Malam Pertama

"Waktu di curug, gua ketemu sama cewek, namanya Shinta. Dia bilang dia lagi KKN di sini," ucap Tama.

"KKN?" Dirga dan Andis saling bertatapan. "Ada kaitannya ini pasti sama beberapa kejadian," ucap Andis. "Kita perlu informasi." Andis berjalan ke kamar Ajay diikuti Dirga dan Tama yang tertatih.

Mediumship, orang-orang ini mampu membuat media untuk berinteraksi dengan mereka yang tak terlihat. Andis tampak melakukan sebuah gerakan aneh, ia menarik sesuatu dan menyentuh tubuh Ajay yang sedang tertidur. Sontak membuat Ajay terbangun secara mendadak dengan mata yang membulat seutuhnya.

"Katakan, dengan siapa aku berbicara?" tanya Andis pada arwah yang baru saja masuk ke dalam tubuh Ajay.

Ajay tiba-tiba saja tertawa, membuat Tama merinding.

"Parah lu, dia mulu yang jadi korban beginian," ucap Dirga.

"Lu mau ga? Jadi media," tanya Andis balik.

"Enggak sih." Dirga tersenyum sambil menatap Andis dan Tama bergantian. "Yaudah itu, ajak ngobrol dah setannya," lanjut Dirga mempersilakan Andis.

Andis kembali menoleh ke arah Ajay dengan tatapan serius. "Halo! Dengan siapa di mana?" tanya Andis.

"Passwordnya apa?" celetuk Dirga.

Mereka berdua malah saling bertatapan, dan meledek arwah yang Andis panggil masuk ke tubuh Ajay. "Parah lu!" ucap Andis sambil terbahak-bahak.

"Lu duluan, botak!" balas Dirga tak kalah terbahak-bahak.

Tama menghampiri Ajay. Membuat Andis dan Dirga menatap langkahnya. Pria tampan itu duduk di hadapan Ajay yang sedang melotot.

"Jangan marah. Mereka bercanda."

Ucapan Tama justru membuat Dirga dan Andis semakin tertawa. Mendengar rekan-rekannya justru tertawa, Tama memelototi mereka. "Jangan lupa tujuan kita manggil arwah lain masuk ke tubuh Ajay!"

"Iye, iye, iye. Ampun." Andis duduk di hadapan Ajay. Ia menatap Ajay dengan sorot mata yang tajam. Tak ada kata yang terucap, seperti, Andis dan arwah itu saling membaca satu sama lain. "Dengan siapa di mana?" lanjut Andis diikuti tawa Dirga.

"Udah bego lu, serius. Dimakan Tama lu."

"Terakhir tadi hahaha. Serius-serius, yok!" Kini Andis berusaha fokus, tetapi setiap melihat wajah Ajay, dia justru ingin tertawa.

Melihat Andis yang malah begitu, Dirga ikut menahan tawanya. "Dis, serius ah! Udah, udah."

"Ni orang lucu bener asli. Pengen ngakak mulu gua jadinya."

BRAAAK !!!

"Serius!" ucap Tama mengintimidasi Andis dan Dirga.

Kini Andis benar-benar kapok. Tak ada yang lebih mengerikan dari marahnya seorang pendiam.

"Dengan siapa aku berbicara?"

"Udah bercandanya?" tanya Ajay dengan suara yang berbeda dari biasanya.

"Ya, bisa dibilang begitu. Maaf harus nunggu sebentar gara-gara guyonan tadi," jawab Andis. "Oke, jawab pertanyaan barusan."

"Aldi," balas Ajay singkat.

"Anak—KKN?" Andis mengerutkan dahinya.

Ajay hanya mengangguk.

"Temennya Shinta?" celetuk Tama.

Ajay tersenyum. "Ya, dia juga ada di sini."

Belum sempat mereka berinteraksi lebih lanjut, Arwah itu keluar dari tubuh Ajay, ia seperti ditarik paksa oleh sesuatu. Membuat Ajay terbatuk-batuk sambil terkapar lemas. Dirga segera memberikan segelas air putih pada Ajay.

"Lah, lah, lah—ke manain itu si Aldi Taher?" gumam Andis heran. "Baru juga mau mulai ngobrolnya."

"Besok-besok bilang dulu, jir! Kalo mau begitu. Gua bisa astral projection, buat mempersilakan dia masuk baik-baik," protes Ajay.

"Ya sorry," balas Andis sambil terkekeh.

"Yaudah, intinya kita pulang aja besok pagi deh. Toh, masih bisa cari destinasi wisata lain, yang lebih normal," celetuk Dirga. "Sekarang udah malem. Istirahat aja, besok subuh bebenah, terus balik kanan."

Tama hanya mengangguk pertanda ia sepakat dengan Dirga. Begitu pun dengan Andis dan Ajay. Mereka sepakat, bahwa ada yang tidak beres dengan Desa ini. Mulai dari jumlah pengunjung yang hanya mereka saja, shalat yang aneh, hingga aksi kesurupan Tama. Sungguh liburan yang tidak normal kembali terjadi.

Samar-samar, kumandang petir mulai terdengar, diikuti hujan yang turun dengan lebat tanpa permisi. Tak satu pun dari mereka yang mampu tertidur. Semua berkumpul di ruang tengah, dan tidak ada yang mau tidur terpisah, meskipun di atas kasur.

"Sorry, ya guys," ucap Andis merasa bersalah. Wajahnya terlihat murung, persis seperti langit malam ini. "Lagi-lagi, liburan kita berantakan."

"Selaw, udah biasa," jawab Ajay mencoba membuat Andis tidak merasa menanggung ini sendirian. "Enggak ada salahnya uji adrenalin sekali-kali."

"Kalian tidur gih, gua yang jaga," timpal Dirga.

"Lu kan nyetir besok, sebaiknya lu yang tidur," sambung Tama.

Namun, kenyataannya mereka sama sekali tidak bisa tidur. Was-was, resah, khawatir, gelisah, gigi berlubang, pegal linu, gangguan kehamilan dan janin. Loh! Kok jadi ngawur hahahaha. Intinya mereka sama sekali tidak dalam posisi bisa tertidur dengan tenang. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuat mereka semua terus terjaga. Seolah merasa seperti ada yang mengawasi.

***

Hingga adzan subuh berkumandang di ponsel Andis, tak ada satu pun dari mereka yang tertidur sedari malam.

"Abis shalat subuh, prepare, terus pergi deh," ucap Dirga yang bersiap mengambil air wudhu. Semua mengikuti arahan sang ketua.

Selesai shalat, mereka semua berkemas, dan memastikan tak ada yang tertinggal, Dirga dan kawan-kawan hendak keluar, tetapi tiba-tiba Pandu muncul di depan pintu. Ia datang membawa sarapan untuk mereka semua.

"Loh mau ke mana?" tanya Pandu saat melihat mereka membawa barang bawaan.

"Jadi gini, mas Pandu. Kita ada urusan mendadak, jadi harus balik kanan ke Jogja," jawab Andis.

"Oh begitu, tapi ada satu masalah," balas Pandu dengan wajah murung.

"Masalah?" Dirga mengerutkan dahinya.

"Semalam ada pohon besar tersambar petir. Pohon itu tumbang dan mengakibatkan Jembatan utama roboh, satu-satunya akses keluar desa terputus. Jadi enggak ada yang bisa keluar masuk desa sekitar satu sampai dua hari ini, sampai alternatifnya muncul."

"Duh, terus gimana dong, nih? Kita ada urgensi di Jogja," timpal Andis.

"Ya gimana ya, mas. Ini kecelakaan yang juga menimpa kami penduduk desa. Kami juga punya kebutuhan di luar desa, tetapi dengan robohnya satu-satunya akses, kita cuma bisa pasrah sampai alternatifnya selesai. Secepat-cepaatnya, besok siang mungkin."

Dirga, Ajay, Andis, dan Tama saling bertatapan. Akhirnya, mau tidak mau, mereka harus berada di desa itu, paling tidak semalam lagi. Setelah itu, mas Pandu pergi. Dan keempat sahabat ini saling berdiskusi.

"Gua mau jogging, sekalian ngiterin desa ini, siapa tau ada jalan alternatif yang mereka sembunyikan. Firasat gua enggak enak tentang desa ini, mereka seakan menyembunyikan sesuatu," ucap Dirga sambil mengikat tali sepatunya.

"Gua juga mau keliling pake astral projection, tolong jaga raga gua, Dis, Tam." Ajay mulai duduk bermeditasi, ia memejamkan kedua matanya dan berfokus pada rohnya. Perlahan Ajay membuka matanya, ia melihat Andis, Tama, dan tubuhnya sendiri yang sedang duduk. Kemudian Ajay berjalan pergi menggunakan tubuh astralnya.

Di sisi lain, Dirga baru saja keluar dari gapura. Ia menatap jembatan utama yang roboh sebagian. Kemudian melanjutkan langkahnya mengitari desa dari sisi luar.

Masa iya, cuma punya satu akses?

Dirga mulai bertanya-tanya sambil terus melangkah, hingga ia berhasil mengitari desa yang berukuran kecil itu. Karena tidak puas dengan jawaban yang tak ia temukan, Dirga berjalan masuk ke dalam hutan-hutan untuk mencari akses. Ia melewati jalan yang seharusnya pernah ia lewati menuju curug. Lebih baik berjalan memutar agak jauh pikirnya, ketimbang berada di desa itu semalam lagi.

Namun, hampir dua puluh menit Dirga menyusuri jalan itu, curug yang kemarin ia kunjungi tak kunjung terlihat. Padahal, seharusnya tempat itu tidak jauh dari desa. Dirga memiliki insting yang kuat, ia merasakan ada yang mengikutinya. Berusaha tidak terlihat panik, Dirga memutar arah untuk kembali ke desa.

Lebih dari dua puluh menit berlalu, padahal Dirga berjalan mengikuti jejaknya sendiri, tetapi tak ada tanda-tanda kehidupan. Desa yang ia tuju seakan menghilang, lebih tepatnya, Dirga seolah berjalan di tempat. Pada akhirnya ia selalu kembali ke titik yang sama.

"Tabir ghaib?"

Tabir ghaib adalah sebuah pelindung astral yang mengunci sebuah tempat. Ketika kita menyentuh ujung sisinya, kita akan kembali lagi pada sisi lainnya. Terjebak, itulah inti logisnya.

"Hahahaha, kalian benar-benar tidak mengizinkan kami pergi, ya?" gumam Dirga sambil meregangkan otot-ototnya. Ia berusaha untuk terlihat berani.

'Siapa pun dalang di balik tabir ghaib ini, dia benar-benar menginginkan kami semua tinggal. Setidaknya menahan kami hingga satu, dua hari.'

Dirga merasakan sebuah pergerakan di atas pohon. Sontak ia mendongkak untuk melihat ada apa di sana.

"Holly shit." Matanya membulat utuh menatap seekor makhluk aneh. Itu bukanlah hewan, apalagi manusia. Makhluk itu merupakan eksitensi lain yang sepertinya menunggu hutan ini. Makhluk itu berbulu lebat, dan memiliki mata merah. Cakarnya tajam, serta memiliki ekor ular. Dan lagi--rambutnya pajang dengan wajah seorang wanita yang sedang menyeringai. Makhluk itu terjun dan menerjang Dirga. Belum sempat Dirga meneriakkan nama penjaganya, makhluk itu berhasil membuatnya terkapar tak sadarkan diri.

***

Sementara itu, Ajay sedang melayang sambil mengamati desa. Desa ini sungguh aneh. Memang, desa ini memiliki sembilan keluarga, tetapi rasanya sangat sepi dan tak memiliki aktivitas. Ia tak menemukan seorang pun dari luar, dan mencoba untuk masuk ke dalam rumah untuk melihat-lihat.

Ajay masuk ke dalam rumah yang paling dekat dengan home stay nya. Terlihat seorang wanita sedang menjahit pakaian. Lebih tepatnya sebuah baju dengan bahan kain kafan. Tentu saja melihat itu, raga asli Ajay merinding di dalam kamar. Membuat Andis dan Tama saling bertatapan.

Ajay lanjut masuk ke rumah berikutnya. Di sana ada seorang suami istri yang sedang sibuk dengan sesuatu. Istrinya sedang memasak, dan suaminya sedang duduk bersemedi, ia membakar kemenyan sambil berkomat-kamit.

"Ini orang-orang pada kenapa sih?"

Lanjut pada rumah ketiga, di sana ada seorang anak kecil yang sedang berendam di bak mandi. Bak itu berisi kembang tujuh rupa. Sementara Ibunya duduk bercermin sambil bersinden dengan nada yang lirih.

Namun, ada kesamaan pada setiap rumah. Ada sebuah hiasan dinding berupa foto besar di sana. Seorang wanita dengan pakaian adat Jawa yang menurut Ajay cukup membuatnya bergidik ngeri. Ajay pernah melihat beberapa hiasan rumah dengan foto Nyi Roro Kidul, ya, kurang lebih seperti itu, tetapi dengan wanita yang berbeda.

Ketika masuk pada rumah selanjutnya, Ajay dikejutkan dengan seorang sepuh yang sedang duduk di tengah ruangan. Ia dikelilingi lilin-lilin menyala dengan pola pentagram terbalik.

"Pengabdi setan!"

Orang itu menoleh ke arah Ajay ketika mendengar umpatan Ajay. Hal itu membuat Ajay merinding hingga tubuh rohnya. Mata mereka bertatapan.

Orang itu adalah Ki Naryo, seorang Kakek yang dipercaya memiliki kesaktian di Desa Sanga. Ia mengarahkan tangannya pada Ajay, lalu melakukan gerakan menarik. Perlahan, Ajay seperti tertarik ke arahnya. Ki Naryo hendak menangkap roh Ajay, tetapi Ajay berusaha melawan.

"Buset dah aki-aki metal! Tolong!" Ajay berusaha melawan balik, ia mencoba keluar dari rumah itu, tetapi ada sebuah tabir ghaib yang menyelimuti rumah itu, membuat Ajay tak bisa keluar.

Ajay memfokuskan energi pada satu titik di telapak tangannya, lalu memukul perutnya sendiri hingga raganya batuk dan terpental. Seketika itu, Ajay tersadar.

"Desa ini gokil. Mampus kita," ucap Ajay ketika baru saja terbangun. Ajay menceritakan semua yang ia dapati ketika dalam mode astral, pada Andis dan Tama.

***

Kicau gagak yang bertengger di pepohonan menandakan, bahwa waktu sore telah tiba, Dirga tak kunjung kembali. Membuat tri mas getir itu terlihat getir.

"Enggak beres. Pasti sesuatu terjadi," ucap Andis. "Kita harus memeriksanya."

"Ah, gantian dah. Gua udah kapok sumpah. Itu kakek metal ngeri banget. Dia pasti ngenalin muka gua," balas Ajay.

"Tam, enggak ada pilihan lain. Cuma lu harapan kita." Andis menatap Tama dalam-dalam. Sementara Tama memicingkan matanya sambil menggeleng.

"Lu aja sono, jangan nyuruh-nyuruh orang, Dis," ucap Ajay.

"Ya, maksud gua, kan, Tama bisa keliling sambil megangin apaan kek gitu. Dia bisa lihat rekam jejak Dirga seenggaknya."

"Terlalu banyak objek. Lu tau sendiri, kan? Tama kalo terlalu lama megang objek, bakalan ngeluarin darah?"

Tama sendiri merupakan seorang Psikometri. Ia mampu menggali informasi serta berkomunikasi dengan objek atau benda apa pun di sekitarnya, ketika menyentuhnya menggunakan tangan telanjang. Kondisi ini memungkinkan, karena pada setiap benda itu juga terdiri dari susunan atom yang telah membentuk kumpulan molekul.

Molekul yang ada dibenda padat, gas, atau pun cair, memiliki getaran yang menghasilkan sebuah gelombang khusus. Kemudian kumpulan molekul serta atom itu dapat merekam sebuah peristiwa. Dari rekaman itulah sang psikometri dapat menggali informasi masa lalu objek tersebut, serta membaca gejala sebuah peristiwa.

Tama beranjak dari duduknya, ia mencoba untuk memberanikan dirinya yang sebenarnya sangat takut. "Seandainya gua yang ada di posisi Dirga, tanpa pikir panjang, Dirga pasti nyariin gua."

Melihat si orang yang paling penakut di antara mereka mendadak berani, demi seorang sahabat. Andis dan Ajay meneguk ludah. Sebenarnya Andis hanya membuat alasan saja, agar dia bukan menjadi yang keluar untuk mencari. Namun, melihat Tama, ia tak bisa tinggal diam. Tak mungkin ia membiarkan Tama keren seorang diri.

"Jay ...."

"Ya. Gua paham. Lu enggak mau kalah, kan? Gua pun juga." Ajay kembali mencoba melakukan astral projection. "Dis, jaga raga gua apa pun yang terjadi. Kalo lu dalam bahaya, bunyiin lonceng ini." Ajay melemparkan sebuah lonceng pada Andis. "Gua yang akan bimbing Tama pake telepati satu arah."

Mereka bertiga akhirnya bergerak. Tama mengenakan jaket hitamnya langsung menuju gerbang dan mencoba untuk mencari tahu sesuatu tentang hilangnya Dirga. Sementara itu, Ajay melanjutkan masuk ke rumah berikutnya, tetapi dengan tingkat kewaspadaan yang lebih besar.

Di dalam rumah kelima, tak ada seorang pun. Namun, ada sebuah tabir ghaib yang menyelimuti satu ruangan, entah, sepertinya tabir itu dibuat untuk menghalangi Ajay untuk masuk, atau sebaliknya—menghalangi sesuatu keluar dari dalam sana.

Ajay mencoba memfokuskan diri, ia memikirkan sebuah pedang. Lalu memadatkan energi di sekelilingnya membentuk sebuah pedang astral. Pedang itu tak bisa melukai manusia, tetapi cukup mujarab untuk melawan makhluk astral lainnya. Ajay menebas tabir ghaib itu hingga hancur, lalu masuk ke dalam sana.

Anak-anak yang sedang KKN menatap Ajay yang baru saja masuk. Mereka semua terlihat bersedih.

"Kalian juga udah mati?" tanya seseorang pada Ajay.

"Mati?" Ajay memicingkan matanya. Ia menunjukkan benang perak yang menghubungkan antara roh dan raganya. Menandakan bahwa ia masih hidup, dan hanya rohnya saja yang bergentayangan.

"Gimana keadaan Tama?!" tanya seorang gadis manis.

"Shinta?" Menyadari bahwa orang-orang ini mungkin sudah mati, Ajay mulai bertanya-tanya. "Apa yang terjadi?"

"Purnama ...," jawab Shinta. "Setiap purnama datang. Desa Sanga membutuhkan tumbal untuk bertahan hidup. Hutan ini dihuni oleh Nyi Gendhis, dia yang menjaga populasi di Desa Sanga, dan juga membuat desa ini makmur dengan sumber daya yang minim."

"Sebagai gantinya, penduduk membunuh tamu yang berwisata untuk Nyi Gendhis?" tanya Ajay.

"Ya. Satu persatu dari kami meninggal untuk sesembahan tersebut. Kami tidak bisa keluar dari hutan ini karena Nyi Gendhis selalu memperbudak arwah-arwah yang mati sebagai tumbal. Aku sudah berusaha memperingati Tama, dan juga kalian, tetapi sekarang sudah terlambat. Nyi Gendhis memasang tabir ghaib di area hutan. Kalau pun kalian bisa menyebrang, kalian akan kembali pada titik yang sama."

Ajay kini memfokuskan dirinya. Ia mencari keberadaan Tama dan memberikannya informasi yang ia ketahui.

Di sisi lain, Tama menghentikan pencariannya. Ia menatap mas Pandu yang datang membawakan makan malam untuk mereka. Melihat Pandu, Tama merinding. Ia memutar kembali tubuhnya.

"Kalian sudah tahu, ya?" tanya Mas Pandu, membuat Tama menghentikan langkahnya. "Karena kalian anak baik, aku akan ajukan penawaran."

Tama memutar tubuhnya.

"Cukup berikan seorang di antara kalian. Dan kau bisa menyelamatkan tiga nyawa tersisa," ucap Pandu menyeringai.

"Datang bersama, pulang pun bersama. Tidak akan ada yang tertinggal di sini."

"Oh begitu, ya?" Pandu memberikan isyarat dengan kepalanya. Membuat Tama menoleh kebelakang. Sebuah balok menghantam kepalanya hingga membuat Tama tak sadarkan diri. Radar Tama menghilang dari deteksi Ajay. Membuat Ajay menoleh ke arah gerbang utama.

"Tama dalam bahaya," tutur Ajay yang perlahan membuka matanya. Andis bergegas untuk mencari Tama. "Hati-hati, kita semua bisa aja mati di sini." Ajay kembali menutup matanya dan kembali dalam wujud roh. Ia melanjutkan investigasi menuju rumah berikutnya, hingga berada pada rumah terakhir. Ajay tidak menemukan sosok Dirga di mana pun, hal itu membuatnya putus asa dan terbang menuju hutan dengan kecepatan tinggi, berharap menemukan Dirga di suatu tempat.

***

"Dirga, bangun, nak." Seorang wanita membangunkan Dirga. Kini Dirga membuka matanya, ia terduduk menatap langit yang mulai gelap. Sebuah paha menjadi bantalannya, Dirga menatap wajah wanita itu.

"Ibu?"

Dinda tersenyum menatap putranya.

"Apa aku udah mati?" tanya Dirga. Sementara Dinda hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Aku harus bergegas, Bu. Mungkin aku dalam bahaya, atau—teman-temanku yang dalam bahaya." Dirga hendak bangkit, tetapi Dinda menahannya.

"Ibu rindu, nak. Jangan pergi."

"Aku juga kangen, Bu, tapi ini penting. Nyawa kami semua taruhannya."

"Kamu akan baik-baik saja, nak. Begitu pula Fajar, Andis, dan Tama."

"Selama makhluk itu masih ada. Kita semua enggak baik-baik aja. Sehabis ini selesai, aku akan ke sini lagi nemuin Ibu."

"Dirga. Ibu rela mati demi gantiin posisi kamu sebagai tumbal di keluarga kita. Kamu pun harus merelakan mereka demi Ibu, nak."

Dirga terlihat getir, tatapannya mulai sendu. Di satu sisi, ia merasa bersalah karena kematian Ibunya, yang sehrausnya tidak mati pada malam itu. Namun, karena menyelamatkan dirinya dan Tirta, Dinda menjadi tumbal keluarga Martawangsa.

Sebuah pedang menancap di kepala Dinda. "Apa pun itu. Itu bukan Ibu lu. Pergi. Kita butuh pemimpin." Ajay datang dengan sorot mata yang tajam menatap Ibunda Dirga.

"Ajay?"

Ajay membuat pedang kembali menggunakan energi di sekitarnya. "Tabir ghaibnya udah gua ancurin. Pergi!"

Dirga melepaskan genggaman Dinda sambil sesekali menatapnya. Kemudian ia memejamkan mata dengan sekidit air mata sambil berlari lurus ke depan.

Ajay mengarahkan pedangnya pada sosok di hadapannya. "Jangan coba-coba menghasut pemimpin kami."

Wanita itu menyeringai. "Kalian terlambat. Purnama sudah hampir berada pada titik tertingginya."

Ajay tersenyum. "Kami sering terlambat, tapi pada akhirnya—Bu dosen membiarkan kami tetap masuk kelas." Ia melesat ke arah wanita itu dan menghunuskan pedangnya ke jantung makhluk tersebut. "Pada akhirnya, terlambat hanyalah sebuah istilah. Bahwasanya kami hanya datang melewati batas waktu." 

Sosok itu terluka karena serangan Ajay. "Nyi Gendhis akan membalas kematianku. Pada akhirnya, kalian semua akan mati!" Ia masih menyeringai menatap Ajay. Perlahan sosok itu luntur menjadi cairan berwarna merah.

"Ya. Kami pun baru memulai serangan balasannya. Kesalahanmu hanya satu ...." Ajay membuka matanya, ia telah kembali pada raganya. "Membiarkan seorang Martawangsa masuk ke dalam pertempuran ini."

.

.

.










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top