102 : Sosok Mengerikan di Sekolah Tua
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Kamu duduk di sebelah Ririn," ucap Bu guru sambil menunjuk kursi kosong yang berada semeja dengan gadis berperawakan mirip Nada. Rambutnya pendek, dari tampangnya juga ia sepertinya pendiam.
Harits merasa lega. Setidaknya ia duduk sebangku dengan orang yang terlihat tak akan merepotkannya. Namun, sebuah keanehan terlihat di mata Harits. Tak ada satu pun yang berani menoleh ke arah meja gadis bernama Rinrin itu. Sebuah firasat buruk terbesit dalam benak Harits.
Harits berjalan hingga berada di depan kursinya. Ririn sama sekali tak peduli dengan sosok Harits. Harits tak begitu peduli juga. Ia duduk dan langsung mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Matanya tak berhenti memperhatikan seisi ruang kelas, mencari sebuah ke janggalan. Hingga pada satu momen, Harits melirik ke arah gadis di sampingnya. Ia mendekatkan diri. "Katanya di sekolah ini angker?" bisik Harits.
Gadis bernama Ririn itu menatap lurus pada papan tulis tanpa menjawab pertanyaan Harits. Gadis itu bahkan menganggap Harits tak ada.
"Tempat mana yang paling angker di sekolah ini?" lanjut Harits dengan suara sedikit lebih keras. Ia pikir gadis itu kurang mendengarkan.
Ririn masih menatap lurus ke depan, tetapi ia mengangkat tangannya dan menempelkan jari telunjuk di depan bibir. Seolah menyuruhnya untuk diam.
Harits memicingkan matanya sembari perlahan menoleh ke sekeliling. Beberapa orang tampak membuang tatap setelah sempat terpergoki menatap mereka. Orang-orang itu meneguk ludah seperti takut akan sesuatu.
Sampai jam pelajaran berakhir dan masuk ke waktu istirahat tak ada hal aneh yang terjadi. Harits beranjak menuju kantin. Mungkin karena belum sempat sarapan ia merasa lapar. Sekaligus berniat berkeliling untuk memastikan keadaan lagi.
"Hoi, anak baru."
Harits menoleh ketika dirinya baru saja keluar kelas. Seorang siswa berpakaian ala-ala berandalan memanggilnya.
"Apa?" tanya Harits.
"Sini ikut gua." Ada sekitar tiga orang yang bersamanya. Namun, Harits mengabaikan panggilan itu. Perutnya terlalu lapar untuk membuang-buang waktu di sekolah angker ini.
Sebuah tangan menarik kerah seragamnya, menyeret Harits pergi ke parkiran motor. Harits menghela napas, ia mengikuti permainan para bocah ini.
"Ada rokok enggak lu?" tanya pemuda yang nampaknya merupakan jagoan di antara mereka semua. Kohar. Itulah nama yang tertulis di bagian dada kanan seragamnya.
"Enggak," jawab Harits singkat sambil celingak-celinguk.
"Kalo enggak ada ya beliin dong!" Sebuah tinju bersarang di perut anak baru itu.
'Sekolah apaan sih ini? Bangsat!' Harits ingin melawan, tetapi ia punya misi lain di tempat ini. Mata itu menatap para perundung dengan sorot mata yang tajam.
"Apa maksudnya ngeliatin begitu?" tanya Kohar. Ia tak menyukai tatapan Harits.
Harits merubah raut wajahnya. "Rokoknya apa?" ucap si tukang sandiwara itu sembari menyematkan senyum.
Tentu saja di sekolah tidak menjual rokok. Harits disuruh memanjat tembok sekolah dan membeli rokok di luar sekolah. Harits memiliki jalan pikiran tersendiri, ia mengikuti alur yang diberikan oleh para berandalan sekolah itu.
Singkat cerita, para berandal itu masih berada di parkiran menunggu Harits. Kini pemuda yang ditunggu-tunggu telah datang membawa satu bungkus rokok. Ketika Kohar hendak mengambil rokok, Harits menarik tangannya, tak memberikan rokok itu secara gratis.
"Beberapa hari lalu ada kejadian menarik di sekolah ini. Apa lu tau sesuatu tentang kesurupan masal yang marak jadi perbincangan itu?" tanya Harits.
Si jagoan mengernyit. "Siniin rokok gua," ucapnya dengan wajah emosi.
"Cuma satu kesempatan," balas Harits. Ia menatap mata Kohar seakan tak memiliki rasa takut barang secuil pun. "Jawab pertanyaan tadi."
Rupanya pemuda yang sok jagoan ini bukan orang yang bodoh. Ia sempat melirik jam tangan miliknya, lalu menghela napas.
"Pohon beringin," tutur Kohar. "Sini ikut gua." Ia memberikan isyarat pada Harits untuk mengikutinya.
Harits mengikuti langkah pemuda itu diikuti berandal lainnya. Langkah si jagoan menuntun mereka hingga ke sebuah area tanah kosong. Di tengah area itu terlihat ada bekas tebangan pohon yang cukup luas.
"Di sini harusnya ada pohon beringin tua," ucapnya.
Harits melempar bungkus rokok yang ia beli ke pemuda itu. Sontak Kohar menangkapnya, dan mengambil satu batang rokok lalu menyalakannya. Rekan-rekannya juga mengambil masing-masing sebatang, kemudian ia masukan sisa rokok itu ke dalam saku celananya.
"Terus sekarang mana pohonnya?" tanya Harits.
Pemuda itu membuang asap dari mulutnya dan menatap ke arah langit. "Pohon itu ditebang beberapa hari lalu. Pihak sekolah mau membuat gedung baru di sini."
"Setelah itu kesurupan masal terjadi?" tanya Harits.
Pemuda itu terdiam. Diamnya seolah bermakna iya.
"Penghuni pohon tua itu marah?" lanjut Harits.
"Salah." Pemuda itu membalik badannya dan berjalan pergi. "Penunggu beringin tua ini melemah akibat rumahnya dirusak dan kalah dengan pendatang baru. Sekarang penguasa baru sedang menunjukkan pada semesta--siapa Rajanya."
Harits masih bergeming di tempat itu sambil menatap tanah tebangan pohon di hadapannya. "Masalahnya, ke mana tuan Raja baru itu bersembunyi?"
***
Harits Sagara bukanlah orang yang suka belajar. Ia melipat kedua tangannya dan membuatnya menjadi bantalan kepala. Punggungnya bersandar di kursi sambil mulutnya menguap bosan. Perlahan matanya sayup hingga tertutup.
Sebuah suara membangunkan Harits yang hampir tertidur di kelas. Suara gending seperti permainan gamelan. Harits menatap pemuda berkacamata yang duduk di sebrang kanan mejanya.
"Sttt ...."
Pemuda itu menoleh pada Harits.
"Lagi ada acara apa hari ini? Kok rame banget?"
Sontak matanya menyipit menatap si anak baru. "Acara apa?"
"Itu bunyi gamelan?" tanya Harits.
Ririn menarik kerah seragam Harits, membuat pria itu terkejut. Karena selama ini Ririn selalu mengabaikannya.
"Jangan ribut," ucap Ririn.
"Orang cuma penasaran," balas Harits. "Lagi juga enggak ada yang terganggu."
"Harits! Ririn!" teriak guru pria yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Mendadak mereka berdua terdiam menghadap papan tulis.
"Abaikan apa pun yang akan kamu liat mulai dari sekarang," bisik Ririn lagi.
Harits gantian mengerutkan dahinya, ia tak mengerti perkataan Ririn. Satu hal yang ia paham. Hal janggal yang ia maksud selama ini mulai menampakkan diri.
Kegiatan belajar mengajar masih berlangsung. Samar-samar suara tapak kaki kuda terdengar lirih di telinga Harits.
"Kuda ...," ucap Harits lirih.
Ririn sontak menatapnya kembali seolah memperingatkan apa yang sebelumnya ia sempat katakan pada Harits.
Harits menutup mata, menajamkan indra pendengarannya di tengah suara gamelan. Ternyata itu benar-benar suara tapak kaki kuda. Suara itu makin mendekat.
"Kalo kamu bisa dengar gamelan itu, abaikan. Kalo kamu bisa lihat mereka, anggap mereka enggak ada. Jangan tatap mereka ...," bisik Ririn.
"Mereka?"
Dari lorong depan kelas, tampak kuda besar bertubuh manusia, makhluk itu berkepala banteng dan memiliki ekor ular berkepala dua. Di belakang makhluk itu, berjalan belasan--puluhan makhluk mengerikan lain seperti sedang mengikuti sebuah parade.
Sekujur tubuh Harits merinding. Harits hanyalah manusia biasa. Ia memiliki rasa takut. Di balik profesinya sebagai orang yang memerangi roh jahat, tentunya Harits juga masih memiliki rasa ngeri. Terutama ketika berhadapan dengan Iblis.
"Hey!" Ririn mencoba memperingaiti Harits. Sontak Harits menoleh ke arah Ririn dengan wajah pucat. Gadis itu berkeringat dingin, ia menatap lurus ke papan tulis dengan tangan gemetar di atas meja. Ririn hanya bisa memperingati Harits tanpa berani menoleh.
Harits kembali berbalik. Wajah banteng itu kini berada tepat di depan wajahnya. Sejenak waktu seakan berhenti. Ririn tak sengaja menatap mata makhluk itu juga. Sebuah seringai terukir di wajah seramnya.
"Aaaaaaaaa!" Ririn berteriak histeris. Hal itu membuat para siswa bangkit dari duduknya dan menatap ke arah Ririn dengan penuh kejut. Mereka tak bisa melihat apa yang Harits dan Ririn lihat sekarang ini.
Kuda bertubuh manusia dan berkepala banteng itu menyeringai diiringi liur yang berjatuhan ke lantai. Ia menatap Ririn. "Kau bisa melihatku, ya?"
Harits mengumpulkan keberanian dan sejumlah atma di tangannya. Pria itu hendak menebas makhluk di hadapannya, tetapi kaki dari makhluk itu berhasil menendang Harits terlebih dahulu hingga membuat Harits terpental ke dinding belakang kelas. Semua mata terbelalak menatap Harits yang tiba-tiba saja terbang menghantam dinding.
Si kuda memberikan perintah dengan isyarat mengangkat tangannya. Seketika itu juga pasukan makhluk halus menyerbu sekolah. Merasuki para siswa dan siswi, hingga beberapa guru. Jerit histeris, tangis, dan tawa berbaur menjadi satu mengiringi musik gamelan yang tak mampu didengar sembarang orang.
Harits masih terduduk sambil menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Baru kali ini ia mengalami kejadian seperti ini.
Ririn tiba-tiba saja berteriak dengan suara melengking. Ia tertawa dan menangis dalam waktu bersamaan. Perlahan ia berjalan ke tengah kelas sambil melepas kedua sepatunya. Gadis itu tiba-tiba melayang di udara dan berteriak lebih keras. Seketika itu seluruh kaca kelas pecah secara serentak. Seluruh manusia yang masih waras menutup telinga sambil berteriak ketakutan.
Harits tersadar dari lamunannya. Ririn tiba-tiba turun hingga kakinya menapak di lantai. Gadis itu menyeringai menatap Harits, lalu berlari keluar kelas melompati kaca jendela yang pecah. Harits sontak mengejar Ririn.
"Mas Harits!"
Langkah kakinya terhenti ketika guru wanita yang membayar jasanya kini berdiri sambil menatap penuh harap pada Harits. Guru itu berlari dari ruang guru untuk segera melaporkan keadaan pada Harits.
Harits menghela napas. Urung sudah niatnya mengejar Ririn. Ia memprioritaskan orang-orang yang tengah kesurupan masal di sekolah. Ini adalah kejadian yang keempat setelah pohon beringin tua itu ditebang. Harits berdiri mematung menatap puluhan manusia yang kerasukan.
"Ini terlalu banyak ...," gumamnya lirih.
Beberapa tokoh masyarakat bermunculan dan membantu kekacauan yang terjadi di sekolah. Kohar. Pemuda itu tampak sedang membantu seorang rekannya yang kesurupan. Kohar adalah anak seorang dukun. Ia benci jika segala sesuatu harus dikaitkan dengan bapaknya. Makanya selama ini ia tak pernah menunjukkan kemampuannya, tapi siapa yang menduga, pemuda berandal itu kini sedang membantu orang-orang yang kesurupan dengan ilmu turunannya.
Suara sinden membuat Kohar bergidik ngeri. Harits menoleh ke arah lorong. DIlihatnya seorang wanita berkebaya merah yang sedang menari dengan lihainya. Wanita itu tersenyum, dan perlahan melangkah mundur. Harits mengerutkan dahinya, ia berjalan mengikuti wanita kebaya merah itu.
Di tengah riuh, Harits melawan arus orang-orang yang berhamburan dari arah berlawanan, ia masih mengikuti wanita berkebaya merah. Harits terus mengikuti wanita itu hingga ke depan kamar mandi yang berjajar di hadapannya.
Sebuah kain kafan putih tiba-tiba melesat dari salah satu pintu kamar mandi yang terbuka dan menarik Harits masuk ke dalam. Perlahan Harits seakan terlilit kain kafan itu. Bau anyir tercium pekat. Kain itu basah oleh darah rupanya. Harits berusaha memberontak, tetapi kesadarannya sirna perlahan.
"Jangan nangis, ya. Harits bukan anak nakal kok," ucap seorang gadis di hadapan Harits kecil yang sedang menangis.
"Kata temen-temen ... kalo user-usernya dua ... berarti anak nakal ...," balas Harits tersedu-sedu. Anak cengeng itu lagi-lagi menangis karena diganggu teman sebayanya.
Harits kecil tak bisa membedakan mana anak manusia dan mana yang bukan manusia. Ia bermain dengan semuanya, hingga anak-anak normal menganggapnya aneh.
Gadis itu mengenakan seragam putih merah. Tertulis nama Ghina Sagara di seragamnya. Ia menghentikan laju sepedanya di depan tukang ice cream cone. Ia menoleh ke jok belakangnya menatap Harits yang sedang duduk.
"Kamu mau?"
Harits hanya membalasnya dengan anggukan kepala.
"Bang beli satu." Ghina membelikan Harits kecil satu scope ice cream. Lalu melanjutkan perjalanan pulang. Sebenarnya uang jajan Ghina juga pas-pasan, tetapi demi senyum di wajah adik kecilnya, ia rela menyisihkan separuh uang jajannya itu.
Karena kesibukan orang tua mereka, Ghina dituntut untuk menjadi anak mandiri sedari sekolah dasar. Ghina adalah orang yang mengantar adiknya sekolah dan juga menjemputnya. Ghina duduk di kelas satu sekolah dasar, sementara Harits masih di taman kanak-kanak. Harits selalu menunggu kakaknya datang menjemput saat pulang sekolah.
Adegan berpindah ....
"Ini hadiah buat Harits." Ghina memasangkan sebuah topi biru untuk menutupi kepala Harits yang memiliki dua user-user. "Sekarang adiknya kakak udah keren!" Ghina menabung untuk membelikannya sebuah topi ala-ala Craig Tucker. Sebuah karakter game yang Ghina sukai.
Harits kecil mengusap air matanya. Ia berlari menuju cermin dan menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Senyum itu terukir di wajah Harits. Ia suka topi itu.
"Udah ya, jangan nangis lagi."
Adegan kembali berpindah ....
Kali ini Harits yang baru saja tiba di rumah sepulang sekolah tiba-tiba duduk sambil menahan tangis.
"Kamu kenapa?" tanya Ghina yang menyadari gelagat Harits kecil saat ditelan resah.
"Mainan Harits ketinggalan," jawab bocah itu. Baru saja ia hendak mengambil mainan yang berada di dalam tas. Rupanya mainan itu tertinggal di kelas.
"Yaudah, jangan nangis," ucap Ghina sambil membelai kepala adiknya. "Kakak ambilin dulu ya ke sekolah Harits. Harits di sini aja, tunggu kakak pulang. Jangan buka pintu kecuali kalo ...."
"Bisa jawab passwordnya!" celetuk Harits.
"Burung?!" tanya Ghina.
"Cendrawasih!" jawab Harits.
Ghina tersenyum. "Bagus! Tunggu di sini, ya. Jangan ke mana-mana." Harits membalasnya dengan anggukan kepala.
Harits duduk di sofa sambil menatap televisi yang mati. Lima menit berlalu, sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam ... Ghina belum juga kembali.
Ya. Ghina tak pernah kembali. Ia meninggal karena sebuah kecelakaan dalam perjalanan pulang ke rumah. Mainan Harits yang ia jemput di sekolah, kini bersimbah darahnya sendiri.
Waktu menuntun Harits kembali. Harits kini berada dalam sebuah tempat yang gelap. Matanya terbelalak mengingat kejadian kelam di masa lalunya.
"Pembunuh!"
Harits menoleh. Andis muncul dari balik kegelapan sambil menggenggam pisau. "Dasar pembunuh!" Andis berlari dan hendak menikam Harits. Harits menangkap tangan ayahnya dan berusaha bertahan.
"Seandainya kamu enggak cengeng! Ghina masih ada di sini!" Seorang wanita muncul dari balik kegelapan. Seperti Andis, sosok ibunya itu membawa sebilah pisau. Ia berlari menerjang Harits.
"Ini semua gara-gara kamu!" Bukan hanya orang tuanya. Ghina muncul dengan tubuh penuh darah. Kepalanya hancur. Mereka bertiga menghujani Harits dengan tusukan secara brutal.
Harits hanya bisa pasrah menerima itu semua. Darah mencuat dari mulut dan sekujur tubuhnya. Air matanya menetes. Ia diam seribu bahasa.
Namun, tiba-tiba orang tua Andis terpental. Ghina pun terjatuh. Sebuah kaki menginjak kepala gadis itu. Harits dengan wajah datar tanpa ekspresi menatap si pemilik kaki. Dilihatnya seorang pria paruh baya dengan kumis tipis dan berewok tipis yang menghiasi pinggiran wajahnya.
"Bangun," ucap pria itu. "Sampai kapan mau terpuruk? Kita masih punya banyak kerjaan." Api mulai berkobar menyelimuti dirinya. Pria itu adalah Segoro Geni. "Bangsa kami senang mempermainkan kelemahan kalian para manusia. Jangan biarkan mereka menguasaimu."
Semua tayangan masa lalu itu muncul karena sebuah permainan Iblis. Wanita berkebaya merah merasuki Harits dan melemahkan mentalnya dengan kenangan-kenangan buruk yang mungkin menggoreskan sebuah sesal dan sesak.
"BANGUN!" Sebuah tinju berkobar api menghantam pipinya. Harits tersadar dari lamunannya. Kini pria itu sedang terduduk di kamar mandi. Harits memegang pipinya yang terasa sakit. Tak ada bekas luka apa pun. Namun, sorot matanya berubah. "Ayo kita akhiri ini." Ia bangkit dan menendang pintu kamar mandi yang sempat tak mau terbuka.
Keadaan di luar masih riuh. Harits menghela napas sambil memegang pundaknya. "Segoro Geni." Raja Banaspati itu menyeringai. Ia mengambil kesadaran Harits dan menarik sebuah cambuk api dari dalam punggungnya. "Cuma aku yang boleh merasukimu, bocah Sagara," gumamnya.
Aura panas menyelimuti area sekolah. "Astana Geni." Harits menapakkan kaki kirinya di lantai. Sebuah gelombang muncul dan membakar segala hal gahib yang ada di sekitar mereka. Manusia biasa tak akan bisa melihat lahan tandus yang hangus terbakar ini, dan hanya merasakan hawa panasnya saja. Namun, Kohar dan beberapa tokoh masyarakat yang mampu melihat dengan mata yang berbeda, mereka disuguhkan pemandangan sebuah neraka yang membakar setan- setan ini. Makhluk-makhluk itu keluar dari raga yang mereka usik, lalu ambruk menjadi abu.
Kohar merinding dan terduduk lemas ketika melihat Harits berjalan keluar dari lorong. Harits membawa sebuah cambuk api di tangannya. Sebelah matanya berwarna hitam dengan bola mata berwarna putih. Pria yang sempat ia ganggu beberapa waktu lalu itu sedang tertawa sambil mencambuki makhluk-makhluk yang masih bisa bertahan dari apinya.
Perlahan cambuk api itu menghilang seiring dengan kembalinya kesadaran Harits. Harits langsung berlari menuju tanah kosong di belakang sekolah. Sesampainya ia di sana, Harits melihat sosok Ririn yang tergeletak di tengah tanah bekas tebangan pohon beringin tua.
Harits menghampirinya, tetapi tiba-tiba saja tubuhnya ambruk di tanah ketika memasuki lingkaran besar itu. Harits tak sadarkan diri.
***
Di sisi lain Harits masih berdiri menatap sebuah istana megah berwarna hitam yang seharusnya itu adalah sekolah tempatnya berada. Matanya terbelalak sambil mengusap keningnya yang berkeringat.
"Gua bego banget," gumamnya lirih. "Kenapa enggak kepikiran kalo ada tabir ghaib di sini?!
Raganya ambruk karena roh Harits tanpa sengaja masuk ke dalam dimensi lain. Dimensi tempat Iblis kuda itu bersemayam. Tubuh Ririn memang ada di tanah kosong bekas tebangan pohon beringin tua, tetapi rohnya sama sekali tak berada di tempat itu. Mungkin Ririn berada di dalam istana hitam yang berada di depan sana.
Harits menatap tajam ke arah istana hitam itu, lalu melangkah maju mendekati bangunan tersebut.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top