96 : Rumah Hantu dan Pameran

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Hal yang paling egois di dunia ini adalah waktu. Bagaimana tidak, ia hanya mau bergerak maju dan tidak peduli dengan segala yang tertinggal. Bahkan kini mantra menjadi korban, seiring dengan keegoisan sang waktu, tak terasa kini mereka telah menjadi mahasiswa semester tua.

"Gue sendirian dong, kalo kalian semua KKN?" tanya Andis yang baru saja selesai membuat kopi moka dan ikut duduk bersama ketiga sahabatnya.

"Kampus lu ga ada KKN sih," celetuk Ajay.

"Gua magang, dan tempat magang gua juga deket. So, gue tinggal di sini sendirian doang," balas Andis.

"Sabar ya, Mas Jombs," ledek Dirga.

Ya, Dirga, Ajay dan Tama akan menjalani KKN di luar kota, meninggalkan Andis dan seluruh tanggung jawab besar untuk menjaga mantra coffee agar bisa tetap menjadi pilihan utama anak-anak muda untuk melepas penat dengan secangkir kopi.

Abet sepertinya mulai gerah dengan statusnya sebagai mahasiswa abadi, sekarang ia sibuk bergulat dengan skripsinya, ia meminta Dirga untuk mengurangi jadwalnya. Sehingga mantra hanya memiliki Andis, Nisa dan Puspa. Anna pasti akan pergi mengikuti Tama secara diam-diam.

Andis magang di sebuah stasiun tv di daerah Jalan Magelang. Sejujurnya menjadi crew televisi itu akan sangat membuatnya sibuk dan banyak mengorbankan waktunya, ia juga tidak tahu, apakah bisa mengurus kafe dengan semua kesibukannya. Andis khawatir pada Annisa dan Puspa, terutama Puspa yang masih sering gugup dan tak jarang melakukan tindakan ceroboh.

Hari ini Andis memiliki agenda syuting dengan kelompok praktikumnya di kampus, setelah banyak berbincang dengan sahabat-sahabat mantranya, ia segera bersiap-siap menuju kampusnya.

"Kalo di kampus lu ada yang bisa jadi Barista, langsung aja tawarin buat jadi barista sementara, Dis," ucap Dirga yang masih duduk bersantai sambil menyeruput secangkir americano.

"Oke, oke." Andis berjalan melewati Dirga dan membuka pintu keluar, ia mengambil helm dan langsung berangkat ke kampus.

Sesampainya Andis di kampus, ia melihat Kiran yang sedang duduk di kursi angker dekat parkiran, tempat dulu Andis sering beristirahat sambil berbincang ringan dengan Sekar.

"Kiran, ngapain?" sapa Andis sambil melihat sekeliling, berharap menemukan sosok Sekar lagi.

"Sejak Sekar ilang, Kak Andis udah ga pernah duduk di sini lagi, bisa-bisa tempat ini jadi angker beneran," balas Kiran.

"Oh iya--Kiran lupa." Kirang mengeluarkan sebuah tiket dari dalam tasnya, "jurusan Kiran mau bikin pameran, dateng ya, Kak," ucap Kiran sambil tersenyum.

"Kok tiketnya dua?" tanya Andis.

"Kan, Kak Tama suka seni. Atau kalo enggak, Kak Andis ajak aja gebetan atau siapa kek gitu."

Gebetan? Muke gile lu, batin Andis dengan wajah datar.

Setelah memberikan Andis tiket pameran, Kiran langsung pamit karena ada kelas. Ia memang sengaja menunggu di sana karena Andis pasti akan lewat atau mungkin duduk di tempat itu. Andis memasukkan tiket itu ke dalam tasnya, lalu ia melanjutkan langkahnya menuju tempat syutingnya. Andis merupakan Sinematografer di kelompoknya, ia berperan penting dalam pengambilan gambar di dalam sebuah film.

"Oi, Dis," panggil Kiki.

Andis menatapnya sambil mengangkat alisnya, seolah ia berkata, "apa?" sekarang ia bertingkah seperti Tama.

"Kita ga bisa syuting di dalam ruangan nih, rumah yang mau kita gunakan, horror," ucap Kiki.

"Berhantu?" tanya Andis.

"Iya, udah berapa orang yang kesurupan dari semalem, waktu kita set up tempat."

"Beruntung kan lu, sekelompok sama orang pinter," balas Andis sambil berjalan ke rumah yang di maksud Kiki.

Sesampainya di tempat itu, memang auranya cukup tak nyaman, tetapi bukan hal yang buruk. Andis berjalan menuju pintu depan, teman-temannya hanya diam sambil memperhatikannya. Ia membuka sepatu dan masuk dengan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

Seorang gadis duduk membelakangi Andis, ia duduk di lantai dan tak melakukan aktivitas apapun. Andis berjalan ke arahnya dan meletakkan sebotol moccacino di depannya, kemudian Andis duduk di sebelahnya.

"Mirip sesehantu yang gue kenal. Diam dan terlihat kesepian," ucap Andis tanpa menatap hantu gadis itu.

Hantu itu menoleh ke arahnya, "datang lagi, orang pintar," ucapnya dengan wajah datar.

Lagi?

"Pasti berat ya--"

"Diusir dari rumah sendiri," ucap Andis yang berusaha peka dengan kata 'lagi' yang dilontarkan hantu gadis itu.

"Saya ga akan pernah pergi dari tempat ini! Kalau pun saya pergi, saya pasti akan kembali lagi!" ucap hantu itu dengan nada tinggi.

"Masalahnya, gue ga mau ngusir lu. Kenapa harus mengusir tuan rumah? Sementara gue dan teman-teman gue cuma tamu sementara?"

"Eh?" Hantu itu bingung, ini bukan kali pertama ia diusir oleh dukun-dukun yang dipanggil oleh orang-orang yang telah ia ganggu.

"Di minum dulu, rasanya enak kok," ucap Andis sambil menyuruhnya untuk mencicipi moccacino favorit Sekar. Lalu Andis beranjak dari duduknya, "ya intinya gue cuma mau minta izin untuk minjem tempat ini untuk hari ini aja sih," ucapnya sambil berjalan meninggalkan hantu gadis itu.

Gadis itu akhirnya mencicipi kopi suguhan Adis. Matanya berbinar saat mencicipinya, "enaaaak!" ucapnya dengan nada yang sok imut. Tentu saja membuat Andis berjalan dengan senyuman kecil di bibirnya.

Tentu saja, Mantra Coffee itu enak dunia akhirat, batinnya yang baru saja mendengar gadis itu kegirangan karena moka buatannya.

"Hei hei hei," ucap gadis itu yang kini berada di sebelah Andis sambil melayang.

"Mau lagi, boleh?"

"Jadi, dapet izin lokasi ga nih?" tanya Andis.

Hantu itu hanya mengangguk.

"Gaes, tempat udah clear, langsung aja yuk." Andis memberitahu teman-temannya bahwa tempat ini sudah aman dari serangan ghaib. Tanpa basa-basi, mereka semua langsung bekerja untuk membuat sebuah film pendek yang akan dijadikan sebagai tugas praktikum terakhir.

Bukan hal yang mudah membuat sebuah film, bahkan take video dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Andis baru saja selesai dengan kegiatannya. Tentu saja, gadis itu menunggu untuk diberikan moccacino lagi. Andis mengeluarkan sebotol lagi dan memberikannya pada gadis itu sambil berterimakasih karena telah mengizinkannya untuk menggunakan rumahnya untuk kegiatan syuting.

Sepulangnya Andis, ia langsung mandi dan setelah itu langsung merebahkan dirinya di kasur sambil memejamkan matanya. Andis masih memikirkan siapa yang akan dia ajak untuk ke pameran jurusan Kiran. Karena jujur saja, akan mubadzir satu tiket ini jika ia hanya datang sendirian.

Sarah?

Terbesit satu nama dalam benaknya, pameran akan diadakan lusa, dengan cepat Andis bangun dan menghubungi Sarah.

Bodoh, mana mau dia.

Setelah mengirim pesan ajakan, Andis menyesal. Ia tahu apa jawaban gadis itu, tetapi masih saja ia berharap. Andis kembali memejamkan matanya.

"Bang SMS Bang."

Ringtone chat Andis berbunyi, ia dengan cepat menyambar hp nya dan membuka layar kunci.

Ah, ngapain buru-buru sih, Dis? Udah pasti ditolak aja pake buru-buru.

"Ayo." Singkat padat dan jelas.

Tuh kan, ayo.

Andis melempar hp nya ke kasur dan ia menjatuhkan dirinya juga ke kasur, sambil membenamkan wajahnya ke bantal. Namun, tiba-tiba matanya terbuka lebar dan diam untuk sejenak.

AYO?

Untuk memastikan, ia langsung menelfon Sarah.

"Hallo, Sarah, kamu mau ikutan ke pameran?"  tanya Andis.

"Iya, ayo aja, mumpung lagi ga ada jadwal."

"Apa ga papa? Jalan sama aku? Bisa dibilang, aku ngajak kencan loh," tutur Andis terang-tengan.

"Kamu mau aku jawab iya, atau enggak?" tanya Sarah.

"Iya," balas Andis.

"Yaudah kalo gitu, iya aku temenin."

Andis memutuskan telpon itu dan tersenyum, ia meletakkan hp nya dan mencetuskan bahwa malam itu adalah malam terbaik sepanjang hidupnya.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top