108 : Mertolulut

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

"Pelan-pelan aja bawa motornya," ucap wanita itu pada Jaya.

"Tenang, saya ahli. Kamu fokus aja jadi navigator," balas Jaya. "Lebih cepat lebih baik."

"Bukan apa-apa--saya malu." Wanita itu malu menjadi pusat perhatian karena motor butut milik Jaya.

"Oh oke deh." Jaya menurunkan kecepatan motor tuanya yang sudah batuk-batuk. Perlahan kepulan asap mulai berkurang. Keadaan hening. Jaya fokus mengendara sambil telinganya menunggu arahan si wanita itu.

"Lurus aja, masih agak jauh," tutur wanita itu sambil memantau posisi ponsel Yuza lewat ponselnya.

"Oke."

Keadaan kembali senyap. Di tengah kesunyian itu, Jaya berdehem, membuat wanita itu melirik ke arahnya. Melihat wanita itu menatapnya lewat kaca spion, Jaya menghela napas. "Jaya." Wanita itu mengerutkan dahinya, ia menoleh ke sekeliling dan menemukan sebuah toko bangunan bernama Berkah Jaya.

"Berkah Jaya?"

"Emil Jayasentika. Itu nama saya," lanjut Jaya. "Kamu siapa?"

"Kamu enggak perlu tahu," balas wanita itu.

"Aku harus tau. Kasian authornya nulis 'wanita itu' mulu. Kalo aku tau nama kamu, pembaca tau nama kamu, itu memudahkan author dalam menulis."

"Jangan bawa-bawa author. Jangan coba-coba buat merayu dia agar memberitahu nama saya. Dan jangan pernah mencari tahu."

"Maaf ...."

Keadaan kembali hening. Perjalanan membawamu bertemu dengan ku ... eh kok malah lagu.

Lanjut!

Kini mereka memasuki area yang sangat sepi. Padahal waktu belum terlalu larut. Hingga pada akhirnya laju motor Jaya berhenti pada sebuah bangunan tua berlantai dua. Bangunan itu penuh dengan tanaman liar dan terlihat sudah kosong bertahun-tahun. Banyak bekas coretan pilox anak-anak berandal juga yang menghiasi dinding bangunan tersebut.

"Di sini?" tanya Jaya.

Wanita itu meneguk ludah. Tak seperti Jaya yang sudah terbiasa tinggal di hutan, wanita itu cukup ngeri dengan kondisi tempat ini. Ia memang seorang pembunuh, tapi yang biasa ia bunuh adalah manusia, bukan hantu.

Jaya memasukkan Mamat ke teras bangungan dan turun dari rekan tuanya, disusul wanita itu. Tangan wanita itu mencengkeram kemeja merah Jaya. "Jangan jauh-jauh. Orang itu bisa saja sudah mempersiapkan jebakan," ucapnya agak gemetar. Wanita itu hanya takut.

"Oke." Jaya berjalan perlahan memasuki rumah itu. "Halo, ada orang?" seru Jaya.

"Sssttt ... jangan begitu! Sekarang dia tahu ada seseorang di sini! Seharusnya kita menyerang dia saat dia lengah!" balas wanita itu.

"Oh maaf ... saya enggak tahu."

"Iris, kemarilah." Suara berat itu terdengar dari ruang tengah yang berada di depan mereka. Jaya dan wanita itu saling bertatapan.

"Iris apaan?" Jaya tampak bingung.

"Kamu maju duluan," ucap wanita itu mendorong Jaya.

Jaya melanjutkan langkahnya memasuki ruangan itu. Namun, langkahnya terhenti sesaat ketika melihat seorang pria berkemeja putih, tetapi agak kemerahan seperti kotor oleh noda darah. Selain pria itu, ada seorang anak kecil yang sedang duduk ketakutan, dan satu anak lagi yang terkapar berlumuran darah.

"Saya emang janji buat nolongin kamu, tapi kayaknya ini bukan lagi urusan kamu. Bawa adik kamu dan pergi dari sini," tutur Jaya.

"Dia itu Satu Darah, kemampuannya mungkin lebih berbahaya daripada seorang Ashura. Orang itu juga keturunan Mertolulut. Sejujurnya, kita berdua saja belum cukup kuat untuk menumbangkannya."

"Satu Darah, Ashura, Mertolulut ... apa menurutmu itu mengerikan?" tanya Jaya dengan tatapan kosong menatap pada sosok anak kecil yang terkapar. Perlahan aura di sekitar Jaya berubah.

"Mertolulut adalah gelar abdi dalem kerajaan yang bertugas mengeksekusi hukuman mati bagi penjahat dan musuh kerajaan. Orang itu adalah mantan eksekutor. Rio Dewantoro adalah pembunuh paling keji sepanjang masa."

"Dipuji sebagai pembunuh paling keji oleh seorang pembunuh. Terimakasih pujiannya Iris. Kau masih mengingatku dengan baik, gadis kecil Wijayakusuma."

"Lepaskan Yuza, Rio!" teriak Iris.

Jaya melepaskan perban yang mengikat kepalanya. Ia menoleh ke arah Iris, wanita yang berdiri di sampingnya. "Sayangnya tidak ada yang lebih mengerikan dari seorang Peti Hitam yang marah akibat melihat keluarganya dilukai."

Iris merinding. Ia terkejut menatap sebuah tato peti mati berwarna hitam di kening Jaya. Sejenak udara seakan menghampa. Angin seolah enggan berbisik dan memilih senyap.

Jaya mengatur ulang ritme napasnya. "Aku tidak boleh marah." Sebuah topeng merah berhidung panjang muncul dalam genggaman tangannya. "Mengamuklah sesukamu, Bapang."

Udara yang sempat hampa itu tiba-tiba terasa dingin menusuk diiringi tekanan yang mendadak membuat Iris semakin merinding. Jaya berjalan pelan sembari mengenakan topengnya. Ketika topeng itu terpasang, pergelangan tangannyaa berubah menjadi merah dengan kuku-kuku yang panjang dan terlihat sangat tajam.

Iris terdiam menatap pria yang hendak ia bunuh beberapa waktu lalu. "Ma-Martawangasa ...." Ia tak menduga bahwa Jaya adalah bagian dari Martawangsa. Topeng itu membuat banyak spekulasi dalam benaknya. Tak banyak data tentang seorang Emil Jayasentika yang dapat ditemukan di internet.

Rio Dewantoro, pria paruh baya itu menyeringai menatap Jaya. Ia memutar-mutar pisau yang berada di masing-maing tangannya. "Majulah. Aura membunuhmu membuatku tak bisa berhenti menyeringai ... ayo hibur aku. Jangan mati hanya dengan sekali, dua kali tusuk, ya ...."

Petrus yang penuh luka, melirik ke arah kakaknya yang terlihat tenang, tetapi sebenarnya sangat marah dan memancarkan aura mengerikan. "Jaya ...."

Pada satu titik, Jaya menghentikan langkahnya. "Diam di sana, Kivandra. Aku akan membawamu pulang." Satu langkahnya maju, diiringi langkah kedua, dan ketiga yang semakin cepat. Jaya melesat ke arah Sang Mertolulut. "Setelah aku membereskan orang ini!"

Rio Dewantoro, pria itu hanya berdiri menatap Jaya yang melesat ke arahnya. Jaya melesatkan tangan kanannya, tetapi sesaat sebelum Jaya menyerang, Rio sudah bergerak untuk menghindar seolah mampu membaca gerakan Jaya. Rio melancarkan serangan balasan mengincar leher Jaya, tetapi Jaya pun cukup lihai dan mampu menghindar.

Serangannya gagal. Namun, seringai itu membuat Jaya merinding dari balik topeng. Benar saja, lesatan pisau itu membuat lehernya tergores. Untungnya tak dalam, sehingga bukan menjadi akhir hidup Emil Jayasentika.

'Orang ini gila, saya harus melakukan resonansi dengan Bapang.'

"Rio bisa merasakan perubahan angin," gumam Iris. "Berapa pun orang yang mengeroyoknya, itu tak akan ada artinya. Berdasarkan gesekan dan perubahan pola hembusan angin di sekitarnya, Rio mampu memprediksi serangan akan datang dari arah mana dan langsung melancarkan serangan balik. Di tambah ... angin juga memperbesar area serangannya. Ia mampu memanipulasi angin dengan atmanya."

Rio mundur dan langsung melesatkan tusukkan, Jaya juga mundur untuk menghindari serangan itu, tapi lagi-lagi Rio menyeringai. "Tamat sudah," gumamnya.

"MENUNDUK!"

Jaya refleks menunduk. Sebuah pisau melesat cepat hingga berada di depan wajah Rio. Rio hampir mati langkah, tetapi masih bisa menghindar. Namun, dari arah bawah kaki Jaya melesat ke arah dagunya.

Rio lebih memilih terkena tendangan Jaya ketimbang pisau Iris. Begitu Rio terhempas mundur akibat tendangan itu, Iris sudah berada di belakangnya dan melesatkan sebuah tusukkan.

Lantai kusam kini bersimbah darah. Iris terlihat kesakitan. Rio memutar tubuhnya dan menusuk lengan kiri Iris. Sebelum keadaan makin memburuk, Jaya menarik Iris dan mundur untuk menjaga jarak.

Rio menatap Iris dengan tatapan marah. "Sekarang kau berani membangkang? Kau lupa siapa yang merawatmu sedari kecil dulu?"

Iris tak mampu berkata-kata. Ia hanya menatap Rio dengan rasa takut di matanya. Terlihat jelas, wanita itu tertunduk tak berani menatap Rio.

"Kamu menghalangi, sudah saya bilang pergi," ucap Jaya.

Namun, Jaya membuat raut wajah wanita itu berubah. Kini ia memasang wajah datar. "Kalo enggak ada saya, mungkin kamu udah mati tadi. Kamu terlalu meremehkan Rio," balas Iris.

Rio merubah ekspresinya. Ia bertepuk tangan sembari terkekeh. "Kalian pasangan yang serasi."

"Apa?!" Iris memicingkan matanya. "Kami bukan pasangan."

"Ya, sebagai tanggung jawab. Setelah apa yang telah saya lakukan pada wanita ini, saya dengan suka rela akan menjadi kekasihnya," balas Jaya. "Karena saya adalah laki-laki sejati. Saya akan bertanggung jawab."

Iris semakin dongkol dengan pria di sampingnya. "Mana ada konsep begitu? Saya yang enggak rela."

"Itu bentuk tanggung jawab saya karena tidak sengaja melecehkan kamu di depan umum," balas Jaya.

"Enggak perlu!"

"Setelah ini selesai, ayo kita habiskan waktu sama-sama ngobrolin kehidupan kita sebelum bertemu," ucap Jaya. "Saya cukup penasaran sama kamu."

Iris perlahan tertawa, ia kehilangan separuh warasnya. Di hadapannya ada seorang pembunuh berdarah dingin, bisa-bisanya mereka masih berbincang perihal hal bodoh. "Ya, kalo kita bisa keluar dari sini hidup-hidup!"

"Syarat pacaran itu emang harus dilakukan dua orang yang masih hidup. Jadi jangan khawatir," Jaya tersenyum menatap Iris. Ia merobek bagian lengan kemejaanya. "Ini ambil, sementara itu ikat dulu bagian yang berdarah. Abis ini selesai kita ke rumah sakit."

Iris meraih robekan kemeja itu dan menutupi lengannya yang berdarah. Satu tangannya masih menggenggam pisau. "Mengingatmu banyak bicara. Apa kau punya rencana?"

Jaya terkekeh. "Ada."

"Apa?"

Jaya menatap Iris. "Rencananya cuma satu." Sejenak ia terdiam sambil menoleh kembali ke arah Rio. "Menang dan hidup."

"Itu tujuan, bukan rencana!" bantah Iris.

Rio menyeringai. "Sudah selesai omong kosongnya? Sekarang giliranku menyerang." Perlahan pria itu berjalan sembari memutar-mutar pisau di tangannya. Setiap langkahnya memberikan tekanan. Semakin dekat semakin tinggi pressure yang dirasakan Jaya dan Iris.

"Resonansi Jiwa." Dari pergelangan tangan, kristal-kristal merah muncul dan menyelimuti seluruh tangan. Tangan kiri Jaya terlihat lebih besar ketimbang yang kanan. Tangan kanannya tak berubah, hanya saja kulitnya kini agak kemerahan.

"Saya akan bertahan, kamu cari celah. Ketika ada kesempatan, lumpuhkan dia, tapi jangan membunuh. Wanita secantik kamu enggak cocok melakukan hal seperti itu."

Iris merasa kesal dengan segala ucapan yang keluar dari mulut Jaya, tetapi pipinya memerah karena dipuji cantik. "Sa-saya enggak cantik, dan saya adalah pembunuh. Jangan memerintah saya untuk tidak membunuh."

"Dia datang!" tutur Jaya. Dua orang itu kini fokus terhadap keturunan Sang Mertolulut.

Rio mengincar Jaya. Rupanya memang benar, pria itu menginginkan Iris hidup-hidup, jadi kemungkinan besar ia akan menyerang Jaya habis-habisan. Rio melesatkan tusukkan demi tusukkan. Setiap serangannya mematikan dan ditujukan dengan harapan sebagai serangan terakhir.

Jaya mundur. Ia memang mampu bertahan dengan tangan kirinya, tetapi kecepatan Rio membuatnya terdesak. Sesekali Jaya melancarkan serangan balasan, tetapi Rio dengan mudah menghindarinya.

Iris melihat ada sebuah kesempatan ketika Rio melesatkan satu tusukkan yang agak berbeda. Kali ini ia tak berbicara tentang kecepatan, melainkan kekuatan. Mata pisaunya membuat Jaya terbelalak, lantaran mampu menembus kristal merah dan melukai lengannya.

Di tengah seringainya yang semakin menyebalkan, Iris berhasil menendang kepala Rio dari belakang. Rio tak suka itu. Wanita itu sukses menyembunyikan hawa keberadaannya. "Iris. Aku benar-benar muak! Kau harus diberi pelajaran sopan santun rupanya."

Iris mendadak tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk mundur. Ia ketaukan karena trauma yang dilukis oleh Rio pada kanvas masa lalunya. Rio berbalik arah dan melancarkan serangan ke arah bahu wanita itu, tetapi Jaya tiba-tiba berputar dengan cepat, lalu menarik pinggang ramping wanita itu hingga berada dalam dekapnya. Tangan kirinya menangkis serangan Rio.

"Jangan lukai wanita ini lebih jauh lagi." Jaya terlihat marah.

Rio tak peduli, ia kembali menyerang. Kali ini Jaya tak berusaha bertahan, ia melempar Iris dan melancarkan serangan juga. Mereka bertukar luka. Pisau Rio bersarang di pinggang  kiri Jaya. Darah segar merembes membasahi kemeja merahnya.

Di sisi lain, kepalan tinju tangan kanan Jaya bersarang di dagu pria itu. Setelah melakukan uppercut tangan kanan, Jaya dengan cepat menghantam wajah Rio dengan tangan kirinya yang monster, membuat pria itu terpental. Rio tidak terjatuh, tetapi hidungnya patah. Darah segar mengalir keluar dari kedua lubang hidungnya.

"Itu bukan pertukaran yang bagus," ucap Iris menatap pendarahan di tubuh Jaya. "Seharusnya kau menusuknya selagi ada kesempatan. Selama dia masih hidup, ini akan sulit."

"Saya adalah mesin pembunuh, tapi saya tidak ingin dicap seperti itu. Pada satu titik, saya berpikir dan ingin berhenti membunuh. Ingin berhenti membunuh untuk mendapatkan hidup yang normal seperti manusia pada umumnya. Yang namanya ingin itu harus dibarengi dengan usaha. Kalau tidak begitu, keinginan itu hanyalah omong kosong belaka. Saya ingin mengalahkan musuh saya tanpa harus membunuh mereka. Karena saya tahu, di luar sana ada yang menunggu mereka di balik pintu-pintu rumahnya. Karena saya pun begitu. Saya tidak punya siapa-siapa di balik pintu rumah saya yang menyambut kedatangan saya dengan kalimat 'selamat datang' ... tapi selalu ada yang menunggu saya pulang. Rumah itu bukanlah bangunan yang kita tempati, tapi orang-orang yang ada di dalamnya. Sejak saat itu, saya memutuskan berhenti membunuh. Karena saya juga paham, ketika saya membunuh, akan selalu ada api dendam yang tidak akan pernah putus dan padam. Api ini bisa melukai siapa pun di sekitar saya."

Iris terdiam, tak bisa dipungkiri bahwa ia pun sebenarnya ingin keluar dari jerat iblis itu. Namun, kehidupan yang keras memaksanya untuk melakukan apa pun yang ia bisa untuk bertahan hidup. Sebagai keluarga Wijayakusuma, ia hanya bisa membunuh.

Jaya mengulurkan tangannya. "Kamu pun mau keluar dari lingkaran setan itu, kan? Kalo kamu mau terbebas dari itu semua. Raih tangan saya. Kamu enggak sendirian."

Iris berjalan menghampiri Jaya. "Jangan berkata seolah-olah kamu mengenal saya. Saya dan membunuh adalah satu kesatuan!" Ia menoleh ke arah Rio dan berlari untuk mengakhiri pertarungan ini. Wanita itu mengabaikan uluran tangan Jaya dan merasa bisa mengakhiri ini sendirian. Entah mengakhiri lawannya, atau justru dirinya sendiri. Entahlah, Iris sudah tak peduli lagi.

"Aku tidak paham apa yang terajdi di antara kalian," tutur Rio. "Tapi pertarungan ini memang harus diselesaikan. Sejujurnya, aku kecewa padamu Iris. Kau berani mengacungkan taringmu padaku."

"Waktunya kau membayar perbuatanmu, RIO!" Iris melesatkan serangan.

Rio menghindari serangan itu, ia menunduk dan berputar, merobek betis wanita itu dengan kedua pisaunya agar tak mampu lagi berdiri. Iris berlutut membelakangi Rio, ia menutup mata dan menitihkan air mata. Sampai akhir ia tak bisa berkutik melawan pria yang menghancurkan keluarganya.

"Aku akan mengembalikan Yuza ke laboratorium dan berkata pada petinggi bahwa kau tewas akibat kecelakaan ketika melarikan diri. Selamat tinggal, gadis kecil Wijayakusuma." Rio melesatkan serangan untuk mengakhiri hidup Iris.

Darah segar mengalir membasahi lantai. Jaya memeluk Iris dari belakang dan menjadi tameng. Entah sudah berapa lama Iris tidak merasakan kehangatan seperti saat ini. Entah sudah berapa lama ia kehilangan dekapan yang membuatnya merasa aman.

"Jangan berpikir untuk mati ...," gumam Jaya lirih. "Kita baru aja mulai. Saya enggak akan membiarkan pacar saya mati."

"Kita bukan pacar," balas Iris tak kalah lirih. Semangatnya telah luruh.

"Kamu bilang kalo kita bisa keluar dari sini hidup-hidup, kita pacaran, kan?"

"Bukan itu maksud saya," jelas Iris.

"Awalnya saya cuma mau bertanggung jawab karena tindakan saya yang menurut saya sangat memalukan dan tidak pantas. Terkait itu sengaja atau tidak sengaja, saya sudah melakukan hal yang buruk terhadap seorang wanita."

"Saya udah bilang, enggak usah dipikirin ...."

"Tapi saya salah," potong Jaya. "Bukan itu ...."

Iris mengerutkan dahinya. Ia tak mengerti maksud ucapan Jaya.

"Rupanya saya benar-benar suka sama kamu. Kamu terlalu mudah disukai. Saya suka paras kamu yang cantik. Saya merasa kita juga cocok karena masa lalu kita yang kelam. Dan saya berharap bisa berubah menjadi pria yang lebih baik ditemani kamu. Seumur hidup saya, saya belum pernah menginginkan sesuatu lebih dari saya menginginkan kamu." Jaya terkekeh sambil memuntahkan darah dari mulutnya.

"Jangan banyak ngomong! Kamu berdarah," ucap iris yang menatap wajah Jaya di samping wajahnya.

"Saya boleh minta tolong?"

"Apa?"

"Tetap kayak gini. Jangan menoleh ke belakang apa pun yang terjadi sampai saya suruh kamu menoleh. Bisa?"

"Kamu mau ngapain?"

"Bisa?"

Iris hanya bisa percaya pada pria itu. Ia mengangguk sebagai jawaban.

Rio masih menatap dua manusia yang menurutnya sudah sekarat. "Sudah? Itu kata-kata terakhirmu?"

"Ya, sudah selesai," balas Jaya.

Sang algojo melesatkan serangan terakhirnya. Topeng Bapang terjatuh dari wajah Jaya. Darah menyembur hingga mengenai rambut Iris dan menggenangi lantai. Tangisan wanita itu semakin dalam terdengar.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top