69 : Merelakan?

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Sore itu langit cerah, seperti biasa mantra sibuk mempersiapkan kafe mereka. Tama baru saja datang, ia bersama Aqilla masuk ke dalam kafe.

"Pacaran mulu, bantuin opening sini," ucap Andis.

"Biarin aja sih, orang bukan shift dia," bela Dirga sambil mengemut permen lolipop.

"Iri," ledek Ajay.

"Sini, aku bantu," ucap Aqilla yang hendak membantu Andis.

"Eh ... bercanda doang," balas Andis.

Tama berjalan menuju dapur, ia membuat segelas minuman. Aqilla duduk di tempat favorit mereka, yaitu meja yang terletak di pojok dekat jendela. Tak butuh waktu lama, Tama datang dengan segelas milkshake vanilla kesukaan Aqilla. Mereka berbincang hingga beberapa menit.

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Seorang gadis dengan rambut panjang terurai datang dan menghampiri meja Tama dan Aqilla.

Gadis itu berdiri di belakang Tama, sementara Aqilla terus memperhatikannya. Tiba-tiba saja, gadis itu memeluk Tama yang sedang duduk, dari belakang. Sontak membuat Tama dan Aqilla kaget, terutama Aqilla, orang gila mana? Yang berani-beraninya memeluk seorang pria di depan wanitanya.

"Kangen," ucap wanita itu pada Tama.

"Nisa," panggil Tama yang menoleh ke arahnya.

Nisa? Annisa Pratama? batin Aqilla.

Sebelum KKN, Aqilla sempat membuka DM instagram Tama, ada nama Annisa Pratama di sana, nama itu tergolong aktif dan mendapat respon dari Tama.

"Itu ... siapa?" tanya Aqilla.

"Ini--" belum sempat Tama menjelaskan.

"Tunangannya," ucap Annisa dengan cepat, sambil tersenyum ke arah Aqilla.

Aqilla tiba-tiba berdiri, dengan wajah yang tak karuan bentuknya itu, ia tiba-tiba saja berjalan. Tentu saja Tama menahannya, Tama menarik tangan Aqilla.

"Aqilla."

"Aku ... mau pulang," ucapnya dengan nada sendu.

"Hahahahaha," Annisa malah tertawa terbahak-bahak.

"Nisa! Lu iseng banget lu," celetuk Andis.

"Parah emang, kagak berubah-berubah," lanjut Dirga.

"Semua cewek yang dektin Tama ... pasti diacak-acak hidupnye," timpal Ajay.

"Annisa ini adik sepupu aku," ucap Tama pada Aqilla.

"Eh?" Aqilla hanya diam, otaknya tak mampu mencerna apa yang sedang terjadi.

Tak lama setelah itu, seorang wanita, dua orang pria, seorang gadis muda dan seorang anak kecil masuk ke dalam kafe.

"Nisa, jangan jahil sama Kakak ya," ucap seorang wanita cantik yang agak berumur.

"Mama ...," Panggil Tama.

Mama? Mamanya Tama? batin Aqilla memperhatikan wanita itu.

Wanita itu memperhatikan Tama yang sedang menggenggam tangan Aqilla.

"Kamu--" Mama Tama menatap Aqilla dengan pandangan yang dingin, mirip seperti pandangan Tama.

"Siapanya, Tama?"

"Calon mantu, Mama," jawab Tama.

"Diam kamu! Mama tanya sama cewek ini," balas Mama dengan dingin.

Aqilla merinding, ia tak tahu harus menjawab apa. Sementara waktu terus bergulir, Mama masih menunggu jawaban.

"Calon ... istri, Tama," jawabnya.

Mama hanya mendekatkan wajahnya ke wajah Aqilla, ia meraih rambut Aqilla dan mengendus aromanya. Ia memperhatikan tubuh Aqilla dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.

"Selama ini kamu pendiem yang ga pernah deket sama cewek," ucap Mama sambil menoleh ke arah Tama.

"Mama sempet mikir, kalo kamu itu homo," sambungnya lagi.

Andis menahan tawa nya, ia menyembunyikan wajahnya di balik topi cokelatnya, sembarangan banget ini emak-emak kalo ngomong, batin Andis.

"Ternyata kamu ... jago juga, milih pendamping," ucap Mama sambil menatap Aqilla.

"Mama suka," sambungnya lagi sambil tersenyum pada Aqilla, dengan senyuman yang hangat.

"Siapa, nama kamu?"

"Aqilla--" Aqilla bingung, entah ia harus memanggil Mama nya Tama dengan sebutan apa.

"Bunda," jelas Mama yang sadar bahwa Aqilla sedang dilanda bingung.

"Nama saya, Aqilla, Bunda," jawab Aqilla.

"Kak Andis," Seorang gadis kecil berlari ke arah Andis. Andis berjongkok untuk meyambut anak itu. Gadis itu melompat ke pelukan Andis.

"Farisaaaa," panggil Andis manja.

Andis menoleh ke arah seorang bapak-bapak dengan kumis tipis dan rambut agak bergelombang.

"Sehat kamu?" tanya bapak itu pada Andis.

"Sehat, Bah" jawab Andis.

"Abah sehat?" tanya Andis balik.

Ya ... pria itu adalah ayah dari Andis Sagara. Dan gadis kecil tadi adalah adik tiri Andis. Semenjak kepergian ibunya, tentu saja Andis membutuhkan sosok pengganti, karena bagaimanapun juga, Andis hanyalah seorang anak kecil yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang lebih, seperti anak-anak lain.

"Ibu ... ga ikut?" tanya Andis.

"Ibu lagi sibuk di rumah, jadi ga ikut deh."

"Kok ... pada ga bilang-bilang, mau ke Jogja?"

"Abah cuma ikut-ikutan aja, ikut sama, Pak Lubis dan Bu Wiliya," sambil melirik orang tua Tama.

Kedatangan orang tua Tama adalah untuk mencari kos-kosan untuk Annisa yang tahun ini akan berkuliah di Jogja. Karena faktor masalah keluarga, Annisa tinggal bersama dengan keluarga Tama sejak ia kecil, dan keluarga Tama sudah menganggap Annisa sebagai bagian dari keluarga, begitu pula dengan Tama yang menganggap Annisa adalah adiknya.

"Dek ... Puspa mana?" tanya Mama pada Nisa.

"Mama tau sendiri ... Puspa kalo ada, Kak Tama, pasti malu-malu kucing dan langsung ngumpet," jawab Nisa.

Nabila Puspa Wardani. Sahabat Nisa dari ia kecil, Puspa menyukai Tama, tetapi ia selalu kabur saat Tama berada di sekitarnya, Puspa anak yang pemalu. Gadis dengan rambut pendek dibalut dengan kacamatanya itu, sedang bersembunyi di sebelah Dirga.

Semua anak mantra sudah mengenal Nisa dan Puspa sejak mereka kecil. Tak jarang mereka sering bermain bersama pada masanya, dan hanya Tama seorang yang tidak sadar, bahwa ada gadis yang bernama Puspa di antara mereka.

"Udah sana gih," ucap Dirga.

"Ada, Kak Tama, malu," ucapnya dengan nada pelan.

"Oh iya, pada mau minum apa nih?" tanya Dirga sambil menyodorkan menu.

"Tama ... nanti, Nisa sama Puspa bisa kerja di sini ga?" tanya Mama.

Tama hanya menoleh ke arah Dirga.

"Boleh kok, Tan," jawab Dirga.

"Kebetulan ada yang abis resign," lanjutnya.

"Siapa yang resign?" tanya Andis.

"Anna," sambil melirik ke arah kucing hitam yang sedang tertidur.

Anna tiba-tiba saja bangun, ia menatap Dirga dengan tatapan bingung. Anna berjalan ke arah Dirga dan melompat ke atas meja. Dirga menatap Anna.

Sorry, batinnya.

Pemecatan sepihak itu membuat Anna marah, ia mencakar Dirga. Tama segera menggendong Anna dan membawanya, Tama memeluk kucing hitam itu sambil mengelus-elus bulu-bulunya.

"Kucingnya galak ya?" tanya Nisa.

"Ga kok, dia ga galak," jawab Tama.

"Iya ... Dirga nya aja yang kurang ajar," timpal Andis.

"Besok ... ga kemana-mana?" tanya Mama pada Aqilla.

"Iya, Bun. Besok libur dan ga kemana-mana," jawab Aqilla.

"Besok ikut yuk, jalan-jalan," ajak Bu Wiliya.

"Eh ... emangnya ... boleh?" tanya Aqilla yang malu-malu.

"Boleh kok, Tama juga pasti seneng," ucap Mama sambil menatap Tama yang tersenyum sambil diam-diam mengacungkan jempol kanan andalannya.

Namun, di lain sisi. Puspa memandangi Aqilla.

"Cemburu ya?" tanya Annisa.

"Enggak kok," jawab Puspa.

"Kamu lari mulu sih--"

"Dia jadi diambil orang," sambung Nisa sambil menikmati milk tea hangatnya.

Puspa hanya terdiam sambil menunduk, tapi ia tersenyum dengan senyuman yang terpaksa keluar.

"Padahal ... selama ini, kamu udah gangguin cewek yang berusaha deket sama dia ... buat aku ...," ucap Puspa lirih.

"Tapi ... aku nya pengecut banget ya," sambil menatap Nisa dengan senyumnya, tetapi dengan mata yang berkaca-kaca.

"Merelakan atau menunggu ... itu hak kamu Pus," ucap Nisa.

Andis yang menyadari percakapan Nisa dan Puspa, tiba-tiba saja tak banyak bicara. Pria bertopi yang selalu bercanda dan menghangatkan suasa itu, kini terdiam seribu bahasa.

Merelakan atau menunggu, ya?

Jika aku punya piliihan menunggu, tentu saja ... aku akan menunggu. Tapi sayangnya ... aku hanya punya pilihan untuk merelakannya.

Entah, sudah berapa banyak gadis yang selalu aku goda dan rayu ... entah sudah berapa kali aku ditolak ketika menyatakan cinta, mereka hanya menganggapku bercanda. Mereka bilang pria sepertiku sangat cocok untuk menjadi teman mereka, ya ... aku memang orang yang mudah bergaul.

Tapi aku juga ingin merasakan indahnya dicintai, batin Andis sambil melirik ke arah Tama dan Aqilla yang sedang tertawa bersama keluarga Tama.

Dan ketika ... perasaanku terbalas, tentu saja ... wanita yang rela mencintaiku itu ... tidak nyata. Jika bisa menunggu, aku ingin menunggunya jika ia bisa hidup kembali, akan ku tunggu walaupun itu seratus tahun.

Tapi aku hanya bisa merelakan ... sebenarnya, aku ingin merasakan jari-jemarinya. Aku ingin merasakan hangat dekapannya. Yaaa ... mungkin manis bibirnya. Halus rambutnya, tentu saja aku ingin bisa menyentuhnya secara nyata dan utuh. Tapi ... aku hanya bisa merelakan, entah berapa lama lagi waktu yang Sekar punya di dunia ini, aku hanya bisa belajar caranya merelakan.

Kau beruntung, Bocah ... jika masih bisa menunggu.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top