43 : Bunga Merah

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Seperti biasa, sebelum berangkat kuliah Andis selalu membuat sebotol moccacino untuk Sekar.

"Ah sekali-kali ah bawa cemilan buat Sekar," gumamnya dalam hati.

Andis melipir sedikit, ia menuju kampus melalui selokan mataram. Andis mencari toko bunga untuk membeli beberapa tangkai bunga melati untuk Sekar. Dipilihnya toko yang paling reot, ya aji mumpung sekali-kali bersedekah, karena toko yang lebih bagus cenderung lebih ramai dikunjungi dari pada toko reot ini. Andis turun dari motor dan masuk untuk memilih-milih bunga yang ada di sana, ia memilih beberapa tangkai melati. 

Tiba-tiba datang segerombolan preman, kira-kira jumlahnya ada sekitar 4 orang. Lalu seorang gadis muda keluar dari toko reot itu bersama dengan seorang nenek-nenek.

"Pak, uang sisanya nanti bulan depan pak, saya ga ada uang," ucap gadis itu.

"Saya ga mau tau, hari ini harus ada uangnya," ucap salah seorang preman.

"Bulan depan kan tinggal beberapa hari lagi pak," bantu si nenek.

Bruaaaak !!!

Salah seorang preman menendang pot bunga hingga terpental dan pecah.

Di toko itu hanya ada gadis itu dan neneknya, di tambah dengan Andis dan seorang pembeli lainnya yang sepertinya sudah selesai belanja, namun ia tertahan tak bisa pergi karena preman-preman itu.

Melihat pot bunganya pecah sang nenek langsung berjalan ke arah potnya, ia hendak membereskan pecahan pot itu.

"Eh tunggu dulu," seorang preman mendorong nenek itu hingga terjatuh di tumpukan tanaman, "beresin dulu masalah utang nih."

"Woy!" Andis yang melihat kejadian itu sontak emosi, karena tak sepatutnya preman-preman itu mendorong seorang wanita tua hingga terjatuh.

Preman-preman itu menoleh ke arah Andis, "Apa lu hah?!"

Pembeli yang satunya menahan Andis agar tidak terlibat masalah mereka, "Jangan terlibat," ucapnya.

"Tapi bang--"

"Udah diem aja dulu," potong pembeli berkemeja merah itu.

"Berapa sih utangnya?!" seru pembeli itu agak sedikit nyolot.

Salah seorang preman menghampiri si pembeli berkemeja merah itu, "satu juta," ucapnya.

Pria berkemeja merah itu tertawa terbahak-bahak, "Wahahahahaha," membuat semua orang terkejut.

Preman yang ada di hadapannya memukulnya dengan keras, tepat di bagian pelipis matanya, hingga membuat pembeli itu berdarah dan terjatuh.

"Asu kowe, opo ne sing lucu hah?!" ucap preman yang memukulnya.

Pria berkemeja merah itu bangkit dan membersihkan celanannya yang baru saja tertempel dengan tanah. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sejumlah uang.

"Yah gitu aja marah, nih ambil," sambil menyodorkan uang senilai satu juta rupiah.

Preman itu mengambil uangnya dan menghitung nominalnya, "pas nih," ucap preman itu setelah selesai menghitung uang.

Mereka langsung pergi begitu saja, salah seorang preman yang paling belakang itu menendang pagar kayu milik toko itu hingga rusak.

"Kamu ndapapa nak?" ucap nenek itu sambil melihat ke arah pelipis mata orang itu yang berdarah.

"Saya gapapa kok," jawabnya sambil tersenyum.

"Kamu jangan seperti itu nak, ini masalah keluarga kami," ucap nenek itu.

"Udah nek gapapa, ga usah dipikirin, segitu doang buat saya mah ga ada artinya hehe, oh iya ini bunganya jadi berapa?" 

"Kalau begitu terimakasih nak, semoga tuhan membalas kebaikanmu. Ambil saja gratis nak bunganya, sekali lagi terimakasih," ucap nenek penjual sambil mendoakan orang itu.

Pria itu berjalan keluar, ia mendengar anak gadis itu menangis sambil mengumpat, "Lebih baik mereka mati!"

Pria itu hanya menggeleng sambil melewati gadis itu. Andis juga sudah selesai dengan urusannya, ia segera membayar beberapa melati yang ia ambil sambil melihat jam tangannya.

"Wah telat nih!" setelah itu Andis langsung tancap gas dengan kecepatan full menuju kampusnya.

Sesampainya di kampus ia segera berlari ke kelasnya, mengingat ia telat beberapa menit. Di saat kegiatan kuliah berlangsung, ia kepikiran tentang nenek penjual bunga dan anak gadis yang tinggal bersamanya.

Selesai jam kampus, ia menemui Sekar dan bercerita tentang kejadian hari ini.

"Terus Andis ga lawan penjahatnya?" kata Sekar sambil meninju-ninju angin.

"Aku ditahan sama pembeli yang satunya, kalo enggak mah ya udah abis kali,"

"Wah Andis hebat, preman-premannya pasti langsung habiiiis," ucap Sekar.

"Bukan, aku lah yang habis wahahaha,"

"Hih Andis lemah," ucap Sekar sambil mengembungkan pipi.

"Coba aja Dirga yang ada di sana," ucap Andis sambil menunduk.

"Dirga juga bakal habis?" celetuk Sekar.

"Ya ga tau juga sih, tapi dia itu kuat," 

Andis hari ini pulang malam, mengingat malam ini adalah malam jum'at dan ia harus siaran di podcast mantra radio.

***

Sementara itu keadan di kafe sudah mulai kondusif, Dirga sudah mengganti kaca yang pecah kemarin dengan kaca baru. Hari ini mantra sudah mulai beroprasi kembali. Tama, Dirga, Ajay dan Tirta menjadi garis depan untuk melayani para pelanggan yang berkunjung.

"Luka lu gimana Tam? kalo masih sakit mah rebahan aja keles," ucap Tirta.

Tama hanya diam sambil mengelap gelas-gelas kaca yang berdebu.

"Lah iya dikacangin lu," ledek Dirga.

"Si kampret kumat yak," protes Tirta sambil menghela nafas.

Malam itu suasana tak terlalu ramai, namun tak sepi juga. Ajay mengawasi setiap gerak-gerik pelanggan, ia tak mau insiden berdarah itu terulang kembali.

***

Sementara itu tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 10:00 malam, Andis telah selesai dengan kegiatannya. Ia pergi menemui Sekar sebentar dan setelah itu Andis segera pulang, ia teringat kejadian tadi pagi dan memutuskan untuk melewati jalan yang ia lalui pagi tadi untuk sekedar menengok toko bunga milik nenek tua tadi.

"Dipikir-pikir pembeli tadi kok baik banget ya? rela nebus utang itu nenek," Andis masih berpikir tentang kebaikan pria berkemeja merah tadi.

Tiba-tiba jalanan tampak sedikit macet, banyak orang di pinggir jalan, seperti ada sebuah tragedi kecelakaan yang cukup parah. Karena letaknya yang dekat dengan toko tadi Andis berpikiran macam-macam, ia menyempatkan waktu untuk berhenti dan melihat situasinya. Pusat keramaian itu berada di dalam toko bunga reot itu, banyak bercak darah di jalan, Andis mulai mempercepat langkahnya menuju toko bunga yang reot itu.

Terlihat si nenek pemilik toko tersebut sedang menangis bersama dengan gadis yang entah cucunya atau siapanya itu, Andis menghampiri nenek itu.

"Nek ada apa ini nek?" tanya Andis sambil celingak-celinguk mencari tahu apa yang terjadi.

Nenek itu tak menjawab, ia hanya menunjuk ke arah halaman tempat bunga-bunganya di tata. Andis perlahan mendekati tempat perkara kejadian yang dipenuhi oleh kerumunan orang itu, bau amis semakin pekat, genangan darah berceceran di mana-mana. Andis melihat mayat dari preman-preman yang menagih hutang nenek penjual bunga tadi pagi.

Seperti tercabik-cabik, luka mereka sangat mengenaskan bagaikan dicakar binatang buas. Andis ingin muntah setelah melihat mayat-mayat itu.

Sebelum ia berpaling, ia melihat bunga wijaya kusuma berwarna merah di setiap mayat. Tiba-tiba Andis mengingat perkataan Tirta bahwa salah satu anggota peti hitam adalah keluarga Wijayakusuma yang identik dengan bunga wijaya kusuma merah. Ciri khas keluarga ini adalah mereka semua adalah pembunuh bayaran, dan selalu meninggalkan tanda berupa bunga wijaya kusuma berwarna merah kepada setiap orang yang mereka bunuh sebagai tanda 'selamat tinggal'.

Andis kembali secepat mungkin kepada nenek itu.

"Nek, orang yang pakai kemeja merah tadi pagi, beli bunga apa ya nek kalo boleh tau?" ucapnya dengan nafas yang tak beraturan.

Nenek itu menjawab dengan lirih.

"Wijaya kusuma merah."

.

.

.

https://youtu.be/GcRDrbJX-cE

Teaser Peti Hitam.

*Karena gambar lama, Artworknya belum sempet dirework, jadi ngejomplang antara kubu peti hitam yang style nya lebih bagus ketimbang mantra wkwkwk :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top