92 : Dead or Alive
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Mendengar berita tentang Undercover, Tama tak bisa membiarkan Sherlin terlibat dengan mereka dan memutuskan untuk menampung Sherlin di mantra. Malam itu juga Tama mengambil jaketnya dan berjalan ke luar mantra.
"Tam, mau kemana lu?" tanya Dirga.
"Ada urusan," jawab Tama singkat.
"Kalo lu mau ngurusin undercover, mendingan jangan deh, terlalu berbahaya berurusan sama bandar narkoba," balas Dirga.
Tama menghiraukan Dirga dan berjalan keluar. Namun, Dirga ikut keluar dan menghentikan langkah Tama. Tama menoleh ke arahnya.
"Gua ikut," ucap Dirga yang sedang mengenakan jaket jeansnya.
"Dis, Jay, titip Sherlin," ucap Tama.
"Ayah pergi dulu, tunggu di sini ya, nanti om bertopi kasih es krim," ucap Tama pada Sherlin sambil melirik Andis.
"Om bertopi? Water park, Bro!"
Jelas getir yang tercetak di wajah Sherlin.
"Sherlin mau es grim ga?" Sini om ganteng bikinin!" ucap Andis.
"Om?" tanya Ajay sambil menatap Andis.
"Sherlin panggil aku, Kakak Fajar ya," ucap Ajay yang tak mau ikut dipanggil om.
"Curang lu, Jay!" balas Andis.
"Lah, lu sendiri yang mau dipanggil, Om kan?" elak Ajay.
"Mau es grim," ucap Sherlin yang mencoba mengikuti logat Andis.
Andis dan Sherlin berlajan menuju dapur. Andis membuatkan es krim untuk Sherlin, sementara Sherlin duduk sambil menunggu es krimnya. Ajay masih di depan sambil menatap ke arah luar.
Jangan bertindak bodoh, Tam, Dir.
Tama melaju ke Malioboro bersama dengan Dirga. Sesampainya mereka di markas, bangunan itu sudah habis tak bersisa. Tinggal menunggu warga sekitar atau pihak berwajib meratakannya dengan tanah saja.
"Tama," panggil seorang yang berdiri tak jauh dari motornya.
"Penjol!" Tama turun dan berjalan ke arah Penjol.
Tama mencengkeram kerah baju Penjol, "jelasin semua!" ucapnya dengan nada tinggi.
"Undercover diambil sama seseorang, Tam," ucap Penjol dengan tatapan yang terlihat bersedih.
"Sorry, lagi-lagi gua ga bisa jaga keluarga ini ...," lanjutnya lirih.
"Setelah lu pergi, dia muncul dan masuk ke Undercover. Awalnya ga ada yang aneh, tapi lama-lama tingkah anak-anak jadi semakin aneh, mereka jadi halu dan gampang marah--"
"Obat-obatan?" potong Tama.
Penjol hanya mengangguk. Mendengar itu, Tama melepaskan kerah baju Penjol yang ia cengkeram.
"Diem-diem dia ngedarin benda haram itu."
"Siapa namanya?" tanya Tama.
"Jambrong," ucap Penjol singkat namun, membuat raut wajah Dirga berubah.
Jambrong?
Ia menatap layar ponselnya dan mengingat sosok kakaknya.
Ga, gua ga butuh bantuan dia. Gua udah pernah lewatin masa-masa yang lebih sulit ketika menghadapi peti hitam. Ini pasti jauh lebih mudah, cuma, Jambrong. Lagi juga belum tentu, Si Jambrong anak buah, Ayah kan? Bisa aja cuma nama samaran mereka yang sama.
Dirga mengurungkan niatnya untuk menghubungi Frinza dan memasukan ponselnya kembali ke dalam kantong celananya.
"Sekarang, di mana, Si Jambrong itu?" tanya Dirga yang seolah-olah tak mengenali nama itu.
Penjol hanya menggeleng.
"Tapi, ada beberapa pengedar yang jadi kaki tangan, Jambrong. Gue dapet kabar kalo mereka beroprasi di sekitar, Jombor.
Tama menatap Dirga seolah berkata. "Mau kesana?"
Dirga hanya menggeleng, "udah malem, Tam. Besok aja kita coba selidiki," ucap Dirga.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali. Sesampainya mereka di mantra, Sherlin sudah tidur di kamar Tama, sementara Andis dan Ajay sedang duduk di bawah menunggu kedua temannya pulang.
"Gimana keadaan di sana?" tanya Andis.
"Markas udah habis kebakar, Sherlin ga punya tempat pulang," balas Tama.
"Ayah," Sherlin berdiri di ujung tangga, menatap Tama yang berada di bawah. Ia berjalan ke arah Tama sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.
"Sherlin takut, ada monster di kolong tempat tidur," ucap Sherlin yang ternyata belum tidur dan merasa takut tidur sendirian.
Tama menatap Andis.
"Bersih kok, ga ada apa-apa," ucap Andis yang paham arti tatapan Tama. Andis sudah memeriksa keadaan disekitar mantra, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran makhluk halus.
"Yaudah temenin gih, tapi jangan jadi pedofil, Tam," timpal Dirga sambil melirik Anna.
Ga mungkin ada makhluk yang berani masuk ke mantra, apa lagi kalo niatnya jahat. Ini wilayah makhluk yang cukup kuat, batin Dirga.
Tama dan Sherlin naik ke atas, disusul Ajay dan Andis.
"Lu ga tidur?" tanya Andis yang sedang berdiri di kaki tangga kepada Dirga.
"Duluan," jawab Dirga singkat sambil duduk dan menyandarkan kepalanya di tembok pinggir kursinya.
Jambrong, ya?
Dirga beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, kakinya tak sengaja menabrak meja.
"Aduh," pekiknya sambil berjongkok di lantai.
Sekumpulan kartu tarot miliknya jatuh dengan posisi tertutup, kecuali satu kartu yang jatuh dalam keadaan terbuka, Dirga mengambil kartu itu.
Eight of Wands?
Anda akan membuat kesalahan jika anda terlalu terburu-buru, situasi tidak pernah berakhir, rencana perjalanan tertunda, kecemburuan dan pelecehan.
Dirga mengambil kartu lain dan merapikannya kembali dan meletakkannya di atas meja, seperti sebelumnya.
Cemburu? batin Dirga sambil tak sengaja membayangkan wajah Frinza dan Gemma, kedua kakaknya. Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah menjadi kesal.
Bodoh, siapa juga yang butuh kasih sayang orang tua. Selama ini hidup sendiri itu lebih menyenangkan. Ia memejamkan matanya perlahan sambil kepalanya perlahan tenggelam di dalam bantalnya yang empuk.
Waktu subuh telah tiba, seperti biasa, Andis adalah anak paling religius diantara para mantra. Setelah shalat subuh, ia melihat kamar Dirga yang sudah terang, bahkan sudah terang sejak ia keluar dari kamar untuk mengambil air wudhu.
"Oi, Dir." Andis membuka pintu kamar Dirga, tak ada seorang pun di dalam kamar. Andis memutuskan untuk turun ke bawah.
"Kopi, kopi," ucapnya agak keras, saat turun ke bawah, tetapi ucapannya yang tadinya merupakan kode untuk Dirga yang ia kira sudah berada di bawah dan sedang membuat kopi, ternyata harus pupus. Tak ada seorang pun di bawah.
"Dirga keluar, tadi malam," ucap Anna yang sedang duduk dengan wujud manusianya.
"Kemana?"
Anna hanya mengangkat bahunya, tanda bahwa ia tak tahu.
Sementara itu, Dirga berada di burjo sekitara terminal Jombor. Ia membeli kopi dan juga sarapan mie rebus. Semalaman ini ia tak bisa tidur dan pergi ke Jombor untuk mencari petunjuk tentang Jambrong.
Sambil menyeruput kopi hitamnya, Dirga melihat seorang yang sedang berdiri bersandar di tiang listrik. Ia sudah berada di sana sekitar tujuh menit, kemudian tak lama setelah itu datang seorang menggunakan topi. Orang bertopi itu memberikan sesuatu, dan setelah pria yang bersandar di tiang listik menerima sesuatu itu, ia berjalan berlawanan dengan si pria bertopi. Menyadari itu, Dirga segera beranjak dan membayar pesanannya.
"A, udah, A. Jadi berapa totalnya?" tanya Dirga.
"Mie telur sama kopi hitam, jadi delapan ribu."
Dirga memberikan uang dan kemudian mengikuti pria yang menerima sesuatu dari pria bertopi. Namun, tak disangka, aa burjo menelpon seseorang.
"Kita kecolongan, anak muda dengan jaket jeans biru berjalan mengikuti pembeli," ucapnya pada seseorang.
Keadaan masih sangat sepi dan agak gelap, mentari belum menampakkan dirinya. Dirga mengikuti orang itu, tetapi sepertinya orang itu sadar jika diikuti, ia tiba-tiba saja berlari.
Sial! Dirga mengenakan Tumenggung dan tiba-tiba saja ia berada di depan pria mencurigakan itu. Dirga mengambil secarik kertas yang sedang digenggam oleh pria itu dan membuka isi kertas itu.
"Semak-semak depan Indogrosir, setelah pohon ketiga dari arah terminal." Begitulah isi dari tulisan itu.
"Lokasi apa ini?" tanya Dirga. Namun, pria itu tak menjawab.
"Apa perlu cara kekerasan?" tanya Dirga lagi.
Ketika Dirga ingin menghajar orang itu, seseorang menahan tangannya dari belakang. Sontak membuat Dirga menoleh.
"Tumenggung?" ucap pria itu sambil melihat Dirga yang menggunakan topengnya.
"Tuan Muda Dirga?" lanjutnya lagi.
"Jambrong," balas Dirga yang menatap tajam dari dalam topengnya ke arah pria dengan rambut gondrong berantakan, dengan kumis tipis.
Jambrong! batin Dirga sambil ia mengucurkan keringat dingin, ia teringat pesan Frinza yang menyuruhnya untuk tidak terlibat urusan dengan Jambrong, dan cukup melaporkan keberadaannya saja.
"Apa yang anda lakukan di sini?" tanya jambrong sambil mengerutkan dahinya.
Pikir! Pikir! Sedang apa seorang Dirga Martawangsa berada di terminal saat pagi buta begini? Salah jawab bisa berantakan semuanya.
Jambrong menatap Dirga, dan menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya. Satu tangannya bersembunyi dibalik tubuhnya.
Apa yang dia sembunyikan? Pisau? Pistol? Atau cuma pose tanpa arti?
Dirga mengingat kartu tarot yang terjatuh semalam, Eight of Wands.
Anda akan membuat kesalahan jika anda terlalu terburu-buru, situasi tidak pernah berakhir, rencana perjalanan tertunda, kecemburuan dan pelecehan.
Selama ini Jambrong ga tau kalo gua ada di Jogja, gua harus manfaatin momen ini. Jangan terburu-buru, rileks. Dirga menarik napas perlahan.
"Justru akulah yang harusnya bertanya, Jambrong," ucap Dirga dengan nada yang mengintimidasi.
"Sedang apa kau di Jogja?"
Jambrong tak menjawab, ia hanya menatap Dirga sambil masih memegang lengan Dirga.
Jambrong juga ga tau, kalo gua udah tau aksi pengkhianatan dia. Keep calm and stay focus, Dirga, batin Dirga menyemangati dirinya sendiri.
"Kalo sampai, Ayah tahu soal keberadaan saya. Kau tau apa yang akan terjadi pada nasib mu, Jambrong?"
Jambrong menelan ludah, Dirga membuatnya merinding.
"S--saya bisa jaga rahasia anda, Tuan Muda," balas Jambrong.
"Apa jaminannya?" tanya Dirga balik.
"Nyawa saya sendiri," balas Jambrong sambil menyeringai.
Kali ini Dirga yang merasa tertekan, seketika itu juga, tubuhnya bergidik ngeri melihat seringai Jambrong.
"Jika sudah selesai, saya yang akan bertanya--" ucap Jambrong.
"Ada perlu apa, Anda dengan client saya?" Jambrong menatap pria yang masih berbaring di bawah kaki Dirga.
"Jawaban Anda menentukan nasib anda, Tuan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top