9 - MTM

Raikal tidak baik-baik saja ketika sampai di rumah, kepalanya terisi penuh dengan pemikiran yang tidak ringan. Semua pemikiran itu tentu saja mengarah pada Windy dan kehidupan yang akan dijalani perempuan itu ke depannya. Dilema dengan apa yang akan Windy hadapi karena berhubungan dengan kehidupan Raikal yang bisa bersinggungan dengan pemberitaan tak sedap. 

Lalu, Raikal berusaha menarik napas dalam-dalam sebelum menguatkan diri untuk masuk ke rumah, dimana sang mantan istri yang dia cemaskan berada di dalamnya. Dia masuk melalui pintu belakang dan memang mendapati kunci yang disimpan di bawah keset kaki. Raikal tersenyum membayangkan Windy menaruhnya di sana dengan posisi yang tepat. Dia sudah bahagia membayangkan mantan istrinya melakukan hal yang kecil seperti ini. 

Langkah kakinya yang sudah mulai agak ringan mendadak menjadi semakin berat saat membuka pintu kamarnya sendiri dan mendapati kotak cukup besar di nakas. Sepertinya ucapan Derek yang berasal dari istrinya memang benar. Namun, Raikal masih berusaha untuk berpikir positif. Mungkin saja itu adalah pemberian Windy. Tapi Windy nggak pernah punya kebiasaan beliin barang mahal. 

Begitu tangannya bergerak untuk memastikan apa yang ada di dalam kotak itu, Raikal yakin ini adalah pemberian orang lain selain mantan istrinya. Dan surat yang berada di sana menjelaskan bahwa memang benar pengirimnya adalah Tiara, mantan kekasih Raikal. 

"Astaga!" keluh Raikal dengan tak percaya. "Bisa-bisanya dia kirim beginian? Padahal deket lagi juga nggak."

Raikal tidak memahami apa yang mendasari keberanian Tiara mengirimkan hadiah ke rumahnya. Terlebih lagi, ada Windy yang pasti menerima kiriman itu secara langsung. Apa yang Windy pikirkan nantinya? 

Raikal mendesah lelah, ini sudah sangat malam untuk menanyakan apakah Windy mengetahui kiriman dari Tiara atau tidak. Meski Raikal sangat penasaran apa reaksi perempuan itu, tapi dia tak mau mengganggu istirahat Windy. Dia akan berusaha menanyakan besok pagi. Atau lebih baik lagi semoga saja Windy tidak mengetahui dari siapa kiriman hadiah itu berasal.

*** 

Pagi hari datang lebih cepat dari perkiraan Raikal. Dia sudah terbangun ketika mencium arroma masakan yang sudah pasti adalah Windy tersangkanya. Perempuan itu suka bangun pagi untuk memasak dan membersihkan rumah, tapi bagian membersihkan rumah sudah Raikal hapus dari jauh-jauh hari begitu mengetahui kehamilan mantan istrinya itu. Mata Raikal langsung terbuka dan dia menarik kaus yang selalu dibuka ketika akan tidur. 

Langkah kaki Raikal yang begitu dihafal oleh Windy membuat perempuan itu menoleh ke belakang dan memberikan senyuman sebagai sapaan selamat pagi. Jika dulu, Raikal akan meminta kecupan selamat pagi pada istrinya itu. Sayang sekali Raikal harus menahan diri untuk tak melakukannya mengingat kemarahan Windy begitu dia mencium pipi perempuan itu disaat mantan istrinya itu sedang melakukan panggilan video dengan ibunya. 

"Pagi banget masaknya? Belum ada jam enam udah selesai." 

Raikal hanya mengira bahwa mood mantan istrinya memang sedang bagus. Dia tidak menyangka bahwa jawaban mantan istrinya bisa membuat mood Raikal yang terjun bebas. 

"Aku mau ngelamar kerjaan. Ada perusahaan temen suaminya Liliana yang lagi buka lowongan."

Sebenarnya hal itu normal saja untuk didengar, malah untuk sebagian besar orang senang mendengar orang terdekatnya melamar pekerjaan agar memiliki pemasukan. Namun, bagi Raikal yang merasa sebagian besar dirinya masih menganggap menjadi suami Windy, kalimat semacam itu agak membuat Raikal berat. 

Bagaimana, ya? Raikal bahkan bisa membiayai hidup Windy dan anak mereka untuk berpuluh-puluh tahun. Atau membuat anak cucunya bisa hidup berkecukupan untuk masa mendatang. Raikal ingin memanjakan Windy sebagai perempuan yang sangat berarti dan tak ingin Raikal melihatnya kelelahan bekerja dan mengurus rumah. Namun, Raikal sudah tidak memiliki kekuasaan untuk melarang Windy bekerja. 

"Hm ... kupikir bakalan cari kerja setelah melahirkan. Kamu bilang begitu kalo aku nggak salah nangkep pembicaraan kita beberapa waktu lalu."

"Ya, awalnya emang gitu. Tapi Liliana kasih saran supaya lebih cepet ngelamar kerjaan aja, supaya aku nggak kelamaan nganggur setelah melahirkan."

"Aku masih bisa membiayai kamu setelah kamu melahirkan. Nggak perlu buru-buru supaya kondisi kamu juga nggak cepet drop."

Raikal bisa merasakan pembicaraan mereka ini semakin intens dan mau tak mau memang harus dibahas meski tak nyaman.

Windy membalikkan tubuh dan menaruh satu menu yang tertinggal dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Raikal. "Aku berterima kasih banget sama kamu yang udah baik banget ngurusin aku, Cal. Aku juga bersyukur karena aku masih bisa numpang di sini."

"Kenapa pake istilah numpang? Kamu itu ibu dari anakku, nggak ada itu istilah numpang. Kamu tetep tuan rumah juga di sini."

"Ya, okelah. Anggap aja begitu, tapi aku lebih nyaman kalo bisa berusaha dengan kakiku sendiri. Lagi pula apa yang kamu kasih ke aku itu untuk anak di dalam perutku. Aku harus cari pemasukan untuk diriku sendiri."

Raikal terpancing dengan perdebatan ini. "Aku bisa menjamin pemasukan untuk kamu, Dy. Seenggaknya jangan bekerja dulu selama hamil. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Anggap aja aku gaji kamu karena udah menjaga anakku!"

Ketika Raikal berhenti mengatakan apa pun, pria itu melihat ekspresi Windy yang langsung berubah datar. 

"Aku nggak merasa menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang harus mendapatkan gaji. Aku tulus mengandung dan menjaga bayi dalam kandunganku tanpa bayaran."

Raikal sudah salah bicara. Dia tidak bisa menjaga mulutnya sendiri untuk memilah kalimat mana yang harus digunakan olehnya dan mana yang tidak. Windy pasti sangat tersinggung dengan kalimat yang Raikal berikan.

"Dy ... aku nggak bermaksud untuk mengatakannya begitu. Maafin aku kalo kesannya aku bisa membeli apa pun dari kamu dengan uang. Sungguh aku nggak bermaksud begitu."

Windy menggangguk dan menarik napas panjang. "Aku tahu, kok, Cal. Makasih tawarannya untuk bekerja sebagai pengasuh anak kamu, ya. Tapi aku nggak tertarik dan lebih baik aku cari kerja sendiri."

Windy mendorong kursi makan dan meninggalkan Raikal sendiri di meja makan itu. Sekali lagi, Raikal mengutuk dirinya karena tak bisa membuat hubungan mereka membaik. Pembahasan kecil apa saja membuat mereka semakin menjauh.

*** 

Raikal berangkat kerja dengan perasaan yang sangat berat. Dia tahu pembicaraannya dengan Windy pagi inilah yang paling membuatnya tak bisa memfokuskan diri selama di kantor. Meski begitu, tak boleh ada yang menyadari performanya yang melempem saat ini. 

Pintu ruang kerjanya diketuk dan Raikal mengizinkan untuk asistennya masuk dan mengabarkan sesuatu.

"Permisi, Pak."

"Ya, Dion. Gimana? Ada sesuatu?"

"Ada ibu Anda yang sedang menunggu di bawah, Pak."

Dion tidak menjadi pihak yang bersalah di sini, tapi Raikal menunjukkan ekspresi tak nyaman dengan infromasi yang diberikan oleh asistennya itu. 

"Disebutkan alasannya apa, Yon?"

Dion menggelengkan kepalanya. "Nggak, Pak. Cuma tadi Ibu bilang supaya pekerjaan Bapak saya handle dulu." 

Raikal menghela napasnya dan mengerti apa yang akan terjadi. Mamanya pasti menginginkan sesuatu yang sudah lama ingin disampaikan. Setelah semua jarak yang Raikal sengaja bentang, rupanya sang mama akhirnya membuat gerakan lebih dulu. 

"Oke. Kamu urus sebagian yang bisa kamu urus, saya keluar dulu dengan mama saya."

"Baik, Pak."

Dion membiarkan atasannya untuk menemui ibunya dan mendapatkan tugas tambahan yang mungkin sedikit memberatkan. Sedangkan Raikal merasa benar-benar mendapatkan tugas berat dengan kedatangan mamanya. 

Raikal menuju mamanya yang menunggu di lantai bawah, sudah lama Yagya--mama Raikal, tidak mau menggunakan lift untuk naik ke ruangan anaknya berada karena cepat lelah. Di bawah, Raikal bisa melihat mamanya yang menggunakan pakaian sangat fromal dan rapi. Dari atas sampai bawah, Yagya menggunakan semua produk yang tak murah. 

"Ma, kenapa nunggu di sini?" tanya Raikal tanpa mau basa basi. "Mau ngomong apa?"

Yagya berdiri dan menatap putranya dengan helaan napas yang kentara sekali. "Kita makan siang bareng."

"Aku nggak bisa. Aku bawa bekal."

Raikal tahu mamanya langsung bisa tahu masakan siapa yang akan dijadikan bekal oleh putranya. Jika bukan masakan Windy, maka tidak akan ada makanan yang dimakan dengan lahap oleh Raikal. Dalam artian, Raikal selalu menyisakan makanan yang tidak dibuatkan oleh Windy. 

"Bawa bekalmu kalo begitu, temani mama makan siang."

Jika dipikir-pikir, keluarganya memang tidak suka menggunakan kalimat basa basi yang bisa membuat orang lain nyaman. Semua yang keluar dari mulut mereka selalu kalimat inti dan singkat.

"Mama nggak pernah ikut campur dengan urusan kamu, tapi kamu nggak mau makan siang bareng? Cuma makan siang bareng, Raikal."

Dengan kalimat seperti itu, mau tak mau Raikal harus ikut dengan mamanya. Entah kemana tempat yang mamanya tuju, mengingat level restoran yang mamanya suka tidak ada yang berada di dekat kantor Raikal. Sudah pasti mereka akan menghabiskan cukup banyak waktu dalam perjalanan. Semoga nggak tarik urat lagi siang ini.  

[ Bab 12 udah up di Karyakarsa, ya. Happy reading!]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top