10 : Berubah Lagi

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Deva memarkirkan sepeda di shelter sepeda fakultasnya. Baru juga melangkah, seorang gadis dengan lesung pipi yang manis menghampirinya.

"Selamat pagi, Deva."

"Oh, Devi."

Deviani Putri Yunita namanya, teman ospek Deva beberapa hari yang lalu. Gadis itu berasal dari jurusan sejarah.

"Ketus banget," ucap Devi.

Pria gondrong berkaus hitam lengan panjang itu hanya terseyum mendengar kalimat itu.

"Kamu enggak capek naik sepeda? Maguwo ke sini jauh loh. Enggak mau aku anter jemput aja?"

"Aku punya motor," balas Deva.

"tapi kok enggak dipake?"

"Dipake temen aku. Kampusnya lebih jauh, di Jalan Magelang."

"Bareng aku aja gimana?"

"Aku punya mobil."

"Terus kenapa malah naik sepeda?"

"Karena lebih sehat," jawab Deva simpel.

Devi masih berusaha menawarkan Deva tumpangan.

"Aku punya pacar." Percakapan di antara mereka selesai. Devi tak berkomentar. "Jadi enggak mungkin aku buat dia cemburu, kan? Capek dikit enggak apa-apa, olahraga, bakar lemak. Daripada aku harus ngebakar pikiran dia gara-gara sibuk cemburu."

"Beruntung ya pacar kamu. Punya pacar sebaik kamu, Dev."

Deva hanya tersenyum sambil menghentikan langkahnya. "Terbalik. Aku yang beruntung. Bisa jadi satu di antara miliyaran cowok yang dia pilih." Ia melanjutkan kembali langkahnya. "Aku duluan, ya, Vi." Pria itu pergi meninggalkan Devi di belakangnya.

Setia itu mahal, harga mati. Begitu retak, punya potensi pecah, begitu pecah, enggak akan kembali utuh. Ada serpihan-serpihan yang tertinggal bersama luka. Sebab setia itu mahal, jadi enggak bisa dilakukan sama yang murahan. Bukannya wanita lain murahan, hanya saja, selalu ada wanita terbaik di antara yang terbaik, yang lebih berharga dari wanita mana pun.

Deva Martawangsa, sejujurnya pemuda itu mengidolakan Retsa Pratama. Menurutnya Tama adalah pria yang cool.  Dirga sering bercerita perihal sahabat-sahabatnya yang unik, hal itu membuat Deva ingin menapaki jejak ayahnya untuk merantau ke Jogja dan menulis kisahnya sendiri. Ketika Tama dan Dirga tak sengaja bertemu di Bandung, sejujurnya Deva sudah terpana pada pandangan pertamanya ketika beradu tatap dengan Melodi. Ditambah mereka memiliki passion yang sama dimusik, membuat Deva semakin berhasrat untuk memiliki gadis itu.

Deva tergolong pria yang cukup menarik dari segi fisik. Wajahnya yang cool dengan sorot mata yang tegas membuatnya terlihat berkarisma. Tubuhnya juga terlihat atletis dan tergolong tinggi, ditambah rambut gondrongnya yang rapi dan harum, membuatnya terlihat asik dipandang. Deva selalu mengenakan kaus lengan panjang, dan terkadang digulung hingga siku jika ia merasa gerah. Ia juga sering menguncir rambutnya, jika sedang fokus mengerjakan sesuatu.

"Dev, mainkan!" Seorang pria yang sedang duduk bersama teman-temannya mengangkat gitarnya sebagai kode untuk Deva. Deva memang cukup populer karena beberapa hari lalu, ketika makrab, ia naik ke atas panggung dan memainkan beberapa lagu dengan perform solo gitarnya.

"Ada kelas dulu, bro. Nanti, ya." Deva berjalan menaiki tangga, meninggalkan gerombolan itu.

Seperti biasa, kegiatan belajar memang membosankan. Di tengah kelas, Deva merasa pusing. Suara dengung terdengar samar. Ia memejamkan matanya dan mendapati seorang anak kecil tewas tertabrak mobil. Sontak ia membuka matanya dengan hidung yang mengeluarkan darah. Deva beranjak dari duduknya. "Pak, saya izin ke toilet. Hidung saya berdarah." Setelah mendapatkan izin, Deva keluar menuju toilet.

Sesampainya di toilet, Deva menatap cermin di depan westafel. Seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian adat jawa berdiri di belakangnya. "Tumenggung, pinjamkan aku kekuatanmu." Sosok itu tiba-tiba menghilang. Sebuah topeng muncul di dalam genggamanya.

Angin kencang membuat dua orang pria yang hendak memasuki toilet itu agak bergeser. "Gila, angin apaan tuh?! Ngerasa enggak lu?"

"Hooh, kenceng banget kayak angin puting beliung dah." Mereka berdua memasuki toilet. Tak ada seorang pun di sana. Deva sudah pergi.

***

Tantra, sebuah kelompok kecil berisikan anak-anak indigo yang memiliki kemampuan berbeda. Deva tergabung di dalam kelompok itu. Sayangnya Tantra sudah dibubarkan.

Kekuatan ada untuk melindungi yang lemah.

Namun, semboyan itu masih kokoh tegak berdiri dalam sanubarinya.

Deva dengan topeng Tumenggungnya kini sedang berdiri di atap bangunan Vokasi UGM. Ia memantau jalan raya dan mencari sosok anak kecil yang ia lihat dalam visualisasinya. Sejujurnya, Deva tak menemukan anak itu, tetapi ia menemukan mobil yang menghantam si bocah na'as. Matanya mengarah lurus ke arah mobil itu melaju. Kini Deva sudah tak berada di tempatnya berdiri, ia menghilang bagai ditelan angin.

Seorang anak kecil lepas dari pengawasan orang tuanya. Ia mengejar bola yang menggelinding ke tengah jalan. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang kencang. Jalanan terlihat sepi, wajar jika mobil itu melaju kenacang. Namun, pengemudinya terkejut ketika seorang bocah berlari secara tiba-tiba ke tengah jalan. Ia menghabiskan rem, tetapi mobil masih melaju cukup kencang. Anak itu menatap mobil yang sebentar lagi akan menghantamnya. Teriakan mulai terdengar, membuat si orang tua menatap ke arah jalan. Wajahnya pucat mendapati anaknya yang hampir tertabrak mobil.

Decitan roda dan aspal menjadi instrumen pagi ini. Mobil itu kini telah berhenti total. Tak ada korban. Anak kecil itu berdiri di samping orang tuanya sambil memegang bola. Semua terjadi begitu cepat, tak ada yang tahu persis, apa yang sebenarnya terjadi. Orang tuanya memeluk anak itu. "Ayah, Ibu, tadi ada power rangers. Dia hebat dan cepat."

Di sisi lain, pintu kelas terbuka. Deva berjalan masuk kembali ke kelasnya. Ia terselamatkan oleh kaus hitamnya. Seandainya Deva mengenakan pakaian berwarna putih, tentu saja seluruh debu saat menolong bocah tadi menempel hingga mendominasi warnanya. Ia duduk dan mulai belajar kembali.

***

"Deva!"

"Hai." Deva tersenyum menatap Melodi. Ia mengambil sesuatu dari kantong celananya, kemudian melemparkannya ke arah Melodi.

"Ih ice cream mochi vanilla!" ucap Nada yang melihat Melodi mendapatkan salah satu makanan favoritnya.

"Mau, ya? Mau, ya? MAU, YA?! HAHAHAHA."  Melodi mengakak dengan wjah iblisnya. "Minta beliin sama Harits! Dia, kan jomblo, uangnya banyak."

"Harits! Mau yang kayak Melo," ucap Nada.

Harits duduk sambil menggambar di buku tulisnya. Bukan buku hitam yang ia gunakan untuk memanggil arwah. Ini buku tulis beneran.

"Harits ... halo."

Harits tersadar dari lamunannya. Sedari tadi ia hanya mencoret asal tanpa kesadaran. "Hah?"

"Mau ice cream mochi dong."

"Oh, kirain apa." Harits mengambil uang dari saku jaketnya, lalu melemparnya ke lantai. "Nih. Beli sendiri."

Semua mata menatap Harits seolah tak percaya. Sejujurnya Nada hanya bercanda, tetapi apa yang dilakukan Harits cukup melukai perasaannya. Dilempar uang? Nada memiliki uang yang lebih banyak. Ia benar-benar hanya bercanda.

Deva berjalan ke arah Harits. "Rits, lu kenapa deh?"

"Kenapa? Dia mau es krim, kan? Yaudah, beli aja sendiri, itu gua jajanin."

"Ya--enggak harus dengan cara ngelempar duit begitu, kan?"

Tanpa kata, Nada berjalan naik ke kamarnya. Melodi menatap kembarannya yang merasa direndahkan. "Nad, Nada ...." Ia mengejar Nada ke atas.

"Minta maaf sana sama Nada. Gua tau, maksud lu enggak begitu ...."

"Maksud gua begitu kok. Biar dia mikir." Harits beranjak dari duduknya. "Gua itu orang lain. Bukan siapa-siapanya. Kenapa dikit-dikit manggil nama gua sih? Harits, Harits, Harits ... mau ini, mau itu, mau ini, mau itu. Yaelah, capek ngeladeninnya." Ia berjalan keluar kafe.

"Namanya juga perempuan, Rits, maklumin ajaa." Harits tak peduli dengan kata-kata Deva, kini ia berjalan pergi entah ke mana.

Di sisi lain Nada sedang berbaring di kasurnya, Melodi masuk ke kamarnya dan duduk di pinggir kasur. "Kamu kayak baru kenal sehari dua hari aja sama Harits."

"Justru karena udah hampir dua minggu, aku tau kalo dia lagi enggak bercanda. Emang sih dia nyebelin, tapi tadi dia bener-bener--ngelempar uang gitu aja, nyuruh aku ambil dan beli es krim sendiri. Aku kan cuma bercanda. Kok dia gitu banget sih."

"Biasanya, kalo aku sama Deva kesel sama dia, kamu yang selalu redam emosi kita ...."

"Deva enggak. Kamu doang sih."

"Iya, iya aku doang. Kalo aku kesel sama dia, kamu belain dia terus biar kita berempat akur."

Nada tak berkomentar. Ia memejamkan matanya sambil membelakangi Melodi.

"Ngambeknya jangan lama-lama." Melodi keluar dari kamar Nada.

***

Di sisi lain, Harits sedang duduk menikmati langit sore. Sesekali ia meneguk minuman kaleng yang ia beli di Indongaret. Segerombolan tuyul lewat dan berdiri di depan Harits, menatap minuman kaleng yang sedang Harits pegang. Merasa bocah-bocah popok itu menatapnya, Harits menatap balik.

"Hiiih! Manusianya ngeliatin kita," ucap salah satu tuyul.

"Mana mungkin. Itu cuma tatapan kosong. Mana ada yang bisa lihat kita," balas temannya.

"Bacot, goblog ...." Harits menyiram tuyul-tuyul itu dengan minumannya. "Enggak tau mood lagi ambyar kali. Bocah-bocah bego." Orang-orang yang berada di sekitarnya menatap Harits dengan tatapan yang aneh. Ya, seolah-olah Harits memang orang aneh yang berbicara dan marah-marah sendiri. Merasa tak nyaman, kini pria itu beranjak pergi.

"Dia marah, ya?"

"Tadi dia nyiram kita enggak sih?"

"Dia bisa lihat kita deh."

Tuyul-tuyul itu mengikuti Harits. Merasa tak nyaman, Harits mulai mengumpulkan atma pada ujung tangannya. Ia berniat untuk membantai makhluk-makhluk itu. Seringainya terpampang jelas, aura tak menyenangkan keluar darinya, membuat tuyul-tuyul itu merinding. "Emang, yang paling menyenangkan itu membunuh kalian ...." Harits tiba-tiba berbalik arah dan mengibaskan tangannya untuk membunuh tuyul-tuyul itu.

Namun, sebuah tongkat menahan tangannya yang beberapa inci lagi mengenai leher salah satu tuyul. Pria dengan pakaian serba hitam dengan topi fedora hitam. Ia mengisyaratkan pada bocah-bocah itu untuk pergi. Tanpa kata, tuyul-tuyul itu berlari sambil terkentut-kentut.

"Ah, Rajanya muncul ...." Ini bukan kali pertamanya melihat pria itu. Sebelumnya Harits pernah melihat pria itu di atap salah satu rumah.

"Hanya karena punya sedikit kemampuan, manusia jadi bertingkah, ya?" ucap pria itu. "Kau benar-benar berbeda dengan orang itu."

Orang itu?

Harits tak peduli, ia kini memperkuat atma pada tangannya dan menebas leher pria itu dengan seluruh tenaganya. Namun, pria itu hanya diam sambil memberikan lehernya untuk diserang. Tak ada reaksi apa pun, ia menatap Harits sambil menggelengkan kepala. Hal itu membuat Harits terkejut bukan main.

"Untuk merasakan sebuah rasa, memang manusia harus belajar secara langsung." Pria itu menyentuh dada Harits dengan jari telunjuknya. "Terutama rasanya mati."

Gelap. Dalam sekejap, suasana di sekitar Harits berubah. Nuansa langit merah dengan kabut tipis yang menyelimuti seluruh pemandangannya.

"Ini adalah  Alam Suratma," tutur Pria itu yang kini berada di belakang Harits. Sontak Harits mundur untuk menjaga jarak. Pria itu masih menatap Harits. "Alam yang menjadi pembatas antara Alam Dunia dan Alam Ghaib. Tempat yang menjadi peristirahatan terakhir bagi seluruh roh, tempat di mana makhluk-makhluk yang mati berkumpul."

Ini bukan kali pertama Harits berada di Alam Suratma. Ia paham, tempat apa ini. "Kenapa aku berada di sini? Apa aku sudah mati?" tanya Harits. "Dan--sebenarnya, makhluk apa kau ini?" Semua terjadi begitu cepat. Harits tak mampu memahami apa yang sedang terjadi. Barusan ia menebas pria itu, tetapi hanya karena sebuah sentuhan, kini ia berada di Alam Suratma.

"Aku?" Pria itu menghentakkan tongkatnya ke tanah. Langit merah runtuh dan berganti menjadi hitam. Jutaan gagak bertengger di pohon-pohon yang sudah kering dan mati. Aroma busuk mulai menerobos masuk, hingga membuat Harits muntah. Pria itu berjalan mendekat ke arah Harits. "Aku adalah apa yang kalian sebut dengan--kematian."

.

.

.

TBC

.

.

.

Yang mau masuk GC Mantra DM ya. Apa lagi kalo kalian punya kisah horor atau kontributor cerita horor. Aku mau open keanggotaan #HorrorSide biar nanti kita buat acara rame-ramean di GC pas malem jum'at.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top