105 : Mentari Yang Hilang Dari Wajahmu
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Pagi ini gelap, bukan karena masih subuh, tetapi karena memang sang mentari enggan menunjukkan sinarnya. Ia bersembunyi dibalik sekumpulan awan-awan hitam yang mengepul menyelimuti kota Jogja. Angin juga tak bersahabat, mereka mengguncang daun-daun dan pepohonan secara brutal, tinggal menunggu puncaknya saja, ketika langit meneteskan air matanya, entah apa yang ia tangisi.
"Belum turun?" tanya Dirga pada Ajay.
Ajay hanya menggelengkan kepalanya. Sejak semalam, Andis belum keluar kamar. Bahkan aroma nasi goreng buatan Tama tak mampu membuatnya turun pagi ini. Dirga mengambil sepiring nasi goreng buatan Tama dan membawanya ke atas.
tok tok tok
"Dis."
"Masih idup kan lu?" tanya Dirga.
"Kenapa?" tanya Andis balik.
"Lu kenapa? Cerita sini," balas Dirga.
"Gua kenapa? Ga kenapa-napa, lagi sibuk aja," balas Andis sambil berbaring di kasurnya.
"Nih, nasi goreng buatan Tama. Ekstra telor buat lu."
"Gua ga laper," jawab Andis singkat.
"Gua taro di depan kamar lu ya?"
"Terserah."
Dirga meletakkan sepiring nasi goreng itu di depan kamar Andis. Beberapa menit berselang, hujan mulai turun membasahin bumi Jogja.
"Dis, sarapan dulu. Ujan nih, dingin, tar lo sakit," ucap Dirga yang rupanya sedari tadi duduk bersandar di tembok kamar Andis sambil menunggunya keluar.
"Sibuk boleh, tapi jangan lupa kesehatan lo."
Bisa ga si lu pada ga usah peduliin gua? Semakin kalian peduliin, semakin sakit rasanya ketika gua ga bisa memenuhi harapan kalian, batin Andis sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Hujan hari ini awet rupanya, mungkin jika diberi nama, nama hujan ini adalah hujan tamqila. Andis keluar dari kamarnya, ia tak sengaja menangkap Dirga dengan ujung matanya, Dirga yang duduk bersandar di dinding kamarnya sambil tertidur, mungkin karena suasana yang sangat cocok untuk tidur atau menikmati semangkok Indomie rebus dengan telur, membuatnya tertidur di sana. Andis mengambil nasi goreng yang sudah dingin itu dan masuk ke dalam kamar, ia keluar lagi dengan membawa selimut dan menyelimuti Dirga yang tengah duduk tertidur, kemudian ia masuk kembali kedalam kamar.
Walau pun dingin, tetep masih enak, sehebat itukah, Tama?
Andis menjatuhkan dirinya ke lantai, sambil tangan kanannya berusaha meraih lampu yang tepat berada di atasnya.
Kemampuan apa yang gua punya? Bidang apa yang gua kuasai? Apa kalo punya ibu, gua juga bisa seperti mereka? Rasanya hanya untuk kali ini, gua merasa butuh pelukan seorang ibu.
Ada fase di mana manusia berada di titik terlemahnya, ketika ia merasa down dengan segalanya. Yang ia butuhkan hanya sebuah dekapan dari orang terkasihnya. Andis tak pernah melihat ibunya, untuk merindu saja ia tak punya memori tentang sosok wanita yang melahirkannya, hanya beberapa lembar foto saja yang memperlihatkan wajah ibunya. Perlahan tapi pasti, air itu basah membasahin lantai kamarnya, membaur dengan tangisan langit.
Andis keluar dari kamarnya, Dirga sudah tak berada di sana. Selimutnya terlipat rapi di depan kamarnya, Andis memungut selimut itu dan meletakkannya di atas kasur. Andis mengambil handuknya dan turun ke bawah.
Hanya ada Tama di lantai bawah, seperinya Ajay pergi menerabas hujan dan Dirga pindah ke kamarnya untuk melanjutkan tidur. Tama menatap Andis, begitupun sebaliknya. Tama memang memiliki sorot mata yang dingin, tetapi kali ini sorot mata Andis jauh lebih dingin dari Tama. Redup, tak ada kehangatan sedikit pun seperti biasanya.
"Dis--"
"Gapapa, gua gapapa, jangan khawatir," ucapnya dengan senyum yang sangat terlihat palsu, hari ini sandiwaranya jelek, jelas ia tak baik-baik saja. Bahkan Tama yang begitu, langsung tahu saat menatap Andis. Setelah mandi dan rapi dengan pakaiannya, Andis mengambil mantel dan pergi entah ke mana dengan motornya.
Hujan hari ini begitu gila, bagaimana tidak? Dari pagi hari hingga sore seperti ini, tak sedikit pun hujan berhenti, terlihat jalanan yang mulai banjir tak jauh dari mantra coffee. Namun, hujan ini tak menghalangi para penikmat kopi yang ingin menghangatkan diri dan sekedar melepas penatnya berdiam diri seharian di kamar kos.
Hujan mulai berhenti ketika langit mulai gelap, sungguh gila! Mentari benar-benar libur hari ini. Tak terasa, mantra sudah close order malam ini, menyisakan enam orang pengunjung yang tinggal menghabisi tetes terakhir kopinya.
Cring~
Andis baru saja pulang, ia masuk tanpa menyapa semua orang. Setelah melepas sepatunya, ia langsung naik ke atas. Tentu saja membuat Dirga, Ajay dan Tama saling bertatapan satu sama lain. Setelah pengunjung terakhir keluar, Andis turun dari tangga, ia memasak telur ceplok di dapur. Setelah selesai memasak, Andis mengambil nasi di rice cooker dan membawanya naik ke atas. Namun, langkahnya terhenti, Dirga sambil mengemut permen lolipop duduk di tengah anak tangga, persis seperti yang ia lakukan ketika menghalangi Tama dulu.
"Udah jadi aturan ga tertulis kita dari dulu, kalo ada masalah, cerita," ucapnya pada Andis.
"Gua baru balik, Dir. Capek," ucap Andis.
"Jadi--kemana mataharinya hari ini?" lanjut Dirga.
"Ya ga tau, namanya juga ujan--" Belum sempat Andis menyelesaikan kalimatnya.
"Matahari di muka lu," jelas Dirga.
"Biasanya lu itu ceria, petantang-petenteng, ngomong sembarangan, ngelawak ga jelas."
Andis hanya menatap nasi telurnya saja, ia tak berani menatap mata Dirga.
"Proposal lu ditolak?" tanya Dirga.
"Kalo kalian mau lulus duluan, duluan aja--"
"Masuk sama-sama, keluar sama-sama," timpal Tama.
"Gua bukan lu, Tam. Yang jenius dan secepat itu nyelesain skripsinya tanpa hambatan," ucapnya yang kini menatap Tama.
"Gua juga bukan lu, Jay. Yang kuliahnya sejalan sama kemampuan spiritualnya, gua bukan lu yang cepat dalam menangani suatu kasus," Andis menatap Ajay.
"Gua juga bukan lu, Dir. Yang cerdas, yang ga pernah lari dari masalah, yang selalu bisa kuat dan tegar."
"Kalian udah support gua gila-gilaan
"kalian selalu ada buat gua. Dan--"
"Ini balasan gua ... yang ga bisa jaga kepercayaan kalian. Gua udah tertinggal jauh."
"Jadi kalo kalian mau duluan--"
"Lu adalah diri lu sendiri, Dis," ucap Dirga menutup mulut Andis.
"Yang selalu ngebantu kita, saat kita butuh," sambung Ajay.
"Yang selalu menghibur kita, saat kita terpuruk," sambung Tama.
"Yang selalu bangkit dan terus bangkit saat dirinya terjatuh," timpal Dirga.
"Kali ini biarin kita yang bantu lu, yang hibur lu, yang ngerangkul lu," sambung Dirga.
"Lu ga sendirian. Libatin kita dalam segala urusan lu, biarin kali ini kita yang ngebantu lu," sambung Ajay.
"Jangan curang! Kalo emang lu mau lari, kita lari sama-sama. Kalo lu emang terjatuh segitu dalamnya--"
Tama mengulurkan tangannya. "Raih tangan gua."
"Sebab kita ga akan biarin lu jatuh sendirian," ucap mereka bertiga serempak.
"Bangsat ...," ucap Andis lirih, hujan di langit memang sudah berhenti, tetapi hujan lain mulai menetes perlahan hingga mengalir bagaikan sungai.
Ajay mengambil piring yang Andis bawa dan meletakkannya di atas meja kosong, Andis menutup matanya dengan sikut kirinya dan meraih tangan Tama yang memang menunggunya untuk diraih dengan tangan kanannya. Seraya mereka bertiga merangkul Andis dan menertawakannya karena menangis.
"Pelan-pelan aja, rileks. Toh kalo kita lulus cepet, wisudanya juga tahun depan, nganggur satu semester dulu," ucap Dirga.
"Kek bocah aja lu, nangis gara-gara ga bisa ngerjain ulangan," ledek Ajay.
"Pokoknya santai aja, jadiin skripsi lu itu sebuah kegiatan yang menyenangkan deh. Jangan berpikir kalo skripsi tuh susah, sugesti lu udah keliru," sambung Ajay.
"Thanks ... ga bisa berkata-kata lagi gua, pokoknya big thanks lah buat kalian," ucap Andis.
Andis melirik Tama yang berada agak jauh dari mereka bertiga, "Tam, lu makan apaan?" tanya Andis yang melihat Tama sedang makan sambil membelakanginya.
"Nasi telur--" ucapnya sambil mengunyah nasi telur itu.
"Nemu di atas meja--"
"Bukan punya lu kok, suwer," ucap Tama sambil memberikan dua jarinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top