107 : Wanita Pembunuh dan Pemburu

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Wanita berflanel merah tiba di lantai dasar apartemen. Keadaan di bawah cukup ramai dengan petugas dan beberapa penghuni apartemen, salah satu petugas apartemen menghampirinya. Mereka memberitahu bahwa ada insiden di kamarnya berada.

"Yuza!" Wanita itu terbelalak, ia berusaha mencari sosok adiknya di lantai dasar. "Mana adik saya?"

Petugas hotel menggeleng. "Waktu kejadian berlangsung, kami langsung memerika kamar Mbak. Pintu kamar terbuka dan kondisi kamar terlihat biasa saja, tidak ada siapa pun dan tidak ada barang yang berantakan. Hanya saja kaca di bagian samping pecah."

"Ada yang melihat kejadian tersebut secara langsung?" tanya wanita itu.

"Sayangnya tidak ada saksi yang melihat. Beberapa orang hanya terkejut mendengar suara kaca pecah dan langsung keluar memeriksa. Namun, terlambat. Tidak ada apa pun yang terlihat aneh kecuali kaca yang pecah."

Mendengar itu semua, wanita itu segera bergegas ke atas. Perasaannya sungguh tak enak. Ia terus memikirkan siapa yang mengincar dirinya dan juga adiknya. Begitu pintu lift terbuka, ia segera berlari menuju kamarnya. Pintu kamar dalam keadaan terbuka. Ia masuk dan langsung menutup pintu.

Wanita itu membuka sebuah lemari kayu besar dan membongkar papan bagian dalam lemari tersebut. Ada sebuah komputer kecil di dalam sana. Ia segera mengutak-atik komputer itu hingga menampilkan video CCTV yang terpasang di kamarnya. Wanita itu memasang CCTV eksternal di luar pengetahuan pihak apartemen. Ia segera memutar mundur waktu di apartemen itu sebelum kejadian.

Kala itu Yuza sedang berbaring sambil bermain game di ponselnya. Hingga pandangan mata anak itu teralihkan ke arah pintu. Sepertinya ada seseorang yang mengetuk pintu kamar mereka.

Mungkin, karena sedang asik bermain game, ia tak fokus dengan suara ketukan pintu. Seharusnya mereka memiliki sebuah ritme ketukan yang berbunyi 1 11 (Satu ketukan, jeda, dilanjut dua ketukan beruntun).

Setelah membuka pintu, Yuza tampak terkejut dan langsung mundur. Belum jelas terlihat siapa yang datang. Hingga seorang pria dan seorang anak seusia Yuza masuk ke dalam kamar. Wanita itu menatap tajam ke arah pria yang tak asing baginya. Sosok itu adalah Jaya dan Petrus. Menyadari sedang dipantau, Petrus mengarahkan tangannya pada CCTV dan menembakkan peluru karet dengan tangan kosong hingga CCTV pecah.

"Yuza pasti kabur lewat jalur belakang," tutur wanita itu. Ia memang sudah menyiapkan satu jalur pelarian lewat belakang. Untuk melewati jalur tersebut, mereka harus memecahkan satu kaca dan melompat ke balkon kamar kosong di bawah, hingga ke lantai empat. Dari lantai empat, mereka bisa langsung melompat ke atap bangunan berlantai tiga di sebrang apartemen. Sebuah jalur yang ekstrim memang, dan hanya digunakan saat-saat terdesak saja.

Ia menghubungi nomor ponsel Yuza, tetapi tak ada yang mengangkat. Ia kembali menelpon hingga tiga kali, tetapi masih tak diangkat. "Kemungkinan besar Yuza tertangkap." Wanita itu langsung menyalakan komputer dan mencari lokasi tempat tinggal Jaya berdasarkan database internet.

Dari bawah terdengar suara sirine polisi yang baru saja tiba. Ada sekitar tiga mobil. "Sewon Bantul, ya?" Wanita itu mencabut CCTV eksternalnya, dan juga mematikan komputer. Setelah itu ia langsung bergegas pergi dengan sebuah catatatan berisi alamat kosan Jaya.

***

Di sisi lain Jaya baru saja tiba di Mantra lagi.

"Petrus mana?" tanya Isabel.

Jaya menggeleng. "Dia ngejar si anak maling."

"Terus si cewek psikopat?" tanya Melodi.

"Enggak ada di sana. Tadi cuma si anak maling itu aja. Ngeliat saya sama Petrus, dia kaget dan langsung lari mecahin kaca, lompat ke gedung sebelah. Petrus ngejar dia."

"Hah?! Lompat ke gedung sebelah?!" Melodi cukup kaget mendengar itu.

"Dia bukan anak biasa. Bukan juga pencuri biasa. Dia bisa parkour."

"Kamu enggak ikut ngejar?" tanya Nada.

"Udah, tapi anak-anak itu terlalu cepat. Saya kehilangan jejak." jawab Jaya.

"Enggak mungkinlah, orang Jaya nyari ceweknya," celetuk Harits. "Ada niat terbesulung dia. Makanya enggak fokus ngejar dan kehilangan jejak."

"Terselubung," sambung Deva.

"Nyahaha nah itu. Terbesubelung."

"Seterah lu dah." Deva pusing jika terus menimpali bocah nakal itu.

"Kalo anak itu bawa si Petrus ke cewek itu gimana? Cewek itu kuat loh. Kalo Petrus diculik, kamu gimana?" sambung Cakra.

Jaya menggaruk kepala. "Oh iya, ya. Saya baru kepikiran. Kejar ah." Jaya segera keluar dan hendak menunggangi Mamat, motor antiknya. Namun, langkahnya berhenti ketika sebuah panggilan masuk ke nomor ponselnya dari nomor yang tak ia kenali. Jaya mengangkat panggilan tersebut.

"Halo," ucap Jaya.

"Bersiaplah, saya akan datang menjemput nyawamu."

Suara itu adalah suara wanita. Jaya mencoba memikirkan siapa pemilik suara itu, tetapi ia tak bisa mengingatnya. Hingga matanya membulat utuh membayangkan siapa pemilik suara tersebut.

"Kamu ibu saya, ya? Yang lagi mencari anak yang kamu buang ke hutan sewaktu bayi?"

"Enggak usah bercanda. Di mana adik saya?" tanya wanita itu.

"Adik?" Jaya mengerutkan dahinya.

"Satu jam lalu kamu mengepung kamar apartemen saya. Adik saya ada di kamar waktu kamu ke sana."

'Ah ... wanita itu.'

Setelah sampai di kosan Jaya, tak ada siapa pun di sana. Pemilik kos memberikan nomor ponsel Jaya pada wanita itu. Ia juga memberi tahu wanita itu jika Jaya sedang bekerja di daerah Maguwoharjo.

"Ah, anak itu." Jaya tersenyum tipis. "A-a-ada di sini ...," jawab Jaya. Ia mengeluarkan keringat dingin. Bagaimana tidak? Jaya tak tahu di mana anak itu, sementara kaca kamar wanita itu pecah tanpa tanggung jawab.

"Saya ke sana sekarang. Saya harap adik saya tidak terluka. Atau kamu akan menyesali perbuatan kamu." Wanita itu menutup panggilannya.

Jaya tercengang. "Dia mau ke sini!" Pria itu masuk kembali ke Mantra dan duduk di kursi pelanggan.

Melihat Jaya yang kembali lagi, mengurungkan niat untuk mencari Petrus. Harits mengerutkan dahinya. "Lah, lu balik lagi?" tanya Harits.

"Dia yang akan ke sini," jawab Jaya.

Harits terbelalak. Ia menoleh ke arah Deva dan Cakra. "Rombak ulang kafe ini! Kita butuh nuansa cinta."

***

Setengah jam berlalu. Seorang wanita turun dari motornya. Cakra menatap wanita itu, ia segera mendekatkan HT nya ke mulut. "Target muncul."

Harits membenarkan posisi topinya, ia melirik ke arah jendela depan sembari mengangkat HT. "Jamet satu pada jamet dua. Posisi clear."

Deva mengangkat HT nya. "Jamet dua. Clear."

Nada mendekatkan wajahnya pada HT yang terletak di meja. "Oprasi dimulai."

Melodi menatap ke arah pintu. Ia berjalan dengan elegan, dan membukakan pintu. Gemerincing lonceng menyambut langkah wanita itu. "Selamat datang di Mantra Coffee."

"Kau bidadari jatuh dari surga, di hadapan ku eaaaaaa." Eeeaa dari Coboy Junior menjadi playlist menyambut kedatangan wanita berparas chinese dengan rambut sepanjang bahu itu.

Wanita yang kini mengenakan hoodie merah itu memasukan tangan kanan ke dalam kantong hoodie. Sebilah pisau kecil sudah bersiap di dalamnya. Ada kejanggalan di kafe ini. Ia sadar sedang diperhatikan dan semua tatapan itu memberikan intimidasi yang kuat. Keringat mulai membasahinya.

'Mereka semua memperhatikanku.' batin wanita itu.

"Panas, ya, Kak?" Melodi mengipasi wanita itu, mengiringi langkahnya.

Wanita itu tersenyum. "Enggak kok." Tangannya sudah bersiap untuk membunuh gadis yang sok ramah di sampingnya. Melodi menarik bangku di depan wanita itu, mempersilakannya untuk duduk.

"Silakan," tutur Melodi lembut.

Wanita itu tak ambil pusing, ia duduk di hadapan Jaya. Sebuah meja bundar menjadi penghalang di tengah mereka berdua. Meja itu unik, satu-satunya meja yang diselimuti taplak berwarna merah jambu.

"Mana adik sa ...."

"Mau pesen apa, Kak?" Melodi menyodorkan menu.

Wanita itu tersenyum pada Melodi. "Red Velvet Latte"

"Untuk mas nya mau pesen apa?" Sebuah drama lahir di antara Melodi dan Jaya.

"Yang paling mur--mahal."

Dari kejauhan Nada memberikan jempol andalannya. Jaya mengatur napas, lalu menatap wanita itu. "Saya mau minta maaf."

Wanita itu masih menatap Jaya. "Mana adik sa ...."

"Permisi, Kak. Air putihnya satu, ya." Harits datang membawa segeals air putih.

Wanita itu memicingkan matanya. "Enggak ada yang pesen air putih."

"Mas nya pesen yang paling mahal. Di sini yang mahal itu air putihnya, karena langsung diambil dari mata air pilihan. Saking mahalnya jadi gratis." Setelah meletakkan air putih itu, Harits berjalan pergi.

Melodi menginjak kaki Harits. "Lu gila, ya?!" bisiknya.

"Itu orang bayarnya pake duit gua!" bisik Harits. "Yakali, gua bikinin yang paling mahal beneran."

Lanjut pada perbincangan Jaya dan wanita di hadapannya.

"Mana adik saya?" akhirnya ia bisa bertanya dengan komplit.

"Ah--itu. Dia lagi main sama adik saya," balas Jaya.

Tatapan wanita itu benar-benar mengintimidasi. "Di mana?"

Jaya mulai berkeringat. "Sebelumnya, saya mau minta maaf dulu."

Mendengar Jaya yang terus meminta maaf, wanita itu heran. "Maaf untuk apa?"

"Yang tadi pagi," ucap Jaya malu-malu.

"Saya yang harusnya minta maaf. Adik saya mencuri dan saya menghajar kamu," balas wanita itu. "Sekarang mana adik saya?"

"Tapi saya enggak sengaja menyentuh sesutu yang seharusnya tidak boleh disentuh," balas Jaya.

"Kamu ini ngomong apa sih?" Wanita itu tampak kurang paham dengan apa yang Jaya katakan.

Mata Jaya menyorot pada area dada wanita itu. Menyadari hal itu, Wanita itu menghela napas. "Terserah deh, saya enggak peduli. Sekarang mana adik saya? Main apa sampe bikin kaca kamar saya pecah?!"

"Sebenarnya saya ke apartemen kamu buat minta maaf. Waktu saya ketuk pintu, yang buka pintu itu adik kamu. Dia ngeliat saya dan adik saya udah kayak ngeliat hantu. Tiba-tiba dia jalan mundur sambil ketakutan. Saya coba bikin dia tenang, sampai pada akhirnya dia histeris sendiri dan lari sambil mecahin kaca. Itu lantai sembilan. Sejujurnya saya sempat panik, tapi dia bisa kabur sampai gedung sebrang."

"CCTV kamar saya hancur. Kalian sadar diawasi. Jangan berbohong. Untuk orang yang ikut kekacauan di Parangtritis dan menghancurkan Ravenous, kalian tidak mungkin membiarkan adik saya lolos, kan? Setelah dua rekan kalian meninggal atas insiden yang terjadi beberapa hari lalu."

Jaya memicingkan matanya. "Apa maksudnya itu?"

"Setelah kematian Rekian Saksana dan Riffo Gardamewa, mana bisa kalian membiarkan kami lolos?"

PRANG!

Gelas yang dibawa oleh Melodi jatuh dan pecah. "Apa kamu bilang?"

Wanita itu menoleh ke arah Melodi. "Saya yang memberitahu lokasi adik Baskara saat dia berkunjung ke Sindu Kusuma Edupark. Dari wisata itu, kami menarik kesimpulan bahwa Rekian suka dengan Nada Regina. Lalu adik saya yang mencuri ponsel kembaran kamu di Stadion Maguwoharjo dan memancing Rekian untuk bertemu. Rekian mati karena dijebak oleh orang yang memerintah kami untuk mencuri ponsel kembaran kamu. Jika Rekian tidak mati. Riffo tidak akan mati. Kami bukan orang yang membunuh mereka berdua, tapi kami adalah dalang kenapa mereka bisa mati. Sudah sewajarnya kalian membenci kami, bukan?"

"Sejujurnya saya tidak berpikir sejauh itu. Reki dijebak karena dia suka sama Nada," ucap Jaya. "Dan Ippo mati karena berusaha membalas dendam kematian Reki."

"Jika kalian memang tidak mau memberitahu lokasi adik saya, saya terpaksa harus mencarinya sendiri. Kalian membuang-buang waktu saya."

Pisau itu melubangi leher Melodi. Satu pisau yang berada di tumit sepatunya juga hampir saja membunuh Jaya, tetapi Jaya mampu menahannya, walau pun harus terluka.

"MELODI!" Jaya terbelalak menatap Melodi yang sekarat, mengeluarkan darah begitu banyak dari lehernya.

Deva tersadar dari lamunannya. Ia menatap Melodi, Jaya, dan wanita itu. "Bajigur!" Ia segera berlari ke arah Melodi.

Sebilah pisau melubangi telapak tangan Deva. "Aaaaaaargh!" Deva meringis kesakitan. Ia menjadi tameng yang melindungi Melodi. Berkat prekognision, ia mampu bergerak lebih cepat sebelum pisau itu benar-benar menikam Melodi.

"JAYA!" teriak Nada histeris.

Jaya tersadar dari lamunannya. Wanita itu sudah mencabut pisaunya dari tangan Deva dan bergerak memutar untuk dan melesatkan serangan pada Deva dan Melodi. Ia berniat membunuh seluruh orang yang ada di Mantra Coffee.

Harits tiba-tiba muncul dan menendang tangan wanita itu, membuat pisaunya terlempar.

"Cih!" Wanita itu tampak kesal. Ia gagal membunuh dengan cepat dan kini posisinya terancam. Merasa tak mungkin menang, ia langsung berlari keluar.

"Deva ...." Melodi menatap tangan Deva yang berlumuran darah.

"Minjem!" Harits meletakkan buku hitamnya di bawah tangan Deva. Darah yang menetes pada kertas itu membuat dua ekor anjing hitam tak kasat mata muncul.

"Kejar," tutur Haris.

Anjing-anjing hitam Harits melesat untuk mengejar wanita itu, tetapi Jaya mencengkeram dua anjing milik Harits dan memecahkannya menjadi kepulan asap hitam.

"Jaya!" Harits menatap tajam ke arah Jaya.

"Biar saya yang selesain ini sendiri." Jaya berlari menuju motornya untuk mengejar wanita itu.

Kini dua orang yang sempat disambut bak seorang kekasih itu, rupanya sudah pergi membawa pilu.

"Jangan ada yang bergerak! Tunggu Jaya balik. Gua yakin, mereka punya alasan di balik apa yang mereka lakukan," tutur Harits.

"Harits betul. Sorot mata wanita tadi bimbang, seolah berkata dia terpaksa melakukan hal itu. Di satu sisi dia menyesal, tapi di sisi lain dia panik mencari adiknya yang hilang. Dan dia pikir, kita lah dalang di balik hilangnya sosok adiknya," timpal Cakra.

Nada berlari menuju Melodi dan berusaha menenangkannya. "Melo ...."

"Gara-gara mereka ...." Melodi tak mampu berkata-kata. Wanita barusan adalah dalang di balik kematian Ippo.

"Kita percaya aja sama Jaya," ucap Harits. "Cuma itu yang kita bisa saat ini."

***

Jaya mengejar motor di depannya dengan kecepatan penuh. Namun, jarak semakin jauh di antara mereka. Suara batuk terdengar dari belakang dan seorang pengendara motor muncul di sebelah Jaya. "Motor lu bacot! Mana berasep!"

"Maaf," ucap Jaya.

Motor tua itu mengeluarkan asap seperti fogging nyamuk. Dan suara yang membuat pengendara lain enggan mendekat karena takut motor tua itu meledak.

Di satu sisi wanita itu berhenti. Kesialan menimpanya. Bensinnya habis di tengah jalan. Melihat itu Jaya tersenyum. Ia menghentikan laju motornya dan memarkirkan Mamat di tepi jalan. Jaya berlari, ia lebih cepat dengan kakinya, ketimbang motornya.

Tentu saja melihat Jaya yang menuju ke arahnya, wanita itu berdecak kesal. Ia berlari meninggalkan motornya juga. Ia masuk ke sebuah gang dan berlari ke area perkebunan. Jaya mengejarnya masuk ke perkebunan itu.

Wanita itu cepat, Jaya berlari sambil matanya berusaha mencari keberadaan wanita itu. Hingga sebuah tendangan menyamping melesat secara mendadak ke arahnya. Jaya menjatuhkan diri ke belakang untuk menghindari tendangan itu, tetapi tetap menahan tubuhnya agar tidak benar-benar terjatuh dengan kekuatan kakinya.

Wanita itu melancarkan serangan demi serangan mematikan. Jaya mampu menahan dan menghindar tanpa membalas. Hingga pada satu kesempatan, kedua tangan wanita itu tertangkap, Jaya menendang kaki wanita itu untuk meruntuhkan pusat graviasinya. Wanita itu terjatuh dengan lutut mencium tanah.

"Jangan melawan, saya bukan mau bertarung."

"Saya hampir membunuh teman kamu, mana mungkin kamu mengejar saya tanpa niat bertarung?" balas wanita itu. "Kamu ingin menangkap saya, kan?!"

"Saya cuma mau minta maaf," ucap Jaya.

"Lepasin saya!" balas wanita itu. Ia berlutut dengan kedua tangan terangkat dan menempel antara kanan dan kiri. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi tangan kanan Jaya terlalu kokoh memegangi kedua tangannya.

Ponselnya berbunyi, menandakan ada sebuah pesan masuk. Wanita itu terus memberontak hingga tampak lemas karena gagal melepaskan diri. Semua usaha untuk lepas dari Jaya seakan sia-sia.

"Saya mau lihat hape. Siapa tau itu adik saya, " ucap wanita itu.

"Oke." Jaya melepaskan satu tangan dan masih memegangi tangan satunya.

Wanita itu mengambil ponselnya dan menatap pesan dari Yuza. "Yuza!" Dengan cepat ia membukanya.

Pesan itu berisi. "shagdahdk." Sebuah pesan tidak jelas dengan huruf-huruf random.

"Inget pesan kakak. Kalo kamu dalam keadaan genting, kirim pesan 'X' ke nomor kakak. Kalo kamu terlalu panik sampe enggak bisa ngetik X, kamu ketik aja asal-asalan yang penting kakak enggak ngerti itu artinya apa. Itu kode bahaya. Makanya jangan suka iseng ngirim pesan enggak jelas. Itu cuma buat kode genting."

Wanita itu mengingat kembali pesannya pada Yuza ketika membelikan anak itu ponsel.

"Yuza dalam bahaya ...," gumamnya lirih.

"Adik kamu dalam bahaya?" tanya Jaya.

"Lepasin saya!" Wanita itu menatap Jaya dengan tatapan membunuh. "Kalo kamu lepasin saya, kamu enggak akan saya incer lagi. Kamu dan teman-teman kamu selamat."

"Tunggu sebentar ...." Jaya melepaskan tangan wanita itu. "Saya pensaran, kenapa kamu malah lari. Padahal punya motor bagus?"

"Saya kehabisan bensin," jawab wanita itu kesal.

"Kalo gitu kamu butuh tebengan motor. Saya bisa antar kamu buat nolongin adik kamu. Setelah itu tolong maafin saya. Hidup saya enggak bisa tenang."

"Saya berbeda dengan wanita lain. Saya ini jalang. Entah, kamu ngapain saya, saya enggak akan tersinggung. Apa lagi dalam keadaan bertarung kayak tadi pagi."

Jaya merubah sorot matanya. "Ayah saya pernah bilang. Saya boleh membunuh semua penyusup yang masuk ke hutan."

Wanita itu memicingkan matanya. "Hutan apa?"

"Tapi dia memerintahkan untuk jangan pernah melecehakan musuh yang berbeda jenis kelamin. Terutama wanita. Ayah saya memang bengis, tapi ia menjunjung tinggi derajat wanita. Kamu itu mahal dan tidak dapat dibandingkan dengan apa pun. Tolong lebih menghargai diri sendiri."

Wanita itu terdiam. Entah, semenjak kehilangan keluarga, ia merasa baru kali ini ada yang menghargainya, bahkan mengikutinya demi sebuah kata maaf. Senyum tipis terukir di bibirnya. Ia berjalan pelan hingga berada tepat di depan Jaya. Wanita itu mencengkeram lengan Jaya, tetapi tak ada niat jahat dalam tatapnya, Jaya membiarkannya.

"Otot kamu kuat. Kamu juga bisa bertarung seimbang, bahkan mengungguli saya. Saya mungkin memaafkan kamu seandainya kamu mau membantu saya menolong adik saya," ucap wanita itu.

"Oke, sepakat. Siapa tahu adik saya juga dalam bahaya. Saya tidak bisa tenang jika anak itu tidak pulang malam ini."

Jaya sepakat untuk membantu wanita itu untuk menolong Yuza. Wanita itu membuka sebuah aplikasi buatannya sendiri yang terinstall di dalam ponselnya. Kini lokasi dari ponsel milik Yuza sudah terdeteksi. Yuza berhasil mengaktifkan GPS. Anak itu jarang mengaktifkannya karena ia merasa boros batrai.

"Kira-kira adik kamu butuh pertolongan apa?" tanya Jaya.

"Kami adalah korban penculikan dan dijadikan tikus percobaan. Kami berhasil kabur dari laboratorium, tapi status kami adalah sebagai buruan. Ada seorang pembunuh yang memburu kami. Selama ini kami bisa bertahan karena menginjakkan kaki di wilayah Ravenous, tapi sekarang mafia itu sudah kalah. Sekarang pemburu itu pasti sudah masuk ke Jogja. Ravenous memang bajingan, tapi terkadang ada orang yang butuh para bajingan seperti itu untuk berlindung dari sesuatu yang lebih bajingan."

"Siapa pemburu itu?" tanya Jaya.

"Orang yang membunuh keluargaku dan menjualku ke para ilmuan bajingan itu. Sama seperti Baskara, dia adalah seorang Satu Darah. Rio Dewantoro, keturunan Sang Mertolulut."

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top