102 : Jujur
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Malam kian gulita, para pengunjung mantra mulai berhamburan. Tama membalik gantungan bertuliskan open yang terpampang di pintu kaca, menjadi close. Andis baru saja pulang dari kantor tempatnya magang, ya ia memang selalu pulang malam karena sibuk dengan tugasnya sebagai video editor.
"Wih, lagi pada sibuk riset skripsi nih ye," ledek Andis ke pada Dirga dan Ajay.
"Baru nyusun, Tama noh gercep, udah kelar proposalnye," balas Dirga.
"Lu udah ngajuin proposal, Tam?" tanya Andis.
Seperti biasa, Tama hanya menjawabnya dengan mengangguk saja.
"Terus?"
Tama membalas dengan mengacungkan jempol dewanya.
"Serius! Acc? Wah cepet bener."
Anjir, gua doang yang belum bisa mulai skripsian. Gara-gara magangnya kelamaan ini! batin Andis.
"Tenang, Dis. Kalo kita bertiga lulus duluan, lo bisa ngekos di deket sini," ledek Dirga.
"Parah! Katanya kita adalah keluarga?" ucap Andis dengan wajah yang panik.
"Keluar ga?" timpal Ajay.
"Oke, kita akan keluar secepatnya kalo diusir!" sambung Dirga.
"Elah, tungguin napa, santai dikit," ucap Andis mengemis. Dirga dan Ajay menertawakan Andis, sedangkan Tama hanya tersenyum.
Keesokan harinya, Ajay berangkat menuju kantornya. Selain bimbingan dengan dospem nya, Ajay juga bimbingan dengan Mbak Ajeng.
"Kalo kamu lulus, sepi deh," ucap Mbak Ajeng.
"Iya nih, jadi sendirian deh aku, kalo, Mbak Ajeng pergi keluar," sambung Senja.
"Kamu kan bisa chat, atau video call kalo sepi," balas Ajay.
"Emang sudi, aku gangguin? Kamu juga mau ke Inggris kan?"
"Sudi, sudi aja sih," jawab Ajay.
Entah mengapa, mendengar percakapan dua pegawainya, Ajeng menahan senyumnya. Menurutnya Ajay adalah anak yang tak banyak bicara jika tak ditanya. Namun, belakangan ini, Ajay tampaknya mulai banyak bicara bahkan tanpa ditanya sekali 'pun.
"Oh iya, Jar, kamu mau ambil judul apa?"
"Aku mau ambil psikologi sosial sih, mungkin judulnya, Tingkat need for dominance siswa dengan kecenderungan bullying di sekolah."
"Kenapa kamu ambil bullying?" tanya Mbak Ajeng.
"Karena temenku, pernah hampir bunuh diri gara-gara jadi korban bullying," ucap Ajay.
Di sisi lain.
"Hachi!"
"Kenapa lu, Tam?" tanya Dirga.
"Entah, tiba-tiba aja bersin," jawab Tama.
"Ada yang ngomongin lu tuh!" ledek Andis.
"Pamali itu mah, cuma mitos."
Senja dan Mbak Ajeng saling bertatapan, "jangan bilang, salah satu temen kamu di mantra?" tanya Senja.
"Ya, namanya, Tama. Ini sebuah kisah lama, waktu kami duduk di bangku SMP."
"Tama itu anak yang pendiam, dia jarang bicara, mungkin hampir ga pernah ngeluarin suara. Banyak anak yang penasaran sama suara, Tama, selain anak cewek ada beberapa anak cowok yang penasaran, dan mereka adalah berandalan sekolah. Tama ga pernah sekelas sama anak-anak mantra, kita ga pernah tau kalo dia dibully separah itu."
"Anak-anak berandalan itu sering mukulin dan nyiksa Tama, cuma sekedar mau denger suaranya. Dan gilanya, Tama ga pernah mau bersuara, dia nahan sakit sambil nahan suaranya agar ga keluar. Aku juga ga tau kenapa dia sampai segitunya, yang jelas itu terjadi selama beberapa bulan."
"Tama itu selalu pakai sarung tangan, dia adalah seorang psikometri, dia bisa liat masa lalu objek yang dia sentuh. Anak-anak itu sering ngelepas sarung tangan Tama dan membuat Tama menyentuh banyak objek secara ga wajar. Dan ada efek sampingnya, jika kemampuan psikometri terlalu sering digunakan. Tama ga bisa bedain mana masa lalu dia dan mana masa lalu yang bukan milik dia. Tubuhnya ga kuat, setiap dia megang objek terlalu banyak, dia akan mengeluarkan darah dari lubang-lubang tubuhnya, misal dari hidung, kuping, sela-sela mata atau mulut. Dia kehilangan emosinya, ya walau pun dia memang pendiam sih, tapi pada dasarnya dia itu bisa bahagia, bersedih, takut, marah, seperti manusia pada normalnya. Namun, semenjak kejadian itu, tatapannya berubah, dia benar-benar ga punya ekspresi seakan otaknya kehilangan catatan tentang bab emosi."
"Tama pernah ga pulang seharian, dia menghilang. Dia ditemukan di dalam sebuah bus tua yang udah ga beroprasi lagi, dan ia ditemukan dalam kondisi sekarat, tubuhnya penuh luka. Ditangannya ada pecahan botol yang cukup tajam. Setelah diselidiki, ga ada sidik jari siapapun kecuali sidik jarinya sendiri. Itu adalah sebuah percobaan bunuh diri," lanjut Ajay dengan tatapan super seriusnya.
"Faktanya adalah, Tama memiliki emosi, dia hanya ga tau caranya untuk menyalurkan semua emosinya. Hasilnya semua emosi itu menumpuk dan terus menumpuk hingga tidak bisa lagi dibendung, dan akhirnya meledak. Ledakan emosi yang terpendam itu menjadi sebuah senjata. Tama menghabisi para pembully itu dengan menyebarkan aib mereka dengan cara mengintip masa lalu mereka. Tama membuat mereka malu dan dipandang rendah oleh semua orang-orang di sekolah, tentu saja hal ini mengakibatkan rusaknya mental orang-orang itu dan mereka keluar dari sekolah. Perbuatan Tama juga bukan sesuatu yang benar, secara ga langsung, dia juga seorang pembully."
"Aku ambil judul ini, karena hal ini menarik untuk diteliti, aku punya ambisi untuk mengurangi, atau bahkan menghapuskan pembullyan semacam ini. Trauma di masa lalu bisa berdampak besar di masa depan. Sebisa mungkin, aku ingin merangkul orang-orang yang terlanjur rusak mentalnya, sekaligus ingin berdiri digaris depan untuk memerangi pembullyian," tutur Ajay.
"Tapi sekarang gimana keadaan, Tama?" tanya Mbak Ajeng.
"Dia udah nemuin caranya menyalurkan emosinya kok," jawab Ajay.
"Pasti kamu ada andil di dalam recovery dia kan?" tanya Mbak Ajeng lagi.
"Metodenya sederhana, tapi rumit--" ucap Ajay sambil menjeda kalimatnya sejenak. Senja dan Mbak Ajeng tampak menunggu Ajay untuk melanjutkan kata-katanya.
"Cinta ... Tama jatuh cinta. Kekuatan cinta mampu membawa musim semi dan mengusir musim dingin panjang di dalam hatinya," ucap Ajay dengan nada sok puitis dan wajah yang mendramatisir.
"Apa sih, alay," balas Senja.
"Kalo kamu, ada seseorang yang kamu cinta ga?" tanya Mbak Ajeng pada Ajay.
Ajay melirik ke arah Senja, Senja tak bergeming, seakan ia menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Ajay.
"Ada," ucap Ajay singkat.
"Kalo, Senja?" tanya Mbak Ajeng.
Senja melirik ke arah Ajay, Ajay tak bergeming, seakan ia menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Senja.
"Ada," jawab Senja singkat.
"Terus, kapan mau jadian?" ucap Mbak Ajeng dengan senyum liciknya.
"Ini psikiater atau mak comblang sih?" tanya Ajay balik.
"Fajar itu punya trauma," ucap Senja secara mendadak yang sontak membuat Ajay dan Mbak Ajeng menoleh ke arahnya.
"Broken Heart Syndrome."
"Gejalanya mirip dengan serangan jantung, di mana penderita mengalami nyeri dada, sesak napas dan sering merasa kelelahan parah yang semuanya berasal dari kesedihan yang mendalam dirasakan setelah patah hati. Aku pernah liat Ajay ngalamin itu," tutur Senja.
"Private akun social media, menutup diri dari dunia luar. Cuek terhadap lawan jenis dan lebih memilih mendengar curhatan orang lain. Itu ciri-ciri broken heart syndrome," lanjut Senja.
"Yups, secara teori begitu. Tapi faktanya aku ga broken heart syndrome," balas Ajay.
"Terus yang waktu itu kenapa?"
"Yaaaa, aneh aja gitu, itu kali pertama aku ngerasanya jatuh cinta."
"Jatuh cinta?" tanya Senja.
Ah, keceplosan, batin Ajay sambil melirik Mbak Ajeng, wanita iblis ini memang selalu mencari celah. Matanya benar-benar tajam, Ajay tak punya tempat untuk menyembunyikan perasaannya terhadap Senja.
"Sama siapa?" tanya Senja.
"Ehm ... Mbak mau beli kopi dulu." Mbak Ajeng senyam-senyum sambil beranjak dari duduknya, ia berjalan menuju pintu dan keluar meninggalkan Ajay dan Senja berdua.
"Waktu itu cuma ada aku sama Dirga," jelas Senja.
"Ga mungkin jatuh cinta sama, Dirga kan?"
"Hahaha, Dirga itu ganteng, berotot, berkarisma--"
"Jar." Senja mendekat ke arah Ajay.
"Whoa! Jangan mendekat." Ajay mulai memegangi dadanya, sesak mulai merasuki relung jiwanya.
Senja terus melangkah ke arah Ajay. Sementara sesak semakin menyetubuhi Ajay. Ia menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan.
"Senja, jangan kemari," Ajay semakin melangkah mundur, ia takut dengan Senja, langkahnya terhenti ketika punggungnya menabrak dinding.
"Kalo terasa sakit bilang," ucap Senja sambil menyentuh dada bidang Ajay.
"Walau pun itu broken heart syndrome, gapapa."
"Sebab aku, ga akan pernah buat kamu patah hati," ucap Senja.
Eh? Ajay menatap Senja dengan jutaan tanda tanya.
Duh, ngomong apa sih gue. Bego banget asli, batin Senja.
"Sorry," ucap Senja sambil melepaskan tangannya dari dada Ajay.
Namun, Ajay menarik tangan kecil itu. "Senja itu identik sama gelap--" ucap Ajay dengan wajah memerah.
"Biarin Fajar ini yang nerangin hari-hari kamu," Ajay rasanya ingin meledak, ia bukan Tama yang penuh dengan romantisme dibalik sikapnya yang misterius. Ia juga bukan Dirga yang berani mengungkapkan perasaannya. Atau bahkan seperti Andis yang sanggup merelakan. Ia hanya seorang pengecut yang selalu bersembunyi dibalik topengnya. Namun, siapa sangka, Senja mampu membuka topengnya itu.
"Ya ... terimakasih," ucap Senja lirih dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kalo kamu lelah ... bilang, biar kegelapan ini yang menjaga kamu dalam lelap," lanjutnya.
Senyum tipis menghiasi bibir Mbak Ajeng yang sedari tadi menguping di balik pintu. Mbak Ajeng menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan.
BRAK! BRAK! BRAK! BRAK!
Ia menggedor-gedor pintu dari luar, sehingga membuat Ajay dan Senja kaget setengah mati. Tawanya terdengar dari balik pintu.
Jadi ini yang selama ini kau rencanakan? Iblis tua! batin Ajay.
Tidak buruk ... terimakasih. batin Ajay sambil menyematkan senyum tipis di bibirnya.
"Keluar kau, Iblis tua!" teriak Ajay dengan urat di lehernya.
"Hah! Iblis tua?" Mbak Ajeng muncul dari balik pintu sambil mengerutkan dahinya.
"Ada yang pacaran, ada yang pacaran," ucap Mbak Ajeng dengan nada meledek.
"Hah? Siapa yang pacaran?" Ajay mengeluarkan pembelaan.
Senja hanya tertawa melihat Mbak Ajeng dan Ajay yang seperti anak-anak. Tidak, mereka lebih seperti seorang Kakak dan Adik yang sedang bertengkar dengan candanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top