100 : Dasa Hasta Antargata
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Perlahan Ippo membuka matanya, menyorot tajam ke arah Baskara.
"Dasa Hasta Antargata."
Sepuluh Tangan Tersembunyi.
Atma yang terhisap itu membentuk sepuluh tangan tak kasat mata. Namun, sekelas Baskara tentu saja bisa melihat tangan-tangan itu. Kemampuan Ippo membuatnya menyeringai. "Aku tarik kata-kataku. Kau memang menarik, Riffo. Sudahku duga kita harusnya bersama. Tidak ada yang bisa mengalahkan kita."
Ippo menggerakkan tangannya kanannya ke arah Baskara. Satu tangan atma miliknya melesat secara horizontal menghantam perisai Baskara. Namun, perisai itu masih kokoh tak tergoyahkan.
"Berusahalah, tapi perisai ini takkan pernah goyah!"
"Mulai dari sini, kau hanya akan bisa bertahan," ucap Ippo. "Pertahanan terbaik adalah menyerang." Ia menggerakkan tangan kanannya lagi beserta tangan kirinya, seolah sedang menari. Dua tangan lainnya menghantam perisai Baskara. Satu dari arah kiri secara horizontal, dan satunya secara vertikal dari atas ke bawah. Perisai itu bergetar, tetapi masih belum sedikit pun tergores.
Ippo melebarkan kakinya dan menarik kembali tangan-tangannya, kemudian ia layangkan tangan kanannya seolah sedang menampar. Tiga buah tangan menghantam Baskara lagi. Kali ini Baskara bergeser dari tempatnya berpijak. Merasa belum cukup, Ippo menggerakkan dua tangan bagian kanan yang tersisa sehingga lima tangan tak kasat mata itu menghantam Baskara.
Perisainya masih kokoh, tetapi Baskara terseret hingga beberapa meter. Tangan itu terus menyeretnya hingga Baskara terhempas membentur bangunan utama. Dinding bangunan itu hancur ketika Baskara membenturnya. Berkat perisainya, Baskara tak mengalami luka parah, tetapi tak bisa dipungkiri, ia terluka.
Semakin dilihat, tangan-tangan itu semakin membesar seperti tangan-tangan raksasa. Ippo melakukan pose seperti menarik. Baskara sontak tertarik ke arahnya. pria itu melayang akibat ditarik dua tangan milik Ippo.
Ippo menggerakkan tangannya seolah sedang memukul tanah. Tiga tangan menghantamnya dari atas. Baskara menguatkan kuda-kudanya dan memperkokoh perisainya yang perlahan goyah.
Darah segar keluar dari mulut Baskara ketika terus-terusan menahan tekanan dari Dasa Hasta Antargata. Baskara menatap Ippo yang sedang melebarkan mulutnya. Atma disekitarnya terserap ke depan mulutnya hingga mengendap menjadi gumpalan bola biru.
"HAAAA!" Ippo berteriak sangat keras. Seketika itu energi alam yang ia kumpulkan melesat menjadi peluru atma. Sebuah retakkan muncul di perisai Baskara. Ippo menggunakan sisa tangan yang menganggur untuk menghantam Baskara.
TRAAANG!
Perisai itu pecah. Baskara terkena serangan telak Ippo dan tergeletak di tanah. Ippo berhasil mengungguli Kakaknya. Namun, tiba-tiba ia memuntahkan darah dari mulutnya karena efeks amping tekniknya sendiri.
Baskara perlahan bangkit dan membersihkan pakaiannya. Jas hitamnya sudah tak lagi terpasang di tubuhnya, menyisakan kemeja putih yang kotor akibat debu.
"Kau orang kelima selain Catur Sanghara yang bisa menghancurkan perisaiku, aku mengakuimu," ucap Baskara.
Pria itu menyeringai, ia merendahkan tubuhnya sembari mencondongkan diri ke depan untuk mengambil ancang-ancang berlari. Baskara yang sedari tadi diam dan bertahan, kini tampak menikmati pertempuran dan hendak menyerang.
"Aku terlalu bergairah sekarang. Maaf, tapi kau harus mati ...." Aura di sekitar Baskara berubah. Perisainya memang hancur, tapi siapa yang sangka bahwa perisai itu ada untuk menekan hawa membunuhnya.
'Aku harus cepat' batin Ippo.
Ippo terus bergerak. Ia menyerang dengan sepuluh tangannya secara bertubi-tibu, tetapi Baskara bergerak lincah menghindari tangan-tangan itu. Pada satu titik, Baskara menangkap dua tangan Ippo dan menjepitnya di pinggang kanan dan kiri. Ia menarik Ippo hingga Ippo melesat lurus menuju Baskara. Sebuah pukulan telapak tangan bersarang di dadanya. Ippo terbelalak dan terkapar dengan sorot mata yang pudar. Sejenak detak jantungnya berhenti, tetapi Ippo memacu atma dalam dirinya untuk memompa darah menuju jantung agar lebih cepat mengalir.
Baskara tersentak ketika dengan cepat Ippo bangkit dan melesatkan pukulan telapak tangan yang bersarang di ulu hatinya. Ippo memutar tangannya, membuat sebuah gelombang angin dan menghempaskan Baskara beberapa meter. Tanpa jeda, Ippo langsung menimpa Kakaknya dengan tangan-tangan raksasa miliknya.
Sebuah telapak tangan raksasa membekas di tanah. Baskara berbaring di samping cetakan telapak tangan itu. Ia berhasil menghindari serangan barusan dengan berguling ke samping.
Ippo menempelkan kembali telapak tangannya. Sontak tangan-tangan itu melesat mengejar Baskara. Namun, kali ini Baskara tak menghindar, ia malah duduk bersantai.
Tangan-tangan Ippo terpental. Perisai atmanya telah kembali. Baskara butuh waktu untuk menyusun ulang atma yang melindunginya. Kini pria itu berdiri dan berjalan ke arah Ippo. Ia mengambil salah satu pedang yang tergeletak di tanah.
Kali ini Baskara berniat menyerang dengan fisik, sekaligus bertahan dengan atma. Baskara mengarahkan pedang itu pada Ippo.
Ippo pikir itu hanyalah sebuah gerakan sembarang untuk memberikannya sebuah deklarasi perang, tetapi ia salah. Dari pedang itu gelombang atma melesat dan menusuk bahunya. Sebenarnya Baskara mengincar dada kiri, tetapi ia meleset.
Tanpa basa-basi, Baskara berlari sembari menyeret pedangnya di tanah. Ia tak membiarkan Ippo untuk bernapas.
Di sisi lain, Ippo sedang memegangi bahunya yang baru saja terluka. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk memukul Baskara. Tiga tangan raksasa melesat mengincar Baskara. Baskara berhenti melangkah. Ia terdorong tangan yang semakin berat itu dan lagi-lagi terpental menghantam bangunan.
Namun, dari dalam bangunan Baskara segera berlari dan menyayat satu tangan raksasa itu seiring langkahnya. Ippo menggunakan tangan-tangan yang lain untuk menghancurkan Baskara. Baskara sadar, Ippo adalah petarung jarak jauh. Makanya Bas selalu berusaha mendekatinya.
Baskara mengangkat satu tangannya ke atas. Seketika itu perisai miliknya tersedot dalam genggaman tangannya. Ia menguatkan pondasi pada kaki kanan yang berada di depan, dan menghempaskan tinju dengan tangan kirinya. Seluruh atma yang ia gunakan sebagai perisai, kini melesat ke arah Ippo.
Ippo menarik tangan-tangannya dan berusaha melindungi diri dari serangan itu. Sebuah ledakan terjadi ketika atma mereka saling berbenturan. Namun, dari serangan Baskara barusan, Ippo harus kehilangan satu tangannya.
Barusan, Baskara berlari di belakang gelombang atma yang ia lemparkan dan langsung mengincar Ippo dengan pedang yang masih ia genggam di tangan kanannya.
"Kau lengah, Riffo."
"Meskipun dengan satu tangan, aku masih bisa berdoa!" Ippo langsung menggerakkan satu tangan yang tersisa untuk melakukan pose meninju ke bawah. Sepuluh tangan tak kasat mata langsung menimpa Baskara yang tak memiliki pertahanan atma.
Baik Ippo dan Baskara saling bertukar luka. Ippo menutup pendarahannya dengan atma. Hal itu memang berhasil, tetapi tak menutupi fakta bahwa tubuhnya sudah diambang batas.
Baskara bangkit, ia memuntahkan darah dari mulutnya, tetapi luka yang ia terima tak separah Ippo yang harus kehilangan satu mata dan tangannya.
"Sudah selesai?" tanya Baskara dengan tatapan datar. Perlahan perisai mutlaknya mulai kembali.
Ippo tertawa mendengar pertanyaan itu. Ia hampir gila, mengingat teknik terkuatnya tak mampu membunuh Baskara.
"Selesai? Jangan bercanda. Satu-satunya akhir adalah ketika jantungmu berhenti berdetak," balas Ippo. "Sebelum saat itu tiba, aku tidak akan pernah selesai."
"Dengan kondisimu?"
Ippo semakin tertawa karena rasa frustasinya. Padahal pria itu baru saja bercerita pada Reki saat pulang dari Sindu Kusuma Edupark, bahwa dirinya akan menyatakan perasaanya pada Melodi di pameran beberapa hari lagi.
"Aaaaa ... sebentar lagi kamu bisa hidup tenang ya, Alunan ... enggak akan ada lagi pria aneh yang ngikutin kamu dan sok nyapa kamu, 'selamat pagi, Alunan' atau 'selamat malam, Alunan'." Ippo merogoh kantong celananya. Selembar kertas bertuliskan 'sorry' membuat air matanya jatuh. Pria bertangan satu itu meraih pedang yang sempat Baskara gunakan untuk memotong lengannya. Meskipun gemetar karena fisiknya meronta, pria itu mengacungkan pedang itu ke arah Baskara.
"Semangat mu memang pantas diacungi jempol. Sebagai penghormatan, aku akan membunuhmu dengan cepat, Riffo."
Ippo tersenyum. "Aaaaa ... bunuh saja kalau memang bisa." Senyum itu perlahan pudar menampilkan ekspresi serius. Sambil gemetar, Ippo berusaha membuat badama dengan pedang di tangannya, tetapi rasanya sangat berat.
Sebuah tangan menyentuh tangannya dari belakang untuk menggenggam pedang itu. Tak ada siapa pun di sana, tetapi Ippo kembali tersenyum. "Aaaaaa ... lu di sini, ya?" Hawa keberadaan Reki sangat pekat ia rasakan.
"Ternyata kalo sendiri emang enggak akan bisa menang," ucap Ippo. "BADAMA!" Entah mendapat kekuatan dari mana, sebuah atma yang kuat menyelimuti pedangnya.
"Satu serangan ini akan mengakhiri pertarungan panjang ini, Baskara!" teriak Ippo.
"Majulah," balas Baskara.
Dalam genggamannya, kertas yang diberikan oleh Melodi menjadi semangatnya untuk terus berjuang. Baskara harus mati. Ia tidak boleh menyakiti Melodi. Itu yang ada di benak Ippo.
Ippo menghentakkan kaki kirinya sekuat tenaga, sembari menopang berat tubuhnya. Ia rendahkan posisi tubuhnya sambil membentuk postur seperti orang yang hendak melempar tombak. Kaki kiri dan tangan kanan yang menjauh dari tubuhnya itu menjadi pusat serangannya kali ini.
"kunci dari Badama itu adalah kestabilan," ucap Reki.
Kala itu Ippo dan Reki masih berusia delapan tahun. Ippo adalah anak yang berbakat dan selalu unggul, tetapi ia masih tertinggal di bawah Reki dalam urusan kedisiplinan dan ketekunan berlatih.
"Gardamewa emang punya kemampuan atma yang bagus dan dinobatkan menjadi keluarga yang mampu mengendalikan atma sebagai bagian dari tubuhnya sendiri, tapi Badama itu berbeda. Lu harus fokus mempertahankan kestabilan atma dalam menyelimuti sebuah objek."
"Ribet amat sih," balas Ippo.
"Gua percaya, kalo seorang Gardamewa yang bisa nguasain Badama, dia enggak akan terkalahkan. Karena Badama itu berpusat pada atma, dan enggak ada yang lebih baik dari Gardamewa dalam urusan atma."
Sepintas masa lalu terbesit di benak Ippo. 'Aaaaaa ... selama ini diem-diem gua latihan buat stabil gunain Badama, tapi ternyata emang susah. Gua akuin lu itu keren, Rek,' batin Ippo. 'Kali ini aja, tolong pinjemin kekuatan lu. Ini pertama kalinya gua minta bantuan lu saat bertarung. Karena gua tau, enggak ada yang lebih baik dari lu soal Badama.'
Atma yang menyelubungi pedang itu semakin stabil dan solid. Ippo menahan napas hingga pipinya menggembung. Ia lemparkan sekuat tenaga pedang berlapis badama itu lurus ke arah Baskara. Pedang itu melesat dengan cepat dan pada akhirnya mata pedang itu membentur perisai atma milik Baskara. Namun, rupanya serangan itu belum cukup kuat menembus perisai mutlak milik Baskara.
"Masih belum." Ippo meniru serangan Baskara yang mampu memotong tangannya. Ippo berlari ketika pedang itu ia lesatkan. Kini telapak tangannya ia gunakan untuk mendorong pedang itu.
Retak. Perisai itu pecah dan kini pedang itu mengarah ke jantung Baskara.
"Sudah, istirahatlah," gumam Baskara. Ia menangkap pedang itu dengan tangannya hingga berdarah. Serangan terakhir Ippo gagal.
Namun, Ippo tak memasang wajah tertekan sama sekali. Ia justru menyeringai. Ippo memusatkan seluruh atma yang tersisa di pergelangan tangannya. "Selamat tidur, wahai Satu Darah."
Baskara terbelalak dalam tayangan lambat. Ia benar-benar tak menduga bahwa Ippo melesatkan satu tangannya itu untuk menusuk dadanya sendiri. Darah segar mengalir dari dada dan mulut Ippo. Pria itu terjatuh dalam dekap Baskara.
***
"Mungkin Dasa Hasta Antargata memanglah jurus yang kuat," tutur Chandra. "Tapi banyak orang salah menafsirkan kekuatan itu."
"Apa maksudnya?" tanya Harits.
"Kartu AS itu baru aktif di saat penggunanya kehabisan tenaga, atau mati," lanjut Chandra.
Alat komunikasi jarak jauh milik Chandra perlahan mengeluarkan suara. "Chandra! Ippo ada di arah jam satu dari posisi lu," ucap Kevin.
"Oke, segera ke sana," jawab Chandra.
Deva tiba-tiba terdiam secara mendadak. Matanya menangkap visualisasi masa depan. Sebuah ledakan atma menghempaskan mereka semua hingga mobil yang mereka kendarai hancur. Chandra memicingkan matanya menatap Deva dari kaca depan.
"CHANDRA!" teriak Deva.
Chandra adalah orang yang peka. Begitu Deva berteriak, ia paham bahwa semua sudah terlambat. Sebuah tombak muncul dalam genggamannya secara misterius. Chandra memecahkan kaca depan dan melompat keluar. Ia melesatkan tombak Panatagama secara vertikal ke atas.
Dalam satu waktu, seluruh kaca mobil pecah, termasuk kaca spion dan kaca depan. Harits menginjak rem hingga mobil mereka mengeluarkan suara decit dan asap dari bannya. Deva dan Melodi hampir terpental ke depan, beruntung Deva sigap dan berhasil menjaga keseimbangan, ia juga memegangi Melodi agar tak terpental ke depan.
"Ada apa deh?" tanya Melodi yang tak tahu apa pun. Kepalanya sedikit berdarah akibat membentur kursi.
Kabut menyelubungi tempat mereka berada. Aroma anyir menjadi santapan bagi hidung mereka semua. Chandra membawa mereka ke Alam Suratma menggunakan tombak Panatagama. Yudistira itu duduk di atas mobil sembari menggenggam tombak. Tampak jelas, tubuhnya gemetar.
"Tanya sama Deva, apa yang sebenarnya terjadi," gumam Chandra yang sempat terkena sedikit dampak ledakan dari Dasa Hasta Antargata. Chandra memuntahkan darah dari mulutnya. Atma di dalam tubuhnya berbenturan dengan ledakan itu dan mengakibatkan beberapa bagian tubuhnya mati rasa. Pria itu ada di depan untuk melindungi ketiga orang di dalam mobil.
"Yang barusan itu ... ledakan atma Ippo," ucap Deva.
Melodi mengernyit.
"Kita terlambat," sambung Chandra.
"Enggak ... kita belum terlambat!" gumam Melodi.
Chandra mengayunkan tombaknya kembali dan membuat portal kembali ke dunia nyata.
Sungguh pemandangan yang tragis. Pohon-pohon di sekitar mereka mendadak layu dan mati. Daun-daunnya rontok dan mengering. Padahal sebelum mereka ke Alam Suratma, keadaan masih rindang. Kini mereka bagaikan berada di tengah hutan mati. Beruntung area itu bukan area pemukiman karena sudah di atas. Seandaninya ada korban pun, tidak akan banyak.
Harits menatap Chandra. Chandra masuk kembali ke dalam mobil dan mengangguk pelan. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju lokasi pertempuran terjadi.
***
Markas Ravenous hampir rata dengan tanah, terlihat seperti runtuhan bangunan tua. Chandra dan yang lainnya turun dari mobil untuk memeriksa lokasi. Mereka berpencar, tetapi masih bisa saling memantau posisi satu sama lain. Banyak jasad manusia di tempat ini, mereka adalah korban dari keganasan Ippo.
"Chandra!" teriak Deva dari jarak yang tak terlalu jauh dari mereka semua. Mendengar teriakan Deva, sontak semua menuju tempat Deva berdiri.
Melodi tiba-tiba saja terduduk lemas di tanah sambil menutup mulutnya. Matanya berkaca-kaca menatap sosok yang ia kenal, dan satu-satunya yang ia kenal dari seluruh lautan mayat ini.
"Enggak mungkin ...," gumam Melodi.
Deva mencoba menenangkan Melodi dengan mengusap pundaknya. Namun, mau bagaimana pun, gadis itu tak akan pernah bisa tenang ketika menemukan jasad Ippo yang berbaring di tanah.
"IPPOOO!" Melodi memeluk raga itu dengan tangisan yang keras. Selama pria itu hidup, sekali pun tak pernah ia dekap sekeras itu.
Entah sejak kapan, Melodi menyukai pria itu. Entah sejak kapan ia mulai merasa nyaman ketika pria aneh itu berlekiaran di sekitarnya dan mengusik harinya. Entah sejak kapan, gadis itu menunggu kedatangan pria bernama Ippo itu di pintu kafenya. Melodi tak pernah menyadari semua itu hingga hari ini tiba.
Orang bilang, masa paling romantis adalah ketika seorang pria yang sedang jatuh cinta berjuang mendapatkan hati gadis pujaannya. Mungkin Melodi sadar akan perasaannya, hanya saja ia tak mau kehilangan hari-hari itu. Kelak, suatu saat sebuah hubungan akan menimbulkan kejenuhan. Kelak, romantisme seorang pria akan pudar seiring berjalannya waktu.
"Selamaat pagi, Alunan."
"Halo, Alunan."
"Malam, Alunan."
"Aaaaaa ... ini mawar buat kamu."
"Alunan."
"Hari ini pulang sama siapa?"
"Alunan."
Semua ucapan itu muncul di kepalanya dan mengitari telinga Melodi seolah sedang menari-nari. Mengingat itu semua akan sirna dalam hidupnya membuat gadis itu tak rela. Melodi menyentuh tengkuknya. Masih terasa betul dingin yang menyentuh tengkuknya di malam itu. Mungkin sejak hari ini, Malioboro akan terasa menyakitkan.
"IPPOOO!" Melodi tak sudi kehilangan pria itu! Namun, sayang ... penyesalan memang selalu datang terlambat.
Melodi menemukan gumpalan kertas di dalam genggaman Ippo yang lemas. Tentu saja ia kenal kertas apa itu, mengingat kertas yang ia gunakan untuk menulis kata maaf itu agak berbeda daripada keras pada normalnya.
"Mel ...." Deva sendiri tanpa sadar ikut meneteskan air mata. Melihat Melodi seterpuruk itu membuatnya tak tega. Jangankan Deva, Chandra dan Harits juga diam-diam menyembunyikan air mata yang luruh dari pipi mereka.
Hari ini, mimpi dua sejoli itu untuk menikahi kembar Mahatama untuk menjadi saudara sungguhan harus kandas dilibas usia. Takdir tak berpihak pada mereka berdua.
Tak lama berselang, Harits dan Deva membawa Melodi pulang. Sementara Chandra seorang diri tinggal di sana untuk menunggu pihak berwajib datang. Chandra terdiam meratapi semua yang terjadi. Ia duduk di samping Ippo.
"Mungkin menurut lu, lu udah menang karena berhasil ngeruntuhin Ravenous seorang diri, tapi nyatanya lu kalah ...." Yudistira itu kembali meneteskan air matanya, ketika mengingat perjuangan mereka selama ini. "Kalo lu menang, seharusnya lu enggak ikut tidur kayak musuh lu ... kalo boleh milih ... gua milih Ravenous berjaya, tapi lu tetep ada di sini sama kita semua. Menghibur kita semua dengan guyonan lu yang garing."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top