7 - MTM
Liliana mengambil ponselnya dan tiba-tiba menunjukkan pada Windy yang mengamati Nawasena yang masih asyik menyentuh perut buncitnya.
"Nih!" ucap Liliana.
Windy menoleh dan mengernyit dengan layar ponsel temannya itu. "Apaan itu?"
"Oke nggak?" tanya Liliana.
Windy merasa aneh dengan pertanyaan itu. Apa yang oke? Karena Liliana hanya menunjukkan sebuah foto yang memperlihatkan seorang pria menggunakan pakaian resmi dan di belakangnya adalah pemandangan candi Borobudur.
"Candinya? Okelah."
Lilian berdecak dengan respon temannya itu. Disodorkan pria tampan, yang dibahas malah candi.
"Ya, bukan candinya, Didi! Tapi cowok yang di foto."
"Ya, oke. Emang nggak okenya kenapa? Belum kenal juga, sih, sama orangnya."
"Kalo udah kenal pasti ada aja nggak okenya gitu, Di?" tanya Liliana dengan penasaran.
"Setiap orang emang nggak sempurna, kan, Lin. Lagi pula, bukan cuma masalah orangnya aja, sih. Aku sekarang milih lihat juga latar belakangnya."
"Ini latar belakangnya oke—"
"Nggak, deh. Nggak nyaman duluan aku kalo dari kalangan atas."
Liliana langsung mengerti kemana arah kalimat itu dibawa. Raikal adalah pria yang termasuk kalangan 'oke', tapi ternyata tidak bisa membuat Windy tenang.
"Jadi setrauma itu, ya, Di?"
"Nggak trauma juga, sih. Aku cuma nggak mau aja terlalu jadiin patokan laki-laki kaya, apalagi yang udah kaya dari turunan. Itu agak sulit buat survive sama kebiasaan atau gaya hidup keluarganya aja."
Liliana tidak memiliki nasib semujur Windy yang bisa dicintai oleh pria kaya. Dinikahi tanpa basa-basi dan bahkan masih dipertahankan meski sudah meminta diceraikan. Ya, meski pada akhirnya Windy dan Raikal bercerai tapi cinta mereka tetap ada. Bahkan sekarang akan menyambut kehadiran bayi diantara mereka. Walau tinggal satu rumah dalam kondisi sudah bercerai itu agak asing, tapi Liliana tidak bisa menilai dari satu sisi saja. Semua itu pasti memiliki alasan yang berhubungan satu sama lain.
Menarik ponselnya kembali, Liliana tidak berminat menyodorkan foto pria-pria lain untuk mendapati respon Windy. Sudah jelas akan percuma memberikan pilihan laki-laki pada temannya itu.
"Cantik," celetuk Nawasena.
Kedua wanita itu langsung menatap si anak kecil yang tidak tahu dari mana asalnya berkata demikian.
"Apanya yang cantik, Sen?" tanya Windy pelan.
"Perutnya Tante."
Liliana menepuk jidatnya. Tidak tahu bahwa putranya bisa sangat random membahas sesuatu.
"Mana ada perut cantik, sih, Sen? Kamu, nih, bahasanya kayak ayah kamu aja. Kebanyakan anehnya daripada normalnya."
Nawasena tidak peduli dengan kalimat yang maminya kemukakan. Anak itu seolah punya dunianya sendiri dengan sibuk menatap perut Windy dan menyentuhnya.
"Eh, Lin. Kandungan aku emang diperiksa cewek, loh. Apa mungkin Sena punya kemampuan indigo, gitu?"
Liliana langsung menggerakan kedua tangannya untuk meyakinkan Windy bahwa putranya tidak memiliki kemampuan supranatural seperti itu.
"Nggak, Di. Dia sama ayahnya itu setipe. Suka asal celetuk gitu. Kalo celetukannya bener, biasanya cuma kebetulan aja."
"Masa, sih? Kayaknya kamu harus pantau Sena, deh. Dia mungkin terlalu diem karena punya kemampuan yang lebih dari orang lain."
Liliana menggelengkan kepala. "Aku udah menghadapi ayahnya yang lebih aneh selama lima tahun. Aku kurang pantau apa ayah dan anak itu? Tapi kemampuan mereka emang cuma sekedar celetukan aja nggak kemampuan serius apalah itu."
Windy menatap Nawasena dan bertanya, "Sena suka sama perut Tante?"
"Suka."
"Perut mami kamu juga begitu loh kalo ada dedek bayinya."
Lalu, pandangan Nawasena beralih pada maminya. Anak itu langsung berlari menuju Liliana dan menyentuh perut maminya.
"Mana, Mi?" tanya anak itu.
"Hah? Mana apanya?"
"Dedek bayinya. Biar perut mami jadi cantik, aku suka."
"Ya Allah, Sen. Menurut kamu perut segede itu cantik?"
"Iya, Mi. Bikin adek, Mi. Aku mau pegang terus perut cantiknya Mami."
Windy menahan tawa terbahaknya. Tidak menyangka bahwa Nawasena bisa menjadi hiburan yang luar biasa lucu. Windy juga terhibur dengan raut panik Liliana. Sebab perempuan itu sempat menyatakan tak mau memiliki anak lagi mengingat sifat suaminya yang tidak membuat Liliana bangga dan siap mengasuh anak. Entah seperti apa sifat suami Liliana yang paling dihindari perempuan itu, tapi Windy berharap Liliana tidak berakhir menjadi janda seperti Windy.
***
Ical [Aku pulang agak malem, Dy. Diajak nongki sama Derek.]
Kebiasaan Raikal sejak menjadi pasangan resmi tidak berubah. Meski kini mereka tidak lagi benar-benar pasangan, tapi Raikal masih memberitahukan semua aktivitasnya yang sekiranya membuat Windy bertanya-tanya dimana pria itu berada hingga belum ada di rumah.
Sebenarnya Windy tidak masalah jika Raikal mau hidup bebas seperti pria yang tidak memiliki beban. Namun, pria itu tidak pernah menggubris ide Windy tersebut.
Dydy [Iya. Aku tidur duluan kalo gitu. Kamu bawa kunci cadangan gak?]
Windy menunggu balasan pria itu karena status di bagian atas menyatakan Raikal sedang sibuk mengetik.
Ical [Aku baru cariin di tas, kok gak ada ya?]
Ical [Kamu yang siapin tas aku tadi pagi kan, Dy?]
Windy mencoba mengingat apakah dia mengotak atik tas pria itu, tapi seingat Windy dirinya hanya memasukkan kotak bekal untuk pria itu saja.
Dydy [Aku siapin, tapi gak aku otak atik. Aku masukin bekal kamu doang tadi.]
Ical [Aduh, gmna dong ini? Kayaknya ilang, Dy.]
Dydy [Kebiasaan deh, Cal!]
Ical [ 😅 ]
Ical [ Yaudah ntar aku nginep rmh mama aja.]
Dydy [Aku sendirian?]
Windy yang tersadar bahwa mereka bukan lagi suami istri mendadak panik. Buru-buru dia hapus pesan itu.
[Pesan telah dihapus]
Ical [Iya juga. Aku cemas juga ninggalin kamu sendiri di rumah. Kalo gitu nanti kamu simpen kunci pintu belakang di karpet aja. Aku masuk lewat pintu belakang.]
Windy tahu dari balasan Raikal, pria itu sudah membaca pesannya lebih dulu.
Dydy [ Gak papa, Cal. Maaf tadi aku lupa kalo aku bisa minta temenin Liliana aja.]
Dydy [Kamu have fun aja.]
Ical [ Jgn lupa kuncinya simpen di karpet😘]
Ical [Emotnya buat si dedek.]
Windy mendengkus membaca pesan terakhir mantan suaminya. "Apaan maksudnya diperjelas begitu? Emangnya aku bakalan kegeeran karena dikirim emot begitu???"
Windy menjadi kesal sendiri karena Raikal yang memperjelas bahwa emot cium itu ditujukan pada anak mereka dan bukan pada Windy. Tanpa menyadari bahwa rasa cemburunya adalah karena Raikal lebih mencintai anak mereka.
"Ya ampun, Dyyy! Masa gitu aja cemburu? Lagian, bener juga Ical jelasin begitu supaya kamu nggak mikir dia masih nyimpen kebiasaan suka cium-cium kamu, Dy!" gerutu Windy pada dirinya sendiri.
Meletakkan ponselnya di nakas, Windy merebahkan diri lebih dulu dan menatap langit-langit kamar.
"Kita saling cinta, tapi nggak bisa barengan. Keliatannya kita sempurna di mata orang, tapi aku nyimpen beban mental karena keluarga kamu, Cal. Kalo aja aku bisa sebodoh amat sama keluarga kamu, mungkin aku akan bertahan. Tapi aku capek dengan keinginan diterima, diakui, dan diajak ke mana aja sama mama kamu selayaknya menantu."
Helaan napas keluar dari bibir Windy.
"Salah aku juga, udah bangga dan yakin sama cinta yang kita punya. Aku nggak mikir jauh kalo strata bisa sebegini menyakitinya. Andai kamu pegawai kantoran biasa, bukan anak pemilik perusahaan, mungkin pernikahan kita lebih nyaman Cal. Walaupun sederhana yang penting nggak bikin sengsara."
Windy merenungi seluruh perjalanannya selama menjadi pasangan Raikal. Menahan batin karena tidak bisa dekat dengan keluarga suami, dianggap hantu oleh keluarga pria itu, menangis sendirian, menahan keluhan supaya Raikal tidak meletup atau menyalahkan ketika mendengar keluarganya disebut ... semua itu membuat Windy sadar dengan penderitaannya sendiri.
Mungkin dia akan dinilai lemah, cengeng, lebay, drama dan banyak lagi. Namun, Windy yang merasakan tekanan itu sendiri bukan orang lain. Bertahun-tahun tidak didukung maupun diusir, Windy lelah. Seolah menjalani hubungan tanpa status, digantung. Begitulah nasib hubungan Windy dan keluarga Raikal.
Windy mengusap wajahnya dan mencari kunci pintu belakang. Dia menyiapkan kunci di sana dan memastikan semuanya aman dan Raikal bisa masuk rumah tanpa repot membangunkan Windy.
Lalu, Windy hendak bergerak menuju kembali ke kamar. Dia ingin tidur, istirahat. Namun, bel rumah berbunyi.
Biasanya satpam yang menyalakannya karena memang jarak rumah dan tempat tinggal satpam agak jauh. Siapa pun yang masuk gerbang akan melewati seleksi penjaga keamanan rumah tapi tidak ada yang bisa masuk rumah tanpa dibukakan oleh Windy atau Raikal. Sebab asisten rumah tangga bekerja setiap hari tanpa menginap. Jadi, yang menguasai rumah tetap Windy dan Raikal saja.
"Ya, kenapa, Pak Imin?" tanya Windy setelah membuka pintu rumah.
"Bu, tadi ada wanita yang nanyain si Bapak."
"Nanyain apa?"
"Katanya mau ketemu tapi saya bilang si Bapak belum pulang kerja. Nah, terus si wanita itu nanya lagi. Di rumah nggak ada orang? Terus saya jawab ada nyonya. Terus dia nanya lagi, nyonya siapa? Ya, saya jawab nyonya Raikal. Soalnya saya nggak tahu nama asli Ibu."
Windy tidak tahu siapa wanita yang penjaga rumahnya maksud.
"Wanitanya udah lumayan tua?" tanya Windy.
"Nggak, sih, Bu. Masih muda kayak Bapak sama Ibu lah, sepantaran."
Windy semakin bingung untuk menebaknya.
"Terus selain nanya tadi orangnya kasih ini, suruh dititipkan buat dikasih ke Bapak, Bu."
Windy mengambil kotak hadiah itu. Entah apa isinya tapi dari selembar surat yang ditulis tangan itu, Windy yakin itu berasal dari orang spesial.
'Happy birthday, Rai. I bring you special gift early because I have to go to Japan tonight. Wish u a happy 'new life', Rai.'
-Ara
[Bab 10 udah up di Karyakarsa. Silakan ketemu mamanya Raikal 🤭]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top