamu jadi melihat sisi gelap saya yang tidak ingin saya tunjukkan di depan orang lain," tutur Jaya.
"Sisi gelap kamu yang menyelamatkan kita semua," balas Iris.
"Mulai sekarang, kamu harus bisa nerima sisi gelap saya. Saya pun akan nerima semua sisi gelap kamu."
Iris mengingat kembali perjanjian panik mereka. Ia merogoh saku dan mengambil pisau. "Kalau salah satu dari kita mati, kita tidak perlu menjadi sepasang kekasih, bukan?"
"Ya. Siapa juga yang mau pacaran sama orang mati," balas Jaya sambil terkekeh. "Paling juga Mas Harits."
Jaya berjalan dan berharap menemukan taksi untuk membawa mereka ke rumah sakit. Namun, jalanan terlalu sepi. Senyum tipis itu bersarang di wajahnya. "Kamu enggak jadi nikam saya? Saya pikir kamu benci sama saya."
"Saya akan bunuh kamu, tapi nanti. Saya enggak suka ngebunuh orang yang lagi sakit."
"Sekarang waktu yang tepat. Kalo saya udah sehat, kamu enggak punya kesempatan," balas Jaya.
"Kamu meremehkan saya?! Saya tunggu sampai kamu sembuh dulu! Saya bisa bunuh kamu kapan pun saya mau!"
Jaya tersenyum. "Ya, saya percaya itu. Saya menantikannya. Seandainya saya harus mati dengan cara terbunuh, saya harap kamu adalah pembunuhnya. Karena saya terlalu lelah untuk menjadi arwah penasaran."
"Jangan menyesal! Saya pasti akan membunuh kamu. Rio itu harusnya buruan saya, tapi malah kamu yang memangsa dia. Saya benci itu. Karena kamu yang memangsa Rio, artinya saya harus memangsa kamu!"
"Kalo kamu mau emang mau sebegitunya pergi, silakan. Ini bukan kali pertama orang lain pergi dari kehidupan saya. Bahkan dari kecil orang tua saya membuang saya. Tidak ada yang pernah mengharapkan kehadiran saya. Beruntung ada pria baik yang sudi memungut saya dan merawat saya sampai saya besar seperti ini. Mirisnya, pria baik itu pun pada akhirnya meninggalkan saya."
"Jangan mencoba terlihat menyedihkan di depan saya! Saya tidak akan bersimpati."
Pakaian Iris semakin basah. Darah di punggung Jaya yang tertikam akibat menjadi tameng untuk Iris semakin merembes.
"Turunin saya sekarang! Saya bisa pulang sendiri! Atau saya akan teriak."
Keinginannya terkabul. Kini Iris tergeletak di tanah. Bukan karena Jaya menurunkannya, tetapi karena Jaya hilang sadar kehabisan banyak darah. Mereka berdua terjatuh.
"Hey ... hey ... bangun." Iris mencoba membangunkan Jaya.
Tak ada reaksi. Iris mendadak panik. Sudah banyak ia menyaksikan kematian, bahkan tak jarang Iris berperan menjadi asisten malaikat maut dalam mengemban tugasnya. Namun, kali ini ia tak sudi jika pria yang bersamanya itu mati.
***
Mentari melahirkan cahaya. Jaya terbangun dari ketidak sadarannya. Ia berusaha mencari bidadari, tetapi yang terlihat hanyalah seorang kurcaci.
"Kenapa muke lu gitu liatin gua?" ucap Harits ketika melihat Jaya yang wajahnya datar tanpa ekspresi, tapi menyiratkan kekecewaan.
"Enggak apa-apa," balasnya. "Saya di mana?"
"Rumah sakit. Adek lu juga ada di sini. Semalem lu abis ngapain? Siapa yang bikin lu begini?"
"Iris mana?"
"Iris apaan? Irisan lemon?"
"Cewek yang waktu itu," jelas Jaya.
"Entah, gua cuma disuruh ke sini dan tiba-tiba ada elu yang terkapar. Enggak ada siapa-siapa di sini selain perawat dan dokter."
Jaya terlihat getir. "Gitu, ya ... oke deh."
"Jadi, kenapa lu bisa ada di sini?"Harits masih penasaran dengan apa yang terjadi. Jaya menceritakan setiap kejadian dengan detil. Perlahan Harits mulai paham situasinya.
"Saya yakin dia pun enggak mau menjebak Reki. Mereka terpaksa melakukan itu untuk bertahan hidup."
"Gua paham situasinya, tapi enggak dengan Melo. Dia belum bisa nerima itu. Mudah-mudahan waktu bisa membasuh lukanya. Mudah-mudahan juga waktu bisa membasuh luka lu. Masih banyak cewek di luar sana, Jay."
"Tumben bener? Saya nungguin quotes enggak beresnya, Mas."
"Yeeee, ngelunjak!"
Pintu kamar terbuka. Iris masuk dengan dibantu sebuah tongkat untuk membantunya berjalan. Melihat itu Harits segera bangkit dan berjalan pergi, meninggalkan mereka berdua. "Gua pamit dulu."
"Gimana kondisi kamu?" tanya Jaya.
"Baik," jawab Iris ketus. Ia ditemani oleh Yuza. Yuza membawa dua gelas minuman dan meletakkannya di atas meja.
"Diminum dulu," ucap Iris sambil memberikan senyuman terbaiknya.
"Makasih, ya." Jaya tersenyum menatap iris. Ia mengambil gelas yang ada di depan Iris, bukan yang ada di depannya.
"Itu punya saya. Punya kamu yang itu." Sambil menunjuk gelas satunya.
Jaya tak peduli, ia meminum minuman itu sampai habis. "Segeeer."
"Itu minuman saya!" Iris agak kesal dengan tingkah laku Jaya. "Punya kamu yang itu!"
"Kamu boleh pergi kalo kamu mau. Kita udah impas, kan? Jadi enggak perlu berusaha melakukan tindak pembunuhan dengan ngeracunin saya. Kamu maafin saya kalo saya nolongin adik kamu? Adik kamu udah bebas, sekarang kita impas. Kita bisa kembali jadi dua orang yang tidak saling mengenal."
Iris menunduk. Ia tak menduga bahwa Jaya sadar jika dirinya sedang berusaha untuk membunuhnya. Iris menatap Yuza dan mengisyaratkan anak itu untuk pergi. Yuza berjalan pergi, dan menutup pintu ruangan, menyisakan dua orang itu.
"Kamu peka terhadap aroma racun?"
Jaya mengangguk.
Iris menarik napas. Sejenak ia terdiam tak mampu berkata-kata. Namun, wajahnya nampak ingin mengucapkan sesuatu. Hingga pada satu waktu, ia memberanikan diri menatap sepasang mata Jaya.
"Saya mau ngucapin terimakasih banyak. Yuza memang bukan adik kandung saya, tapi bagaimana pun dia adalah satu-satunya keluarga yang saya punya. Meskipun sedikit, saya mau berterimakasih karena sudah diberikan kesempatan untuk percaya. Percaya pada orang lain."
Segores senyum terukir di bibir Jaya. "Sama-sama."
Mereka berdua sama-sama terdiam dalam waktu yang cukup lama. Keadaan begitu akward. Hanya diam sambil malu-malu melirik mata lawan bicaranya.
"Kamu boleh pergi kalo kamu mau," tutur Jaya.
Sebuah dekapan secara tiba-tiba membuat Jaya terkejut. "Selama kamu enggak sadar, saya berusaha ngebunuh kamu, tapi pada akhirnya saya yang membawa kamu ke sini untuk diselamatkan. Begitu saya menyadari bahwa saya suka ada di sekitar kamu, kamu malah mau ngusir saya pergi?"
Jaya membalas dekapan Iris sembari mengusap rambut sepanjang bahunya. "Saya bilang kamu boleh pergi kalo kamu mau. Meskipun saya berharap kamu tinggal ... kalo kamu enggak mau pergi, saya sudi jadi tempat kamu pulang."
"Emil," ucap Iris. "Saya suka nama itu. Saya enggak mau manggil kamu Jaya. Saya enggak mau pacaran sama toko bangunan."
Jaya tersenyum diikuti senyuman Iris. Mereka saling bertatapan. Perlahan mereka saling memperlihatkan gigi dan tak kuasa menahan tawa akibat ucapan Iris. Ia tak begitu suka dipanggil dengan nama itu, tetapi ini pengecualian. "Oke."
Iris merubah raut wajahnya, ia mengambil garpu yang ada di atas meja, lalu melemparnya ke pintu hingga menancap.
"Kenapa dilempar?" tanya Jaya.
Di sisi luar pintu Harits dan Yuza terbelalak. Tepat di antara posisi mereka menguping, garpu itu menembus pintu kamar rumah sakit. Mereka menghela napas dan bangkit, lalu berjalan pergi. Iris Wijayakusuma terlalu menyeramkan, lebih parah daripada seorang Dewi Putri Lohia.
Iris tersenyum. "Enggak apa-apa kok. Ada nyamuk."
"Jadi ...." Jaya menggaruk kepalanya.
Iris mengerutkan dahinya. "Jadi?"
"Gimana caranya pacaran? Saya baru pertama kali."
Iris menggaruk kepalanya juga. "Enggak tahu. Saya pun baru pertama kali."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top