71 : Wis Udah
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Hari ini, adalah hari pelepasan Mahasiswa Atmajaya. Karmila yang telah mati-matian bergulat dengan skripsinya, kini dibayar dengan sebuah upacara wisuda.
"Dirga ikut ga?" tanya Andis yang mengenakan pakaian rapih.
"Lu rapih-rapih amat, Dis," ucap Ajay yang sedang melihat Andis.
"Aqilla ga ikut, Tam?" tanya Andis.
Tama hanya menggeleng.
"Yah ... padahal, siapa tau Aqilla dandan, biar ada pemandangan gitu," lanjut Andis.
"Lu ... suka ya sama Aqilla?" tanya Ajay pada Andis.
Tama menyipitkan matanya, ia menatap tajam ke arah Andis sambil mengerutkan dahinya.
"Iya ... suka banget," ucapnya dengan senyuman meledek.
Tama berjalan ke arah Andis dan berdiri sambil menatap Andis yang lebih pendek darinya.
"Mau apa lu?" ucap Andis memprovokasi.
"Dis, lu iseng banget dah," timpal Ajay.
"Seru, tau, godain Tama."
Tama mengambil topi Andis dan mengenakannya.
"Apaan si, ga lucu anjir, balikin ga," ucap Andis yang berusaha mengambil topinya.
Tama berjinjit untuk menambahkan beberapa cm tingginya dan menghindari tangan Andis yang berusaha meraih topi miliknya.
"Tam, ga lucu lu."
"Lu pitak ga si, Dis? Penasaran jadinya," ucap Ajay dengan wajah datar.
Perasaan jadi Tama yang keasikan godain lu, batin Ajay dengan wajah datar.
Ajay mengabil topi Andis di kepala Tama dan meleparnya ke muka Andis, "udah ah, yok jalan," ucapnya sambil berjalan keluar. Mereka bertiga pergi ke acara wisuda Mila.
Sementara itu, Dirga sudah berada di tempat wisuda, ia membawa seikat bunga yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Ia berdiri menunggu Mila keluar dari ruangan. Sekitar satu jam setengah menunggu, akhirnya Dirga menangkap sosok Mila dengan matanya. Ia juga melihat sosok tantenya.
Duh, ada si galak lagi, batinnya.
Dirga memberanikan diri untuk mendekat ke Mila yang sedang mendapatkan banyak ucapan selamat dan beberapa bunga dari teman-temannya.
Wah ... Mila populer ya di kampusnya.
Seorang pria berjalan ke arah Tantenya Mila, ia mencium tangan sang tante.
Siapa tuh? batin Dirga yang masih berjalan, hingga jarak mereka cukup dekat untuk sekedar mendengar percakapan di antara Mila dan Tantenya.
"Ini loh, Riki, yang pernah, Tante ceritain," ucap Tantenya pada Mila.
"Oh ... ini."
"Riki," ucapnya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Mila," balas Mila sambil menjabat tangan Riki.
"Gimana? Mau kan dijodohin sama Riki?" ucap Tante.
Deg. Jantung Dirga seakan berhenti berdetak.
Dijodohin?
"Eh? Gimana ya ...,"
Mila menoleh untuk membuang muka. Namun, yang ia tangkap dengan kedua matanya ... adalah sosok Dirga yang berdiri sambil menyembunyikan kedua tangannya. Dirga menatapnya dengan tatapan yang kosong.
Dijodohin? Hahahaha, terlalu naif kau ... Dirga, batin Dirga sambil memutar tubuhnya.
Dirga berjalan cepat dan pergi dari acara wisuda Mila.
"Dirga!" panggil Mila.
Namun, Dirga tak mendengarkan panggilan itu, ia tetap melangkah pergi. Mila berusaha mengejar Dirga, tetapi Tantenya menarik tangan Mila.
"Kamu mau kemana, Mila?"
"Tante ... Mila mau ngomong ...," ucap Mila lirih.
"Mila udah lulus, Mila juga cumlaude ...,"
Tantenya hanya diam dan menunggu Mila menyelesaikan kalimatnya.
"Semua yang, Tante bilang ... selalu Mila turutin. Mila udah ga punya siapa-siapa, dan Mila udah nganggap, Tante itu sebagai orang tua Mila--"
"Tapi kali ini aja ... Mila mau nentuin jalan hidup Mila sendiri," ucap Mila dengan wajah yang murung sambil menatap ke lantai gedung.
"Mila, denger--"
"Kamu itu anak yang pendiem, kamu ga pernah cerita apa-apa sama, Tante. Kamu itu anak yang selalu berkata 'iya'. Kamu adalah anak yang penurut ... jujur, Tante bingung dan ga tau harus ngapain."
"Kalo seandainya ... Mila bilang sama Tante, pasti ... Tante kasih kok--"
"karena Mila ... udah Tante anggap sebagai anak sendiri."
"Tante," Mila memeluk sosok yang ia anggap Ibu.
"Cowok yang tadi ... yang waktu itu di kafe kan?" tanya Tante.
Mila hanya mengangguk.
"Sana ... kejar, sebelum dia pergi."
Tanpa basa-basi, Mila berlari mencari sosok Dirga yang entah pergi kemana.
"Dirga!" panggil Mila yang berlari tak tau arah.
Semua orang memperhatikan Mila.
"Maaf, Nona--" seseorang menepuk pundak Mila. Mila menoleh ke arah orang yang menepuk pundaknya.
"Butuh jasa pencarian manusia?"
"Andis," ucap Mila yang melihat anak-anak mantra.
Mila memeluk Andis, "tolong cari Dirga," Sambil air matanya terjatuh karena takut kehilangan sosok Dirga.
Andis memegang lengan Mila, "Ayo, kita cari sama-sama," ucapnya sambil tersenyum.
Sementara itu, Dirga duduk di pinggiran sungai selokan mataram. Ia menatap setiap benda yang terbawa oleh arus sungai.
Kira-kira ... kemana semua benda-benda ini akan berujung?
Ia merebahkan dirinya di hamparan rumput.
Ia menyalakan koreknya dan membakar ujung rokoknya. Dirga menghisap rokok itu dan menikmati setiap rasa sakitnya.
"Sejak kapan, gua ngemutin benda tolol begini?" Sambil ia menatap permen lolipop yang ia pegang dengan tangan kirinya.
Byur.
Kini permen lolipop itu tenggelam di dalam selokan mataram. Dirga melemparnya.
Tenggelamlah dalam dasar nestapa, batinnya.
"Dan lagi ... buat apa gini-ginian?" ucapnya lirih sambil menatap seikat bunga yang baru saja ia beli tadi pagi.
"Jadi inget bunga wijaya kusuma merah, ya ... mungkin ... mati lebih baik," gumamnya.
Cakaran, Emil? Tusukan, Bapang? Sabetan Segoro Geni, Mikail?
Entah mengapa ... semua itu terlihat tak sesakit perasaan gua sekarang.
"Pergilah dalam damai!" Dirga melempar bunga itu.
Tapi seseorang menahan tangannya.
"Bunga itu ... buat aku kan?"
"Mila," Dirga menatap wajah orang yang menahan tangannya untuk melempar seikat bunga itu.
Mila memeluk tubuh Dirga hingga mereka berdua jatuh tergeletak di hamparan rumput.
"Bunga itu, buat aku kan?"
Dirga tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap Mila. Terlalu tajam sorot matanya hingga menusuk ke dalam sanubari dan membuat rongga-rongga itu menjadi dingin.
"Apanya yang pergi dalam damai?" ucap Mila lirih.
"Udah, udah, bukan tontonan," ucap Andis yang menyuruh Ajay dan Tama untuk pergi meninggalkan mereka berdua.
"Mila--"
"Dirga ga boleh pergi!" potong Mila.
"Iya ... tapi bangun dulu, ga enak diliat orang, tindih-tindihan gini."
"Biarin," ucap Mila membenamkan wajahnya di kemeja Dirga.
Dirga berusaha mengangkat Mila dan memposisikan dirinya dan Mila untuk duduk. Mila melipat kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan tangannya.
"Iya--"
"Bunga ini ... buat kamu," ucap Dirga sambil tersenyum menahan laranya.
"Selamat atas kelulusannya."
Dirga meletakan bunga itu di depan Mila dan beranjak dari duduknya. Mila menarik ujung lengan kemeja Dirga.
"Mau kemana?" tanya Mila.
"Ayok, pergi ... mau ujan," jawab Dirga.
Mila menatap langit, "langitnya aja cerah--" ia menatap Dirga yang menutup matanya dengan tangan satunya. Mila berdiri dan menarik tangan Dirga.
"Dirga nangis ya?"
"Mana mungkin," ucap Dirga sambil menarik ingus yang keluar dai hidungnya.
"Ih iya, Dirga nangis," ucap Mila yang berusaha membuka tangan yang menutupi mata Dirga.
"Coba, Mila mau lihat."
"Ah jangan ah."
"Coba lihat," Mila masih berusaha ingin melihat wajah Dirga.
"Mila ... kampret, lepasin ah," Sementara Dirga masih berusaha menahan tangannya.
"Wah, ada orang pake topeng warna merah, serem," ucap Mila.
"Bapang!" teriak Dirga yang membuka tanganyna dan melihat ke sekitarnya.
"Tapi boong," ucap Mila yang tersenyum sambil menatap mata Dirga yang sembab karena air mata.
"Katanya--"
"Kalo cowok nangis gara-gara cewek ... dia itu suka beneran tau," ucap Mila.
Mila memeluk Dirga. "Mila juga suka ... jangan nangis lagi ya, Dirga cengeng."
"Apa ... ga pa pa ... suka sama aku?"
Mila hanya mengagguk, "ayo, aku kenalin sama, Tante," Mila menggandeng Dirga menuju tempat wisudanya.
"Gara-gara Dirga, make up aku rusak."
"Tanggung jawab!"
Dirga mengeluarkan Tumenggung dan mengenakannya untuk menutupi wajah Mila yang tak karuan bentukannya karena make up nya luntur.
"Tumenggung ... perbaiki make up Mila," ucap Dirga pada Tumenggung yang selalu mengikutinya.
"Eh?" Tumenggung kaget dengan permintaan Tuannya.
"Saya ... bukan Roh banci, Tuan," jawab Tumenggung yang perkasa.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top