87 : Seutas Perpisahan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Tam?" Andis menatap punggung Tama yang sedang berdiri membelakanginya. Andis menghampiri Tama, entah apa yang Tama lakukan, ia hanya diam berdiri membelakangi Andis.
Andis menepuk pundak Tama, Tama menoleh. Kedua matanya bolong, entah pergi ke mana bola mata milik Tama. Pria tampan tanpa bola mata itu menyeringai pada Andis, dengan seringai paling menyeramkan yang pernah Andis lihat. Kemudian sebuah mobil menabrak Tama hingga tubuhnya hancur lebur, tepat di depan Andis.
Andis sontak terbangun dari tidurnya, ia langsung bangun dan duduk di atas ranjangnya dengan keringat yang bercucuran dan juga napas yang tergopoh-gopoh.
Mimpi gini lagi, batinnya sambil meraih segelas air putih yang berada di atas meja pendeknya.
Tok ... tok ... tok
Suara ketukan di jendela terdengar dari arah jendela yang mengarah ke luar.
"Makhluk-makhluk sialan!" umpatnya.
Makhluk-makhluk halus memang suka masuk melalui mimpi dan memberikan mimpi buruk, kali ini mereka mengganggu Andis yang sedang banyak pikiran, mereka memanfaatkan Tama sebagai objeknya. Namun, terkadang mereka hanya datang untuk memberikan suatu pertanda.
Udara subuh menusuk masuk menembus mantra coffee, Andis sudah bersiap dengan kaus abu-abu lengan panjang dan topinya, jelas terlihat lipatan hitam di bawah matanya, ia kurang tidur.
"Jangan ngopi, Dis. Makin ga bisa tidur lu," ucap Dirga yang baru saja turun mengenakan kaos hitam lengan buntung, terlihat jelas ia baru bangun dari tidurnya.
"Udah solat belum lu?" tanya Andis yang sedang menuangkan kopi hitam tubruknya.
"Udahlah."
"Tama ga ada kabar?" tanya Andis.
"Ya, coba lu kontak aja," jawab Dirga.
Andis tak menjawab, ia hanya diam sambil membawa kopinya ke salah satu meja, lalu duduk di sana dan menyeruput kopinya. Terlihat jelas bahwa Andis mengkhawatirkan Tama, tetapi ia tak mau menghubungi Tama, ia tetap pada pendiriannya untuk tak memaafkan Tama sebelum ia meminta maaf pada Sarah.
"Harus ada yang jadi air, jangan keras semua kayak batu," ucap Dirga pada Andis.
Semenjak perkelahiannya dengan Tama, Andis merasa gangguan makhluk-makhluk tak kasat mata sering muncul, entah lewat mimpi atau gangguan tidur lainnya. Semenjak itu juga, ia tak berani menghubungi Sarah karena merasa malu dan tak enak padanya.
* * *
Matahari muncul mengusir gelap, Andis sedang mencuci gelas miliknya. Ia sudah bersiap dengan dua botol moccacino yang ada di dalam tasnya.
"Mau berangkat lu?" tanya Dirga.
"Iya, ada kelas pagi gua. Sekalian nyari sarapan dulu." Andis pergi keluar dan langsung tancap gas menuju kampusnya.
Sementara itu, Tama sedang duduk melamun di pinggiran Malioboro, tatapannya kosong, tubuhnya berada di sana, tetapi pikirannya melayang entah kemana.
Suara biola milik Sherlin memecah lamunannya, ia memandang Sherlin yang bermain biola sambil di kelilingi orang-orang. Tanpa sadar, Tama tersenyum, hingga ia melihat empat orang mahasiswa yang sedang tertawa bersama di kursi yang tak jauh dari Sherlin. Tatapannya terfokus ke arah anak-anak itu, sambil membayangkan bahwa yang berada di sana adalah dirinya, Dirga, Ajay dan Andis.
"Dor!" Lagi-lagi Sherlin memecahkan lamunannya.
"Jangan bengong, ayo kita duet." Sherlin mengajak Tama untuk bermain musik bersama, lebih tepatnya meminta Tama untuk mengiringi permainannya. Sambil beranjak, Tama mengambil ponselnya dan memberikan pesan kepada Aqilla untuk menemuinya di Malioboro.
Tama : Kita ketemuan di Malioboro, depan raminten, ada yang mau aku kenalin sama kamu.
Aqilla : Meluncur~
Aqilla segera menuju Malioboro, sebenarnya ia sedang melakukan penelitian untuk skripsinya, tetapi ia tak bisa mengabaikan Tama yang sendiri tanpa Mantra.
Sesampainya Aqilla di Malioboro, ia segera menuju tempat yang Tama sebutkan. Aqilla melihat Tama yang sedang bermain musik bersama seorang gadis kecil, mereka begitu senada, dengan outfit berwarna gelap dan membawa lagu blues yang tergolong lumayan sulit untuk anak seusia itu, dan yang lebih membuat Aqilla terpana adalah, kekasihnya hanya menjadi pengiring, sedangkan gadis itu yang bermain solo biola dan menjadi pemeran utamanya.
Gila, epic banget skillnya, batin Qila melihat permainan Sherlin.
Tama berhasil menangkap Aqilla dengan matanya, setelah permainan berakhir, ia menuntun Sherlin untuk bertemu dengan Aqilla. Sherlin menatap Aqilla yang sedang memandangnya.
"Hallo," sapa Qila ramah pada gadis kecil itu.
Sherlin tak menjawab, ia hanya menatap Aqilla bingung. Sherlin memang jarang berbicara dengan orang lain selain Tama.
"Aqilla, ini Sherlin. Sherlin, ini Aqilla." Tama memperkenalkan mereka.
"Aqilla itu, siapa?" tanya Sherlin polos.
"Dia itu calon istri, Kak Tama," ucap Tama sambil melirik Aqilla.
"Calon istri?" tanya Sherlin.
"Preeet!" ledek Aqilla.
"Kalo ini Sherlin, Adik aku--" Belum sempat Tama mengenalkan Sherlin, gadis itu memotong.
"Bukan!" ucapnya agak keras.
Tama terkejut, tak biasanya Sherlin bersikap seperti itu. Wajahnya tampak murung, seperti ragu akan sesuatu, matanya terus menatap tanah. Aqilla dan Tama saling bertatapan, seolah Aqilla berkata, "kenapa tuh?" sedangkan Tama hanya mengangkat bahunya, seolah berkata. "Ga tau."
"Sherlin udah ga mau jadi adiknya, Kak Tama!" Sherlin menarik tangan Tama, ia berjalan ke arah Aqilla sambil menggandeng Tama dan menarik tangan Aqilla juga.
"Sherlin mau jadi anaknya, Ayah Tama sama, Bunda Aqilla," ucapnya sambil menggandeng tangan Aqilla dan Tama. Matanya tak berani menatap Tama atau pun Aqilla.
"Boleh?" sambung anak jalanan yang sejak kecil sudah hidup yatim piatu itu.
Tama menatap Aqilla yang tersenyum gemas pada Sherlin, Qila hanya mengangguk pada Tama. Mereka berdua mengangkat tangan Sherlin, sehingga anak itu terangkat, bergelantungan di antara tangan Tama dan Aqilla.
"Boleh kok," jawab Qila.
Tak perlu penjelasan Tama, Aqilla sudah paham siapa anak ini. Tama tak mungkin melakukan sesuatu yang merepotkan, jika ia bersama anak ini, berarti ada alasan di balik itu semua, dan Aqilla tak perlu tau itu sekarang. Ia hanya percaya pada prianya.
"Ayo, kita main musik bertiga!" ajak Aqilla sambil mengambil gitar Tama.
"Bertiga?" Tama tampak bingung, Aqilla tak membawa gitar, ia hanya mengambil gitar milik Tama.
"Belum pernah denger Ayah nyanyi kan? Sekarang, Sherlin dengerin ya," ucap Qilla sambil menyetel gitar Tama.
"Ayeeey! Ayo." Sherlin sangat bersemangat sekali.
Merasa dijebak, sebenarnya Tama keberatan. Tetapi lagi-lagi senyum polos Sherlin membuatnya menjadi vokalis pada kesempatan kali ini. Malioboro pagi ini bagaikan milik mereka bertiga. Sepasang kekasih yang mencoba membahagiakan seorang anak jalanan yang tak memiliki siapa-siapa lagi.
Di sisi lain, Andis langsung pulang setelah jam kuliahnya. Sekar yang merasa Andis menjauh belakangan ini, akhirnya memutuskan untuk menghampiri Andis yang sedang berjalan melewati kursi di depan pohon besar tempatnya tinggal dulu.
"Andis," sapanya.
Andis hanya diam, seolah ia tak bisa melihat dan mendengar Sekar.
"Andis, Andis, Andis," panggil Sekar semakin mengganggu Andis.
"Apa!" Andis yang sedang banyak pikiran akhirnya merasa terganggu dan tak sengaja membentak Sekar.
Andis menatap Sekar yang ketakutan karena bentakkannya barusan.
"Maaf--" sambungnya sambil memasukan tangannya ke dalam kantong celanannya dan melanjutkan jalannya.
Sekar meraih baju Andis, tetapi, ia tak bisa menyentuhnya.
"Andis!"
Andis menoleh lagi ke arah Sekar. Namun, Sekar menabraknya dan merasuki tubuh Andis. Andis terhempas dan jatuh. Sekar melihat isi pikiran Andis. Pria bertopi itu benar-benar depresi, melihat sosok wanita yang ia suka harus ditampar karena memang melakukan sebuah kesalahan. Namun, Tama juga tak seharusnya menampar seorang wanita.
Andis adalah orang yang sangat menjunjung tinggi makhluk yang bernama 'wanita'. Bagaimana tidak, sejak lahir, ia tak pernah melihat sosok wanita yang melahirkannya. Ia hanya mendengar semua cerita tentang sosok wanita yang merupakan ibu nya itu dari ayahnya. Dan menurutnya wanita adalah makhluk yang hebat dan harus diperlakukan lemah lembut.
Andis memang nakal, ia sering menggoda wanita, tetapi tak pernah dalam konteks yang negatif. Ia hanya iseng dan kebanyakan wanita hanya merasa itu sebagai basa-basi saja. Andis hanya marah pada Tama karena ia tega menampar seorang wanita. Menurutnya, ada cara lain untuk mengatasi masalah itu tanpa harus ada kontak fisik. Andis yang paling tahu rasanya menunggu, Andis yang paling tahu rasanya bertepuk sebelah tangan, dan Andis yang paling paham rasanya melihat orang yang ia suka bermesraan dengan pria lain. Tamparan keras itu menjadi sebuah pukulan telak bagi Sarah, dan tentunya bagi Andis juga. Andis yang paling paham, arti dari binar di mata milik Sarah pada saat itu, tak ada lagi cahaya di matanya, seolah Sarah sudah tak peduli lagi dengan dampak apa yang akan terjadi jika ia melakukan hal tersebut.
Di satu sisi ia merasa bersalah pada Tama, tetapi di sisi lain ia juga merasa bersalah pada Sarah. Ia tahu, Aqilla selalu ada di sisi Tama, sedangkan Sarah? Andis hanya ingin menjadi seseorang yang membelanya. Seperti Tama yang selalu membela Aqilla. Sakit rasanya melihat seorang yang kita sayangi, lebih membela orang lain.
Dalam alam bawah sadarnya, Andis hanya membiarkan Sekar menonton sebagian memorinya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk bercerita tentang perasaannya pada Dirga dan Ajay, ia hanya membiarkan Sekar yang tahu tentang semua perih yang ia rasakan.
"Percaya deh, aku tahu rasanya ada di posisi, Sarah," ucap Sekar yang mengingat masa lalunya. Ketika pria bernama Bayu yang ia tunggu sekian lamanya, harus pergi dengan wanita lain.
Sekar berjalan ke arah Andis yang sedang duduk memperhatikannya. Ia menyentuh pipi Andis dengan kedua tangannya dan berusaha menghapus air mata yang menetes dari bola mata Andis, meskipun percuma. Lalu menempelkan keningnya pada kening Andis, ia membagi sebagian memorinya pada Andis.
"Maaf aku berbohong, aku ga pernah nunggu, Bayu--"
"Ratusan tahun, aku cuma nunggu seorang yang bisa gantiin dia. Biar bisa pulang dengan tenang."
"Lalu kamu muncul sebagai orang pertama yang bisa menyadari keberadaanku--kamu mulai datang dan banyak bicara, meskipun aku terus diemin kamu, kamu terus datang dan nemenin aku yang selalu sendirian--"
"Entah sejak kapan, kamu datang membawa sebotol cinocino buat aku."
"Udah saatnya kamu tahu kebenaran tentang aku." Sekar memejamkan mata dan mengirim segelintir memori kehidupannya ke dalam pikiran Andis.
"Jangan sampai kamu menyesal selama ratusan tahun--kamu masih punya waktu--penyesalan selalu datang terlambat, sebelum ia datang--kamu harus tau apa yang harus kamu lakukan--"
"Ayo bangkit, Andis! Jangan sedih lagi! Aku jadi semakin bisa ga tenang kalo kamu kayak gini terus."
"Terimakasih untuk waktu yang singkat ini--"
"Selamat tinggal."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top