101 : Kejanggalan di Sekolah Tua
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Kesurupan masal terjadi di sebuah sekolah yang terletak di Babarsari. Kesurupan masal itu sudah berlangsung selama tiga hari berturut-turut sehingga mau tidak mau pihak sekolah mengambil tindakan tegas dengan meliburkan sekolah. Namun, ketika keadaan terlihat normal dan sekolah kembali beraktivitas seperti biasanya, kejadian itu terulang kembali, membuat resah para penghuni sekolah, baik siswa maupun staf dan guru.
Satu minggu telah berlalu. Seorang wanita duduk di kursi depan bar sambil berbincang dengan Harits. Wanita itu menemukan situs abal-abal yang dibuat oleh Harits.
"Jadi gimana, Mbah?" tanya wanita itu setelah menceritakan seluruh permasalahan sekolah tempatnya mengajar.
"Mbah ...." Harits memasang wajah datar. Jika saja wanita itu sumuran dengannya, maka mulut sembarangannya itu sudah dirobek-robek oleh Harits. "Saya masih mahasiswa semester dua, Mbak."
"Enggak apa-apa, formalitas aja, Mbah."
"Saya enggak layanin mau?" balas Harits.
"Eh--maaf, Dik."
"Harits. Panggil aja Harits." Harits hampir naik pitam dibuatnya. Sejenak barista itu menghela napas sambil mengatur emosinya. "Saya harus investigasi tempatnya."
"Besok biar saya antar."
"Malem ini aja. Malam adalah waktu mereka beraktivitas. Lebih gampang berinteraksi sama mereka di malam hari," ucap Harits.
"Sejujurnya, saya takut. Sudah banyak orang pintar yang gagal dalam pengusiran roh halus ini."
"Rangking berapa aja?" tanya Harits.
Wanita itu mengernyit. "Maaf?" Ia tak mengerti dengan ucapan Harits.
Harits menghela napas. "Katanya orang pinter. Ranking berapa aja? Udah pernah menang olimpiade apa aja? Berapa nilai rata-ratanya?"
"Maksud saya orang pintar dalam artian lain, Mas."
"Orang yang mengusir roh halus dengan khodam disebut Dukun, orang yang mengusir roh jahat dengan doa adalah Pemuka Agama, dan orang yang mengusir setan dengan atma disebut Arkana. Orang pinter bukan istilah dari ketiganya," balas Harits. "Kecuali dukun. Mereka pinter nipu."
"Intinya sudah belasan orang yang katanya sakti, tapi malah gagal. Ada juga yang baru datang. malah langsung menyerah tanpa melakukan apa-apa. Mereka bilang sekolah itu sudah tidak ada harapan."
Harits menyeringai. "Ada. Enggak ada sampah yang enggak bisa dibersihin. Itu semua tergantung yang bersihin," balas Harits.
Wanita itu memberikan amplop. "Ini uang mukanya, sisanya setelah pembersihan selesai."
Harits menolak amplop itu. "Saya enggak terima uang muka. Semuanya langsung dibayar diakhir. Kalo saya enggak berhasil, enggak perlu repot-repot keluar uang."
Harits menatap Jaya. "Jay, lu pegang bagian gua, ya. Gua ada kerjaan."
"Siap, Mas," balas Jaya sembari menyematkan senyum. "Semangat kerjanya, Mas."
"Mbak boleh tunggu sebentar, saya siap-siap dulu." Harits berjalan ke atas untuk mempersiapkan kebutuhannya.
Tak lama berselang ia turun dengan pakaian serbah hitam. Ia menenteng sebuah jaket di tangannya, lalu melebarkan jaket itu dan mengenakannya.
"Simfoni Hitam ...," gumam Bu Guru muda itu.
"Ayo, antar saya ke lokasi. Setelah itu Mbak boleh pergi. Biar saya yang urus sisanya."
***
Jarak antara Mantra Coffee dan Babarsari cukup dekat. Tidak sampai lima belas menit, mereka sudah berada di depan gerbang sekolah itu. Malam ini ada dua satpam yang berjaga.
"Pak, ini orang pinter yang mau investigasi sekolah," ucap wanita itu.
Harits tersenyum asimetris. "Orang cerdas ...," gumamnya lirih.
"Monggo, Mas."
"Saya sendiri saja." Harits masuk sembari menenteng senter.
Tiga orang yang berdiri di gerbang menatapnya, kemudian saling melempar tatap satu sama lain. "Yakin, Bu? Itu orangnya masih terlalu muda."
"Saya sebenarnya kurang yakin, tapi enggak ada salahnya dicoba."
Dari kejauhan Harits masih bisa mendengar percakapan mereka. "Cih! Jangan menilai buku dari sampulnya."
Kini Harits berdiri di tengah koridor. Ia mencari letak kamar mandi. Biasanya makhluk-makhluk ini bersemayam di tempat-tempat kotor seperti kamar mandi.
Perlahan ia susuri lorong gelap itu dengan senternya sambil celingak-celinguk. Tak ada apa pun di sini, tak ada aroma apa pun di sini. Semua tampak tenang dan sunyi. Namun, kesunyian ini bukanlah hal yang wajar. Kesunyian ini terlalu senyap.
Harits bersiul. Konon katanya jika kita bersiul di malam hari, maka makhluk halus akan mendekat, seolah mereka sedang dipanggil. Ia terus bersiul hingga langkahnya menuntun pria itu ke depan kamar mandi sekolah.
"Masih enggak mau muncul, ya?" gumam Harits. Ia menghela napas sambil menggaruk kepala. "Ya udah deh kalo maksa." Sorot matanya berubah. Kini sebuah buku hitam berada dalam genggamannya. Sebuah belati kecil ia ambil dari kantong jaketnya. Harits menggores pisau itu ke telapak tangannya dan meneteskan darah ke tiga halaman kosong. Dari kegelapan muncul tiga ekor anjing hitam yang penuh dengan borok.
"Cari. Kalian boleh boleh memakannya, itu buruan kalian." Anjing-anjing itu berlari sembari menggonggong.
Suaragonggongan anjing-anjing hitam milik Harits terdengar hingga ke pintu gerbang sekolah. Wanita yang mengantarnya telah pulang, menyisakan dua orang satpam yang berjaga. Mendengar gonggongan anjing, dua satpam itu bergidik ngeri dan saling melempar tatap. Udara malam ini makin dingin.
Aneh. Untuk ukuran sekolah angker dan sedang viral akibat kesurupan masalnya, tak ada apa pun di sana. Biasanya setiap bangunan memiliki penunggu, tapi di tempat ini tak ada satu pun yang Harits temukan. Terlalu janggal.
Harits kembali berpatroli. Dalam semua kasus yang ia tangani, ini baru yang pertama kalinya.
'Apa emang enggak ada, ya? Gua aja yang terlalu mikirin semua kejanggalan ini. Siapa tau emang bukan janggal. Siapa tau mereka beneran pergi, atau udah ada yang berhasil ngusir.' batin Harits.
Harits memanggil kembali anjing-anjingnya. Mereka kembali dengan perut kosong. Tak ada yang bisa dimangsa di tempat ini. Namun, seringai itu terpampang di wajah Harits, lantaran satu anjingnya tidak kembali.
"Mau dipikir kayak gimana pun ... ini terlalu JANGGAL!"
Harits mengembalikan dua anjingnya ke dalam Penjara Jiwa, lalu memutuskan untuk pergi dari sekolah itu.
Setelah berpamitan pada satpam, Harits berjalan menuju motornya yang terparkir di depan gerbang. Namun, langkahnya berhenti ketika melihat seorang pria berpakaian serba hitam sedang duduk di atas motornya. Sebuah tatapan mengancam dikeluarkan oleh Harits.
"Apa-apaan ini?"
Radika Kusumadwa. Pria itu menatap Harits dengan tatapan dingin. "Butuh bantuan?"
"Kau seharusnya ada di penjara bersama rekan-rekanmu."
"Malam itu, hanya aku yang berhasil lolos," balas Radika.
Harits memasang wajah datar. "Bukan begitu. Mereka semua sadar dosanya dan menyerahkan diri."
"Simfoni hitam butuh tambahan orang," tutur Radika.
Harits memicingkan matanya. "Simfoni Hitam udah bubar. Seandainya pun masih ada, hanya ada tiga orang di dalamnya."
Radika menunjuk Harits. "Kau, Rizwana, dan aku."
"Aku?" Harits memasang wajah menyebalkannya. Ia menunjuk Radika. "Aku yang kau maksud itu tidak pernah ada di dalam daftar nama anggota Simfoni Hitam, dan tentang Rizwana ... dia bukan lagi pimpinan Simfoni Hitam."
"Rizwana tidak pernah meninggalkan Simfoni Hitam," tutur Radika.
"Terserah. Kelompok itu udah dibubarkan secara resmi," balas Harits.
"Lantas mengapa kau mengenakan jaket itu?" Radika menatap jaket Simfoni Hitam yang Harits kenakan.
"Karena jaket ini keren. Enggak lebih." Ia berjalan menghampiri motornya. "Sekarang turun. Gua mau pulang."
Radika turun dari motor Harits tanpa kata. Ia menatap Harits yang naik ke atas motornya dan menyalakan mesin. Tak ada kata yang terucap hingga sosok Harits menghilang dari pandangannya.
***
Hari telah berganti. Hari ini sekolah yang bermasalah dengan kesambet masalnya itu masuk kembali. Wanita yang semalam pergi ke Mantra Coffee, masuk ke dalam kelas membawa seorang siswa berseragam putih abu-abu. Siswa itu adalah murid baru yang baru masuk per hari ini.
"Selamat pagi anak-anak."
"Pagi, Bu," seru anak-anak IPS 3.
"Hari ini kelas kalian kedatangan teman baru."
Semua murid tampak berbisik-bisik sambil memperhatikan murid baru itu. Bu guru menatap siswa baru. "Silakan perkenalkan diri kamu."
Ia berjalan mengambil spidol hitam dan menulis namanya di papan tulis. Setelah itu, ia memutar tubuhnya menghadap teman-teman barunya. Senyum tipis terukir di wajahnya.
"Perkenalkan, nama saya Harits Sagara. Salam kenal semuanya."
Karena suasana yang tak normal di sekolah itu. Harits butuh investigasi lebih lanjut. Untuk mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, ia meminta izin untuk ikut kegiatan belajar mengajar di sekolah ini. Jika memang kejanggalan itu nyata, firasatnya berkata bahwa kesurupan masal akan kembali terjadi dalam waktu dekat.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top