79.3 Mantra Tama

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

"Membunuh?" ucap Sarah yang kaget dan tanpa sadar berkata dengan suara yang cukup keras, sehingga membuat seisi kelas menoleh padanya. Sarah memang anak baru, ia tak tahu apa-apa soal Tama dan juga teman-teman satu gengnya, yaitu Mantra.

Mantra berisi orang-orang aneh. Andis yang suka berbicara sendiri atau bertingkah seolah-olah sedang bercanda dengan seseorang, padahal tidak ada siapapun di sana. Uchul yang sering pingsan dan terkadang menjadi aneh saat tutup matanya terbuka. Ajay yang selalu mengetahui jika orang sedang berbohong. Tirta yang tanpa sadar, suka merancu sendiri, seakan menjawab atau menimpali omongan seseorang, padahal tidak ada orang lain yang berbicara. Mungkin, hanya Dirga yang terlihat normal, tetapi terkadang ia juga bersikap aneh. Pernah suatu hari, Dirga menarik baju seorang wanita dari kelas dua, hingga bajunya agak robek di bagian pinggang, tanpa alasan yang jelas ia melakukan itu. Dan Tama, dia mampu membuat orang yang mengganggunya menjadi tidak masuk sekolah, hanya dengan menyentuhnya dengan tangan telanjang, oleh sebab itu, Tama dijuluki si pembawa sial.

Mengorek informasi dari Tama tak akan membuahkan hasil, Sarah mencari Andis. Tak sulit menemukan Andis, ia hanya perlu mencari pria yang mengenakan topi beanie berwarna coklat. Sarah menunggu Andis keluar dari kelasnya, waktu memang sudah sore saat ini, kelas Sarah sudah terlebih dahulu keluar, ia menunggu Andis yang masih berada di kelas.

"Hey," sapa Sarah yang melihat Andis keluar kelasnya.

"Hallo," jawab Andis sambil tersenyum.

"Kangen ya?" tanya Andis.

"Gue boleh nanya sesuatu?"

Andis mengiyakan, dengan satu syarat, Andis mengajaknya pulang bareng hanya berdua saja, dan Sarah setuju. Mereka berjalan kaki, Sarah sudah menghubungi Pak Selamet untuk tidak menjemputnya.

"Mau tanya apa?"

"Apa bener--" Getir raut wajahnya.

"Tama pernah bunuh orang?"

Kini Andis paham, kenapa Sarah mau menerima ajakannya pulang bersama. Tak jauh dari Tama, pastinya.

"Akhirnya, sampe juga ya rumor itu di telinga lu."

"Dan tentang anak Mantra yang aneh?" tanya Andis lagi.

Sarah hanya mengangguk.

Di depan mereka terlihat Dirga, Uchul dan Tirta yang sedang berjalan, mereka sebenarnya selalu pulang bersama juga, tetapi karena Andis ada urusan, ia harus berpisah dengan rekan-rekannya. Sedangkan Tama pulang bersama Ajay.

"Tadi pagi, gue tanya kenapa lu berdua bawa gitar. Dan gue liat kok, Tama ga mau kalo gue tau soal gitar-gitaran lu berdua. Dia cuma takut kalo gue jadi ikut nimbrung di atap sekolah."

"Dia sengaja mengasingkan diri dari Mantra kalo di sekolah, semenjak rumor ga enak itu beredar. Dia cuma berusaha jaga image kita berlima," ucap Andis dengan tatapan yang merasa kasihan pada Tama, ia menatap kakinya yang terus melangkah.

"Image?" tanya Sarah.

"Ya, kalo orang liat kita sama-sama, mereka bakal makin ngomongin, Mantra, dan itu buka hal yang, Tama mau. Kita semua tau kalo dia selalu sendirian ketika jam istirahat, tapi itu jalan yang dia pilih, dan kita semua berusaha menerima itu. Walaupun awalnya kita semua ga mau, dan terus barengan, tapi dia sendiri yang menjaga jarak, demi nama kita berlima."

Tiba-tiba saja Dirga melempar botol minuman ke arah anak sekolah lain yang sedang berkendara dengan motor. Tentu saja anak sekolah lain itu jadi marah, dan timbul sedikit perkelahian.

"Eh itu, kenapa begitu? Kok, Dirga main lempar gitu aja?"

Andis melihat sebuah mobil dengan kecepatan yang agak cepat, lalu di susul oleh motor yang sedang berusaha membalap mobil itu dengan kecepatan tinggi.

"Indigo," ucap Andis.

"Pernah denger istilah itu?"

Sarah hanya mengangguk.

"Menurut orang, indigo itu cuma bisa liat hantu. Tapi ga semua begitu, beberapa dari mereka memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam kasus, Dirga, dia seorang Prekognision."

"Prekognision?" tanya Sarah.

"Kemampuan bisa melihat sekilas masa depan. Kalo dia ga nimpuk orang itu, mungkin sesuatu yang lebih kacau bisa terjadi. Lihat mobil sama motor tadi? Mungkin bisa terjadi kecelakaan maut," tutur Andis.

Berarti, Dirga narik baju cewek sampe bajunya sedikit robek itu, mungkin karena dia melihat sesuatu yang membahayakan cewek itu?

"Tirta itu bisa telepati, dia bisa denger suara dalam pikiran orang lain. Uchul itu mata kirinya aneh, dia bisa lihat dunia kematian pake mata itu. Ajay itu peka, ibaratnya semua panca indranya di atas rata-rata manusia biasa, dia bisa baca topeng manusia."

"Kalo Tama?"

"Gue ga ditanya?" ucap Andis sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Andis, bisa liat hantu kan?" Sarah sudah tahu, jika memang indigo itu benar adanya, kasus Andis yang suka berbicara sendiri adalah bukan tanpa alasan. Ia  sedang berbicara dengan mereka yang tak terlihat.

Andis hanya tersenyum.

"Tama itu, psikometri--"

"Dia bisa lihat masa lalu benda yang dia sentuh pake tangan telanjang."

"Tama ga pernah bunuh orang! Justru orang-orang itu yang hampir bunuh, Tama," tutur Andis sambil mengepalkan tangannya.

"Terus menerus di bully, bikin dia jadi hampir bunuh diri. Tama ga pernah ngomong, karena ada sesuatu dalam dirinya yang mati."

"Emosi nya hilang, kalo lu liat dia senyum. Itu bukan apa yang sebenarnya dia rasain, pernah satu ketika gua mergokin dia lagi ngaca sambil meniru macem-macem emosi dari internet, dia belajar caranya marah, sedih, bahagia berdasarkan raut wajah doang. Tapi ga demikian dengan apa yang dia rasain."

Hah? Serius? batin Sarah.

Sarah merasa, Tama benar-benar tersenyum saat sedang memainkan gitar, ia juga merasa gelak tawa Tama yang mengelitik telinganya itu sungguh nyata adanya. Bukan sesuatu yang dibuat-buat. Jika memang itu adalah sesuatu yang dibuat-buat, Tama mungkin adalah aktor terhebat sepanjang sejarah dunia, karena itu tampak seperti nyata.

"Tama cuma balas mereka dengan cara nyebar aib mereka lewat pengelihatan yang dia lihat di masa lalu orang-orang itu. Mereka jadi stres dan malu, alih-alih menghina, Tama lagi. Mereka malah yang jadi bahan hinaan di sekolah dan di lingkungan rumah--"

"Mereka semua, rusak mental," lanjut Andis.

"Semenjak itu, rumor kalo, Tama bawa sial jadi nyebar?" tanya Sarah.

Andis hanya mengangguk. Ia merasa bersalah karena tak bisa membantu sahabatnya itu. Tama tak pernah membunuh orang, ia membunuh mental musuhnya. Tama tak memiliki perasaan sejenis belas kasih dalam dirinya, semua ikut menghilang bersama emosinya. Ia tak peduli dengan keadaan di sekitarnya.

Semenjak tahu tentang kebenarannya, Sarah menjadi semakin dekat dengan Tama, sudah hampir sebulan ini waktu yang mereka habiskan hanya berduaan. Siang ini menu makan siang Sarah adalah tumis kangkung dan cumi goreng tepung. Tama sudah bisa bermain gitar, di rumah ia selalu belajar, perkembangannya cepat. Bahkan ia sudah bisa bermain classic.

Siang ini, Sarah makan ditemani lagu Right here Waiting dari Richard Marx.

https://youtu.be/VGmngcopdp8

Sarah menyandarkan kepalanya di bahu kanan Tama, relax rasanya bahu itu dalam memainkan lagu tersebut. 

"Kamu curang," ucap Sarah sambil memakan sisa lauknya yang sengaja ia sisakan, beberapa cumi tepung.

"Mau?" Sarah menyodorkan cumi itu ke mulut Tama.

Tama tiba-tiba saja membuka mulutnya, Sarah menyuapinya cumi goreng tepung yang Tama masak sendiri untuk Sarah.

Tama menatap Sarah sambil masih memainkan gitarnya. Ia mengerutkan dahinya seakan bingung dengan perkataan Sarah barusan, yang menyebutnya curang. Sarah melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong karena menyuapi Tama cumi goreng. 

"Curang, cepet banget belajarnya. Masa belum ada sebulan udah lancar main classic," Sarah mengembungkan pipinya, ia cemburu dengan skill yang Tama miliki, ia yakin dalam beberapa tahun, Tama sudah mampu mengimbanginya, atau bahkan lebih lihai darinya.

"Murid yang hebat, terlahir dari guru lebih hebat." Singkat, padat dan jelas, kata-kata itu membuat Sarah tersenyum, ia merasa sukses menjadi guru.

Sarah menyandarkan dagunya di atas bahu Tama, ia menghadapkan wajahnya ke arah wajah Tama, napasnya berhembus menyentuh kulit pipi Tama. Seketika itu Tama merinding, ia menghentikan permainan gitarnya.

"Gerogi ya, Kalo sedeket ini?" goda Sarah sambil tersenyum.

Tama hanya diam tak menjawab, wajahnya menatap ke arah yang berlawanan dengan wajah Sarah.

"Sengaja, akutu biar, Tama gerogi, hehe."

"Siapa tau, Tama jadi suka," ucapnya sambil berusaha menatap Tama yang sedang memalingkan wajahnya.

Sarah memeluk Tama dari samping. "Abisnya, aku suka sama Tama loh."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top