106 : Jaya yang Ternoda

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Kali ini Jaya ikut bersama kembar Mahatama jalan pagi ke Stadion Maguwoharjo. Jaya membawa kedua adiknya. Melodi dan Nada sangat ramah pada mereka berdua, terutama Isabel.

Isabella Annatasya. Ia juga senang jika bertemu Melo dan Nada, karena mereka adalah gadis yang baik dan selalu memanjakannya seperti adik kecilnya sendiri. Isabel sudah menganggap Melodi dan Nada sebagai kakaknya juga.

"Mau es grim." Isabel menunjuk sebuah gerobak es krim di pinggir jalan.

"Mau?" Melodi langsung menggandeng tangan anak itu dan membawanya pergi menuju kang es krim.

"Biar saya yang bayar," ucap Jaya.

Melodi menoleh ke arahnya. "Aku aja, sekalian mau mecahin uang."

Lagi dan lagi. Jaya merasa tak enak hati pada mereka berdua. Pasalnya, jika Isabel ada di Mantra, semua memanjakannya, Jaya benar-benar merasa tak enak hati.

Cakra menepuk pundak Jaya, pagi ini ia juga ikut. "Kita kan keluarga, jadi tenang aja, adek lu juga bagian dari keluarga kita."

"Cokro." Nada hanya berdiri dengan bibir monyong, sembari memberikan jempol andalannya untuk kalimat Cakra.

Jaya tiba-tiba agak terdorong, seorang anak kecil menabraknya. Nada memicingkan matanya menatap seorang anak sepantaran Petrus itu. Kemudian ia terbelalak sambil menunjuk ke arahnya. "Melo! Copet yang waktu itu!"

Menyadari bahwa seseorang memergoki aksinya, bocah itu langsung berlari dan bersembunyi di antara kerumunan. Jaya dan yang lain sontak terkejut dan berusaha mengejar anak itu di tengah kerumunan orang.

Namun, anak itu bukanlah seorang pemula, ia pencuri ulung. Dalam waktu singkat, ia tersenyum karena merasa sudah bebas. Hingga sebuah tangan menariknya dari belakang. Sontak ia berusaha melepaskan tangan yang menangkapnya. Tangan itu adalah milik Petrus. Tidak ada yang bisa hilang dari pantauannya.

"Sial!" Bocah itu menangkap tangan Petrus dan berusaha membantingnya ke tanah, tetapi Petrus lebih cepat, ia menendang kaki bocah itu hingga terjatuh di tanah terlebih dahulu. Setelah itu, Petrus bersiul.

Tak lama berselang, Jaya dan yang lainnya datang. "Vandra." Jaya cukup khawatir dengan Petrus yang sempat menghilang. Namun, kegalauannya sirna ketika melihat adiknya sudah berhasil meringkus si pencuri.

Sayangnya hal itu tak berlangsung lama. Seorang berhoodie hitam dengan masker yang semakin membuatnya terlihat misterius, tiba-tiba datang dan memukul tengkuk Petrus hingga tak sadarkan diri.

"KIVANDRA!" Melihat itu Jaya marah. Ia langsung berlari menuju orang itu.

"Pergi ...." Orang itu memberi perintah pada si pencuri kecil untuk segera kabur. Tanpa pikir panjang, bocah itu kabur melarikan diri.

Petrus bukanlah orang yang lemah. Ia memang masih kecil, tetapi harusnya dengan mudah ia bisa menghindari serangan barusan. Jaya memiliki firasat buruk, orang di hadapannya itu berbahaya. Tanpa basa-basi, ia langsung menghajar orang tersebut.

Pertarungan sengit berlangsung antara Jaya dan orang misterius itu. Orang itu cukup gesit dan kerap mengandalkan serangan balik. Cakra dan yang lain paham, orang ini bukan orang sembarangan, ia mampu bertarung seimbang dengan Emil Jayasentika.

Pada satu kesempatan, orang itu berputar dan melayangkan tendangan belakang ke wajah Jaya. Jaya menghindar, tetapi ia sedikit tergores. Matanya terbelalak, pipinya berdarah akibat serangan barusan.

'Sepatu orang itu tajam.'

Entah trik apa yang ia gunakan, tetapi sepertinya ada sesuatu yang tajam pada bagian balakang sepatunya. Jaya yang masih belum serius, kini benar-benar memasang kuda-kuda bertarung. Sorot matanya tajam mengintimidasi lawannya.

Orang misterius itu merinding ketika Jaya mulai serius. Jaya melesat menerjang orang itu, orang itu hendak menghindar, tetapi Jaya kini lebih cepat. Dengan kuat, Jaya mencengkeram dada orang itu dan hendak melancarkan pukulan dengan tangan satunya.

Namun, Jaya terbelalak. Dalam waktu singkat ia sudah tersungkur di tanah. Punggung kaki orang itu menghantam kepala bagian kanan Jaya dengan keras. Saat Jaya terkapar di tanah, orang itu langsung kabur melarikan diri.

"Jaya!" Isabel berlari menuju kakaknya yang baru saja kalah.

Cakra, Melodi, dan Nada sempat terkejut dan segera menghampiri Jaya juga. Jaya berbaring di bawah langit, ia gemetar sambil menatap telapak tangan kirinya.

"Jay, lu enggak apa-apa?" tanya Cakra.

Jaya menatap Cakra dengan tatapan kosong.

"Lu kenapa? Musuh lu kuat?"

Jaya menggeleng. Sebenarnya bagi Jaya tendangan barusan tidak sakit sama sekali, masalahnya hanya satu ....

"Yang barusan itu--cewek," tutur Jaya. Ia shock karena baru saja meremas dada wanita.

***

Di sisi lain, orang misterius itu membuka tudung hoodie dan maskernya. Ia berada di sebuah kamar apartemen. "Udah kakak bilang, jangan beraksi di Stadion lagi! Gimana kalo mereka sadar, kamu itu udah mencuri hape salah satu temen mereka buat Ravenous! Dua orang teman mereka meninggal. Kamu bisa aja dibunuh. Coba kalo Kakak enggak diem-diem ngikutin kamu tadi, udah abis kamu, Yuza!"

Yuza, anak lelaki kisaran anak SMP itu terdiam tak berani menatap sosok wanita berambut sebahu di hadapannya.

"Kita itu enggak punya siapa-siapa lagi selain kita berdua! Ngerti?!"

"Ngerti ... maaf, Kak," balas Yuza penuh penyesalan.

"Kita itu anak yang dari kecil diculik dan dijadiin bahan eksperimen. Semuanya mati kecuali kita. Kita kabur dari tempat itu dan berusaha hidup normal, tapi apa? Baskara berhasil nemuin kita dan memanfaatkan kita untuk alasan pribadi dia. Kalo kita enggak nurut, kita bisa dibunuh atau dibawa kembali ke tempat itu. Sekarang mereka semua udah mati, tapi selalu ada dendam yang enggak akan pernah padam. Jangan sekali-kali muncul di Stadion lagi dan area sekitar Mantra Coffee."

Wanita itu mengganti pakaiannya menjadi celana pendek dan tanktop berwarna putih. Ia duduk di depan layar komputer. Sebuah layar hitam dengan kumpulan script.

"Harits Sagara, Deva Martawangsa, Cakra Petang Buana, Emil Jayasentika, Nada Regina Mahatama, Melodi Regita Mahatama, Fenri Saftania, Rian Saputra (Abet). Jauhi nama-nama itu, fotonya baru aja masuk ke hape kamu. Inget baik-baik wajah mereka."

Yuza anak itu merupakan seorang pencuri. Sementara kakaknya adalah seorang hacker, ia baru saja mengambil data CCTV dan mengirim gambar foto-foto anak Mantra pada Yuza.

"Oh iya, malem ini kamu makan malam sendiri, ya. Uangnya di tempat biasa. Kakak ada kerjaan."

Yuza terlihat ketakutan. "Kak ... apa enggak sebaiknya, kakak berhenti dari pekerjaan itu?"

Sebuah permen karet yang menggelembung dari mulut wanita itu tiba-tiba saja pecah. "Enggak bisa. Pekerjaan itu adalah pekerjaan yang secara turun temurun diwariskan."

***

Jaya kini berada di Mantra. Ia sedang menatap Petrus yang sedang berbaring di sofa, anak itu belum juga sadar.

Seekor burung mematuk kaca jendela, membuat seisi Mantra menoleh. Isabel berlari keluar dan langsung mengambil burung itu masuk ke dalam Mantra.

"Jayaaa!"

"Pake, Kak," tegur Melodi.

Wajah Isabel memerah. "Kak Jaya!"

Melodi tersenyum menatap anak itu.

"Dia nemuin lokasi mereka!"

"Mereka?" Melodi mengerutkan dahinya.

"Kertas!" teriak Jaya. "Lokasi wanita misterius dan si anak pencui."

Nada langsung bergerak cepat mengambil sebuah kertas dan memberikannya pada Jaya.

Jaya membuka perban di kepalanya dan menutup mata Isabel dengan perban itu, sementara kertas itu ia berikan pada Isabel. Terdapat pensil di tangan kanan Isabel, gadis cilik itu selalu membawa pensil ke mana pun karena suka menggambar.

"Oke," ucap Isabel.

Mendengar kode Isabel, Jaya membawa burung itu keluar lagi. Burung itu langsung terbang entah ke mana.

Selepas burung itu pergi, Isabel tampak menggambar sebuah garis. Garis itu terlihat seperti sebuah denah pada peta harta karun.

"Dia ngapain, Jay?" tanya Deva.

"Memindahkan pengelihatan pada makhluk lain," tutur Harits. "Terus menggambar jalur dari Mantra ke titik X."

"Ya, bener kata Mas Harits," balas Jaya. "Isabel nemuin tempat pencuri itu berada."

"Oh, sama cewek yang abis lu gerepe?" timpal Harits.

"Harits!" Melo menjitak kepala Harits. Sementara Jaya memasang wajah datar penuh dosa.

"Saya mau mencari mereka karena mau minta maaf," ucap Jaya. "Saya merasa bersalah."

Harits merangkul Jaya dengan kepala benjol. "Bagaimana rasanya, kawan?"

Sejenak Jaya menatap telapak tangan kirinya, lalu menoleh, raut wajahnya berubah. Kini sorot matanya tajam menatap Harits. "Jos tenan!"

Dua buah benjol muncul masing-masing pada kepala Harit dan Jaya. "Najis!" ucap melodi.

"Sampaaai!" ucap Isabel.

Gadis kecil itu sudah sampai pada tempat tujuannya. Jaya menatap denah yang dibuat oleh Isabel.

"Seturan," ucap Jaya yang menerka wilayah pada gambar Isabel. "Kayak apa rumahnya?"

"Gedung besar bertingkat!" jawab Isabel. Anak itu tampak sedang menghitung dengan jarinya. "Sembilan."

"Apartemen, lantai sebilan," timpal Jaya. Ia segera beranjak. "Nanti malem saya urus semuanya. Minta maaf sekalian minta hapenya Nada. Cukup saya sendiri. Saya akan selesaikan ini secara jantan."

Harits bersiul. "Itu baru namanya semangat pria sejati."

"Jaya! Awas aneh-aneh. Auto pecat!" sambung Melodi.

Jaya terkekeh. "Oke."

***

Malam kian gulita, seorang wanita berkemeja flanel merah yang tiga kancing atasnya terbuka dengan celana pendek yang lebih pendek dari flanelnya berjalan memasuki sebuah hotel di daerah Ambarukmo. Setiap pria yang menatapnya selalu dibuat meneguk ludah.

Wanita itu berjalan hingga berdiri tepat di kamar tiga ratus tiga. Ia mengetuk pintu. Tak lama berselang, seorang pria buncit membuka pintu, ia tersenyum menatap wanita dengan kemeja flanel yang tiga kancing atasnya terbuka menampilkan sebuah garis takdir. Matanya jelalatan menatap paha putih mulus wanita itu. "Silakan masuk," ucapnya ramah.

Sebuah tonjolan iblis tampak di bagian depan celananya. Wanita itu tersenyum tipis dan langsung menatap pria itu dengan tatapan menggoda.

Pria hidung belang itu sudah tak tahan. Ia menempelkan tangannya di pinggang si wanita. Wanita itu perlahan menghampiri bibir si pria dengan bibir ranumnya sembari perlahan menutup mata. Pria itu kini mengelus leher belakang si wanita, perlahan ia juga menutup matanya untuk menikmati ciuman panas di malam ini.

Sebuah telapak tangan menempel di bibir pria itu seiring dengan matanya yang membulat utuh. Darah segar mengalir dari lehernya yang sudah tergorok pisau. Wanita itu menutup mulut si pria agar tidak berisik di saat-saat terakhirnya. Ketika pria itu sudah tak bernyawa lagi, wanita itu membuangnya begitu saja seperti sebuah sampah.

Sengaja ia pilih flanel merah, agar bercak darah yang tak sengaja menyiprat, agak saru dengan warna kemejanya. Perlahan ia tutup kembali tiga kancingnya yang terbuka, lalu mengambil tas kecil miliknya dan mengeluarkan sesuatu. Wanita itu meninggalkan sebuah bunga wijaya kusuma merah tepat di atas jasad pria itu. Senyum nakalnya kembali muncul menatap pria itu.

"Terimakasih makan malamnya."

.

.

.

TBC








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top