105 : Hari yang Baik

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Jingga mewarnai senja hari ini. Harits duduk bersandar pasrah pada kursi panjang dekat parkiran kampus. Entah sudah berapa lama ia duduk dan menunggu, tapi yang ditunggu tak juga kunjung hadir.

Kini ia mendongak menatap langit sembari membuang asap terakhir rokoknya. "Enggak dateng, ya?" Harits membuang putung rokok dan menginjaknya, lalu berjalan menuju motornya yang terparkir.

Tidak sampai lima menit berlalu, Harits sudah berada di depan sebuah bangunan dengan nuansa putih.

"Ke mana aja baru keliatan?" tanya seorang ibu-ibu yang merupakan pemilik kos-kosan wanita itu.

"Kemarinan sibuk terus, ini baru sempet main lagi," jawab Harits sembari membagikan senyum manisnya.

"Tunggu di dalam aja, biar Ibu panggil Sekarnya."

Harits memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah besar itu. Ada sebuah ruang tamu di sana. Tamu pria hanya bisa masuk sebatas itu saja, selebihnya kepala taruhannya.

Tak lama berselang, Sekar muncul dari balik tembok lorong. Gadis itu mengenakan piama tidur berwarna putih. Ia duduk di sofa, tepat di samping Harits.

"Baru bangun tidur?" tanya Harits.

Sekar menggeleng. "Kalo enggak mau ke mana-mana emang langsung pake piama."

"Oh."

Suasana mendadak hening, tak ada kata yang terucap, persis seperti pada saat ditelpon.

"Kalo enggak ada yang mau diomongin, aku masuk lagi." Sekar hendak pergi, tetapi Harits menarik tangannya. "Bisa tunggu sebentar ... aku lagi berusaha mempersiapkan diri," ucap Harits.

Sekar tersenyum dibalut mata berkaca-kaca. "Tau kenapa aku enggak mau dateng?"

Harits menggeleng tanpa kata.

"Aku takut kamu pergi ... kamu lagi mempersiapkan diri buat mutusin hubungan ini, kan? Karena kamu adalah pria yang baik, kamu takut buat aku terluka?"

Tangan Harits semakin erat menggenggam tangan wanitanya. "Itu yang ada dalam pikiran kamu?" Pria bertopi biru itu berdiri dan menghapus air mata Sekar yang luruh dengan tangannya. "Sayangnya pemikiran kamu keliru. Aku mempersiapkan diri takut-takut kamu udah enggak kuat lagi nemenin aku ...." Perlahan suaranya semakin lirih. "Tak ada gading yang tak retak. Aku tau kamu sayang banget sama aku dan sudi nemenin aku yang masih berusaha move on, tapi aku juga tau, kamu punya hati yang sebenarnya rapuh. Entah sampe kapan kamu rela ada di samping aku. Aku--enggak tau. Aku yang seharusnya takut kehilangan kamu. Wanita kayak kamu cuma ada satu."

"Belakangan ini banyak hal gila yang terjadi. Orang-orang di sekitar ku banyak yang meninggal. Kamu tau kalo aku itu sering berhadapan sama sesuatu yang jahat, dan kamu harus tau ... semenjak kita deket, aku selalu takut sesuatu yang jahat itu mengincar kamu," lanjut Harits. "Maafin aku. Selama kita jauh, aku seakan menghindari kamu, tapi bukan itu. Aku takut kamu terluka di saat aku jauh dan enggak bisa jagain kamu di sini. Jadi jangan pernah berpikir kalo aku akan pergi ninggalin kamu. Aku enggak akan begitu."

"Janji?" Sekar mengacungkan jari kelingkingnya.

"Kecuali saat-saat tertentu sih," ucap Harits sembari menggaruk kepalanya.

"Janji?!"

Harits menempelkan jari kelingkingnya, membiarkan jari paling kecilnya itu berpelukan dengan kelingking Sekar. "Iya, janji."

Sekar tersenyum. "Udah lama aku enggak ke Mantra. Boleh aku ke sana lagi? Kamu kan sempet ngelarang aku ke sana dulu beberapa hari terakhir."

Harits membalas senyuman itu sambil mencubit pipi Sekar hingga wajah manisnya terlihat lebar. "Boleh. Sekarang udah boleh, semua udah aman."

"Harits ... sakit ...," ucap Sekar dengan wajah lebar. Harits belum melepaskan cubitannya.

"Nyahahaha kamu lucu." Harits melepas cubitannya. "Mau ke sana sekarang?"

Sekar menggeleng. "Besok aja, ya. Hari ini aku mau tidur cepet. Besok pagi ada praktikum."

"Oke deh. Kalo gitu aku pulang dulu, ya." Harits membelai lembut rambut Sekar. "Selamat tidur wanitaku."

Sekar tersenyum. "Kamu hati-hati pulangnya. Kabarin kalo udah sampe!"

"Siap, nyonya!" Harits bersiap-siap untuk pulang.

"Selamat malam pria kecil."

"Hah?!" Ia sontak menatap Sekar.

"Pria lucuuuu! Salah denger kamu tuh."

"Oke deh kalo gitu." Mereka berdua terkekeh. Setelah memperbaiki hubungannya dengan Sekar, Harits segera pulang menuju Mantra.

***

Udara malam ini syahdu, seakan alam mengisyaratkan kata-kata cinta pada seorang Cakra Petang Buana. Malam ini Cakra meminta Deva untuk memainkan sebuah lagu, lagu yang akan ia nyanyikan sendiri.

Cakra memandang Nada yang sedang berdiri di balik bar sambil meniup-niup poni dengan mulutnya. Pria itu tersenyum tipis, sambil sesekali mengusap dada.

"Lagu berikutnya ...," Deva memberikan kode pada Cakra. Cakra menangkap kode tersebut dan berjalan menuju panggung kecil. "Pemuja Rahasia dari Sheila on Seven." Deva menggenjreng gitarnya. "Na na na ... na na na na."

Cakra sudah berdiri di depan stand mic. Malam ini ia menjadi sorotan utama di Mantra Coffee. Mencoba merilekskan diri, kemudian Cakra mulai memainkan lagunya.

"Ku awali hariku dengan mendoakanmu agar kau sehat dan bahagia di sana."

"Sebelum kau meninggalkanku lebih jauh, sebelum kau melupakanku lebih jauh."

Cakra bernyanyi sambil menatap Nada. Nada pun menatapnya sambil melambaikan tangan. Sejujurnya Cakra dan Nada pernah saling berjanji untuk menunjukkan kebolehan mereka dalam bernyanyi. Kala itu Nada merasa tak percaya diri, Cakra menghiburnya dan menyuruh Nada bernyanyi untuk membangun rasa percaya dirinya, tetapi waktu itu Nada pun meminta Cakra untuk bernyanyi juga. Hari ini janji itu terpenuhi.

"Mungkin kau takkan pernah tahu ...."
"Betapa mudahnya kau untuk dikagumi."

"Mungkin kau takkan pernah sadar ...."
"Betapa mudahnya kau untuk dicintai."

Cakra turun dari panggung kecil dan berjalan ke arah Nada, sementara Deva sibuk bermain solo untuk melodi gitarnya.

"Lunas ya janjinya," ucap Cakra.

Nada bertepuk tangan, menurutnya suara Cakra cukup bagus.

"Kurang satu lagi janjiku," lanjut Cakra.

"Janji apa?" Nada mengerutkan dahinya.

"Ngasih tau kamu orang yang aku suka."

Raut wajah Nada berubah. Ia sangat antusias  dengan hal tersebut. "Serius?! Dia ada di sini sekarang?!" Nada menatap para pelanggan yang sedang duduk menikmati lagu dan kopi mereka. "Yang mana Cakra?"

Cakra mengambil sebuah cermin dari kantong celananya dan menunjukkannya pada Nada. "Dia orangnya." Nada menatap cermin itu dan melihat pantulan dirinya sendiri. Cakra menatap Nada. "Dia adalah kamu."

"Cakra ...."

"Aku suka bikin kamu senyum, tapi rupanya aku terlalu egois, Nada. Buat kamu senyum aja, aku belum merasa puas. Entah, aku juga mau dibuat tersenyum. Jujur aku takut, aku takut kalo setelah ini kamu enggak punya rasa yang sama dan kita perhalan berubah seolah jadi saling enggak kenal." Cakra meraih tangan Nada. "Seenggaknya, biarpun berakhir entah gimana. Aku mau coba berjuang buat utarain itu semua. Sebelum senyum kamu jadi milik orang lain." Cakra melepas sarung tangan Nada dan meletakkan telapak tangan itu di pipinya.

Sekelibat memori Cakra terpampang dalam benak Nada.

Kala itu Cakra masih kecil, ia menatap foto-foto anak Mantra milik Ajay. Cakra adalah penggemar rekan-rekan ayahnya. Ajay selalu menceritakan tentang Jogja, tentang pertemuannya dengan Senja, tentang teman-temannya yang hebat dan juga memberitahu Cakra tentang kabar dari anak-anak rekannya. Ajay juga menceritakan petualangannya ketika menjelajah dunia, tetapi bagi Cakra cerita tentang Jogja adalah yang terbaik.

Sore itu Cakra menonton acara youtube tentang keluarga Mahatama. Bagaimana kehidupan Tama dan Aqilla beserta keluarga kecil mereka. Aqilla adalah seorang artis, tentu saja hanya membuat vlog tentang kesehariannya pun ia sudah bisa menghasilkan views yang banyak.

Cakra menatap Melodi yang pandai bermusik, dan Nada yang belum bisa apa-apa kala itu. Nada selalu diam sambil menatap Melodi yang aktif bermain alat musik ini dan itu. Rasa iri dan cemburu menyelimuti tatap gadis itu pada kembarannya.

"Kamu nonton apa sih, Tang?" tanya Ajay pada Cakra. Ajay dan Senja memanggil Cakra dengan nama tengahnya, yaitu Petang.

"Aku kalo udah gede mau kuliah di Jogja!" ucap Cakra kecil.

"Kamu terinspirasi sama kisah ayah ya?" tanya Senja.

Cakra mengangguk. "Petang juga mau ketemua dia." Kala itu Cakra menunjuk Nada yang ada di dalam video. "Dia kelihatan sedih, Petang mau ke Jogja dan jadi malaikat pelindungnya. Yang selalu jagain dia biar enggak sedih lagi."

Ajay menatap Senja, mereka bertatapan sambil tertawa. Ajay menjitak kepala Cakra. "Kamu itu masih kecil, enggak usah belagu!"

Cakra Petang Buana. Pemuda itu menyukai Nada jauh sebelum Nada mengenal Faris. Cakra selalu memantau perkembangan Nada dan menunggu hingga usianya cukup untuk melanjutkan study ke Indonesia. Nada kembali menatap kenangan Cakra saat ia tiba di Indonesia.

Saat itu Cakra tiba di bandar udara Yogyakarta. Ia menatap semua anak-anak yang sejujurnya ia kenali wajahnya. Deva, Harits, Melodi, Nada, dan .... tetapi ia tak mengenal Jaya.

Sepanjang jalan menuju Mantra, bahkan saat berada di Malioboro mencicipi kopi jos, Cakra merasa gugup. Ia mencuri-curi pandang ke arah Nada yang saat itu sering melirik Harits. Kala itu Cakra agak kecewa, ia paham jika kedua insan ini saling jatuh hati.

Hingga pada satu kesempatan, Cakra mengajak Nada untuk ke kamarnya dan memotong rambut Nada. Ia ingin Nada menjadi lebih percaya diri karena Nada itu cantik, baik, dan ... mampu membuatnya jatuh hati sejak waktu yang lama. Jika Nada merasa berat memiliki identitas yang mirip dengan Melodi, maka sederhananya mereka hanya perlu terlihat berbeda untuk menerima kenyataan bahwa mereka memang bukan orang yang sama.

"Tatap dalam-dalam diri kamu yang ada di cermin itu," ucap Cakra kala itu. Nada menatap dirinya sendiri melalui cermin. "Dia dan kamu itu berbeda. Sampai kapan pun, dia enggak akan pernah bisa jadi kamu. Kamu itu Nada di dunia nyata, dan dia adalah Nada di dunia cermin."

"Kamu dan Melodi pun begitu. Kalian ya kalian. Nada dan Melodi bukan orang yang sama. Sampai kapan pun, kamu enggak akan pernah bisa jadi Melodi, karena kamu adalah Nada. Nada dengan segala kekurangan dan kelebihannya."

'Nada yang spesial dengan apa adanya dia.' Batin Cakra.

Nada melihat dalam kenangan Cakra, bagaimana setiap malam pria itu melakukan astral projection dan duduk di samping Nada. ketika Nada terlihat gelisah, Cakra membelai rambutnya lembut. Pria itu mengusir segala mimpi buruk yang datang menghantui Nada seperti seorang malaikat pelindung.

Nada membuka matanya. Ia kembali pada waktu sekarang. Cakra tersenyum padanya. Deva selesai dengan solonya, kini Cakra mulai mengangkat mic nya kembali.

"Akulah orang yang akan selalu memujamu ...."
"Akulah orang yang akan selalu mengintaimu ...."

"Aku enggak tahu kamu suka sama aku selama itu. Aku enggak tau kamu sedalam itu suka sama aku. Kamu bahkan ngusir semua mimpi buruk aku ... Cakra ... aku ...." Nada mulai berkaca-kaca menatap Cakra.

Cakra menjauhkan mic nya dari mulut, Deva langsung mengambil alih vokal menggantikan Cakra. "Enggak perlu kamu jawab sekarang, Nada. Aku cuma mau kamu tau," tutur Cakra.

"Maaf," ucap Nada yang pertahanannya runtuh.

"Okay, no probelm ...," balas Cakra sambil tersenyum getir. Tentu pria itu sudah mempersiapkan mental untuk ditolak.

Maaf, maaf, maafin aku Faris. Aku enggak mau ngecewain pria yang lagi-lagi suka sama aku, apa lagi sedalam ini. Maaf ....

Nada keluar dari dapur dan menatap Cakra yang berdiri tepat di hadapannya tanpa penghalang apa pun. "Aku mau berusaha selalu buat kamu senyum juga Cakra ...."

Getir itu berubah menjadi riang. Cakra meraih tangan Nada dan menggenggamnya. "Kita saling lukis senyuman di kanvas baru kita nanti. Terimakasih udah biarin aku masuk ke dalam hidup kamu, Nada."

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Harits baru saja tiba di Mantra. Sontak Jay bertepuk tangan sembari berteriak. "TOLAK! TOLAK! TOLAK!"

Semua mata kini menatapnya, temasuk Harits. "Lu ngapain dah ... idiot bener."

"Tolak Cakra, Nad!" lanjut Jaya. "Saya tim Nada Harits!"

"Hah?!" Pria bertopi biru itu menatap heran ke arah Jaya. Di dekat pria itu terlihat Cakra dan Nada yang sedang berpegangan tangan.

Menyadari Harits yang melihat adegan itu, Jaya melompat keluar bar dan menghalang-halangi pandangan Harits. "Jangan dilihat, Mas!"

"Idiot sumpah si Jaya!" ucap Harits yang malu dengan kelakuan Peti Hitam itu.

"Percayalah, Mas. Ditabok Rizwana masih jauh lebih baik daripada ditampar kenyataan. Nada nerima Cakra jadi pacarnya, Mas!"

"Oh, kirain apaan," balas Harits datar. Ia sama sekali tak peduli.

Jaya berlari ke arah Harits dan langsung menutup matanya dengan tangan kananya. "Menangislah, Mas. Menangislah dalam gelap yang menjelma sesak. Keluarkan air mata itu! Luruh bersama luka, melebur bersama tangis."

"Jaya tai, ye!" Harits berusaha melepaskan diri, tetapi Jaya terlalu kuat. Secara fisik, Jaya jauh lebih unggul.

"Percayalah, Mas. Bahagia itu datang di waktu yang tepat. Mungkin tidak sekarang, mungkin juga tidak besok ...."

Harits memotong kalimat Jaya. "Lusa juga enggak! Jangan-jangan emang enggak bisa bahagia! Itu kata-kata gua, bajigur!"

"Selamat menikmati patah hati terindah dalam hidup mu, Mas."

"Jay, mungkin kamu ketinggalan info karena pergi dari Mantra cukup lama, tapi Harits udah punya pacar," ucap Melodi. "Aku juga enggak percaya tadinya, tapi ternyata dia beneran udah punya pacar."

Jaya terdiam dengan ekspresi datar. "Bener, Mas?"

"Enggak apa-apa, Jay. Mungkin sekarang lu belum punya pacar kayak gua, tapi gua percaya kok. Itu berlangsung selamanya nyahahaha."

Jaya melepaskan tangannya dari mata Harits dan berjalan menuju bar kembali tanpa gairah hidup ditemani gelak tawa Harits yang menjelma perih.

"Terdiamlah, Bajigur! Biarkan ucapmu melebur bersama senyapnya malam! Nyahahaha nikamatilah kesendirian yang menikam asa! Selamat kesepian, pria tak berpuan! Nyahahaha."

Melodi menahan tawa mendengar kata-kata sok berdiksi itu, ia menoleh hingga tak sengaja menatap Deva yang sedang menatapnya juga. Mereka berdua menahan tawa melihat tingkah dua barista sejoli itu.

"Kalo udah keluar 'nyahahaha' nya rasanya pengen gampar, ya?" tanya Deva.

Melodi mengangguk. "Bener. Enggak tau kenapa, sebenernya kesel, tapi lucu." Seakan tak punya problema, keduanya menerawakan Harits dan Jaya malam itu.

Malam ini dingin, tapi suasanya begitu hangat. Semoga ini menjadi awal yang baik setelah perjalanan penuh darah di hari-hari lalu.

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top