4 : Butiran Jiwa

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Genap sudah berusia tiga hari Mantra coffee berdiri di atas tanah pelajar. Hari ke hari kafe yang menyajikan kuliner kopi nusantara ini semakin ramai di kunjungi oleh mahasiswa/i, apa lagi hari ini adalah hari Jum'at, hari di mana weekend baru saja dimulai. Tepat sedari pukul 16.00 tadi Mantra coffee ini membuka pintu nya untuk para pengunjung, dan tak lepas dari berbagai promo nya yang unik dan menarik.

"Ramai juga ya hari ini pengunjungnya." Batin Tama sambil membersihkan gelas-gelas kaca di balik meja bar kafe.

Seorang wanita berambut bob sepanjang leher, mengenakan baju abu-abu memesan Affogato Vanilla. Dia duduk seorang diri, sembari membuka laptop dan menulis sesuatu di kertas, sesekali ia menyendok ice cream vanilla dan menyeruput kopinya.

Hanya berkisar 60 menit wanita itu menghuni mantra coffee, ia keluar dari zona nyaman nya dan beranjak pergi.

Andis kemudian membersihkan meja bekas wanita itu dan menemukan benda kecil berbentuk segitiga. Setelah membereskan meja tersebut, Andis berjalan menuju Tama.

"Tam, gue nemu pick gitar nih, lu kan jago maen gitar." Sambil memberikan pick gitar tersebut kepada tama.

"Gua baru kepikiran, kafe kita kurang spot akustikan kayaknya deh guys." Celetuk Ajay.

"Sabi tuh, bakalan rame, tapi tetep ya prinsip kita no wifi here's." Sambung Dirga.

"There are no strangers only friends you haven't met yet." Lanjut Dirga lagi.

"Gue coba ambil gitar ya, nanti lu coba maenin Tam pake pick yang gue kasih." Andis menuju lantai dua untuk mengambil gitar.

Tak lama kemudian Andis turun membawa gitar.

"Coba Tam maenin lah, bikin suasana jadi kafe beneran, spot nya seada-adanya aja di pojokan sana." Ucap Andis sambil menunjuk tembok samping bar.

Tama mengambil gitar dan pick tersebut kemudian hendak memainkan nya. Dia melepas sarung tangan hitam yang selalu ia kenakan untuk mempermudah memainkan gitar. Ketika memegang pick tersebut Tama diam beberasa saat.

"Gua lupa, gua ada urusan penting terkait kampus gua, gua caw dulu ya bentar." Ucap Tama sambil membawa gitarnya kembali ke lantai dua.

Tama kembali dengan membawa kunci motor nya, ia pergi keluar begitu saja dengan masih mengenakan pakaian ala-ala barista.

Tama menghidupkan motor vario nya dan segera meninggalkan Mantra coffee.

Waktu menunjukan pukul 19.20

Belum juga orientasi dimulai, Tama sudah menginjakan kakinya di kampus yang akan menjadi tempat ia akan berkarya, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

"Disini tempatnya." Gumamnya dalam hati, berdiri di depan salah satu bangunan milik Fakultas Seni Pertunjukan.

Tama segera masuk ke dalam bangunan tersebut dan mencari sesosok wanita yang meninggalkan pick gitar miliknya di mantra coffee.

Setelah memasuki gedung tersebut rupanya ada semacam pentas seni kecil-kecilan, semacam acara jurusan untuk menyambut para mahasiwa baru jurusan musik. Tama melihat sekeliling ruangan untuk mencari-cari wanita berambut bob sepanjang leher yang mengenakan baju abu-abu itu.

tiba-tiba....

"Hallooo semuanyaaaa, apa kabaar?"

"Semoga adek-adek gemes betah kuliah di sini, kita sengaja ngadain acara makrab sebelum ospek, biar pada kenal duluan."

"Langsung aja buat penampilan awal, ada band yang kece badai dari semester dua."

"Reeekustiiiik!!!"

Dua orang wanita naik ke atas panggung, yang satu membawa bass dan yang satu nya lagi membawa gitar.

Dan wanita yang membawa gitar itu adalah wanita berbaju abu-abu. Wanita itu tampak begitu murung, Tama berusaha lebih mendekat ke panggung.

"Gimana caranya ngasih pick ini ke dia." Pikir Tama.

"Hallooooo...selamaat malam jurusan musik!" Teriak wanita yang membawa bass itu.

"Kenalin, aku Kartika, dan temenku yang main gitar namanya Aqilla."

"Aqilla lagi sedih nih, dia habis kehilangan benda yang paling berharga buat dia. Kira-kira ada yang bisa hibur Aqilla ga? gombalin kek atau bacain puisi gitu, kalo ada yg mau silahkan maju aja yaa."

"Apaan sih tika!" Protes Aqilla.

Tiba-tiba seorang pria berbaju barista naik ke atas panggung. Pria itu mengambil microphone dan berkata.

"Setiap benda di dunia ini memiliki ingatan."

"Segelintir di antaranya memiliki sejarah panjang yang tak terlupakan."

"Kenangan indah dari dan bersama orang-orang terdekat kita, jauh lebih berharga dari apapun."

"Dari benda termahal sekalipun."

Pria itu berjalan ke arah Aqilla sambil melanjutkan puisinya.

"Bunuh sudah semua gundah mu yang membelenggu."

"Karena telah ku temukan sebutir jiwamu." Sambil memberikan sebuah pick gitar.

"Ciyeee ciyeeee ciyeee" Jurusan musik bergemuruh.

Kemudian pria itu pergi begitu saja, menghilang di tengah hembusan angin, tenggelam bersama gelapnya malam.

.

.

.

"Dari mana aja lu?" Tanya Andis penasaran kepada Tama yang baru saja pulang.

"Dari ISI" Jawab Tama singkat.

"Ngapain bege lu ke ISI?" Tanya Andis lagi.

"Tam, lu liat apaan emang abis megang pick gitar tadi, kayaknya ada sesuatu ya?" Celetuk Dirga memotong pertanyaan Andis.

"Jadi gini ceritanya......"

Tama mulai bercerita bahwa nama wanita itu adalah Aqilla, dia melihat kenangan dari pick gitar tersebut, pick gitar itu adalah milik dari kakek nya Aqilla, pick itu diberikan oleh wanita terkasihnya waktu jaman bujangan dulu, yaitu oleh nenek nya Aqilla.

Kemudian anak dari pasangan itu, yakni adalah ibu dari Aqilla, adalah seorang musisi gitar, dia diberikan pick gitar itu oleh sang kakek, dan berkeliling Indonesia untuk bermain musik dengan membawa pick gitar itu.

Saat sang ibu mengetahui bahwa Aqilla juga bercita-cita menjadi seniman musik sepertinya. Untuk memotivasinya, sang ibu memberikan pick gitar itu dan menceritakan tentang sejarah pick gitar itu.

Aqilla aktif di youtube dan instagram untuk meng cover-cover lagu, dia juga berhasil masuk ke ISI yang sainganya seniman dari penjuru negri. Saat dia sedang bermetamorfosis menjadi seniman musik, ibu nya meninggal.

dan itu adalah satu-satunya peninggalan dari ibunya. Ketika ia bermain gitar dengan pick itu, dia merasa bahwa dia tak pernah benar-benar sendirian.

Bagi Aqilla, pick gitar itu adalah butiran Jiwanya, serpihan kenangan ibu dan kakeknya. Seorang Aqilla tanpa pick gitar itu, adalah nyawa tak berjantung. Hidup tanpa jiwa.

.

.

.

Sampai sini dulu pejalanan mantra, sampai berjumpa di Episode selanjutnya.

See you~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top