65 : Rizwantara Putra

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Adi Wijayakusuma, pelaku pembantaian salah satu kelompok mafia di Jakarta, pembunuh berantai yang menelan banyak korban, pembunuh bayaran dari keluarga Wijayakusuma," ucap pria dengan seragam kepolisian.

Adi Wijayakusuma, di usianya yang menginjak dua puluh dua tahun itu. Ia harus menerima hukuman mati.

"Ini identitas baru mu, Adi Wijayakusuma sudah mati, mulai sekarang namamu adalah Rizwantara Putra."

"Tara, ya," ucapnya sambil memandangi kartu tanda pengenal barunya.

Tara merupakan anggota pertama unit Dharma. Namun, ia tak ingin menjadi ketua atau sejenisnya. Ia berpura-pura ikut di dalam tes seleksi unit Dharma, selain harus memiliki keterampilan dalam pertarungan, tentu saja seorang Dharma harus punya senjata rahasia yang bisa di gunakan untuk memerangi ilmu hitam. Entah kemampuan unik, ataupun pengendalian Atma. Dan terpilihlah empat orang pelopor pertama unit ini.

"Kalian akan bergerak secara berpasangan," ucap Inspektur Dendi yang bertanggung jawab atas unit ini.

"Saya, akan berpartner dengan orang ini," ucap Septa dengan senyum nya yang mengganggu Tara.

"Saya ga mau," balas Tara.

"Oke, kalo gitu. Tirta, kamu silahkan berpartner dengan Tomo. Septa dan Tara," ucap Inspektur.

Apa-apaan itu, batin Tara sambil menghela napas panjang.

"Yo, Partner," sapa Septa dengan senyuman menyebalkannya.

"Mendingan jangan pasang senyum gitu, ngeselin tau ga?" balas Tara ketus, sambil memasukan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya, tentu saja dengan wajah datar.

Tara menatap Septa yang menurutnya menyebalkan, "apa?" tanyanya pada Septa yang menatapnya.

"Kenapa pake sarung tangan?" tanya Septa.

"Ya karena tangan kanan gua bisa ngasih keberuntungan dan tangan kiri gua bisa ngasih kutukan," ucap Tara blak-blakan.

Tentu saja, bukan itu yang sebenarnya ingin Tara ucapkan. Ia terkejut, dan menatap Septa lagi.

"Lu ngapain gua tadi?" tanya nya penasaran sambil mengerutkan dahi.

"Hahahahaha--"

"Rahasia," jawab Septa.

Jujur, kesan pertama Tara terhadap Septa adalah menyebalkan.

Misi demi misi mereka lalui, pengguna praktek santet dan sihir telah mereka ringkus satu per satu. Bahkan mereka juga melakukan razia di gunung-gunung dan makam keramat yang diduga menjadi sumber ke syirikan itu.

"Nasib kita selalu baik ya," ucap Septa.

"Jelas, kan ada gua," balas Tara sambil menunjukan tangannya yang di balut sarung tangan berwarna hitam.

"Berkat lu juga, kita ga perlu repot-repot introgasi panjag-lebar. Cukup buat tersangka liatin lu terus dia bakalan jujur sendiri dengan perbuatannya," puji Tara.

"Wah ... wah, tumben nih," balas Septa yang pertama kalinya di puji oleh orang berwajah ketus itu.

Setelah genap satu tahun usia unit khusus itu, Inspektur memanggil Tara ke ruangannya.

"Sudah dengar tentang peti hitam? sebuah organisasi penyembah setan--"

"Mereka membunuh, dan menjadikan orang lain sebagai tumbal untuk kepentingan mereka," potong Tara.

"Rupanya, jelih juga kamu, Tar."

"Saya ingin kamu menyusup ke sana sebagai anggota mereka, gimana pun caranya, saya ga mau tau," ucap Inspektur Dendi.

"Kalo kamu berhasil masuk, kamu bilang aja kalo kamu anggota kepolisian, kamu jadi agen untuk mereka dan berikan informasi bodong buat mereka," lanjutnya.

"Sebagai gantinya, kamu kasih informasi tentang mereka ke saya. Kalo kamu perlu sesuatu bilang aja, kalo perlu kita buat operasi bodong biar mereka percaya kalo kamu dipihak mereka."

"Sebagai agen ganda, tentu saja keselamatan kamu ga terjamin. Tapi kita akan berusaha mensupport kamu, sebisa kita."

"Ini beberapa data-data mereka," Inspektur memberikan berkas ke pada Tara.

Emil Wijayakusuma? batin Tara.

"Di sana juga ada anggota keluarga Wijayakusuma dan Martawangsa, kamu harus hati-hati dalam bergerak."

"Salah langkah sedikit, bisa mati kamu."

"Siap Inspektur!" tegas Tara.

Tara mulai mengorek informasi tentang peti hitam, ia seorang diri menjelajah ke dalam dunia kegelapan yang penuh dengan berbagai kengerian. Dengan koneksinya, ia berhasil menemukan Bayu yang haus akan Martawangsa. Tentu saja saat itu Bayu bersama dengan Emil. Tara tak menyiakan kesempatan itu, ia sempat bertarung dengan Emil dan kemampuan mereka seimbang karena Tara berhasil memberikan nasib buruk pada Emil. Akhirnya Emil membawanya ke markas besar dan mempertemukannya dengan Mikail.

Karena Tara adalah seorang polisi, maka sangat menguntungkan bagi peti hitam. Setidaknya mereka bisa bergerak agak bebas, mengingat ada pihak dari kepolisian di dalam organisasi mereka. Tapi Mikail yakin, bahwa Tara bagaikan pisau bermata dua, tinggal menunggu waktu saja, hingga ia berkhianat.

Sejujurnya, Tara ingin memberitahu Septa tentang misi rahasianya. Namun, ia ingat pesan dari Inspektur Dendi. Dan mengurungkan niatnya.

"Lu, tau?" tanya Tara pada Septa di sebuah warung makan.

"Ya ga taulah, kan lu belum kasih tau," ucap Septa sambil memasukan sendok yang berisi nasi dan telur dadar ke dalam mulutnya.

Saat itu Tara terlihat murung.

"Kalo suatu saat ... gua ngelakuin hal yang menurut lu salah, maafin gua," ucap Tara.

"Ngomong apa sih lu?"

"Gua cuma minta ... lu percaya sama gua, apapun yang gua lakuin ...," ucapnya lirih, sambil mengaduk soto daging yang baru saja tiba di mejanya.

Septa menepuk punggung Tara. "Ngomong apa sih lu dari tadi--"

"Kita kan ... teman," ucapnya. "Kalo ada apa-apa, jangan sungkan buat cerita. You'll never walk alone bro."

Tara hanya tersenyum saat itu, mengingat ini adalah kali pertamanya ia memiliki hubungan persahabatan. Dalam keluarga Wijayakusuma, hubungan dalam bentuk apapun dilarang, karena hubungan itu hanya merusak niat membunuh. Karena suatu hubungan hanya akan menimbulkan rasa iba, bersedih ,dan bersalah.

Hingga saat itu tiba, di mana ia harus melakukan pengkhianatan itu. Tara sudah lama mengetahui tentang pertumbalan yang dilakukan oleh peti hitam. Namun, ia tak bisa menyelamatkan para korban itu sendirian. Ia sadar, bahwa ia butuh Septa dan Tirta. Ia membuat rencana untuk membelot dari Dharma dan membawa Septa serta Tirta ke dalam markas besar untuk membebaskan para manusia yang masih hidup itu. Tentu saja, langkah itu ia lakukan agar peti hitam tak mencurigai dirinya.

Setelah berhasil menculik Septa dan Tirta, ia tak ingin memberitahu tentang misinya. Ia sengaja memendam semuanya sendiri dan baru akan bercerita setelah semuanya selesai.

Karena merasa berhasil telah memisahkan Mikail dengan anggota peti hitam, Tara membunuh pimpinan peti hitam itu saat sedang sendirian di ruangannya. Dengan ini, misinya telah usai, mengingat tugasnya adalah membawa pimpinan peti hitam, baik hidup maupun mati.

Ketika menyelamatkan Septa dan rombongan dari kejaran Emil dan Bayu, Tara berniat untuk menahan duo pilar serangan peti hitam itu. Ia mengulur waktu untuk rekannya, hingga lift dapat digunakan kembali untuk ia gunakan sebagai jalan keluar. Namun, sungguh di sayangkan, orang yang harusnya sudah ia bunuh, malah masih hidup dengan kondisi sehat dan menusuknya dengan pisau belati yang ia sempat tinggalkan di leher Mikail. Bahkan pergelangannya terpotong oleh Bapang dan membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.

Saat Emil berada di hadapannya, ia mengingat beberapa kenangan indah di masa lalunya. Ketika ia terlahir kembali sebagai seorang Rizwantara Putra.

Katanya, ketika seseorang mendekati ajalnya. Ia akan mengingat kenangan dari masa lalunya?

Ah ... jadi cuma sampai sini ya. Maaf karena ga bisa nyusul lu ya, Ta.

Gua harap keberuntungan selalu menyertai lu dan rekan-rekan kepolisian, Tirta, Tomo, Inspektur Dendi, Aqilla yang cantik, dan rekan-rekan mantra.

Sebagai pembunuh, gua ga pernah takut mati. Itu resiko yang selalu berjalan berdampingan di sebelah gua. 

Padahal, baru setahun terakhir ini ... gua menghargai hidup gua sendiri dan ga berharap mati, tapi justru kematian itu datang lebih cepat ... di saat gua ingin terus hidup.

Mungkin itu ... karma yang harus gua tanggung.

Ah ... sial ... rasanya berat sekali ... mata ini.

Gua mulai ngantuk, batinnya sambil memejamkan mata.

Gua--

Pamit dulu.

Tara menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyuman yang membuat para peti hitam merinding.

"Tuhan memberkatimu," ucap Mikail pada Tara yang terbujur kaku.

"Apa ini langkah yang benar? membunuh polisi," ucap Emil yang menjadi ragu.

"Polisi hanyalah anjing pemerintah, kau tau kan? bentuk asli dari para pejabat itu? mereka adalah iblis yang sesungguhnya. Harta di atas gelimpangan mayat, tahta di atas rakyat yang melarat."

"Jangan lupakan tujuan peti hitam terbentuk, Emil," lanjut Mikail.

Emil menggendong jasad Tara dan meletakkannya di dalam lift. Ia menekan tombol lantai dasar dan menutup lift itu.

"Setidaknya, kita biarkan mereka yang mengurus jasad Petrus," ucap Emil.

Dalam misinya di peti hitam, Tara ikut berkontribusi dalam pembunuhan yang menargetkan para petinggi negara. Bagi peti hitam, Tara juga adalah rekan yang hebat.

"Ayo bergegas, gedung ini sudah dikepung polisi," ucap Mikail.

"Pergilah duluan, Tuan Sagara--"

"Bayu ... dampingi ketua. Aku harus mengurus sesuatu, aku akan menyusul," ucap Emil sambil pergi meninggalkan Bayu dan Mikail.

"Pastikan kau menyusul," balas Bayu sambil melangkah di belakang Mikail.






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top