1 : Yogyakarta
Lagu pembuka Adhitia Sofyan - Sesuatu di Jogja.
https://youtu.be/-98MJFXLOHk
Hamparan sawah terbentang sejauh mata memandang. Pria dengan topi biru ala-ala Craig Tucker itu duduk sambil mencoba memejamkan matanya.
"Dalam beberapa menit kereta api Bogowonto akan tiba di Stasiun Yogyakarta, kepada semua penumpang yang akan mengakhiri perjalanan di Stasiun Yogyakarta. Harap mempersiapkan barang-barang bawaan Anda, agar tidak tertinggal di dalam kereta. Kami mengingatkan Anda untuk tetap di kursi Anda sampai kereta berhenti. Terima kasih telah menggunakan jasa layanan kereta api dan sampai jumpa di perjalanan berikutnya."
Entah sudah berapa lama pria itu tertidur. Kini ia bangun dan beranjak dari duduknya. Mengambil tas koper dan sebuah tas besar aneh tertutup kain hitam yang berada di bagasi atas. Ketika pintu kereta api terbuka, ia segera turun dan berjalan ke pintu keluar.
Sambil menatap hiruk pikuk Stasiun Tugu, ia menarik napas. Aroma khas kota Jogja selalu menyambut hangat para perantau yang datang.
Memesan ojek online, ia segera menuju tempat yang akan menjadi rumahnya di kota ini. Sepanjang jalan, pria itu berusaha menghafal rute dari stasiun menuju tempat tinggalnya.
Awalnya, ia berniat untuk tinggal di daerah Jl Kaliurang km 5, tetapi karena beberapa alasan. Pria itu akhirnya tinggal di daerah Maguwoharjo. Tempat orang tuanya dulu, tinggal di Jogja sekaligus membangun bisnis coffee shop.
Tak terasa pria itu dan kang ojeknya sudah sampai di lokasi tujuan. Pria itu hendak membuka helm tetapi susah karena tersangkut. "Elah, bang. Bantuin dah."
Abang ojol itu membantunya melepaskan helm. Ada momen di mana mata mereka saling berpandangan. Abang ojol mengalihkan pandangan dengan wajah memerah. Seketika itu, pria rantau tersebut merinding. Dibayarnya tagihan ojol, lalu membawa barang-barangnya.
Mantra Coffee. Itulah nama tempat tinggal pria itu. Berbeda dengan kebanyakan orang yang menyewa kamar kos atau rumah kontrakan. Ia justru menyewa ruko berlantai dua dengan niat lantai dasar menjadi coffee shop, dan lantai atas sebagai tempatnya tinggal.
Empat orang dewasa sedang duduk di depan kafe. Seorang dengan sarung tangan hitam, yang satunya mengenakan topi beanie berwarna cokelat, ada juga yang mengenakan jaket jeans berwarna biru, dan yang satunya mengenakan kaus hitam lengan panjang, tetapi kaus tersebut tak menutupi seluruh tato di lengannya.
"Harits. Bukannya bilang udah sampe di stasiun, biar nanti ayah jemput," ucap Andis. Pria bertopi beanie yang merupakan ayah dari pria itu, Harits Sagara.
"Hahaha Ngerepotin ah." Harits berjalan dan meletakkan tas besar yang tertutup kain hitam di atas salah satu meja. Ia membuka kain itu. Rupanya itu adalah sebuah kandang burung yang berisi burung hantu.
"Bah, bawa-bawa gituan kamu ke dalam kereta?" tanya Andis.
"Aku enggak mau pisah dari Luka."
Lajaluka. Itulah nama burung hantu peliharaan Harits. Harits memang senang memelihara hewan eksotis. Entah bagaimana cara anak itu menemukan dan mendapatkan hewan-hewan tersebut, masih menjadi misteri.
"Besok pagi ayah sama temen-temen pulang. Pasukan dari Bandung baru berangkat sabtu pagi ke sini. Sementara ini kamu sendirian dulu ya," ucap Andis. "Nanti ada om Abet. Dia bakal sering-sering ke sini buat bantu-bantu di kafe. Om Abet ini lead barista di Mantra Coffee, dia enggak setiap hari ada di toko. Banyak-banyak belajar dari dia, ya."
Harits menatap pria berkaus hitam. Sejujurnya, ia mengagumi style Abet yang diangapnya artistik. "Ayah ...."
"Enggak ada. Enggak boleh tatoan," celetuk Andis.
Wajah Harits seketika berubah. "Oke."
"Boy, capek enggak?" tanya Abet pada Harits.
"Enggaklah, masa gini doang capek."
"Bagus." Abet menyeringai. "Kita perang di dapur. Banyak yang harus dipelajari. Selagi juri-jurinya masih di sini," lanjut Abet sambil menatap para leluhur Mantra.
"Ya, benar. Mari kita tampol lidah-lidah mereka." Harits tampak bersemangat. Ia membawa kopernya ke kamar, lalu turun kembali dan mengenakan apron.
Sebenarnya, Harits sudah terlatih membuat kopi. Ia memiliki sertifikat barista dari les, dan juga sempat bekerja di coffee shop untuk pekerjaan sampingannya di Jakarta. Meskipun ia hanya bekerja pada hari sabtu dan minggu.
Abet bersandar di meja sambil menatap Harits. "Buat kopi dengan metode V60, terus buat juga Coffee latte, dan terakhir Cappucino.
"Roger that." Harits mulai membuat tiga menu yang diperintah oleh Abet. Ia sangat berhati-hati dalam tiap pergerakannya. Abet tersenyum melihat Harits yang rupanya piawai dalam membuat latte art.
Beberapa menit berlalu. Harits dan Abet berjalan menuju meja para sesepuh kerajaan Mantra. "Kopi hitam, coffee latte, dan cappucino," tutur Harits dengan elegan.
"Bedanya coffee latte sama cappucino apa, Har?" tanya Dirga.
"Komposisi coffee latte itu terbuat dari sepertiga espresso dan dua pertiga susu. Sementara cappucino terdiri atas sepertiga shot espresso, sepertiga susu panas, dan sepertiga foam. Dia lebih tebal foamnya daripada coffee latte karena cappucino itu wajib terlihat cantik dan elegan. So, untuk membuat latte art yang cantik harus tebal foamnya."
"Ngokhey! Langsung icip." Andis mengambil kopi hitam yang dibuat menggunakan metode V60. "Pake biji apa nih buatnya?"
"Biji lo," celetuk Dirga.
Harits menahan tawanya. "Pake arabica gayo," jawabnya tersenyum kembang kempis.
Baik Dirga dan Tama juga mulai mencicipi satu per satu kopi buatan Harits.
Dirga menepuk pundak Harits. "Masa depan kafe ada di tangan kamu. Kopi kamu enak, om yakin Mantra Coffee bakal lebih rame daripada dulu."
"Wah, makasih, om Dirga. Harits bakal berusaha."
"Nanti ajarin Melodi sama Nada bikin beginian ya," sambung Tama.
"Siap, om Tama."
***
Senja mulai berganti malam. Perut-perut keroncongan itu seakan meminta untuk segera diisi. Dirga masuk ke dalam mobil diikuti Andis, Tama, Abet, dan Harits.
"Preksu UGM, ya!" ucap Dirga.
"Gas!" sambut Andis.
"Preksu?" Harits memicingkan matanya.
"Geprek asu," jawab Abet. "Kowe doyan asu ra?"
"Bet! Anak gua jangan diajarin yang kagak-kaga dah." Andis mulai memprotes kelakuan Abet. "Preksu, geprek susu."
"Hah? Susu siapa yang digeprek?"
Seisi mobil tertawa mendengar ucapan itu dari Harits. "Bukan gua yang ngajarin kalo itu. Nyontoh jokes bapaknya itu mah kalo yang jorok-jorok," balas Abet.
"Ayam geprek dan susu. Jadi dia tuh jual ayam geprek sama aneka susu. Susu anggur, susu kopi, susu mocca, banyak Har," jelas Andis.
"Oalah. Ya mana aku tau."
Ayam geprek adalah salah satu menu favorit warga Jogja terutama mahasiswa. Berbagai warung makan dengan menu ayam geprek tersebar di mana-mana. Salah satu yang ramai adalah Preksu yang merupakan singkatan dari Ayam Geprek dan Susu. Terletak di tengah-tengah kawasan kampus Jogja, Preksu mampu menarik perhatian dengan menu makanan olahan ayam dan susu aneka rasa. Tempat makan ini selalu ramai apalagi pada jam makan siang. Selain letak yang strategis, nampaknya pemilihan nama yang unik menjadi salah satu alasan tempat makan ini begitu digemari.
Sesampainya di tempat itu, Dirga memesan lima porsi untuk lima orang. "Cabe sepuluh semua ya, bang."
"Buset!" Harits sejujurnya kaget. "Ayam geprek apa cabe diayamin itu, om?"
"Udah peraturan anak Mantra. Kalo ke sini, kuat-kuatan makan level sepuluh," jawab Dirga. "Kamu kan penerusnya. Harus melestarikan budaya ini dong."
"Takut?" Abet memprovokasi Harits. Ia mulai paham gelagat bocah itu.
Harits merubah raut wajahnya. "Mau taruhan?"
"Andis! Anak lu boleh juga nih," ucap Abet sambil terkekeh. "Yang kalah beresin kafe sendirian. Kebetulan besok dateng meja dan kursi tambahan. Ditambah kulkas sama bahan-bahan teh."
"Teh?" Harits memicingkan matanya.
"Nada itu jago bikin teh. Udah diatur sama om Tama. Mantra juga ada menu tehnya nanti," jawab Andis. "Mantra Tea House."
Tama memfasilitasi satu ruko kosong yang berada di sebelah Mantra untuk kedua putrinya. Bapack-bapack tampan itu membeli ruko sebelah untuk menambah kapasitas pengunjung, dan juga menjadikan lantai atasnya sebagai kamar untuk perempuan.
Orang ini duitnya sebanyak apa sih? batin Harits menatap Tama.
"Lima geprek iblisnya." Seorang pelayan meletakkan lima porsi ayam kematian di atas meja mereka. Hartis menelan ludah melihat kengerian ayam tersebut.
"Apa-apaan ini?!"
Abet menyeringai. "Taruhan dimulai." Ia mulai memakan nasi dan ayam geprek miliknya. Semua mulai mengambil suapan pertama, kecuali Harits.
"Dimakan, boy! Keburu dingin kekeke." Kini Abet teringat pada seorang Raja Iblis dan mulai meniru gelak tawanya.
"Anjir keselek gua jadi inget Uchul, kampret." Andis hendak mengambil minum, tetapi ia baru menyadari. Salah satu challange ini adalah 'memesan minum hanya jika berhasil menyelesaikan makanan'.
"Harits, pesenin ayah minum."
Harits hendak beranjak, tetapi tiga pasang bola mata menatap tajam ke arahnya. "Berani-beraninya pesen minum sebelum makanan habis—mati."
Harits menatap Andis. "So-sorry, father." Ia menunduk sambil mulai menyuap makanannya.
Andis memukul-mukul dadanya. "Durhaka kamu! Tega biarin ayah mati keselek, hah?"
Harits hanya mampu menangis di atas piringnya. "So-sorry." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Ia mengabaikan Andis dan mulai makan sembari air matanya mengalir.
Bukan karena sedih terhadap nasib Andis. Hanya saja, ayam geprek cabe sepuluh ini terlalu brutal mencabik-cabik lidahnya.
***
Harits turun seorang diri dari mobil. Andis menatapnya dari dalam mobil. "Yakin, enggak mau di hotel aja?"
"Enggak. Aku mau malam pertama di rumah sendiri," jawab Harits. Padahal ia hanya lelah dikerjai terus-terusan. Dasar orang-orang dewasa menyebalkan.
"Besok pagi ayah bawain sarapan. Jangan lupa kunci pintu."
"Oke." Harits berjalan masuk ke dalam Mantra. Ia mengunci pintu sambil menatap Lajaluka yang sengaja ia letakkan di luar kafe.
Begitu Harits naik dan masuk ke kamarnya, ia segera mematikan lampu seraya merebahkan dirinya di kasur. Begitu matanya terpejam, burung hantunya mengeluarkan suara-suara berisik yang membuatnya kembali membuka mata.
"Berisik ...." Harits meraih ponsel yang sempat ia letakkan di atas meja samping tempat tidurnya, lalu menatap tanggal dan jam. "Pantes berisik. Malem jum'at."
Ada yang bilang, jika burung hantu berisik di malam hari, itu artinya ia sedang melihat makhluk halus.
"Yaelah, makhluk lembut, makhluk lembut. Ada aja dah." Harits beranjak dari posisinya, lalu menyalakan lampu kembali. Ia segera turun untuk melihat kondisi burung hantunya.
Ketika mengintip keluar, Harits melihat seorang anak kecil berdiri di depan Lajaluka. Mungkin saja, burung hantu menarik perhatian anak kecil, tetapi tidak di jam ini. Harits segera membuka pintu, lalu keluar.
Atma merupakan energi kehidupan. Ia berbentuk tak kasat mata dan bergerak di sekeliling manusia. Bahkan manusia pun memiliki atma di dalam tubuhnya. Atma adalah sebuah energi suci yang mampu membersihkan sesuatu yang jahat dan kelam. Seperti roh jahat dan juga ilmu hitam. Ada sebagian orang yang mampu menggunakan atma. Harits salah satunya, pekerjaan lainnya merupakan seorang pemburu hantu.
Jujur, tak seperti Andis. Harits adalah orang yang benci kepada arwah gentayangan. Ia sering melenyapkan jiwa-jiwa tersebut, ketimbang menolongnya kembali ke alam yang seharusnya.
Harits memadatkan atma di tangan kanannya. Ia membuat sebuah pisau energi untuk menebas arwah anak kecil tersebut. Namun, ketika ia berjalan semakin mendekat, arwah itu menoleh ke arahnya. Mata mereka saling bertatapan. Ia tersenyum pada Harits. "Burung hantunya keren."
'Keren'
Satu hal yang merubah segalanya. Harits mengurungkan niatnya dan kini malah berjongkok di depan bocah itu. "Kenapa belom pulang? Udah malem?" tanya Harits.
"Anterin," jawab anak kecil itu.
"Jauh enggak?"
Anak itu hanya menggeleng sebagai jawabannya. "Mau digendong."
Harits menggendong anak itu dengan wajah datar. Ia dan anak itu kini berjalan sejauh 500 meter. Tiba-tiba saja beban dipunggung Harits menghilang. Anak itu melebur menjadi kepulan asap beraroma melati. Harits berdiri di depan sebuah rumah. Waktu seakan melambat untuknya. Ia menatap ke arah genting.
Seorang pria berpakaian serba hitam berdiri di atas genting. Ia mengenakan setelan jas hitam dengan topi fedora berwarna hitam, serta membawa sebuah tongkat. Samar-samar, orang itu seperti tersenyum pada Harits. Ketika Hartis berkedip, keberadaannya orang itu lenyap begitu saja.
Makhluk apa barusan? Auranya bukan roh biasa.
Tak terlalu mengambil pusing, Harits berjalan kembali menuju Mantra Coffee. Padahal biasanya ia selalu melenyapkan arwah yang mengganggunya, tetapi perkara dibilang 'keren', ia mengantarkan arwah itu secara baik-baik menuju alamnya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top