49 : Dharma
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rekustik membuat udara di mantra berbunyi malam ini. Duet Aqilla dan Tama membawakan lagu Drown dari Bring Me The Horizon dengan khas akustik mereka berdua, makin membangkitkan mood para pecandu kopi nusantara yang singgah berlabuh di kafe kecil ini.
Kartika?
Ya, personil asli Rekustik itu jarang mengisi panggung kecil di mantra coffee, namun sesekali gadis itu ikut bersama Aqilla untuk menghibur para pengunjung yang sedang nongky atau mengerjakan tugas kuliah. Namun malam ini ia tak bisa hadir, dan membuat Tama yang harus turun tangan untuk menemani Aqilla di atas panggung mantra.
Tirta yang baru saja datang langsung mempersilahkan dua orang temannya yang ia bawa untuk duduk di kursi bar.
"Gua baru tau, lu punya temen di Jogja selain kita?" ucap Andis slebor.
"Temen kerja," balas Tirta.
"Andis," sambil menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman pada pria yang wajahnya ramah senyum, namun bukan senyum yang bagus, lebih mengarah pada senyum yang licik.
"Septaraja, panggil aja Septa," balas pria itu menjabat tangan Andis, masih dengan senyumnya yang licik sambil menatap mata Andis.
"Udah mandi mas?" tanya Septa pada Andis.
"Belom dong," ucap Andis sombong.
"Eh kok?!" Andis heran, Andis hendak berbohong dan berkata, "Udah dong."
Namun entah dengan sebab apapun, ia malah berkata jujur dan berkata, "Belom dong."
"Ahahahahahaha," Tirta tertawa.
"Kalo Tirta bilang, dia bawa temen kerja, harusnya lu lebih hati-hati Dis," ucap Dirga yang melihat kelakuan mereka semua.
"Kalo hubungan sama kerjaan, pasti mereka bukan orang biasa."
Seorang pria yang satunya menghampiri Dirga. Seperti Tama, ia mengenakan sarung tangan, namun yang sebelah kanan berwarna hitam dan yang sebelah kiri berwarna putih. Benar-benar mirip, dengan wajah tanpa ekspresi. Pria itu membuka sarung tangannya dan mengajak Dirga kenalan.
"Rizwantara, panggil aja Tara," ucapnya sambil menjulurkan tangan kanan yang sekarang tanpa sarung tangannya.
Kemampuan apa yang dia punya? gumam Dirga.
Dengan agak sedikit ragu, Dirga menjabat tangan Tara.
"Dor! kena deh," ucap Tara dengan logat yang agak lemas.
Jujur saja, Tara ini lebih cocok menjadi karakter jahat, namun itu hanya secara penampilan saja, pada dasarnya ia adalah orang baik yang menjunjung tinggi rasa keadilan.
"10, 9, 8, 7," Tiba-tiba saja Tara menghitung mundur sambil melihat Dirga dengan sedikit tertawa.
Anjrit mau ngapain dia? batin Dirga lagi.
Septa menepuk punggung Dirga, Dirga menoleh dan beradu pandangan dengan Septa, "Lu takut ya sama Tara?" tanya Septa pada Dirga.
"Iya tuh."
Lah kok?! beda sama yang mau gua omongin, batin Dirga.
"4, 3, 2, 1, Dor," lanjut Tara dengan hitungannya.
Tiba-tiba Karmila datang, ia habis membawakan menu kepada pelanggan dan hendak menuju dapur. Namun tiba-tiba ia terpeleset dan jatuh, untungnya Dirga dengan cepat membopong tubuh Mila sehingga tidak jatuh, posisi mereka seperti adegan dalam kisah-kisah klise khas FTV.
"Kamu gapapa?" tanya Dirga.
Mila menatap Dirga tanpa bicara.
"Hallo, Mila," panggil Dirga lagi.
"Eh iya," terbangun dari lamunannya, "Aku gapapa kok."
Tara menatap Septa yang sedang menatapnya juga, septa kemudian menepuk punggung Dirga dan lagi-lagi Dirga menoleh dan mata mereka saling bertemu.
"Suka ya sama dia?" ucap Septa yang melihat Dirga masih dengan posisi menahan tubuh Mila.
"Iyalah, udah gila kali lu," ucap Dirga.
Lagi?! batin Dirga.
Muka Mila memerah, "Tumben bercandannya teh, bikin Mila baper," ucapnya.
"Cie, cie, cie, cie," goda Tara yang sedang melihat mereka juga.
"Gapapa sekali-kali," ucap Dirga agak terpaksa, karena ia takut mulutnya berbicara sesuatu yang sebaliknya lagi.
Sambil melepaskan Mila, Dirga menatap Andis. Dan mereka menganggukkan kepala seolah mengerti akan sesuatu.
"Udah-udah, bercanda mulu," ucap Tirta yang datang membawa dua gelas soda gembira.
"Kok sogem sih Tir?" protes Septa.
"Gratis aja banyak mau lu," balas Tirta sambil menyuguhkan soda gembira pada dua rekannya.
Dirga dan Andis berjalan agak jauh dari mereka bertiga.
"Lu sadar ga Dis?"
"Ngeliat lu tadi, gua jadi yakin Dir."
"Orang yang namanya Septa itu bisa bikin orang lain berkata jujur," ucap mereka berbarengan.
Setelah kejadian itu, tidak ada lagi kejadian yang aneh atau pun berkesan. Malam semakin larut hingga waktunya mantra coffee tutup. Tak ada pengunjung lain selain Septa dan Tara.
Setelah itu Tirta berbincang berdua dengan Dirga. Setelah mereka semua selesai beres-beres, Dirga mengumpulkan Andis, Tama dan Ajay.
"Ini namanya Tara, dan ini Septa," ucap Tirta mengenalkan kedua rekannya.
"Hallo, hallo," Septa memberikan sapaan kepada anak mantra.
Tidak seperti Septa yang ramah, Tara hanya diam tak memberikan komentar apa-apa, ia hanya memandang sarung tangan hitam yang dikenakan Tama.
Apa kemampuan orang ini? batin Tara.
Ia merasakan aura yang tidak beres dari tangan yang ada di dalam sarung tangan milik Tama.
"Mulai hari ini, mereka berdua akan tinggal di sini sementara, dan sebagai gantinya, mereka akan bekerja di sini tanpa imbalan," ucap Dirga.
"Tirta, Tara dan Septa,--" Dirga memutuskan kalimatnya dan menatap Tirta.
Tirta menatap Dirga dan menganggukkan kepala seakan berkata, "Silahkan."
"Mereka bertiga adalah unit Dharma, satuan polisi khusus untuk meringkus para penyihir. Dan dalam kasus kali ini, Peti Hitam," sambung Dirga.
"Sebagai permintaan maaf saya kepada Dirga dan Andis karena sudah bermain-main dengan kemampuan saya tadi, saya akan memberitahukan kemampuan saya," ucap Septa.
"Saya bisa membuat orang berkata jujur, jika berhasil menatapnya selama lima detik."
"Ah-- Sekalian, kalo Tara. Dia bisa ngasih nasib buruk dan baik, tergantung tangan mana yang nyentuh orang yang dia target," sambung Septa lagi.
Pantesan aja tadi Dirga dapet keberuntungan, batin Andis yang iri.
***
Keesokan harinya.
Tara melihat Anna, kucing hitam? pembawa sial, batinnya.
Kamampuan yang dimiliki Tara juga bisa berefek kepada dirinya sendiri, dan itu bersifat misteri. Akan muncul tanda-tanda seperti kucing hitam, burung gagak, atau ketiban cicak jatuh. Jika muncul tanda-tanda itu, maka kesialan akan menimpanya. Ia hanya punya dua pilihan, yaitu memberikan kesialan itu pada orang lain atau membiarkan dirinya sendiri sial. Dan setelah melihat Anna, ia memilih untuk membiarkan dirinya sendiri yang tertimpa sial.
Sedangkan Septa menjauhkan Anna dari Tara. Septa adalah pecinta hewan, ia sangat suka kucing.
"Hallo! siapa namanya?" ucap Septa pada Anna sambil menggendongnya.
Namun Anna tak seperti kucing lainnya, ia berusaha menghindari kontak mata dengan Septa karena mendengar penjelasan tentang kemampuan Septa.
"Kucingnya kok aneh ya?" ucap Septa lagi berbicara sendiri.
"Anehan lu kali, ngapain kucing ditanya-tanya," ucap Tirta yang sedang membaca buku sambil menikati secangkir english breakfast.
"Iya juga ya, kucingkan ga bisa ngomong," Septa meletakan Anna kembali ke lantai.
Tak sengaja Tara berpapasan denga Tama.
"Tama," ucapnya sambil mepelaskan sarung tangannya dan menjulurkannya untuk bersalaman.
Kau pikir aku bodoh? aku tak akan menjabat jebakan itu hahahaha, batin Tara.
Tara melakukan salaman jarak jauh seperti salaman ketika muslim dan muslimah bersalaman. Namun ketika ia menatap Tama, Tama mengeluarkan wajah yang tak biasa.
Alisnya naik sebelah sambil mulutnya tertawa kecil, seolah berkata, "Dasar pengecut!"
Sial, dia meremehkanku.
"Tara!" sambil menjabat tangan Tama.
Tara menunggu apa yang akan terjadi. Tirta pernah berkata bahwa semua penghuni mantra memiliki kemampuan aneh, dan ia yakin, seperti dirinya yang mengenakan sarung tangan untuk meredam kemampuannya. Tangan Tama memiliki kekuatan sejenis itu.
Sial! aku termakan jebakkannya, batinnya sambil melepaskan jabatan tangannya.
Tirta yang mendengar suara pikiran Tara mejadi tertawa terbahak-bahak dan menceritakannya pada yang lain.
Berawal dari sinilah perjalanan Mantra yang membantu Dharma, untuk meringkus komplotan Peti Hitam. Pertempuran antara tujuh dosa mematikan melawan tujuh kebajikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top