Serangan Balasan

Sosok itu terluka karena serangan Ajay. "Nyi Gendhis akan membalas kematianku." Ia masih menyeringai menatap Ajay. Perlahan sosok itu luntur menjadi cairan berwarna merah.

"Ya. Kami pun baru memulai serangan balasannya. Kesalahanmu hanya satu ...." Ajay membuka matanya, ia telah kembali pada raganya. "Membiarkan seorang Martawangsa masuk ke dalam pertempuran ini."

***

Andis bersembunyi di balik sebuah pohon yang berada di alun-alun desa. Ia menatap Tama yang sedang berbaring di atas keranda mayat. Sarung tangannya menghilang, Tama berbalut pakaian berbahan kain kafan.

'Wah, itu yang Ajay lihat, bukannya? Baju berbahan kain kafan putih?' batin Andis.

Seluruh bahan-bahan yang Ajay lihat tadi siang, berkumpul di sana. Mulai dari pakaian yang kini dikenakan Tama, beberapa sesajen dari makanan yang dimasak salah satu keluarga, bahkan seorang anak kecil yang akan menjadi media untuk Nyi Gendhis. Anak itu mengenakan jimat-jimat yang memancing makhluk halus.

'Duh, gimana nih? Itu Tama mau diapain dah?'

Ki Naryo meletakkan sebilah pisau di hadapan anak kecil itu. "Nanti ketika Nyi Gendhis datang. Ia akan meminjam ragamu untuk membunuh orang ini sebagai persembahan," ucap Ki Naryo. "Kamu tenang saja, setelah malam ini beres, kamu enggak akan kenapa-napa."

'E waduh! Mau ditumbalin si Tama.' Andis mulai kalang kabut. 'Ayo pikirin cara nolongin Tama, Dis! Gunain otak lu yang berkarat ini. Ayolah! Seenggaknya sekali aja berguna dikit kek otak.'

Andis tak mungkin menerobos masuk, karena jumlah warga lebih banyak darinya, dan ada beberapa pria dewasa di sana, tentu saja yang ada malah Andis ikut menjadi tumbal.

Suasana tiba-tiba mencekam. Angin seakan berhenti berhembus. Terdengar suara gamelan dari arah gerbang. Nyi Gendhis dan pasukannya telah memasuki area hutan, gamelan itu merupakan sambutan. Andis merinding dengan semua kejadian ini. Seumur-umur, baru pertama kali ia rasakan aura semengerikan ini.

"Oh my god ... Mikail Sagara dari Peti Hitam masih jauh lebih menyenangkan daripada yang satu ini," gumamnya lirih.

Purnama hampir berada di titik tertingginya. Warga desa hanya menunggu kedatangan Nyi Gendhis untuk memulai ritual ini. Tama yang tiba-tiba sadar, mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi dirinya terikat sehingga tak leluasa untuk bergerak.

Tangannya tak sengaja menyentuh besi keranda. Sekelibat memori keranda tersebut terpampang di benaknya.

"AAAAAAAAAAAAAA!" Tama mendadak histeris. Bukan karena ia takut sebagai calon tumbal. Melainkan ia melihat banyak sekali nyawa yang harus terengut di atas keranda itu. Salah satu korbannya, adalah Shinta. Sakit, sedih, marah, takut, semua emosi bercampur menjadi satu.

Warga menjadi panik, pasalnya belum pernah ada orang yang sampai segitunya ketakutan. Tama tidak memohon pengampunan seperti orang-orang sebelumnya. Ia hanya tidak tahan meliihat kisah tragis itu terus menerus tampil di dalam pikirannya. Hingga pada satu titik, ia terdiam dengan napas terengah-engah. Keringatnya bercucuran, ada darah yang keluar dari hidungnya. Tama lemas kehabisan tenaga.

Sementara Andis mengepal keras tangannya. Ia tak tahan melihat Tama yang tersiksa seperti itu.

Warga mulai heran, mengapa Nyi Gendhis belum juga muncul? Padahal gamelan ghaib itu sudah berbunyi. Biasanya Nyi Gendhis akan muncul tak lama setelah gamelan dibunyikan.

Lampu desa tiba-tiba saja mati, kemudian menyala kembali. Hal itu terjadi hingga satu per satu lampu di desa pecah. Penerangan di desa mati total, termasuk lilin-lilin yang mereka gunakan sebagai ritual. Angin kembali berhembus. Siluet seorang yang sedang menari Tari Topeng Malangan terlihat dari arah gerbang.

Sekilas, tarian tersebut mirip dengan Wayang Wong atau wayang orang. Si penari menggunakan topeng. Ia sangat menjiwai setiap gerak tariannya.

Guratan berbentuk kurva tercetak di pinggir bibir Andis.

"Dis, lu denger gua?"

Suara itu terdengar di dalam pikiran Andis. Itu adalah suara Ajay yang menggunakan telepati satu arah.

"Gua mati-matian bebasin Dirga yang ditahan dalam tabir ghaib. Sekarang pun, gua sendirian nahan Ratu hutan ini sendirian biar enggak masuk ke desa. Lu bisa bantu gua? Biar Dirga yang urus Tama."

"Oke, oke." Andis berjalan menuju gerbang depan. Ia keluar dari persembunyiannya dan berjalan melewati Dirga. "Jangan biarin Tama tergores barang sehelai rambut pun."

Salah seorang warga yang melihat Andis langsung berteriak. "Yang satunya mau kabur! Kejar!"

Dirga tersenyum dari balik topeng. "Kalo gitu, tahan Ratunya selama mungkin." Dalam waktu sepersekian detik, Dirga menghilang dari tempatnya berpijak. Membuat para warga desa tercengang sambil mencari keberadaannya.

"Lihat ke arah mana?" bisik Dirga lirih. Membuat warga yang ia tuju bergidik ngeri.

Teriakan itu terdengar, membuat warga menjadi was-was. Salah satu dari mereka terkapar di tanah. Dirga menghilang kembali dari pandangan mereka.

"Apa yang terjadi?!" teriak Pandu.

"Bedebah penyembah Iblis. Kalian berurusan dengan orang yang salah," ucap Dirga yang berdiri di salah satu atap rumah. "Tumbal menumbal tidak akan membawa perubahan apa pun. Selamanya, kalian hanya tenggelam dalam tradisi yang bodoh." Dirga mengepal tinjunya sekeras yang ia bisa. "Terimalah kemarahan mereka yang kalian bunuh mengatas namakan 'demi kebaikan desa'." Ia melesat ke arah Pandu, dan langsung menghajar ulu hatinya. Pandu terhentak ke belakang sambil memuntahkan makan siangnya. Sosok Dirga menghilang kembali setelah itu. Para warga Desa Sanga seperti sedang berhadapan dengan hantu.

***

Sementara itu, roh Ajay berdiri di belakang garis yang ia buat dari garam kasar. Setelah menyelamatkan Dirga, Ajay kembali pada raganya. Secara diam-diam ia membangun benteng pertahanan menggunakan garam kasar, yang diyakini mampu menahan makhluk halus. Kemudian ia kembali bersembunyi, dan melakukan astral projection kembali.

"Belajar dari mana tentang beginian?" tanya Andis yang baru saja tiba. Ia menatap garis yang Ajay buat menggunakan garam kasar.

"Jurnal Sagara," jawab Ajay.

"Apa tuh?" Andis memicingkan matanya ketika merasa marganya disebut-sebut.

"Adalah. Pokoknya cerita di wattpad, tentang pemburu hantu."

"Berguna juga bacaan lu."Andis terkekeh.

"Enggak ada waktu bercanda, Dis," balas Ajay. "Enggak selamanya cara receh begini bisa nahan makhluk yang kuat."

"Jadi ...." Andis menatap roh Ajay. "Apa rencananya?"

Ajay menatap Andis dengan sorot mata yang tajam. "Itu sebabnya gua manggil lu ke sini."

Andis hanya tersenyum. "Setelah berlagak keren di depan Dirga ... ujung-ujungnya mati duluan ini mah."

Garam-garam penghalang mulai berterbangan karena angin malam, melemahkan segel yang melindungi mereka semua dari bahaya yang bukan main-main. Gemerincing suara lonceng terdengar dari arah jembatan yang rusak.

"Dia datang," tutur Ajay sambil membuat pedang astral menggunakan atma.

Andis mengeluarkan ponselnya, ia membuka internet dan menulis di google. '10 cara ampuh mengusir setan terbaru'

"Yah elah koneksi gini amat dah ah!" Andis mengocok-ngocok ponselnya, berharap sinya datang.

"Andis! Konsentrasi, dia datang." Samar-samar terlihat kereta kencana yang ditarik tiga kuda tanpa kepala, dengan puluhan rombongan setan yang mengikuti kencana itu.

"Mampus lu! Sinya gua penuh mendadak." Layar ponsel Andis menampilkan cara-cara ampuh untuk mengusir setan. Ia menyeringai dengan indahnya. "Satu! Pelihara angsa dan tanam telurnya." Ia memicingkan mata menatap artikel itu. "Jay, lu punya telor angsa?"

"Dis! Serius! Mereka datang!" Ajay memfokuskan dirinya untuk membuat pedang sebanyak mungkin menggunakan partikel atma di sekitarnya.

"Bawang putih, Tulang babi ...." Sementara Andis masih berharap. "Sapu lidi! Nah gitu dong. Jay, lu ada sapu lidi?"

Ajay tak menjawab pertanyaan bodoh Andis. Ia menciptakan seratus pedang menggunakan atma. Lalu menggerakkan tangannya ke depan. Seketika itu pula, ratusan pedang miliknya melesat menghujani pasukan Nyi Gendhis. Menyisakan satu kusir dan kereta kencana utama.

"Energi gua abis, Dis. Sisanya gua serahin sama lu." Ajay menghilang dari pandangan Andis. Ia kembali pada raganya dan tertidur karena lelah. Astral projection memang menguras banyak tenaga. Apa lagi sampai harus mengerahkan seratus pedang astral.

"Yak bagus! Minionnya diberesin, raja terakhirnya dikasih gua," gerutu Andis.

'Mau bertukar tempat?'

Suara itu terdengar dalam pikiran Andis. Kali ini bukan Ajay. Melainkan sesuatu yang jahat, yang bersemayam dalam tubuh Andis.

"Tidak akan pernah terjadi," jawab Andis tegas.

'Terserah. Kau hanya perlu mengingat ini. Sekarang, cuma aku harapan kalian berempat. Bocah dengan topeng Tumenggung itu memang kuat, tetapi belum sepadan dengan makhluk yang berada di hadapanmu.'

Kereta kencana sudah melewati jembatan itu dengan melayang. Kini jaraknya hanya berkisar beberapa meter saja dari posisi Andis.

'Jika dia masuk. Selesai kalian semua.'

'Semua orang berusaha. Kecuali dirimu. Kau hanya orang tidak berguna yang membawa petaka pada ketiga temanmu! Setidaknya bertanggung jawablah sedikit. Jual sedikit jiwamu padaku, demi mereka yang hampir kau buat celaka itu.'

Andis tahu itu. Ia yang paling paham tentang situasi saat ini. Bahkan dirinya tak mampu untuk menyelamatkan Tama yang berada di atas keranda mayat. Ia juga tak berani keluar untuk mencari Dirga, lalu membiarkan Tama dan Ajay yang mencari. Di saat Ajay sibuk menghabisi pasukan Nyi Ghendis, Andis hanya bertingkah bodoh dengan mencari sesuatu di internet. Ia sama sekali tak ada gunanya di sini. Hanya seorang pria yang mengajak teman-temannya berwisata, dan membiarkan mereka menjadi tumbal Iblis.

'JUAL JIWAMU PADAKU! ATAU KALIAN BEREMPAT JADI PENGIKUT SAMPAH DI DALAM KERETA KENCANA ITU! PILIH!'

"Baiklah ...." Andis merendahkan posisinya dengan wajah getir. Pandangannya sayu menatap tanah tempatnya berpijak. Sosok dalam dirinya menyeringai. 'Seru dan pujalah namaku.'

Mata kanan Andis berubah menjadi hitam pekat, dengan pupilnya yang berwarna putih. Andis menarik cambuk api dari punggungnya. "Segoro Geni."

Satu, dua, tiga ... tujuh bola api muncul mengitari tubuhnya. Andis mengarahkan tangan kirinya ke arah kencana dihadapannya. Bola-bola api itu membentuk sebuah perwujudan kuda api, lalu melesat hingga bertabrakan dengan kencana Nyi Gendhis.

"Apakah berhasil?" tanya kesadaran Andis yang berada di alam bawah sadarnya.

"Berani-beraninya kau menghancurkan kencanaku, Segoro Geni, Sang Raja Banaspati," ucap seorang wanita yang berjalan melewati kobaran api.

Andis terkekeh sambil menyeringai. "Yo, apa kabar, Gendhis?"

***

Di sisi lain, Dirga sedang berdiri berhadapan dengan Ki Naryo. Siapa yang menduga, orang tua itu tak bisa disentuh oleh Dirga. Kini Dirga membuka topengnya. "Yang terlihat rentan, justru yang paling gagah berdiri di akhir," tuturnya pada Ki Naryo.

"Baru pertama kali ini, Nyi Gendhis terlambat," balas Ki Naryo. "Kalian memang bukan orang sembarangan."

"Ya emang. Warga sini yang orang sembarangan." Dirga berjalan ke arah Tama. Namun, sosok anak kecil yang sudah disiapkan sebagai wadah, kini mengambil pisau yang tergeletak di hadapannya. Sesuatu merasuki anak itu. Membuat Ki Naryo menyeringai. Perlahan ia berjalan ke arah Dirga tanpa disadari.

Dirga masih berusaha membuka ikatan yang mengekang Tama. Simpul itu begitu sulit untuk dilepaskan. Tiba-tiba ia merinding, Dirga merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Anak itu mengayunkan pisau itu melepas ikatan Tama. Membuat Ki Naryo menganga. Anak itu menatap Dirga dengan sorot mata yang tajam, lalu berjalan ke arah Ki Naryo.

"Biarkan mereka pergi," tutur anak itu dengan belasan suara yang keluar secara bersamaan. Rupanya itu adalah suara para mahasiswa KKN yang menjadi korban kengerian desa ini.

Ki Naryo berusaha untuk melawan. Hal itu mengakibatkan kemurkaan seluruh arwah di dalam tubuh anak kecil itu, dan menyerang Ki Naryo menggunakan pisau yang ia genggam.

Melihat itu, Dirga segera menggendong Tama dan berjalan ke arah home stay. Di depan home stay, berdiri Ajay yan sudah siap dengan seluruh barang-barang mereka.

"Gimana cara kita keluar?" tanya Ajay.

"Hutan ini enggak aman, mengingat wilayah tersebut adalah kekuasan Nyi Gendhis. Satu-satunya akses yang paling aman cuma jembatan di depan. Itu pun masih ada sekitar satu kilo meter untuk keluar dari area hutan."

"Jembatan itu hancur! Di tambah, Nyi Gendhis ada di depan sana."

"Andis gimana?" tanya Dirga.

"Entah, yang jelas dia bisa nahan pergerakan Nyi Gendhis."

Warga desa bangkit kembali. Pasukan Nyi Gendhis merasuki mereka. Kini seluruh warga menatap ke arah Dirga, Ajay, dan Tama.

Tama tiba-tiba saja bangun, ia mencoba untuk turun dari punggung Dirga.

"Tam, lu enggak apa-apa?" tanya Dirga.

"Cuma sedikit kelelahan."

"Lari. Tinggalin semua barang-barang kita."

Ajay dan Tama menatap ke arah Dirga.

"Seenggaknya, kita harus ngelompatin jembatan itu. Bobot kita harus seringan mungkin."

"Lompat?! Lu gila? Pikiran lu ilang?" Ajay tampak tak setuju dengan Dirga. "Jatoh mati, Dir!"

"Enggak jatoh pun mati," balas Dirga. "Sekarang kalo ada rencana yang lebih baik. Silakan utarain depan gua."

Ajay dan Tama hanya terdiam. "Lari sekuat mungkin. Suruh Andis ikut. Terus lompat sekuat yang kalian bisa. Sisanya serahin sama gua." Dirga berjalan ke arah kerumunan warga yang kesurupan masal. Mereka sedang berjalan ke arah dirga dan kawan-kawan. "Sementara, gua akan menghambat yang di sini." Ia mengenakan Tumenggungnya kembali.

Ajay meneguk ludah, begitu pun dengan Tama, tapi mereka hanya bisa percaya pada Dirga. Kini mereka mengambil ancang-ancang untuk berlari. Ajay memberikan telepati pada Andis. "Kita akan lompat ke sebrang. Lu siap-siap ambil ancang-ancang. Kita akan lompat sama-sama. Satu untuk semua, semua untuk satu."

Andis yang sedang duduk di dalam alam bawah sadarnya, kini beranjak. Ia mengambil kesadarannya secara paksa dari Segoro Geni.

'Bocah gila!' pekik Segoro Geni yang sedang bertarung dengan Nyi Gendhis.

Andis mencambuk tanah, sehingga debu mengepul di udara.

"Cara klasik!" ucap Nyi Gendhis yang kehilangan pandangan atas Andis.

Andis memasang ancang-ancang untuk berlari. Begitu Ajay dan Tama melewatinya, Andis ikut berlari sejajar dengan mereka berdua. Mereka berlari hingga keluar dari kepulan asap debu, mengelabuhi Nyi Gendhis sepersekian detik.

"Kami lompat," ucap Ajay memberikan telepati pada Dirga.

Dirga merendahkan posisinya, mengambil ancang-ancang berlari. Ia memadatkan atma di kedua otot kakinya, lalu memanipulasi aliran listrik di dalam tubuhnya. 

Listrik di dalam tubuh berperan untuk mengatur berbagai fungsi organ mulai dari otak hingga jantung. Listrik di dalam tubuh berasal dari tiga elemen utama, yaitu proton, elektron, dan neutron. Proton mengandung muatan positif, elektron mengandung muatan negatif, dan neutron muatannya netral.

Kini aliran listrik berkumpul di engkel kakinya. Dirga mulai bergerak megambil langkah pertama dengan tanah yang sedikit retak menahan tekanannya. "Braja." Sosoknya menghilang diikuti kilatan listrik berwarna putih.

Sementara itu, Ajay, Tama, dan Andis melompat sekuat yang mereka bisa. Namun, langkah mereka tak mampu menuntunnya ke sisi sebrang. Kini dalam tayangan lambat, mereka melayang di udara, sambil perlahan turun karena kehabisan daya kecepatan.

"Mampuslah kita," gumam Andis.

"Never." Dirga muncul di belakang mereka semua. "Berpegangan!" Refleks seluruh anggota Mantra berpegangan erat. Dirga menarik napas dalam-dalam, ia berusaha sekuat tenaga menarik mereka semua ke sisi sebrang, lalu melemparnya sekuat tenaga.

Mereka semua terpental ke sisi sebrang dan berhamburan di tanah. Andis menyeringai karena sensai adrenalin yang sangat gila. Namun, mereka bertiga tak melihat kehadiran Dirga. Sontak membuat Andis berlari ke arah jurang.

Benar saja, Dirga sedang berpegangan pada kayu jembatan. Ketika pegangannya terlepas, Andis menangkap tangan itu, dan berusaha sekuat tenaga menariknya. Ajay dan Tama membantu Andis hingga Dirga berhasil menginjakkan kaki di tanah. Mereka semua tertawa, kecuali Dirga. "Ini belum selesai! Kita masih ada di wilayah kekuasaan Nyi Gendhis!"

Mereka semua bangkit dan berlari menuju tepat parkir mobil. Suara gamelan yang sempat menghilang tiba-tiba terdengar kembali. Andis menoleh, matanya terbelalak mendapati warga desa yang entah bagaimana caranya mengejar hingga menyebrang sisi.

"Gila! Ini gila! Kita dikejar zombie!"

"Jangan menoleh! Fokus kedepan!" teriak Dirga.

Tak ada satu pun yang tidak kelelahan. Baik Dirga, Andis, Tama, dan Ajay, mereka sudah sampai pada batasnya.

"Bangke!" Dirga tiba-tiba menggerutu.

"Kenapa?" tanya Ajay.

"Konci mobil! Ah mampus. Percuma kita kabur kalo gini." Semua menunduk lemas.

Namun, Andis malah tersenyum. "Serahin semua sama si Raja kabur!" Ia mengeluarkan kunci mobil dan melemparnya pada Dirga.

Dirga menangkap kunci mobil itu seraya dengan memasang Tumenggung. Ia menghilang dari pandangan teman-temannya.

Sementara Andis, Ajay, dan Tama berpacu dengan waktu. Dirga kini berada di dalam mobil. Ia menyalakan mesin, dan menginjak gas mundur dengan kecepatan yang cukup gila. Sengaja ia buka pintu tak terlalu lebar, agar teman-temannya bisa masuk tanpa harus membuang waktu.

Dari kaca depan, terlihat Tama yang paling mencolok berada di depan, diikuti Andis, dan Ajay. Dirga mengeluarkan kepalanya melalui jendela yang terbuka. "Langsung masuk!" Dirga menarik tuas rem sehingga mobil berhenti total.

Ketiga temannya masuk ke dalam mobil. Dirga melepaskan tuas rem dan langsung menginjak gas hingga tak tersisa. Kini Dirga melaju menerabas jalur hutan. Mereka masih belum aman. Kencana Nyi Gendhis berada tepat di depan mereka, melaju sejalur dengan mobil Dirga.

"Dirga!" teriak Andis yang panik.

"Kau ingin adu banteng? Maka itu yang kau dapatkan." Dirga menaikkan gigi mobil, dan melesat dengan kecepatan fullnya.

"Berdzikir!" teriak Dirga yang tak putus mengucapkan kalimat-kalimat dzikir.

Andis, Tama, dan Ajay menutup mata ketika kencana Nyi Gendhis beradu dengan mobil mereka. Guncangan yang cukup dahysat mulai mereka rasakan. Dirga tak menutup matanya, ia tetap fokus mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Namun, ia cukup terkejut dengan kehadiran Nyi Gendhis yang duduk di kursi belakang mobil. "Sial!" gumamnya sambil memukul klakson.

Ketika Nyi Gendhis hendak meraih salah satu dari ketiga anggota yang berada di kursi tengah, kehadirannya menghilang. Roh para mahasiswa KKN menarik Nyi Gendhis keluar dari mobil.

Dirga paham, para arwah-arwah itu berharap ia dan teman-temannya akan kembali membawa pertolongan untuk mencari jasad-jasad mereka dan menguburkannya secara layak. Dirga pun berjanji untuk melakukan hal itu. Dan berniat untuk membawa pihak berwajib untuk melakukan investigasi. Setidaknya, Dirga tahu unit khusus milik kepolian yang mau dan akan selalu membantunya perihal kasus-kasus mistis.

Kini mereka berhasil keluar dari desa penyembah iblis dan hutan angker itu. Mobil mereka melaju di jalan utama. Dirga mengambil sebatang permen lolipop di kantong jaket jeans birunya, lalu menikmati manisnya kemenangan. Andis, Tama, dan Ajay tertidur di kursi tengah. Dirga memasang lagu Classic Rock dari The Beatles yang berjudul Let It Be untuk menemani malamnya yang panjang, bermandikan cahaya bulan yang syahdu.

*** END ***

https://youtu.be/QDYfEBY9NM4

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top