79.4 Mantra Tama

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Kedekatan antara Tama dan Sarah semakin membuat geger sekolah, terutama di kalangan para murid. Ketika gadis paling populer dan pria yang paling dijauhi di sekolah, berjalan bersama. Sarah selalu menunggu Tama keluar dari kelasnya, jika ia keluar duluan. Ketika Tama keluar, ia akan berjalan di belakang Tama sambil memegangi ujung lengan seragamnya tanpa tau, kemana langkah itu akan membawanya. Jujur saja, Tama tak terlalu menghiraukan atau merasa terganggu atas kehadiran Sarah yang belakangan ini selalu menempel padanya, bahkan ketika tidak di rooftop. Yang jelas, di mata orang lain, mereka seperti sepasang kekasih.

Keadaan ini membuat Sarah menjadi di pandang buruk oleh sebagian orang, dan Tama di pandang baik oleh sebagian orang. Ketika mereka berdua, mereka menjadi netral, tak terlalu dipandang baik dan tidak juga dipandang buruk. Keadaan itu berlangsung hingga pertengahan semester kelas dua.

Hari itu ayah Sarah datang ke sekolah dan menemui kepala sekolah. Dari pembicaraan itu, rupanya Sarah akan segera pindah sekolah karena tuntutan kerja ayahnya, mereka sekeluarga akan meninggalkan Jakarta pada akhir bulan ini. Sebuah titik yang besar akan segera menutup kebersamaan mereka.

"Udah denger? Kabar tentang, Sarah?" tanya Andis yang sedang membeli cilok di kantin.

Tama menghiraukan pertanyaan Andis, entah ia sudah tahu, atau mingkin dia tidak terlalu peduli. Yang jelas, Tama tak memberikan respon.

"Dia mau pindah sekolah akhir bulan ini." Andis melanjutkan ucapannya.

Tama menjatuhkan gorengan yang baru saja ia ambil, sepertinya ia baru mendengar hal ini. Melihat reaksinya, sepertinya kabar itu berdampak padanya. Setelah itu, tak ada sepatah kata pun di antara Andis dan Tama, hingga mereka berada di depan laboratorium biologi.

"Lu, suka ga sih sama, Sarah?" tanya Andis.

Lagi-lagi Tama tak merespon. Andis menarik kerah bajunya dan menabrakan badan Tama ke dinding lab.

"Lu budek! Apa bisu sih?" bentaknya.

Tama merasa kaget dengan situasi itu, Andis yang tak pernah marah atau pun bertindak seperti itu, tiba-tiba saja sekarang sedang menatap Tama dengan wajah yang penuh amarah. Mereka menjadi sorotan orang-orang.

"Lu--kenapa?" tanya Tama.

"Lu yang kenapa!" balas Andis.

"Andis, Tama." Sarah tiba-tiba saja datang.

Andis melepaskan cengkramannya dari kerah seragam Tama, ia pergi begitu saja.

"Tama, kamu gapapa?" tanya Sarah.

Tama hanya mengangguk. Sarah menatap punggung Andis yang berjalan menjauh.

"Andis!" panggil Sarah sambil menghampiri Andis.

"Andis, tunggu." Sarah menarik lengan seragam Andis.

"Lo kenapa sama, Tama?"

Andis termenung menatap lantai berwarna putih yang ada di bawahnya, "kenapa lu bisa suka sama, Tama?" tanya Andis.

Sarah tak bisa menjawab pertanyaan itu, ia tak sadar, kapan ia menyukai Tama. Entah sudah sejak kapan ia menyukai pria itu, entah sudah berapa lama waktu yang mereka habiskan di rooftop. Pasti ada, salah satu hari di antara hari-hari itu, di mana ia mulai serius menyukai Tama.

"Lu selalu lari ke gua, kalo ada masalah. Dan masalah lu selalu sama--"

"Tama, Tama, Tama."

"Sedetik pun dia ga pernah mikirin lo," ucap Andis sambil menunjuk Tama yang masih berdiri di tempatnya.

"Sedetik pun lo ga pernah berhenti mikirin dia."

"Dan sedetik pun gua ga pernah lepas buat mikirin lo--yang ga pernah mikirin gua--"

"Kenapa sih, dunia itu ga adil?"

"Andis?" ucap Sarah yang tak mengerti dengan ucapan Andis.

"Iya, gua suka sama lo--sekali-kali pengen lari gua, saat lo ngomongin Tama di depan gua."

"Biar lo paham--"

"Arti hadir gua." Andis memutar tubuhnya, ia melanjutkan langkahnya. Sedangkan Sarah hanya bisa menatap punggung yang kini pergi menjauh darinya.

Kisah cinta segitiga ini, cukup hot menjadi perbincangan para predator gossip di sekolah, yang memang tak bisa hidup tanpa mengkonsumsi kabar-kabar tak penting itu.

Braaaak!

"Lu gila ya, Dis!" Dirga memukul tembok yang berada di samping Andis.

"Sorry, khilaf gua," balas Andis dengan raut wajah yang menyesal.

"Ibarat keluarga, Tama itu adek yang paling kecil, Dis. Lu tau kan apa yang terjadi sama dia? Emosinya ilang, Dis! Ilang!"

"Lo pikir dia kepengen begitu? Enggak--"

"Bisa aja dia suka, tapi ga tau gimana harus ekspresiin rasa sukanya. Kalo pun ga suka, dia ga salah. Sarah yang salah, dia yang nempel sama Tama, Tama itu ga peduli sama sekitarnya. Dia selalu let it flow, kalo pun bukan Sarah, gua rasa dia akan melakukan hal yang sama, ketika ada orang yang berbuat begitu. Selama dia ga terganggu, dia akan biarin."

Andis hanya terdiam dengan seribu bahasa. Semenjak ia membentak Tama, pria dingin itu tak pernah terlihat lagi di sekeliling Andis.

Andis memutuskan untuk mendatangi markas besar Tama yang berada di puncak sekolah. Ia mengentip ke luar, Tama sedang beridiri membelakanginya, Tama sedang duduk sambil bermain gitar.

Gila! Tama keren banget.

Kesan pertama Andis yang baru pertama kali mendengar Tama bermain gitar, petikan melodi yang berbaur dengan deru angin itu menari di telinga Andis. Rambut Tama berkibar diterpa hembusan angin yang romantis.

"Sana, temuin, Tama," ucap Sarah yang tiba-tiba muncul di belakangnya, ia juga membawa gitar.

"Tama selalu ngomongin lo, dia sedih. Lo bilang emosinya mati, tapi dia sedih atas apa yang terjadi sama hubungan persahabatan kalian."

Sarah mendorong tubuh Andis hingga pintu itu terbuka. Sontak Tama menoleh ke belakang, ia melihat sosok Andis yang sedang berdiri sambil menggaruk kepalanya, ia terlihat bimbang.

"Andis?"

"Yo," balas Andis sambil menatap Tama.

"Apa kabar lo, Tam?"

"Baik, lu gimana?"

Tama menjawab sekaligus bertanya pada Andis. Bagi Andis, ia terlalu banyak bicara hari ini.

"Gua kurang baik," jawab Andis.

"Lo sakit?" timpal Sarah.

"Gua sakit, tau lo ga berkeliaran di sekelinling gua, Tam. Gua pikir, cuma urusan hati aja yang bisa bikin sakit hati--"

"Ternyata, kehilangan sahabat, lebih menyakitkan," lanjut Andis.

"Maa--"

"Maafin gua, Dis." Tama memotong ucapan maaf Andis.

Sarah hanya tersenyum melihat persahabatan mereka berdua.

"Sar, lo masih suka sama, Tama?" tanya Andis.

Sarah hanya mengangguk.

"Ketularan, Tama lo. Cuma ngangguk-ngangguk doang kayak anak metal, kalo enggak, geleng-geleng kayak anak dugem."

"Kalo lu udah nyerah nungguin, Tama. Jangan lupa kabarin gua--"

"Gua selalu nunggu lo menyerah."

"Ga akan terjadi," balas Sarah sambil memeletkan lidahnya.

"Mumpung kita di sini, yuk nyanyi-nyanyi." Sarah menatap Tama dan Andis, mereka semua tersenyum dan mulai menyanyikan berbagai lagu. Andis diam-diam memiliki suara emas, sedangkan Tama bermain rythem, dan Sarah dengan melodinya.

Hari-hari yang Sarah lewatkan selalu membawa kesan dan pesan yang penting dalam kehidupannya. Tak terasa, hari ini adalah hari terakhirnya berada di sekolah. Seperti biasa, ia kini berada di rooftop bersama dengan Tama. Udara hari ini dingin, mungkin karena langit sedang bertengkar, terlihat dari cuaca yang sendu dan angin yang sedikit marah.

"Hari ini, hari terakhir aku sekolah di sini, loh," ucap Sarah.

"Kamu belum mau suka sama aku gitu?"

"Aku ga tau," jawab Tama.

"Dingin--" celetuk Sarah.

"Terasa semakin dingin hari ini."

"Kan emang cuacanya begini, lagi musim dingin," balas Tama.

"Gimana enggak, aku pergi jauh, sedangkan musim semiku tertinggal di sini," balas Sarah yang yang menatap dalam ke arah dua bola mata Tama.

"Coba bergaul sama orang lain ya, biar kamu ga kesepian," ucap Sarah sambil tersenyum.

"Bukannya, kamu--"

"Yang kesepian," balas Tama sambil menyampingkan poni Sarah ke belakang telinganya.

Gadis itu tersipu malu, wajahnya memerah.

"Kamu, mau nyanyi ga? Buat yang terakhir kali," pinta Sarah.

Tama menarik tangan gadis itu, "duduk," pintanya. Sarah duduk di lantai rooftop, Tama mengeluarkan gitar milik Sarah dan ikut duduk di depan Sarah.

"Serius, mau nyanyi?"

"Sssttt--" Tama menempelkan jari telunjuknya di bibir.

"Jangan bilang siapa-siapa."

Sarah hanya mengangguk, sambil tersenyum. Tama mulai menggenjreng gitarnya dan bernyanyi dengan suara nya yang misterius.

Coba 'tuk melawan getir yang terus kukecap,
Meresap ke dalam relung sukmaku,
Coba 'tuk singkirkan aroma nafas tubuhmu,
Mengalir mengisi laju darahku.

Tama membawakan lagu Padi yang berjudul Semua Tak Sama. Hingga pada bagian reff, Sarah ikut bernyanyi, mereka bernyanyi bersama.

Reff:
Semua tak sama..
Tak pernah sama,
Apa yang kusentuh, apa yang kukecup,
Sehangat pelukmu..
Selembut belaimu,
Tak ada satupun yang mampu menjadi, sepertimu.

"Terimakasih, Tama."

Tama tersenyum pada Sarah. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca melihat senyum itu.

"Bisa ga sih, kamu jangan senyum!"

"Aku jadi ga mau pergi." Pertahanannya runtuh, air matanya jatuh.

"Boleh ga--"

"Boleh." Tama beranjak dari duduknya, sambil memotong ucapan Sarah. Gadis itu bangun dan memeluk Tama sambil menangis, ia tak bisa menahan suaranya.

"Keluarin semuanya, jangan ditahan." Tama membalas pelukannya.

Mereka berpelukan hingga beberapa lama, perlahan Tama mulai melepaskan pelukannya, ia melepaskan syal yang selalu ia kenakan. Tama melilitkannya di leher Sarah.

"Musim dinginnya panjang, kamu simpen ya."

"Ini kan, benda yang penting buat kamu?" tanya Sarah.

"Orang bilang, sesuatu yang berharga barulah berasa berharga setelah kita kehilangannya--"

"Mungkin sekarang, aku belum bisa bales perasaan kamu--tapi aku berharap, jika aku--"

"Cuma terlambat jatuh cinta."

"Gitar punyaku, itu favorit aku dari semua gitar yang aku punya. Tolong kamu simpen ya, dia ga akan biarin kamu kesepian!" Untuk yang terakhir kalinya, Sarah memberikan gitar kesayangannya pada Tama, ia ingin membalas Tama yang telah memberikannya syal yang selalu ia kenakan, sebuah benda yang penting dalam hidupnya.

"Terimakasih," balas Tama.

Sarah memeluk tubuh pria yang ada di depannya.

"Jangan dilepas! Untuk yang terakhir kalinya, biarin begini terus, sampai jam istirahat selesai."

"Oke."

Saking eratnya pelukan itu, senyum Sarah tercetak di seragam Tama. Begitu pun Tama, aroma tubuhnya tersimpan dalam benak Sarah, masuk melalui rongga hidungnya dan berlabuh di lubuk hati terdalam. Hari itu adalah hari yang tak akan Sarah pernah bisa lupakan, ia berharap di pertemuan selanjutnya, Tama benar-benar mencintainya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top