79.1 Mantra Tama

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Jakarta, 08-08-2011.

Hari ini adalah hari pertama murid pindahan itu masuk di sekolah barunya, Sarah Danila Sari namanya. Gadis cantik dengan lesung pipi yang membuatnya semakin terlihat manis, rambutnya panjang terurai sepanjang bahu. Sarah adalah anak yang cukup populer, ia disenangi oleh guru dan teman-temannya, juga banyak pria yang suka padanya. Namun, ia selalu menolak pria yang mencoba mendekatinya. Sarah sangat lihai dalam bermain gitar, meskipun masih SMA, ia sudah mendapatkan profit melalui musik, suaranya juga bagus.

Satu ketika, ia pergi ke atap sekolah untuk mencari inspirasi untuk single barunya.

Bahasa kerennya adalah rooftop. Sarah pergi ke rooftop untuk mencari suasana yang fresh, tak terlalu berisik dan juga pasti sangat menyenangkan melihat pemandangan lewat puncak sekolah berlantai empat ini.

Ia membuka pintu rooftop, angin menyambutnya dengan ramah, membelai halus rambutnya, ia melangkah maju. Seorang pria sedang duduk sambil menatap ke bawah, entah apa yang ia lihat, yang jelas ia sedang menikmati pemandangan dari atas sini.

Pria itu membelakangi Sarah, anak yang cukup tinggi dan memiliki rambut lurus yang agak berantakan. Ia mengenakan syal berwarna biru muda dan sarung tangan hitam di kedua tangannya. Pria itu menyadari ada seseorang yang mengawasinya, ia menoleh ke arah Sarah.

Wajah Sarah memerah, dilihatnya sosok pria yang menurutnya tampan, tatapannya tajam dan dingin. Tak seperti pria lain yang menatapnya dengan penuh harap dan selalu saja sok akrab dengannya. Pria di rooftop itu sama sekali tak peduli, ia kembali menatap ke arah bawah.

"Permisi," ucap Sarah sopan pada pria itu, pria itu hanya menoleh tanpa berkata.

"Aku, boleh main gitar di sini?" Sarah takut kehadirannya malah mengganggu pria yang lebih dulu berada di sini.

Ia hanya sedikit mengangguk. Untuk memberikan respon bahwa ia boleh bermain gitar di sini. Sarah membawakan lagu burung kaka tua dengan pembawaan jazz, yang membuat lagu anak-anak itu menjadi begitu elegan. Pria itu mulai merasa tertarik, ia menatap gadis yang bermain gitar itu, matanya tak putus menatap gadis itu. Tentu saja, gadis itu sengaja, ia memamerkan skill gitarnya. Jazz adalah salah satu genre musik yang sulit untuk dipelajari, dan anak seusianya mampu menguasai genre itu dengan sempurna. Setelah mendapatkan perhatian dari si tampan itu, Sarah membawakan Autumn Leaves ciptaan Joseph Kosma.

"Mau coba?" Sarah mencoba berinteraksi dengan pria itu.

Pria itu beranjak dari duduknya, ia berjalan mendekati Sarah. Sarah justru deg-degan, detak jantungnya semakin cepat seiring mendekatnya pria itu. Ia duduk di depan Sarah, dan memperhatikan gitar miliknya.

"Pernah main gitar?" tanya Sarah.

Pria itu hanya menggeleng.

"Mulai dari dasar dulu kalo gitu. Ini namanya kunci C." Sarah menunjukan kunci C pada pria itu  dan mengenjreng gitarnya hingga terdengar suara dari kunci C.

"Nih, coba." Ia membiarkan pria itu memainkan gitarnya. Ia mencoba kunci yang diajarkan Sarah, tetapi bunyinya jauh berbeda dari kunci C milik Sarah.

Pria itu tampak kesulitan dalam memposisikan jari-jarinya. Ya, belajar gitar adalah sesuatu yang sulit. Sarah membantunya, ia berada di belakang pria itu sambil memegang jari jemarinya dari belakang agar berada pada senar yang benar.

"Coba genjreng," pintanya.

Pria itu menggenjreng gitar itu, terdengar suara kunci C yang lebih bagus dari sebelumnya. Belum sempurna seperti bunyi yang dikeluarkan oleh Sarah. Namun, cukup layak untuk di dengar di telinga, pria itu tersenyum pada Sarah.

"Kamu, setiap istirahat ada di sini?" tanya Sarah.

Pria itu hanya mengangguk.

"Oh iya, kenalin, Sarah Danila Sari." Sarah menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

Pria itu hanya menjabat salaman dari Sarah tanpa berkata apapun.

Mungkin dia bisu? batin Sarah.

Teng ... teng ... teng

Bel masuk telah berbunyi, Sarah langsung beranjak dan berjalan menuju pintu. Tapi tak begitu dengan pria itu, ia masih duduk seakan tak peduli dengan bel masuk kelas. Sarah hanya menatapnya dari pintu, hingga ia berbalik dan mulai pergi meninggalkan pria itu.

"Tama," ucap pria itu yang membuat langkah Sarah terhenti.

"Retsa Pratama," lanjutnya yang membuat Sarah kembali menoleh kepadanya.

Tama ... ya? Manis.

Sarah pergi meninggalkan Tama di rooftop, ia kembali ke kelasnya. Tak lama setelah itu, Tama juga beranjak pergi menuju kelasnya.

Keesokan harinya, Sarah kembali ke rooftop saat jam istirahat, ia membawa gitarnya lagi. Tama sudah berada di sana lebih dahulu, entah dari jam berapa ia di sana, atau mungkin dia memang selalu bolos dari kelas dan bersembunyi di rooftop, begitulah pikir Sarah.

"Mau belajar gitar lagi?" tanya Sarah.

Tama hanya mengangguk. Tama membawa sebuah kotak kali ini, ia memberikan kotak itu pada Sarah.

"Apa ini?"

Tama mempersilahkan Sarah untuk membuka kotak itu. Kotak itu berisi nasi lengkap dengan telur mata sapi dan sosis yang telah dipotong kecil-kecil.

"Buat aku?"

Tama hanya mengangguk. Tama sadar, kemarin waktu ia bermain gitar, ada bunyi yang tak sedap didengar, dan setelah ditela'ah, ternyata bunyi itu datang dari perut Sarah. Ya, orang tuanya sibuk bekerja, mereka tak sempat membuatkan Sarah bekal makan siang. Sarah memakan bekal itu.

"Enaaaaak," ucapnya dengan senyuman yang polos.

"Mama kamu jago masak ya?" tanya Sarah sambil melahap isi kotak nasi itu.

Tama hanya menggeleng.

"Aku yang masak," jawabnya singkat.

"Uhuk, uhuk, uhuk." Sarah tersedak mendengar jawaban Tama.

"Orang tuaku sibuk--aku belajar ngurus diri aku sendiri," ucapnya sambil menatap lurus dengan tatapan kosong.

"Kalo gitu, kamu jadi ga makan dong? Ini pasti bekal makan siang kamu!"

Tama menyuruh Sarah untuk tenang, ia mengeluarkan sebuah gumpalan dari kantong celananya. Itu adalah sebuah onigiri, nasi khas jepang dengan isi daging ayam dan nori yang menyelimuti nasi itu. Tama memakan onigiri itu.

"Jangan bilang, kamu juga yang buat?"

Tama hanya tersenyum, seolah berkata. "Aku yang buat."

Sarah menganggap Tama adalah pria yang hebat, tak banyak pria yang bisa memasak dan pandai mengurus dirinya sendiri. Sebaliknya, Tama menganggap Sarah adalah seorang guru musik dan sangat menghormatinya karena memiliki kemampuan bermain gitar di atas rata-rata anak seusianya.

"Kamu bawa pulang aja gitarnya, aku masih punya banyak di rumah," ucap Sarah.

Tama mengerutkan dahinya, yang ia tahu, gitar itu adalah barang yang cukup mahal.

"Besok aku bawa lagi, biar gampang ngajarin kamu pake dua gitar. Satu aku yang pegang, satu kamu."

"Tapi setiap hari masakin aku ya?"

Tama hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Janji?" Sarah memberikan jari kelingkingnya.

Tama menyambut jari kelingking Sarah dengan jari kelingkingnya.

"Yaudah, yuk kita lanjut ke kunci G hari ini. Minggu ini  harus udah selesai lima kunci dasar ya, biar minggu depan udah bisa latihan pindah dari satu kunci ke kunci lain."

"Kalo udah lancar, kita latihan pake lagu ya, tapi Tama harus nyanyi!"

Tama hanya menggeleng tak setuju dengan pelajaran yang terakir diucapkan Sarah. Sejujurnya, Sarah penasaran dengan suara Tama yang jarang sekali keluar, ia membayangkan suara itu bernyanyi. Sarah membayangkannya sambil tersenyum menatap Tama.

Bel berbunyi, pelajar musik hari ini selesai untuk Tama. Mereka kembali menuju kelasnya masing-masing.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top