104 : Lara yang Terpendam

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Gelap telah jatuh, Harits tiba di Mantra dengan keadaan yang cukup tak terlihat normal. Wajar saja, menangkap Jaranpeteng dan keluar dari kerajaannya dengan selamat bukanlah hal yang mudah.

"Abis berantem, Mas?" tanya Jaya.

"Ya," jawab Harits singkat. Harits berjalan ke arah Nada yang sedang berdiri di balik bar. Gadis itu menatap Harits, tatapannya seolah berkata. "Kenapa?"

Harits tampak canggung. Ia menggaruk kepalanya sambil membuang tatap. "Boleh aku minta topiku lagi?"

Nada tersenyum. Semenjak hari ulang tahun Harits, topi biru yang selalu ia kenakan berada di tangan Nada. Pria itu pernah memakaikan topi itu di kepala Nada untuk melindunginya dari serangan hujan.

Namun, na'as. Malam itu Harits patah hati karena Nada lebih memilih Faris, Harits berkata bahwa topinya pada saat itu beraroma rambut Nada, dan ia tak menginginkannya lagi. Namun, mengingat kejadian kelam di masa lalunya, Harits merindukan topi itu rupanya. Memang, topi itu bukanlah topi yang Ghina berikan karena tentunya ukuran kepala Harits tidaklah sama dengan saat itu. Topi birunya ia beli kembali dengan model yang sama persis, hanya saja ukurannya lebih besar.

"Tunggu sebentar." Nada berjalan menuju tangga sebelah kanan. Ia berjalan menuju kamar untuk mengambil topi tersebut.

Harits duduk menunggu di depan bar, ia seperti seorang pelanggan malam ini, hanya saja terlihat berantakan.

Tak lama berselang, Nada turun membawa topi biru Craig Tucker milik Harits. Gadis itu berdiri di depan Harits yang duduk, lalu memasangkan topi itu di kepala Harits. "Udah Nada duga. Harits lebih cocok pake topi ini," ucapnya dengan senyum manis.

Untuk orang yang masih menyimpan rasa, tetapi sudah memiliki wanita lain ... Harits langsung bangkit dan berjalan menuju tangga sebelah kiri. "Makasih udah jagain topi ini dan enggak dibuang." Pria itu berjalan naik dan menghilang dari pandangan Nada.

Merasa diperhatikan, Nada menoleh ke arah Jaya. Senyum bodoh itu terpampang di wajah Jaya sembari menggerakkan hidungnya kembang kempis. Nada menatap datar sambil memberikan jempolnya ke arah bawah.

Di sisi lain, Deva menatap Cakra yang sedang memperhatikan Nada. Ada segelintir cemburu dalam tatapnya. Deva merangkul Cakra. "Tembak gih."

Cakra sontak menoleh ke arah Deva. "Tembak apa?" Pria itu pura-pura tak mengerti.

Deva terkekeh. "Sebelum dia jadi milik orang lain."

"Lu sendiri gimana?" tanya Cakra balik. "Kenapa enggak balikan? Sebelum Melo jadi milik orang lain."

Deva tertohok. Rupanya karma langsung menimpanya. Ia tersenyum getir. "Dia bukan milik siapa-siapa, tapi hatinya udah enggak berada di tempatnya berada. Hatinya tertinggal pada seseorang yang udah pergi jauh."

"Miris," ucap Cakra. "Siapa yang menduga, di balik senyum para tukang kopi di sini, ada luka yang bersemayam."

"Gua percaya, enggak ada kata terlambat buat lu," balas Deva. "Kalo butuh bantuan bilang aja."

"Berarti itu juga berlaku buat lu," balas Cakra. "Meskipun—sebenernya gua butuh bantuan sih."

"Apa tuh?"

Cakra berbisik di telinga Deva. Ucapannya membuat Deva terbelalak diiringi senyum tipis. "Kapan?" tanya Deva. "Dalam waktu dekat," balas Cakra.

***

Waktu terus bergulir, tak terasa kini Mantra telah tutup. Nada dan Melo masih terduduk di depan, setelah membereskan seluruh kursi dan meja di Mantra. Dua cangkir chamomile hangat menemani malam yang dingin ini.

"Kamu jangan galau mulu, Melo."

"Enggak galau kok," balas Melodi sambil menyeruput cangkirnya.

"Belakangan, kamu jadi sering ngelamun."

Melodi memang kerap melamun dan seolah tak memiliki semangat. Sesekali ia menatap ke arah pintu ketika lonceng berbunyi, berharap menemukan seseorang. Namun, orang yang ia tunggu tak akan pernah datang kembali ke tempat ini.

Sejenak Melodi menghela napas. "Jadi gini, ya? Rasanya kangen dan enggak berdaya ...."

"Kamu suka sama Ippo, kan?" tanya Nada terang-terangan.

Melodi tak menjawab, tetapi senyum tipisnya mungkin saja bermakna iya.

"Aku itu aneh, ya?" tanya Melodi. Gadis cantik itu menempelkan wajahnya ke meja. Hal yang tak pernah ia lakukan di depan orang banyak. "Enggak pernah suka dipanggil Alunan, tapi sekarang aku merasa ...."

"Alunan," ucap Nada.

"Enggak sama. Jangan coba-coba, Nada," balas Melodi.

"Hehe ... maaf, Alunan."

Melodi mengangkat kepalanya, ia menatap Nada dengan wajah kesal. "Nada ...." Kemudian ia menempelkan wajahnya kembali di atas meja.

Nada terkekeh, tetapi ia paham bahwa Melodi tak suka. "Iya, iya, maaf Melo."

"Nad, ambilin gitar aku deh," ucap Melodi yang masih menempelkan kepalanya di atas meja.

Nada mengalah, ia beranjak ke dalam dan mengambilkan gitar akustik yang berada di panggung kecil. Kemudian ia kembali. "Nih."

Melodi bangun dan mengambil gitar itu. Ia memainkan sebuah lagu, tanpa lirik. Nada tahu lagu itu ....

"Kok enggak nyanyi?" tanya Nada.

Melodi tersenyum. "Dia pasti lagi nyanyi entah di mana. Atau justru dia di sini sekarang? Dia itu punya hobi aneh, nggak ngebiarin aku sendirian ... dia suka muncul kayak tuyul kalo aku lagi sendiri dan merasa sendirian ... selalu ...."

Memasuki reff pada lagu itu, Melodi mengeraskan permainan gitarnya dan mulai membuka mulut seiring tetes air matanya yang luruh. 

"Tak pernah ada rasa yang sama."
"Walau terus mencari, tak mungkin tergantikan."
"Tak pernah ada rasa yang sama."
"Walau terus menjauh, tak mungkin terlupakan."

https://youtu.be/VdpYjCnwDPM

For Revenge - Permainan Menunggu

"Aku juga enggak akan ngebiarin kamu sendirian, Melo," ucap Nada sambil mengusap pundak Melodi yang tengah bernyanyi meluapkan perasaannya.

Melo tak peduli pada suaranya yang fals dan gemetar itu. Seumur hidup, baru kali ini ia bernyanyi dan menangis dalam waktu bersamaan.

Terkadang ...
Kita mengabaikan seseorang yang peduli pada kita lebih dari siapa pun.

Terkadang ...
Kita menoreh luka pada mereka yang paling tulus menyukai kita lebih dari siapa pun.

Terkadang ...
Kita mengusir seseorang yang tidak pernah sudi membiarkan kita disetubuhi kesendirian lebih dari siapa pun.

Dan terkadang, ketika orang itu lelah dan memilih untuk pergi ...
Kita merasa kehilangan lebih dari siapa pun.

Tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui rahasia waktu. Tentang apa yang akan terjadi di masa depan.

Terkadang ...
Kita hanya butuh waktu untuk menghargai orang-orang yang ada di sekitar kita. Suka tidak suka. Mereka adalah satu kesatuan dari bagian cerita yang kita ambil. 

Penyesalan selalu mengintai. Bersembunyi di balik roda kehidupan. Sebab, sesuatu yang berharga barulah terasa berharga, ketika kita telah kehilangannya.

***

Deva berdiri di pojok kamar. Jendelanya terbuka, pria yang kerap dipanggil gondrong meskipun tak lagi gondrong itu sedang menikmati semilir angin malam sembari menonton bintang yang menari-nari dalam parade Semesta, ditemani sendu yang terlanjur membiru. Obrolan dan nyanyian si kembar menemani sisa malamnya.

Hal ini yang paling ia takutkan dari seorang Riffo Gardamewa sudah terlanjur terwujud. Pria itu mampu mencuri hati Melodi secara telak. Padahal Melodi masih belum bisa move on dari Deva kala itu, tapi sekarang Ippo seolah memutar balikkan roda takdir. Deva paham, tak ada lagi tempat untuknya kembali. Pilu air mata menyela dampingi sesalnya. Meninggalkan rumah yang tak lagi berpulang. Menyisakan rindu tak berpuan.

***

Harits berbaring di kasur kamarnya menatap topi biru yang entah sudah berapa lama tak terpasang di kepalanya. Aroma Nada semakin pekat melekat. Harits benci itu.

Ia mengambil ponsel dan membuka satu kolom chat dari seorang gadis bernama Sekar Pramudiana. Entah sudah berapa lama Harits mengabaikannya seolah tak pernah ada. Sejak peristiwa Walpurgis, ia belum menghubungi, membalas pesan, atau bertemu dengan Sekar lagi.

Harits mengetik sesuatu, tetapi kemudian ia mengurungkan niatnya dan menghapus total seluruh huruf yang sudah terlanjur ia ketik. Keberaniannya mendadak ciut. Namun, tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Sejenak Harits hanya menatap panggilan itu, hingga pada akhirnya ia mengangkatnya.

"Halo," ucap Harits.

Tak ada balasan. Hanya suara deru napas yang terdengar. Setiap embusannya mengandung lara. Baik Harits dan Sekar, mereka sama-sama terdiam sejuta bahasa. Tak ada kata yang terucap. Hanya saling mendengarkan suara napas satu sama lain yang penuh dengan setumpuk sesak.

"Ke mana aja sih?! Aku khawatir tau!"

"Maaf ...." Hanya itu yang terucap dari mulut Harits. "Besok bisa kita ketemu di kursi biasa? Ada yang mau aku omongin."

Panggilan itu terputus. Sekar memutuskan panggilan itu sepihak. Senyum tipis terukir di bibir Harits, sebuah senyum yang penuh nestapa. "Aku anggap itu 'iya'."

***

Malam semakin larut, tak ada satu pun yang tertidur di Mantra. Cakra duduk di atap dengan wujud rohnya. Ia merasakan kesedihan semua orang. Cakra tak tahan lagi. Ia mengumpulkan dan menggiring awan-awan sendu ke atas Mantra Coffee.

"Sudah. Jangan bersedih lagi," ucap Cakra menatap rekan-rekannya yang penuh dengan aroma getir. Kemudian ia menatap ke arah langit hitam di atasnya. "Istirahatlah. Biarkan langit yang menggantikan tangisan kalian." Cakra menjentikkan jari. Perlahan gerimis romantis turun menghujani area di sekitar Mantra.

Melodi dan Nada mulai masuk ke dalam Mantra, lalu menuju kamar mereka masing-masing. Deva menutup jendelanya, lalu berjalan menuju tempat tidur. Sementara Harits perlahan memejamkan mata, berbaring ditemani topi birunya. Cakra masih terjaga dengan wujud rohnya di atap Mantra, menjaga setiap air mata yang luruh agar tidak semakin deras mengalir.

"Selamat tidur. Lekas pulih teman-teman."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top