89 : Hambar

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Andis baru saja selesai mandi, ia berkaca dan bersiap untuk bekerja. Andis mulai mengenakan apron miliknya dan turun ke bawah. Sebelum turun, Andis menatap pintu kamar Tama yang tertutup, ia berjalan dan membuka pintu itu.

Kamar yang kosong dan tampak begitu bersih, sepertinya Ajay selalu membersihkannya. Terpapang sebuah foto yang tergantung di diding. Foto mereka berenam, Driga, Tirta, Uchul, Ajay, Tama dan dirinya. Andis menyentuh foto itu dan berfokus pada sosok serigala yang kehilangan kawanannya. Tak lama setelah itu, Andis keluar dan turun ke bawah.

Malam ini tak begitu ramai, seorang wanita memesan green tea latte dan pacarnya memesan milkshake bubble gum. Nisa membawakan pesanan itu ke pada sang pelanggan.

"Permisi," ucapnya sambil meletakkan dua gelas minuman itu di meja.

"Terimakasih," jawab si wanita.

Pasangan itu duduk sambil berbincang, kurang lebih setengah jam berlalu, mereka berjalan ke arah kasir dan membayar tagihannya.

"Mas," panggil wanita itu ke pada Andis.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?"

"Kok, akhir-akhir ini rasa minumannya beda ya?"

"Bedanya?" tanya Andis sambil mengerutkan dari.

"Khususnya di minuman non coffee, Mas. Kadang tuh kurang manis, kadang ke manisan, padahal kita sering ke sini dan selama ini suka banget rasa minuman di sini. Tapi belakangan ini jadi aneh aja gitu, kayak bukan minuman dari Mantra Coffee yang biasanya, rasanya tuh kayak--hambar aja gitu, ga ada nyawanya," tuturnya.

"Kebetulan salah satu lead barista kita yang megang minuman non coffee udah keluar mbak, mungkin anak baru yang gantiin dia butuh penyesuaian aja. Makasih atas kritik dan sarannya ya, Mbak," jawab Andis.

"Oh, Mas-mas ganteng yang pake sarung tangan hitam kan?"

"Iya, dia."

Setelah itu, pasangan itu berjalan keluar. Andis membereskan meja bekas pasangan itu, ia mencicipi sedikit minuman itu dengan sebuah sendok baru.

Hampa.

Andis mengamati gelas itu sambil melamun. Setelah itu, Andis memberikan gelas-gelas itu pada Puspa, ia segera kembali menuju posnya di meja kasir.

"Komplain lagi?" tanya Dirga.

"Iya," jawab Andis singkat, ia terlihat murung.

Dirga mengambil bangku dan duduk di sebelah Andis yang sedang menjaga kasir.

"Aneh ya ... ga ada, Tama?" ucapnya sambil meletakkan dagunya di atas sandaran bangku.

Andis hanya diam sambil menunduk menatap ke arah mesin kasir.

"Jadinya 'Manra' huruf T nya ilang," sambung Ajay.

"Hambar ...," ucap Andis lirih.

"Entah, udah berapa lama kita sama-sama, dari kita semua masih kecil. Suka mandi bareng, makan bareng, gangguin Bu Jamila bareng-bareng." Andis menyematkan senyuman sambil mengingat memori lamanya bersama sahabat-sahabat Mantra nya.

"Gua pikir-pikir, emang gua yang keterlaluan. Ego gua terlalu tinggi, gara-gara, Sarah. Ga seharusnya juga gua ngebentak, sampe mukul mukanya. Ya, meskipun sebenernya udah lama pengen gua tonjok muka gantengnya yang bikin gua iri."

"Ga bisa kayak gini nih, gua ga nyaman." Andis beranjak dari duduknya, ia berjalan meninggalkan meja kasir.

"Tolong jaga kasir dulu, Jay. Gua mau cari angin bentar," ucapnya keluar dari mantra.

"Woy! Masa--"

"Jay, biarin dia," ucap Dirga yang menahan Ajay.

"Gaji, Andis hari ini, setengahnya buat lu."

"Mantul bosku."

Andis mengenakan helm dan pergi menggunakan motornya.

* * *

Di sisi lain.

Setelah selesai perform di sebuah kafe bersama Stray Kids, Tama menikmati secangkir kopi hitam. Ia mengamati kopi itu.

Hambar.

Ia mengingat Andis, yang memang pakarnya dalam kopi hitam. Jujur, Tama menyukai long black buatan sahabatnya itu. Tama tak menghabiskan kopinya, ia keluar dari kafe dan langsung menuju Malioboro untuk melanjutkan busking nya.

Sesampainya di kilometer nol, Tama mengeluarkan gitarnya dari dalam case. Ia meletakkan case nya dengan kondisi terbuka, sebagai tempat uang dari orang-orang yang sudi membayar pertunjukannya.

Tama membawakan lagu talking to the moon milik Bruno Mars dengan gaya fingerstyle nya.

https://youtu.be/0C88Iv9I-z4

Seorang pria dan seorang wanita menagamati pertunjukannya. Pria itu juga membawa gitar dan wanitanya membawa violin yang masing-masing bersembunyi di dalam case nya.

Setelah Tama selesai dengan lagu pertamanya, pria itu menghampiri Tama. Pria dengan kaos long sleeve berwarna abu-abu.

"Talking to the moon, Bruno Mars," ucapnya pada Tama.

Tama melemparkan senyumnya pada pria itu.

"Gokil, keren abis, tapi sayang--hambar," lanjut pria itu.

Tama mengerutkan dahinya, ia tak mengerti maksud perkataan dari pria itu. Hambar?

"Gitar lo, namanya siapa?" tanya pria itu.

"Nama?" tanya Tama yang heran.

"Iya, nama."

"Emang, perlu di kasih nama?"

Pria itu hanya tersenyum pada Tama, ia mengeluarkan gitarnya yang berwarna krem, "kenalin, My Wife," ucapnya memperkenalkan gitarnya pada Tama.

"Your wife?"

"Enggak, namanya emang gitu, My Wife," jelas pria itu.

"Nama gitarnya, My Wife?" tanya Tama lagi.

"Yups," jawab pria itu.

Pria itu memainkan sebuah lagu blues, Pride and Joy. Permainannya sangat bagus. Pembawaannya asik, bunyi senar dari My Wife begitu halus tanpa miss. Tama memperhatikan pria itu dengan tatapan yang sangat serius, hingga tanpa sadar ia mengeluarkan sedikit senyuman, mungkin karena ia sangat menikmati permainan pria itu. Semua orang berkumpul dan sama-sama menikmati pertunjukan blues dari pria itu.

"Gua sama My Wife biasa main lagu blues," ucapnya.

"Permainan yang bagus aja, belum cukup. Lo harus pake perasaan lo, lo harus kenal sama gitar lo sendiri. Lihat mereka." Pria itu menatap para pendengarnya, Tama ikut melihat ke sekitarnya, orang-orang yang berada di kilometer nol sangat ramai dan menikmati musik blues yang disajikan pria itu.

"Gua cuma diem aja, tapi My Wife yang beraksi--" Sambil mengetuk-ngetuk pelan punggung gitarnya.

"Gitar itu hidup, dia ga mati. Udah sewajarnya dia punya nama, kan?" lanjut pria itu.

Tama menatap gitar tanpa nama miliknya. Permainan Tama memang bagus, tapi terasa hambar.

"Gitar ini--pemberian seseorang," ucap Tama.

"Dan mungkin orang itu sekarang, benci banget sama gua." Tama hanya menatap gitar itu dengan perasaan yang tak karuan.

"Mungkin, gua bakal namain gitar ini pake nama orang yang ngasih gitar ini ke gua--namanya, Sarah."

Pria blues itu tersenyum ke arah Tama, "lo bisa main musik blues?"

"Sedikit" jawab Tama.

"Mau coba?" ajak pria itu. "Angkat, Sarah lo. Kita main bareng! Lagu apa yang lo tau?"

"Time is only my side." jawab Tama.

"Rolling Stones?" sambung pria itu.

Tama hanya menganggukan kepalanya. Mereka berdua memainkan lagu time is only my side milik Rolling Stones. Mungkin ini kali pertama Tama memainkan jenis musik blues, tetapi ia memang cepat belajar. Hanya dengan sekali melihat permainan pria itu, Tama langsung bisa mengimbanginya. Terlihat raut wajah Tama yang sangat puas, untuk pertama kalinya, ia menikmati musik yang ia bawakan sendiri. Tama memejamkan matanya untuk menikmati setiap nada yang tercipta dari tiap petikannya. Pria dingin itu tersenyum.

"Main blues itu ga harus jago, lu cuma perlu pake hati." tutur Pria itu 

Selesai mereka membawakan lagu itu, Tama membereskan peralatannya, ia memasukan Sarah ke dalam case nya.

"Kenalin, gue Devan," ucapnya memperkenalkan diri.

"Yang duduk di sana itu Keisya." Devan menunjuk Keisya yang sedang duduk sambil memperhatikannya.

"Nama lo siapa?"

"Tama."

"Keren parah lo pokoknya, Tam! Gua pamit dulu," ucapnya menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman.

"Belom sekeren, Bang Devan." Tama menyambut salaman dari Devan.

Tama segera pergi, mungkin karena sudah larut malam, ia segera pulang. Hingga sampai di daerah Janti, ia baru sadar, jika ia salah arah. Mungkin karena efek permainan yang menyenangkan bersama Devan, ia sampai lupa jika sekarang ia sudah tak tinggal di Mantra Coffee yang berada di Maguwoharjo.

Oh iya, ngapain gua ke sini.

Dengan berat hati, Tama berputar haluan. Mungkin karena ia tergesa-gesa, Tama hampir tertabrak motor yang berada di belakangnya.

"Sorry," ucap Tama pada orang itu.

"Tama?" ucap orang itu.

Tama menatap orang yang hampir ia buat celaka. Sosok itu adalah Andis yang sedang mengendarai motor.

"Mau ke mana lo?" tanya Andis yang menepikan motornya dan turun.

"Pulang," jawab Tama singkat.

"Turun lu sini," pinta Andis.

"Udah malem, Dis. Gua ngantuk," jawab Tama ketus sambil menyalakan motornya.

Dengan cepat, Andis mengambil kontak motor milik Tama, sehingga mesinnya mati.

"Lu mau apa sih?" tanya Tama.

"Cuma ada satu kan--" Andis menatap Tama dengan tatapan yang sendu.

"Tempat lo pulang." Sambil menunjuk jalan ke arah mantra.

Tama menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca-kaca.

"Sorry, gua udah kelewatan kemaren," ucap Andis.

"Hambar--secangkir kopi yang dinikmati tanpa seorang sahabat," sambung Andis.

"Kita merasa kehilangan seorang, Tama. Tapi itu masih lebih baik, merasa kehilangan satu orang doang. Kehilangan satu orang aja udah sakit ini--"

"Apa lagi kehilangan semuanya kan? Kehilangan Dirga, Ajay, Gua."

Pertahanan Tama runtuh, air matanya menetes. Jujur pergi dari mantra adalah hal yang paling menyakitkan dari pada apapun, dari pada kehilangan Aqilla sekali pun. Andis menarik Tama turun dari motornya, ia memeluk sahabatnya yang sedang menangis.

Kehidupan Tama di luar tidaklah buruk, tetapi tetap saja. Tanpa mantra, hambar rasanya. Mereka bukan hanya sekedar teman atau sahabat dekat, mereka adalah keluarga.

Kini mereka menjadi sorotan para pengendara dan juga pejalan kaki. Tak sedikit orang iseng yang mencie-ciekan mereka berdua. "Cieeee."

"Bangsat lo semua!" ucap Andis pada pengendara motor yang memperhatikan mereka. "Lo semua pikir gua homo? Hah?!"

Tama justru tertawa mendengar ocehan Andis. Tama baru menyadari bahwa pelukan seorang sahabat memang sehangat ini, bukan berarti ia berharap dipeluk oleh seorang pria, tapi faktanya saat ini, memang itu yang dibutuhkan Tama.

"Sorry juga, gua yang salah karena udah kasar sama Sarah, gua akan minta maaf," ucap Tama.

"Kan gua duluan yang minta maaf, berarti gua yang salah. Lo ga salah kok--"

"Lo cuma menjaga perasaan, Aqilla kan?"

"Lo ga salah, Tam, tapi cara lo ga bener--intinya gua yang lebih salah," lanjut Andis lagi.

"Ya ga bisa gitu, gua yang paling salah!" balas Tama dengan dorongan kecil.

Mereka tertawa bersama atas kelakuan mereka barusan yang sama-sama tak mau mengalah tentang siapa yang paling salah. Malam ini, Tama memutuskan untuk menginap di Mantra.

"Bukan cuma malem ini, Tam--"

"Mulai besok dan seterusnya, lo harus tinggal di Mantra lagi!" tegas Andis.

"Gua udah sewa kosan, di daerah, Bantul" balas Tama.

"Nanti gua ganti duit lo, besok bawain lagi barang-barang lo balik," balas Andis.

"Serius? Seorang Andis yang miskin, berani buang-buang duit? Buat bayarin kosan gua?" ledek Tama, mengingat Andis adalah orang yang sensitif terhadap keuangan.

"Iya elah, santai."

Mereka berdua langsung tancap gas menuju Mantra Coffee dengan kecepatan yang tergolong lambat.

.

.

.

Keisya & Devan, minjem karakter dari cerita Blue Notes. Ceritanya bagus banget dan itu udah tamat, karyanya kak tenunkata.

Yang belum baca, monggo di kunjungi yaaaa, recommended pokoknya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top