31 : Makrab Fotografi

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Tidak terasa waktu sangat cepat berlalu, memasuki penghujung semester 2 Komunitas Fotografi ISI biasanya mengadakan makrab di villa yang terletak di kaliurang atas.

Hari jumat sampai minggu adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Seusai perkuliahan anak-anak berkumpul di kampus dan berangkat bersama menuju Kaliurang. Tak terkecuali sepasang manusia bisu yang tak pernah bicara lagi itu semenjak kejadian di kompetisi basket. Mereka berdua juga ikut hadir memeriahkan acara malam keakraban komunitas fotografi.

"Aqilla sama Tama boncengan ya, takut-takut Tama malah nyasar," ucap seorang senior.

"Kan konfoi rame-rame, masa nyasar?" ucap Qilla.

"Kalo nyasar kamu yang tanggung jawab ya?"

Akhirnya Aqilla setuju dengan arahan seniornya untuk berangkat bersama Tama. Semua sudah berkumpul untuk berangkat.

"Tama sama Aqilla ya," ucap senior yang tadi kepada Tama.

Tama menggeleng tak mau.

"Udah nurut aja deh, kita ga mau tanggung jawab kalo kamu nyasar di jalan loh," sambil mencabut kunci motor Tama dari motornya.

"Parkir di kampus aja, hari minggu sama Aqilla di anter lagi ke kampus buat ambil motor," perintahnya semena-mena, karena memang dulu Tama dan Aqilla sangat akrab dan kemana-mana selalu berdua.

Akhirnya Tama juga mengalah dan naik ke motor vespa kuning milik Aqilla. Aqilla yang akan mengendarai motor, sedangkan Tama menumpang di belakang.

Mereka pun berangkat dari kampus hampir jam 5 sore, karena mengejar sunset untuk di potret dari kaliurang, mereka agak sedikit ngebut.

Tama adalah orang yang lambat, kecepatan maksimalnya dalam berkendara hanya sebatas 40km/jam.

Karena kecepatan Qilla sekitar 80km/jam mengejar rombongan, Tama merasa takut. Tanpa sadar ia berpegangan pada pinggang Aqilla yang ramping tiada tara itu, membuat Aqilla merasa geli. Namun mereka tak sama sekali bicara, baik Tama yang takut dan Aqilla yang geli menahan tawa. Qilla sadar Tama takut, karena pria itu berpegangan pada pinggangnya, Tama juga sadar bahwa Aqilla merasa geli, karena tubuhnya agak-agak meliut-meliut seperti belut, namun tetap mereka gengsi untuk bicara dan melanjutkan perjalanan.

Rombongan semakin cepat, meninggalkan motor Aqilla yang berada paling belakang. Aqilla menambah kecepatannya hingga 90km/jam.

Vespa Aqilla bukan vespa kaleng-kaleng, tapi vespa sprint 150. Skuter santai beraura sporty, Vespa ini bisa melaju sampai 98km/jam.

Karena Aqilla semakin cepat, Tama pun semakin menggila, ia berteriak karena takut.

"Waaaaaa," teriak Tama sambil memeluk erat wanita yang mengemudikan motor.

"Ahahahaha," Aqilla menjadi reflek tertawa karena Tama berteriak, dan juga karena Tama menyentuh bagian pinggang ke perut saking takutnya hingga memeluk sang pengemudi. Aqilla adalah orang yang sangat sensitif, ia menepikan motornya di pinggir jalan sambil menggeliut-menggeliut dan tertawa-tawa sendiri.

"Tama, geli," ucap Aqilla sambil tertawa.

Pria itu hanya diam dengan wajah yang tegang.

"Yaudah kita pelan-pelan ya," ucap Qilla berusaha menenangkan.

Tama hanya mengangguk.

Merekapun berjalan santai, lantaran mengejar sunset untuk di potret, mereka malah menghabiskan waktu berboncengan berdua di bawahnya.

***

Sesampainya di villa, semua orang mengkhawatirkan mereka berdua.

"Kamu rapopo to?" ucap temannya Qilla.

"Iya gpp, cuma si Tama takut diajak lari, jadi jalan deh kita," ucapnya.

Merekapun menuju kamar masing-masing untuk meletakkan barang-barang bawaan mereka. Setelah itu mereka istirahat, sholat dan makan bersama.

Sekitar jam 8 malam sehabis isya, mereka berkumpul untuk di bagi menjadi beberapa kelompok untuk keesokan harinya hunting foto di kawasan wisata kaliurang.

1 kelompok terdiri dari 3 orang. Mereka semua berhitung secara bergaintian, yang menyebutkan angka yang sama maka mereka akan sekelompok. Dan secara ajaib, Tama dan Aqilla sekelompok, di tambah dengan Ajeng teman seangkatan Tama.

*Bukan mbak Ajeng atasannya Ajay, Ini beda orang.

Setelah acara selesai, mereka di perkenankan untuk melakukan aktivitas bebas. Aqilla duduk di pinggir kolam berenang bersama dengan sahabatnya, yaitu Angie (dibaca Enji).

"Ji, gua bingung, gua tau Tama berusaha menjauh karena gua sakitin, dan gua pun berusaha menjauh karena merasa bersalah. Tapi selalu aja takdir deketin kita lagi, dan gua ga enak sama Jo," ucap Qilla.

"Jo tau tentang lu dan Tama?" tanya Angie.

"Tau, dan dia ngebolehin aja kalo gua mau bergaul sama siapa aja, selama gua tau, hati gua milik siapa," ucap Aqilla.

"Milik siapa tuh?" ledek Angie.

"Entah, gua bingung sama perasaan gua sendiri, rasanya mau nyebur," sambil memainkan air dengan tangannya.

"Coba deh nyebur, takdir juga yang bikin Tama buat nolongin lu paling," ledek Angie.

"Menurut gua ya, lu sama Jordan tuh kayak biasa aja, beda sama kalo lu cerita soal Tama ke gua, lu bahagia banget," sambung Angie.

"Lu punya pilihan lu sendiri, kalo menurut gua, Jordan itu kayak cuek banget sama lu, tapi gua ga tau juga sih, lu yang paling tau tentang perasaan lu sendiri," ucap Angie lagi.

Angie dan Aqilla berjalan menuju kamar mereka untuk tidur.

***

Tama baru selesai mandi, ia duduk di balkon lantai 2 sambil melihat sekumpulan bintang. Ia menyeruput kopi yang baru saja ia ambil di dapur, kopi itu disediakan oleh penyelenggara kegiatan makrab ini.

Tama refleks melepehkan kopi itu, ia menyemburkan kopinya ke luar balkon.

"Kopi apaan nih?" gumamnya dalam hati sambil memperhatikan kopi itu.

 "Eh kurang ajar! siapa tuh yang nyiram kopi panas di atas pala gua?" seseorang berteriak dari bawah, ia ngomel-ngomel karena terkena lepehan kopi Tama.

Tama yang sadar akan hal itu segera kabur ke kamar untuk langsung tidur.

***

"Hahahaha," Aqilla tertawa melihat Angie yang tersiram kopi dari lantai atas.

Bahkan tanpa ia sadari, pria itu dengan sejuta kebodohannya dapat membuatnya selalu tertawa.

Angie mencari keberadaan orang yang menyiramnya dengan kopi, namun tanpa jejak dan barang bukti, orang itu lenyap bagaikan hantu.

Keesokan harinya mereka berangkat hunting foto setelah menghabiskan sarapan. Qilla, Tama dan Ajeng mulai berangkat untuk mencari spot yang bagus.

"Kak," panggil Ajeng.

"Ya?" ucap Qilla sambil berjalan.

"Sebenernya aku baru gabung komunitas," ucap Ajeng.

"Oh ya?" menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ajeng.

"Iya kak, aku belum tau cara penggunaan kamera dan tehniknya,"

Aqilla mengajarkannya basic dalam fotografi.

"Kalo ada yang kurang paham, nanti bisa tanya kk lagi, atau tanya sama Tama ya,"

"Iya kak, makasih ya," ucap Ajeng berterimakasih.

Mereka semua mulai memotret, Ajeng memperhatikan Tama beberapa kali.

Hari sudah agak siang, Ajeng masih memperhatikan Tama, dan memberanikan diri mendekatinya.

"Hey," ucap Ajeng.

Tama menoleh dan menaikan alisnya seolah berkata, "Apa?"

Ajeng hanya diam seperti tidak berani untuk berkata-kata.

"Kenapa? masih bingung cara dapet foto yang bagus?" tanya Tama.

"Bukan sih," jawab Ajeng.

"Terus kenapa?" tanya Tama lagi.

"Aku dari tadi liatin kamu terus loh," ucap Ajeng.

"Kamu kok dari tadi cuma foto kak Qilla aja sih?" sambungnya lagi.

Tama merinding mendengar ucapan wanita ini, pria itu menganggap bahwa Ajeng lebih mengerikan dari pada setan yang selalu berbisik di telinga manusia. 

"Orang ini lebih berbahaya dari pada Ajay, mereka cocok," pikir Tama.

"Enggak tuh, emang view nya yang bagus di arah dia semua, jadi kebetulan fotonya ke arah dia aja," alibi Tama.

"Kalian ngobrolin apa sih?" tanya Aqilla yang berjalan menghampiri mereka.

Tama melihat Ajeng seolah berkata, "Diem lu woy."

"Itu kak, jepretannya Tama bagus-bagus, jadi nanya aja seputar tehnik yang dia pake gitu hehe," ucap Ajeng berbohong.

"Hmmmm...."

"Coba aku liat dong," Aqilla menghampiri Tama.

Keringat dingin mulai bercucuran dari balik kemeja pria itu.

.

.

.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top