3 :: Apa kabar kamu ::

"Makasih ya Na udah kasih kita tumpangan, mobil gue tiba-tiba aja gak bisa hidup. Tadinya gue sama Daffa udah mau balik naik taksi, tapi ternyata ada elo." Aina mengangguk mendengar penjelasan Basti itu.

"Iya gak masalah kok, lagian kita searah juga. Lo balik ke apartement kan Bas?" tanya Aina kepada Basti yang duduk di bangku belakang sementara di sebelahnya ada Daffa. Dulu sat masih duduk di bangku sekolah menengah atas mereka juga sering berkumpul bersama dan hingga saat ini tradisi itu masih sama, yang berbeda adalah Daffa dan Aina yang tidak lagi bersama dan Daffa ada di London sementara Aina selalu mengelak jika diajak nongkrong.

"Iya dong." Basti memberikan senyuman lebarnya.

"Kalau lo Daf?" tanya Aina tidak ingin canggung dengan Daffa.

"Ke rumah lama, masih ingat alamatnya?"

"Hem..sepertinya masih," jawab Aina sambil memperlihatkan senyumannya. Aina menghidupkan musik di dalam mobil miliknya dan dia lupa kalau semua list lagu di dalam mobil itu adalah lagu-lagu kesukaan dia dan Daffa.

Daffa bersenandung hingga akhirnya mereka sampai di depan gedung apartement tempat Basti tinggal "Thanks ya Na," kata Basti dan melambaikan tangannya. Kini di dalam mobil tinggal Aina dan Daffa saja.

"Belok sini kan Daf," tanya Aina berpura-pura lupa jalan arah rumah Daffa yang lama. Padahal dia sangat ingat kemana arah rumah pria itu.

"Iya," jawab Daffa melanjutkan senandungnya hingga saat dalam ref di musik itu Aina ikut bernyanyi  lagu dari salah satu album westlife. Aina dan Daffa saling melemparkan senyuman mereka masing-masing.

"Kamu masih sering dengar lagu ini?" tanya Daffa dan Aina mengangguk.

"Bukan karena masih mengingat ku kan?" Aina melebarkan matanya dan dia memaksakan tawa. Padahal dia ingin berhambur memeluk Daffa saat ini.

"Percaya diri sekali anda," ucap Aina pada akhirnya dan Daffa kembali menjawab.

"Karena kamu suka semua lagu-lagu mereka setelah kita bersama, kamu dulu pernah mengatakannya. Dan setahuku kau suka dengan backstreet boys."

"Jangan mengenang masa lalu Daffa, semua yang aku lakukan saat ini tidak ada hubungannya lagi dengan apa yang terjadi pada kita dulu." Aina tidak percaya dengan kalimat bijak yang dia ucapkan baru saja. Dia benar-benar pintar menyembunyikan perasaannya itu. Andai Daffa tahu tidak sedikitpun dia bisa melupakan semuanya tentang mereka.

"Baguslah, jadi kita bisa berteman seperti layaknya."

"Tentu saja!" Aina masih mempertahankan senyumannya.

Mereka akhirnya sampai di depan sebuah rumah bergaya klasik modern "Tidak masuk dulu," tanya Daffa dan Aina tentu menolaknya "Baiklah terima kasih, bagaimana jika besok aku traktir makan siang?" tanya Daffa dan Aina lagi-lagi menolak ajakan itu.

"Maaf Daf aku besok ada janji dengan Fitri, mungkin lain kali."

"Baiklah, tidak masalah. Selamat malam Ai," katanya lalu benar-benar turun dari dalam mobil Aina. Rasanya sungguh sangat lega setelah Daffa turun dari dalam mobilnya, dia langsung membuka kaca mobil dan mematikan ac. Aina tidak ingin harum parfume Daffa tersisa di dalam mobilnya, pikirannya akan sangat kacau belakangan ini dia tahu itu.

Aina sampai di gedung apartement tempat dia tinggal sudah satu tahun lebih belakangan ini, Aina berbaring di ranjang empuk miliknya. Dia berpikir Daffa pasti heran melihatnya sekarang, dia yang buruk rupa dan Daffa semakin tampan saja. Aina mengingat kembali saat Daffa menggenggam tangannya. Aina langsung bertanya dengan nada tidak suka tadi, hanya untuk menutupi getar di hatinya dan juga rona merah yang ia tahu pasti muncul begitu saja saat sentuhan di kulitnya dan Daffa terjadi.

Aina memegang kedua pipinya, dengan gerakan malas dia bangkit untuk membuka pakaian pesta itu dan langsung membersihkan tubuh. Aina merasa sangat lapar malam ini, dia sudah menahan untuk tidak makan seharian tadi karena takut perutnya akan terlihat sangat besar. Aina membuka kulkas dan hanya menemukan mie instan. Terpaksa dia memakan itu, daripada perutnya semakin perih.

Baru beberapa suap dia makan, Aina merasa perutnya sangat sakit dan dia juga mulai merasa tubuhnya berkeringat dingin. Aina menghentikan acara makannya, langsung minum sedikit air putih dia perlahan menuju kamarnya. Aina ingin tidur saja, dia memeluk perutnya dan mencoba menutup kedua mata. Rasa perutnya yang perih dan melilit membuat dia harus segera ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi Aina memuntahkan mie instan yang baru dia makan tadi, perutnya juga semakin sakit. Aina tidak sanggup lagi, dia mengambil ponselnya di atas nakas dan menelpon salah satu sahabatnya yaitu Siti. Jalanan yang sepi di tengah malam sepertinya membuat Siti sampai di apartemen Aina tidak butuh waktu lama.

Aina dengan susah payah menuju pintu untuk membukanya, Siti kemudian langsung membawa Aina ke Rumah Sakit setelah melihat betapa pucatnya wajah sahabatnya ini.

****

"Makanya lain kali makan yang teratur dan sehat Na, untung gue belum tidur. Kalau gue gak angkat gimana coba? Lala sedang honeymoon sementara Fitri dan Afdal lo tau sendiri mereka selalu tidur tepat waktu." Siti memberikan nasehat kepada Aina yang sudah selesai di periksa Dokter.

"Iya Sorry ya, and thank you. Lo paling bisa di andalkan."

"Hem...., dasar," ucap Siti kesal. Untung saja Aina tidak di minta rawat inap, jika sampai rawat inap dia sangat yakin keluarga Aina meminta anak bungsu mereka ini pulang ke rumah mereka.

Setelah dari ruang UGD mereka menebus obat dan Siti kembali mengantarkan Aina kembali ke apartement. Dia juga ikut menginap di sana, Siti memilih menginap karena besok adalah hari libur sehingga dia tidak masuk ke kantor. Dia juga masih sangat mengkhawatirkan kondisi Aina, jadi alangkah lebih baik jika dia juga menginap di sana.

Malam itu Aina masih terjaga di tempat tidurnya sementara Siti sudah terlelap, Aina tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Daffa. Setelah dua tahun lebih mereka terpisah, akhirnya Aina bisa melihat sosok Pria yang masih bertahta dengan indah di dalam hatinya. Aina meneteskan airmata karena rindu yang dia pendam akhirnya terobati.

Flash Back ::

"Ai kita mau jalan kemana nanti malam?"

"Nanti malam?" tanya Aina beo karena dia memang tidak pernah keluar malam sebelumnya apalagi bersama seorang Pria. Hubungan mereka sudah satu bulan lebih dan ini pertama kalinya Daffa mengajaknya untuk keluar malam.

"Iya nanti malam. Bukankah setiap malam minggu digunakan untuk berkencan."

"Oh begitu ya, tapi aku rasa tidak bisa keluar Daf. Abi dan Ami pasti tidak mengizinkan."

"Aku yang akan minta izin, kamu tenang saja. Jika memang tidak boleh, kita kencan di rumah kamu saja." Aina tersenyum malu, Daffa tiba-tiba saja menggenggam tangannya menyusuri lorong sekolah hingga sampai di parkiran. Ini hal biasa, tapi terkesan sangat manis untuk Aina. Daffa menggenggam jarinya seolah takut dia akan pergi jauh.

Banyak yang menatap iri kepada Aina, hubungan mereka selalu jadi bahan omongan di sekolah.

"Pakai helm-nya ya Ai," pinta Daffa dan dia juga membantu Aina memakai helm itu. Aina naik ke atas motor, kedua tangannya di tarik Daffa untuk memeluknya.

"Daffa aku malu," kata Aina tapi Daffa menanggapinya dengan santai.

"Kamu harus selalu memelukku, bahkan disaat aku lupa menarik tangan mu kau harus tetap memelukku."

Bersambung...

🥰 cuss.... Koment, jan tanya mengapa lama up. Soalnya aku update nunggu mood muncul di kapak cerita mana 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top