90 : Tetangga Baru

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Siang ini kamar Tama mulai terisi kembali oleh barang-barang yang memang seharusnya berada di sana. Setelah berpamitan dengan Bu Ros dan juga Mbak April, ia langsung pulang ke mantra bersama dengan Aqilla dan rombongan mantra.

"Kamu kenapa?" tanya Tama pada Aqilla yang terlihat resah.

Aqilla paham betul, Tama adalah pria yang posesif, hampir setiap hari ia meminta Aqilla untuk bertemu. Ia ingin meminta waktu untuk sendiri, tentu saja untuk menyelesaikan skripsinya.

"Aku--" Aqilla mulai berbicara.

"Kamu mau fokus skripsi kan?" potong Tama.

"Aku tau kok, dari, Mbak April," jelasnya.

Tama membelai lembut rambut Aqilla, "gapapa, aku ngerti kok, semangat ya," ucapnya dengan senyuman yang hangat.

"Makasih ya, kemarin kamu udah nemenin aku, maaf kalo ngerepotin kamu terus selama ini," lanjutnya.

"Abis lulus, aku mau lanjut studi di jepang. Ambil jurusan musik di Nihon University," ucapnya dengan wajah yang murung.

"Bagus dong. Angkat kepala kamu, kenapa kelihatan ga seneng?" Jawaban Tama membuat Aqilla menatapnya.

"Kamu dukung aku? Ga marah? Mungkin kamu udah tau hal ini dari, Mbak April ...," tanya Qilla.

"Agak kecewa sih, ga denger langsung dari kamu--" balas Tama.

"Tapi gapapa, kamu pasti punya alasan sendiri kan? Kenapa belum ngasih tau aku selama ini," lanjutnya.

"Sebenernya ... aku mau bilang, tapi kamu lagi butuh aku, dan aku ga bisa biarin kamu sendirian, Tama."

Tama tersenyum mendengar jawaban Qila. Setelah panjang lebar berbincang, akhirnya Tama menyuruh Qila untuk lebih fokus mengejar impiannya dari pada fokus ke dirinya. Dan tak lama setelah itu, Aqilla pamit untuk melanjutkan apa yang harus ia lanjutkan. Sementara Tama juga harus pergi untuk melakukan apa yang harus ia lakukan.

Seperti biasa, Sarah masih berada di kampusnya, ia adalah mahasiswa dari fakultas kedokteran di Universitas Gajah Mada. Namun, tak seperti biasanya, ia tak lagi mengenakan syal birunya, ia sudah mengembalikannya ke Tama dengan sebuah tindakan yang bodoh.

"Sarah," panggil seorang wanita yang sepertinya adalah temannya. Sarah menoleh ke arahnya.

"Ada yang nyariin nih," sambung temannya lagi.

"Siapa?" ucapnya sambil berjalan ke luar kelas, untuk menemui orang yang mencarinya.

Temannya menghampiri sarah, "cowok ganteng ...," bisiknya.

Sarah terdiam seribu bahasa, orang yang mencarinya adalah orang yang paling ia hindari. Tama sedang duduk di kursi panjang yang berada di samping kelasnya.

"Tama?"

Tama menoleh ke arahnya, "yo," sapanya sambil melambaikan tangan. Sarah berjalan ke arahnya dengan wajah yang tak karuan. Ia duduk  di sebelah Tama. 

"Maaf--" ucap mereka bersamaan sambil bertatapan.

"Kamu, dulu." Tama mempersilahkan Sarah untuk berbicara lebih dulu.

"Maaf, ga seharusnya aku berbuat seperti itu, aku terus kepikiran hal bodoh itu, dan--aku sangat menyesal," tuturnya.

"Aku juga minta maaf, ga seharusnya juga, tanganku bersarang di pipi kamu--"

"Aku pantas kok, dapat perlakuan seperti itu," potong Sarah.

"Ga--"

"Ga seharusnya, aku main fisik." Tama mengusap pipi Sarah yang pernah ia tampar, membuat Sarah jadi salah tingkah.

"Oh iya." Tama mengambil syal di tasnya, ia memakaikannya di leher Sarah.

"Benda ini lebih cocok ada di sana," ucap Tama sambil mengamati Sarah dengan syal birunya.

"Aku ga pantas--"

Tama menempelkan jari telunjuknya di bibir Sarah. "Cocok, pantas, pas, yaaa intinya memang seharusnya ada di sana."

Tama juga mengeluarkan gitar yang pernah Sarah berikan.

"Sekarang, gitar ini punya nama," ucapnya.

"Nama?"

"Ya, nama. Namanya, Sarah." Tama bersiap dengan memegang gitarnya.

"Dari, Sarah. Untuk, Sarah ...,"

Tama memainkan lagu perpisahan untuk Sarah. Sarah hanya diam sambil mendengarkan Tama bermain. Semua penghuni fakultas kedokteran memandang mereka berdua.

Sarah ingat betul raut wajah Tama ketika pertama kali bisa memainkan gitar. Dan pada kesempatan ini, ia bisa melihat raut wajah itu lagi, wajah yang terlihat begitu bahagia, lepas, dan bebas. Ia ikut tersenyum sambil menikmati alunan melodi dari Tama.

Selesai memainkan lagu perpisahan, Tama langsung pamit.

"Kita bisa kan--"

"Jadi teman?" tanya Sarah.

"Ya, kita memang teman," jawabnya sambil mengenakan tas gitarnya.

"Pastiin kamu main lagi ke Mantra Coffee, ada seseorang yang nunggu kamu di sana. Kalo kamu butuh panggung, dateng aja." Perlahan Tama pergi meninggalkan Sarah.

Tepat hari ini, ruko sebelah kanan mantra ada yang mengisi. Sepertinya yang akan mengisi ruko tersebut adalah sebuah pet shop. Setelah bertahun-tahun sendiri, akhirnya mantra memiliki tetangga baru.

Seperti halnya mantra coffee yang dimiliki Dirga dan kawan-kawan, pet shop itu juga milik seorang mahasiswi dan sepertinya mereka juga akan tinggal di sana.

"Lu ga perlu jauh-jauh beli makanan kucing lagi," ucap Dirga pada Tama.

Seorang gadis turun dari mobil dan membawa beberapa kandang kosong, sambil berjalan ia menyempatkan senyum pada Dirga dan Tama yang sedang duduk di depan.

"Bantuin yuk, kasian masa cewek-cewek ngangkatin barang sebegitu banyak tanpa ada prianya," ucap Andis yang tiba-tiba saja keluar dan berjalan ke arah mereka dan menawarkan bantuan. Perbincangan cukup alot, sepertinya mereka menolak bantuan Andis karena tak ingin merepotkan, tetapi Andis meyakinkan mereka bahwa memang sudah kewajiban manusia untuk saling tolong menolong.

"Tam, lu bikinin yang seger-seger ya, nanti bawain ke mereka. Gua mau bantu Andis." Dirga beranjak dan berjalan menuju ruko sebelah. Tama juga bangkit dan berjalan masuk ke dalam mantra untuk membuatkan beberapa minuman segar.

Setengah jam telah berlalu, Tama membawa beberapa minuman datang ke ruko sebelah. Seorang gadis juga baru sampai di ruko itu, membawa beberapa bungkus nasi padang. Rupanya Andis dan Dirga sukses membantu mereka, dan saat ini sudah waktunya makan siang. Sebagai rasa terimakasih, mereka memberikan nasi padang untuk Dirga dan Andis. Gadis itu dan Tama saling bertatapan dan saling menatap bawaan mereka masing-masing.

"Penghuni ruko sebelah ya, Mas?" tanya pada Tama.

Tama membalasnya dengan anggukan kepala.

Seorang gadis lain membukakan pintu dari dalam, seraya menyuruh mereka berdua untuk masuk dan makan bersama.

"Yang ini namanya, Tama," ucap Andis memperkenalkan kartu as mantra.

"Yang ini namanya, Tiara," ucap seorang gadis memperkenalkan gadis yang membawa bungkusan nasi padang.

Setelah perkenalan singkat, guna mempererat hubungan ketetanggaan mereka. Akhirnya dilanjutkan dengan makan siang bersama.

"Tam, lu bawa apa aja?" tanya Andis.

"Non coffee, random," jawab Tama singkat.

"Kakak-kakak jangan lupa mampir ke mantra ya kalo mau ngopi." Andis mempromosikan mantra.

"Kalian punya kucing kan? Tadi aku sempet lihat ada kucing hitam--"

"Namanya, Anna," potong Tama.

"Kalo, Anna sakit, bawa aja ke sini. Ada, Tiara, dokter hewan kita," jelas seorang gadis dengan kacamata.

"Asisten dokter," jelas Tiara.

Sama seperti Mantra, mereka juga tinggal berempat. Tiara, wanita dengan rambut sepanjang pundak dan wajah yang terlihat jutek, padahal orangnya ramah. Lalu ada Vitaya, wanita dengan kacamata dan rambut dikuncir ke belakang. Karimah, wanita manis dengan hijab yang menutupi auratnya. Dan Bunga, wanita dengan rambut sepanjang pinggang dengan senyum yang berseri-seri bagaikan bunga matahari.

Mereka juga memiliki keterampilah khusus dalam pekerjaan yang mereka tekuni, seperti halnya Tiara, seorang mahasiswa kedokteran hewan UGM. Namun, karena masih dalam studi, mereka membayar seorang dokter yang sudah memiliki izin praktek, sehingga Tiara menjadi seorang asisten dokter, sambil ia belajar untuk menangani beberapa kasus. Sementara yang lain adalah seorang groomer, dan operator yang memiliki pengetahuan tentang hewan.

Yang unik adalah gadis bernama Vitaya. Dirga, Tama dan Andis merasakan sesuatu yang mistis dari gadis itu, entah apa itu. Yang jelas ada hal yang janggal, jika bicara tentang sosok Vitaya. Begitu 'pun dengan Vitaya, ia merasakan sesuatu hal berbau supranatural pada Dirga, Andis dan Tama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top