70 : Senja Di Ujung Fajar
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Kalian yakin? Ga mau ikut muter-muter Jogja?" tanya Mama Tama kepada anak mantra.
"Saya, ada kerjaan, Tante," ucap Ajay yang sudah bersiap untuk pergi ke kantor.
"Saya juga, ada urusan, tante," ucap Dirga.
"Mentang-mentang besok, Mila mau wisuda," timpal Andis.
"Jadi, Andis aja nih yang ikut?" tanya Bu Wiliya.
"Iya nih kayaknya, mau nemenin Farisa," ucap Andis sambil menggandeng tangan gadis kecil itu.
"Ini anak gandengan mulu, takut ilang apa?" ucap Mama, sambil menepak tangan Tama yang menggandeng Aqilla.
"Aduh," pekik Tama.
"Yang sabar ya, Aqilla, punya cowok kayak, Tama," ucap Bu Wiliya.
"Iya, Bun ... sabar banget," ucap Aqilla sambil tertawa kecil.
Akhirnya mereka berangkat berkeliling Jogja dengan dua mobil. Tama meminjam mobil Dirga.
"Kamu bisa naik mobil?" tanya Aqilla.
"Tadinya ga bisa," jawab Tama.
"Tapi ya ... aku pengen kamu punya suami yang bisa segalanya--"
"Makanya ... aku belajar segalanya," sambungnya sambil membelai rambut Aqilla.
"Udah ah, jalan buruan," ucap Nisa yang duduk kursi paling belakang bersama dengan Puspa, sementara Andis dan Farisa berada di kursi tengah, dan sisanya ada di mobil milik ayahnya Tama.
"Dir, gua berangkat dulu ya," ucap Ajay yang kini telah berada di luar sambil mengenakan helm.
Anna merubah wujudnya menjadi sorang gadis.
"Aku kok dipecat sih?" Protes Anna.
"Kamu kan ga butuh, butuh amat duit," jawab Dirga.
"Ga di gaji gapapa deh, aku mau kerja di sini pokoknya."
"Kalo pake wujud kucing, Tama kan suka melukin kamu, udah jadi kucing aja biar disayang Tama," balas Dirga.
"Pokoknya aku tetep dateng kerja loh."
"Yaudah, yaudah, nanti ajarin dua anak baru itu ya."
"Oke, Bos," balas Anna sambil mengacungkan jempolnya seperti yang biasa Tama lakukan.
Sementara itu, Ajay sudah berada di kantornya.
"Fajar, nanti, Mbak tinggal dulu ya," ucap Mbak Ajeng.
"Oke."
"Yang akur ya, sama Senja," lanjut Mbak Ajeng.
Sebelum Mbak Ajeng pergi, Senja datang. "Mau kemana, Mbak?"
"Biasa deh, titip, Fajar ya."
Mbak Ajeng meninggalkan Ajay dan Senja berdua.
"Senja, tolong dong kamu edit bagian ini," ucap Ajay yang berjalan ke depan Senja, ia memberikan sebuah flashdisk.
"Colok aja, ke komputer," ucap Senja yang sedang mengikat rambutnya.
Bukannya memasukan flashdisk itu ke komputer, Ajay malah terdiam mematung melihat Senja yang sedang mengikat rambutnya. Ia baru menyadari, bahwa Senja memang secantik itu.
"Jar? Halo," ucap Senja yang membangunkan Ajay dari lamunannya.
"Oh, iya," Ajay berusaha memasukan flashdisk itu ke komputer. Namun, karena mendadak grogi, tangannya gemetar, flashdisk itu tak kunjung masuk.
"Bisa ga, Jar?" emang agak susah sih, soalnya posisinya rendah.
Senja mencoba membantu Fajar, ia agak menunduk. Senja memegang tangan Ajay dan berusaha membantunya, "coba lepas dulu, biar aku aja," ucap Senja.
Karena menunduk, wajahnya dan wajah Ajay berdekatan. Seketika itu wajah Ajay menjadi merah.
Apa dia sewangi ini juga?
Ajay tiba-tiba saja berjongkok sambil memegang dadanya. Ia mencengkram dadanya sendiri, seperti orang yang sedang terkena serangan jantung. Napasnya sesak tak beraturan. Menyadari itu, Senja menjadi panik.
"Jar, kamu kenapa?"
"Ga ... ga pa pa kok," ucap Ajay sambil bangun dan masih memegangi dadanya.
"Ih serius?" Senja segera mengambil segelas air putih untuk Ajay. Ia duduk di sebelah Ajay, "nih, minum dulu," ucapnya sambil memberikan segelas air putih itu.
Sambil memegang gelas, Ajay menatap wajah Senja.
Prang.
"Aaaaaaa," pekik Ajay kesakitan.
Gelas itu pecah karena jatuh, Ajay berbaring sambil tangannya masih memegang dadanya.
tok ... tok ...tok
Suara pintu membuat Senja menjadi agak lega, mungkin ada orang lain yang bisa dipintai pertolongan. Senja berlari ke pintu dan membuka pintu.
"Ajay nya ada?" ucap Dirga yang menyusul Ajay.
"Dompetnya ketinggalan," Dirga memberikan dompet Ajay kepada Senja.
"Fajar?" ucap Senja yang bingung, siapa yang di maksud dengan Ajay.
"Eh ... iya, Fajar."
"Mas, tolong dong, Fajar sakit jantung," ucap Senja.
"Hah!" Dirga berlari ke dalam dan melihat Ajay yang sedang berbaring di lantai sambil memegangi dadanya.
"Woy! Lu kenapa?"
"Ga bisa nafas gua, Dir. Sakit," ucapnya.
"Neng, tolong beliin obat di warung dah," ucap Dirga sambil memberikan uang seratus ribuan.
"Hah? Obat apa namanya?"
"Ga tau, bilang aja obat sakit jantung, kalo ga obat asma gitu."
"Di warung ada?"
"Ada kayaknya mah, apa aja juga di jual di warung."
Senja segera pergi untuk membeli obat. Sementara Dirga membopong Ajay dan membaringkannya di sofa.
"Tarik napas dalem-dalem, Coy ... keluarin pelan-pelan lewat mulut," ucap Dirga.
Ajay mengikuti arahan Dirga, lama kelamaan, rasa sakitnya berkurang, Ajay memposisikan dirinya untuk duduk.
"Lu, kenapa?" tanya Dirga.
"Gua gatau Dir, tiba-tiba aja begini," jawab Ajay.
Senja membuka pintu, "obatnya ga ada," ucap Senja.
Ajay menatap Senja yang baru saja masuk, ia memegang dadanya lagi.
"Aaaaaa," pekik Ajay kesakitan.
"Kalo gitu, apa aja deh beliin," ucap Dirga.
"Ya tapi beli apa?"
"Apa kek, kuku bima, ekstra jos juga boleh."
"Ih serius," ucap Senja yang mulai khawatir pada Ajay.
"Kalo ga, ke apotek terdekat deh, coba tanyain aja," balas Dirga.
Senja kembali pergi keluar. Tak lama setelah itu, Ajay kembali membaik. Dan tak lama setelah Ajay membaik, Senja datang lagi, dan Ajay kembali memegang dadanya. Tentu saja, Dirga memasang wajah datar.
"Ah, sianying," gumamnya.
Dirga berjalan ke arah Senja sambil membuka bungkusan permen lolipop, "sini deh, ikut gua," ajaknya.
Senja berjalan keluar sambil mengikuti Dirga.
"Hari ini cuma berdua sama, Ajay?"
"Iya, Mbak Ajengnya pergi."
"Udah ngapain aja, sama, Ajay?"
"Hah? Ngapain, maksudnya?"
Dirga hanya menghela napas. Ia membuka pintu dan melihat kondisi Ajay yang sedang duduk di sofa, "coba deh, lu tengok," ucap Dirga. Senja melihat Ajay, begitu juga dengan Ajay yang melihat ke arah Senja.
"Aaaaaa."
Dirga menepuk jidatnya, "emang dasarnya dongo sampe ke DNA," gumamnya.
"Dia gapapa kok," ucap Dirga yang berjalan pergi.
"Eh? Seriusan ini?"
"Iya, gapapa kok si Ajay."
Senja masuk kembali ke dalam ruangan.
"Fajar, kamu beneran gapapa?"
Kalo dipikir-pikir, Ajay juga blm pernah suka sama cewek sih. Tapi ya ... itu sih udah kelewat bego, batin Dirga yang berjalan sambil kedua tangannya bersembunyi di balik kantong celananya.
Sial! Perasaan apa ini? Dagdigdug-dagdigdug yang terlalu cepat, batin Ajay.
Tara ... apa begini? Rasanya kematian.
Hanya sampai di sini ya ... teman-teman ... selamat tinggal.
Senja menyentuh dada Ajay, detak jantungnya cepet banget, ini ga wajar, batinnya.
"Tarik napas dalam-dalam, terus buang," ucap Senja yang duduk di lantai. Tepat di sebelah Ajay, sambil gadis itu mengusap dada Ajay dengan tangan kanannya dan mengusap kening Ajay dengan tangan kirinya.
Ajay menutup matanya dan mencoba mengikuti ucapan Senja. Ia menggenggam tangan Senja yang berada di atas dadanya.
Sejuk.
"Dua kalimat syahadat, hafal?" tanya Senja.
Dasar si kurang ajar ini ... emangnya siapa yang mau mati, batin Ajay.
"Senja," panggil Ajay yang matanya masih tertutup.
"Ya?"
"Kamu ... bisa baca manusia?"
"Baca manusia?"
"Ya, manusia itu bagaikan tulisan. Ga ada manusia yang ga bisa dibaca," jawab Ajay.
"Ketika dia bohong, ketika dia merasa ga nyaman, ketika dia hendak menyombongkan sesuatu, atau ketika dia bahagia, intinya manusia itu punya beragam topeng, dan setiap topeng itu akan terlihat jelas ... jika kita bisa membacanya," lanjut Ajay.
"Tapi ada satu emosi--"
"Yang ga akan pernah bisa dibaca ... mungkin, karena emosi itu bukan sesuatu yang timbul karena disengaja."
"Contohnya?" tanya Senja.
"Jatuh cinta," jawab Ajay yang masih menggenggam tangan mungil milik Senja.
Ajay hanya memperhatikan orang lain dengan pandangan yang sekedarnya saja. Baru pertama kali ini, ia di hadapkan dengan wanita secantik Senja. Di mana nalurinya yang biasa ia gunakan untuk membaca setiap pergerakan manusia, menjadi tak berarti di hadapan gadis itu. Untuk pertama kalinya, ia memperhatikan orang dengan konteks yang berbeda.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top