"Mantera Sangkakala Sirnaraga"- Satya Kemala Meraga Sukma
Alkisah, di perhentian sementara antara dunia dan nirwana, terdapat sebuah alam dimana para jiwa bertemu dan bersahaja, sekali untuk selamanya. Dunia antara lahir dan binasa. Dunia yang mempertemukan mereka yang belum tentu sungguh bertemu setelahnya. Tersebutlah di antara para jiwa dan ruh yang melanglang-buana melewati itu, terdapat dua anak manusia. Wanita sederhana dan jejaka pengembara. Setelah melalui ratusan bahkan ribuan tahun roh untuk berkelana, mereka bertemu pada persinggahan yang sama. Perhentian kembara yang mencari jawaban sebelum turun ke dunia.
Sang wanita berbalut kain kasar sewarna tanah kehijauan. Selendangnya erat membingkai lekuk pinggangnya yang apik. Ia menjejakkan ujung tumitnya yang telanjang dengan hati-hati pada rumpun bunga di sepanjang titian sungai. Ia merasa, bahwa bagaimanapun juga, ketika tersadar ada di sana, ia pernah melihat tempat ini sebelumnya.
Di ujung lain perhentian, sang ksatria berjiwa muda bangkit dari lututnya, sibakkan rambut panjang ke belakang saat mendarat di atas padang ilalang. Membetulkan letak busur yang melintang di bahunya yang bidang. Ia tahu tempat ini. Ia tahu yang menunggunya. Ia tahu apa yang ia cari. Dan ia tak pernah lari. Tidak, karena seluruh takdir ada di punggungnya. Sandal temalinya perlahan menyibak rerumputan, mengantarkannya pada tempat terbuka dan sayup percik nyanyian muara. Di ujung hilir di bawah bukit sana, ia melihat seseorang yang sejenak getarkan pijak kaki kokohnya di atas bumi. Betapa eloknya dia! Siapa gerangan?
Langkah mereka temu tanpa suara hingga tak mampu mendekat lebih jauh dari lima depa. Mereka saling tatap dalam desir angin semilir. Denyut jantung dan nadi mereka degupkan rasa ingin tahu dan bahagia. Lama jeda antara keduanya. Dan ternyata, yang pertama kali terucap dari bibir mereka adalah nama sejati mereka.
“Mala. Kemala Mundimuni,” bisik sang wanita merdu.
“Satya. Satya Karmawibhangga,” sambut suara tegap sang pemuda.
Tangan mereka masing-masing terulur ke depan dan lengan mereka bertemu, tanpa saling rengkuh. Sang pria menatap dalam wajah sang gadis yang sejajar dengan dagunya. Senyumnya merekah. Kemala menunduk maklum. Mata mereka saling bicara dengan penuh makna tanpa kata-kata. Batin mereka sama menyeru : Aku tahu aku tercipta untuk bersamanya.
Satya duduk di atas gundukan rumpun hijau sepanjang aliran sungai. Mala mengikuti dan duduk di sampingnya. Berdua, mereka lama menatap langit yang dipenuhi aurora merah jambu. Di atas mereka, bayangan-bayangan semu berseliweran di angkasa. Lintasan fana para pemuka dunia menggiring para jiwa-jiwa, entah ke surga atau turun ke dunia di bawah sana.
Satya menatap Mala yang bersandar di bahunya. “Kamu mau ke mana?”
Mala terdiam tak langsung menjawab. “Aku akan ikut ke manapun kau mau. Tapi aku yakin tujuan kita sebenarnya sama.”
“Kau mau terus?”
Kemala menjawab dengan satu anggukan.
“Bersamaku dan selamanya tanpa pernah terpisah lagi?”
Mala mengangkat kepala dari bahu Satya dan mata mereka kembali bertemu. Untuk pertama kalinya, mata pria pujaannya tampak gusar.
“Kita pernah berpisah sebelum ini, dan aku tak mau itu terjadi lagi. Aku akan terus mengejarmu bila kau pergi, sekalipun kau ke neraka. Aku takkan sanggup menanti lagi, Mala.”
Sekali lagi gadis muda itu mengangguk.
“Satya.”
“Ya, Kemala.”
“Kapan kita bertemu lagi?”
Dan untuk pertama kali pula, mata Kemala kini basah. Satya mengeratkan pelukannya di sekeliling bahu Mala.
“Aku takut masih lama, Putri. Selama raga kita belum bersatu, aku akan mencarimu.”
Mala meletakkan dahi di dada sang jejaka dan terisak. Satya Karmawibhangga mengecup kening Kemala Mundimuni, lalu menangkap tetes air mata di pipi gadis itu dengan ujung telunjuknya.
“Aku bersumpah demi setiap tetes air matamu, kini dan nanti.”
Sang gadis mengecup lembut telapak tangan ksatria yang merengkuh wajahnya. “Berjanjilah kita akan bertemu sebelum dunia benar-benar mati.”
“Sumpahku demi Gusti Sang Hyang Widhi, beserta segala isi bumi.”
Mala menegakkan duduknya dan bangkit berdiri di samping sang pemuda. Mereka bertatapan untuk terakhir kali di tepi sungai itu, di perhentian cahaya yang merupa serupa wujud bahagia yang diingini dan dinanti para penemunya. Mereka tahu waktu untuk berangkat telah tiba.
Dunia antara di sekeliling mereka kini memutih. Sungai naik ke angkasa dan semerbak rerumputan dihempas angin ke wajah mereka, ketika persinggahan itu perlahan mulai sirna. Mata mereka tetap tak pernah lepas dari masing-masing saat raga sementara mereka menipis, kemudian serentak melangit kembali menuju dunia selanjutnya. Dunia lahir dan mati. Dunia tempat para manusia bersemadhi. Dua bintang turun ke bumi dan terpisah jauh ketika atmosfer biru yang sebenar-benarnya menjingga di ufuk timur, menyambut mentari.
Mereka tercipta. Dan mereka berjodoh. Namun nasib mereka, hanya mereka sendiri yang menentukan. Apakah akan terulang magnadidaya ataukah tragedi. Semesta hening ketika dua nyawa terbentuk kembali, terpisah oleh jarak ribuan ri. Suatu saat, dua insan itu kan bertemu lagi di takdir tepi. Untuk memenuhi sebuah janji yang tak terpisahkan walau oleh hidup dan mati.
* * * * *
Derak dari meja kayu jati dan gelas-gelas bambu berisi tuak masih ramai terdengar di kedai itu, di antara riuh rendah suara para lelaki yang bermain gaplek ataupun dadu. Ada pula yang adu minum. Suara kartu gaplek yang dibanting ke meja beradu dengan suit-suit nyaring para pemuda hidung belang yang menggoda gadis-gadis pelayan yang mengenakan kemben, lekuk tubuh dan belahan dada mereka jelas terlihat.
Sudut kanan kedai itu hening dan suram, kontras dengan kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Seorang pemuda kekar yang bertelanjang dada dan menyandang busur di punggungnya sedang duduk diam dengan tenang. Sesekali, ia menuangkan tuak dari kendi tanah liat ke dalam gelasnya. Di depannya, ada seorang pria tua berjanggut panjang. Pria itu mengenakan baju silat putih berlengan panjang dengan tepian hitam. Sebuah pedang tipis tersandang di pinggangnya. Di atas meja di hadapan mereka berdua, ada sebuah bokor—bejana perak—yang berisi air. Keduanya bercakap-cakap dengan suara pelan.
“Saya ingin mati, Rsi Wisanggeni.”
Pemuda berambut panjang itu yang berkata demikian. Rsi Wisanggeni, yang diajak bicara, hanya mengangguk kecil. Kalaupun terkejut, ia tidak menunjukkan itu.
“Bukankah sampeyan masih muda?” tanyanya memastikan.
“Bertahun-tahun saya jadi pemburu. Bertahun-tahun juga saya menyaksikan nyawa hewan dan makhluk hidup lain lenyap begitu saja demi kelangsungan makhluk lainnya. Tujuan hidup saya hanya satu. Menyatu dengan wanita yang saya cintai.”
“Menyatu, bukan di dunia ini, tapi di alam baka?” tanya Rsi lagi. Pemuda itu terdiam. Rsi Wisanggeni mengeluarkan sebuah tasbih kayu kecil dari balik bajunya, kemudian mencelupkannya ke dalam bokor.
“Setiap orang punya pilihan masing-masing,” Rsi Wisanggeni berujar sambil menggerakkan tasbih itu melingkar di dalam air. “Keinginan sampeyan tidak lebih aneh dari orang lain.”
Pemuda itu menantang mata sang Rsi dengan penuh harap.
“Jadi Rsi bersedia memberitahukan mantranya?”
“Dengan harga yang pantas.”
Mendengar itu, si pemuda meletakkan sebuah kantung kulit kecil berwarna coklat ke atas meja. Terdengar bunyi gemerincing dari dalamnya. Rsi Wisanggeni mengambil dan mengintip isinya, lalu bersiul pelan.
“Di luar dugaan, ternyata sampeyan cukup berada, nak Satya.”
Dalam waktu singkat, kantung berisi emas itu sudah berpindah ke balik baju sang pendeta. Rsi tua itu berkomat-kamit melafalkan sesuatu. Air di dalam bokor berubah menjadi putih susu. Setelah semenit penuh ia memandang bokor itu dengan mata tajam, air di dalamnya kembali berubah bening seperti semula. Rsi Wisanggeni menghela napas panjang seolah baru saja mengeluarkan tenaga untuk pekerjaan yang begitu berat. Ia mengalihkan tatapan pada Satya, lalu memberitahu pemuda itu hasil terawangannya.
“Gadismu, Kemala, ia berada tiga dusun dari sini. Pada perayaan puncak panen, para penduduk desa akan mengadakan upacara bakaran sebagai persembahan untuk dewi Sri. Saat itu, Kemala akan dijodohkan dengan pria pertama yang menyambut uluran tangannya setelah dia menari. Satu-satunya kesempatanmu memilikinya adalah dengan menjadi pria yang menari bersamanya.” Rsi Wisanggeni terengah, lalu terbatuk di sela kata-kata yang ia ucapkan. Satya mengangguk paham, matanya penuh tekad membara.
“Saya sudah pernah menemuinya dalam mimpi, beberapa kali sebelum ini, ketika saya melakukan sebagian kecil dari meraga sukma ketika saya tidur. Kemala akan mengenaliku.” Satya mengucapkan itu dengan penuh keyakinan.
“Hati- hatilah,” Rsi Wisanggeni menyerahkan segulung kertas papirus kecil yang bersegel hijau pada Satya. “Dan gunakan mantera ini dengan bijak.”
“Matur suksema, Rsi Wisanggeni.”
* * * * * * *
Syahdan, lorong-lorong gulita perhentian kembara buta telah terisi oleh cahaya. Lambat laun obor-obor tegak menyala menerangi satu-satunya ruang tempat para ksatria dan pandita bercengkrama. Di sana Satya. Menanti Kemalanya. Pada ruang beratapkan biduk yang ramai berhias canda dan gelak tawa. Namun hanya bagi mereka yang telah menemukan pelabuhan hatinya. Sedangkan Satya, telah mengembara ke seluruh dunia, mencari hingga ia dilahap masa. Kala raganya nyaris menyerahlah akhirnya ia bertandang ke muka sang Rsi, yang kemudian menunjuk lumbung hangat ini sebagai perhentian terakhirnya. Ia menurut, kalah oleh daulat dan wibawanya. Terkutuklah penguasa biru yang berkuasa atas segala kepala! Ialah yang telah mempertemukan gadis itu pada takdirnya.
Pintu menderak terbuka dan tibalah ia. Di sana berdiri Kemala, dalam balutan kain hijau cemara. Halus raganya membuat Satya tergila-gila. Erat dekapnya serentak membungkam asa. Membuncah liar pada tiap lekuk tubuhnya. Kemala mulai menarikan tariannya yang paling berbahaya.
“Pandang aku, Kemala! Karena matamu dapat menelan seluruh sukma dan gelora jiwa.”
Bertatapan Satya dan Kemala dalam ruang memutih. Agung rasa para pertapa jiwa yang dimabuk asmara. Menyatu syahdu dalam senandung buana semesta. Saling mereguk mereka, berbumbu candu syahdu membara. Mengatas namakan satu kata, yakni cinta. Di atas segala-gala yang bermakna.
Mekarlah tawa merdu Kemala. “Sungguhkah rasamu nyata, dan adakah kau yakin diriku indah, Satya?”
Serentak Satya menjawab dengan rangkulan-pagutan mesra. Kemala lingkari leher Satya. Khidmat mencumbu berpeluk hangatnya kekar dada. Mereka menari melingkari pilar utama. Saling menggoda dengan bahasa tubuh dan indera. Melangkah seirama diiringi ribuan pasang mata yang tergelak terpana. Tarian ini adalah hidupnya. Hidup Satya. Hidup Kemala. Akhir hidup mereka berdua.
“Satya, waktu kita hampir habis,” engah Kemala.
“Langutkan jiwamu, Kemala. Saatnya telah tiba...” bisik Satya.
Satya menarik Kemala dalam pelukannya, lalu mengucapkan mantera Sangkakala Sirnaraga. Mereka berdua meraga sukma.
Tubuh Satya jatuh, disusul tubuh Kemala. Ribuan kupu dan kunang warna-warni selimuti tubuh mereka, mengiringi tarian sepasang jiwa. Menghempaskan nyawa mereka dari raga. Memindahkan roh mereka ke nirwana. Dalam tautan kosmis di alam maya mereka berdua melayang pergi, sirna dari dunia. Kembali ke padepokan sanggalangit. Menyatu meninggalkan peradaban demi fananya durjana dan duka. Menjemput bahagia di firdausNya. Bertahta di tempat mereka semestinya berada, surga cinta. Untuk selamanya.
SELESAI
Dini Afiandri
Lahir di Bandung pada 3 November. Pernah menjadi mahasiswa jurusan Sastra Inggris dan peserta Bengkel Penulisan Novel DKJ 2009. Karyanya yang telah terbit adalah novel kolaboratif “Lenka” (2011) bersama Sarekat Penulis Kuping Hitam, antologi cerpen “Tarian Senja” (2013) bersama 7 orang penulis lainnya, dan buku “A to Z by Request”(2013) bersama 25 penulis lain dari Reading Lights Writers’ Circle yang diterbitkan oleh Grasindo. Bisa dihubungi pada alamat surel [email protected] atau Facebook: Dini Afiandri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top